30. Let Day Slip Away
Cerita berakhir setelah matahari sudah mengintip di ufuk timur. Pada akhirnya, tidak ada satupun dari mereka yang tidur.
Aizawa langsung pergi untuk mengurus kelanjutan penangkapan Hero Killer. Wajahnya masih agak pucat. Walaupun ekspresi datar normalnya sudah kembali.
Todoroki juga pamit. Dia harus kembali ke Endeavor. Anak berambut dwiwarna itu melempar senyum ketika tiga remaja yang lain mengantarnya ke pintu depan toko The Hourglass.
"Aku ingin melihat wajah Pak Tua itu. Dia pasti kesal sekali."
"Ambil foto kalau kau bisa," canda Dorothea.
Keempatnya tertawa. Sebelum Todoroki melambaikan tangan dan melangkah keluar.
"Bagaimana dengan kalian?"
Suara Nikky membuat mereka berbalik. Wanita itu bersandar di salah satu lemari penuh buku tua. Alis terangkat.
"Sepertinya tidak satupun kalian punya tenaga untuk pergi ke hotel."
Mereka meringis, lalu menggeleng bersamaan. Nikky terkekeh kecil.
***
Ketika dua manik ungu Shinsou terbuka, dia disapa oleh langit-langit ruangan yang asing. Sejenak, dia bingung sejak kapan lampu kamarnya berubah menjadi lampu hias bergaya eropa.
Kemudian dia teringat apa yang terjadi.
Hosu, Nikky dan Monika, latihan, kebakaran, kekacauan, Todoroki, Hero Killer—
Demon.
Shinsou langsung bangkit. Pandangan menjamah sekeliling. Dia ada di ruang tengah The Hourglass. Tubuh masih terbalut kantong tidur yang digelar Nikky. Suara televisi mendengungkan berita siang. Sementara Izuku mendengkur di sofa panjang. Masih tertidur lelap.
Purplenette itu berdiri. Mata berkedip beberapa kali mengusir kantuk. Dia melirik ke televisi yang menyala. Mendengar sayup-sayup suara reporter melaporkan berita kemarin sementara gambar TKP muncul di layar. Ada garis kuning di sana. Juga segerombol masyarakat yang berusaha mengambil gambar.
Media sosial pasti sudah sangat ramai.
"—Pada akhirnya, Hero Killer Stain berhasil ditangkap di gang ini oleh seorang Pro Hero underground yang namanya tidak diberikan ke media—"
"Huh, jadi itu cerita yang diberikan kepolisian..." gumam Shinsou kepada dirinya sendiri. "Aizawa-sensei memang yang datang pertama, sih."
Netra ungu beralih ke Izuku. Anak itu masih sibuk di alam mimpi. Sama sekali tidak terusik dengan kondisi dan suara di sekitar. Semua yang terjadi kemarin pasti membuatnya lelah. Shinsou tidak bisa menyalahkannya.
Dia menutupi mulutnya dan menguap kecil. Kemudian mengambil remote di meja kopi untuk mematikan televisi. Ruangan langsung termakan hening begitu tombol 'off' ditekan.
Akan tetapi, Shinsou masih bisa mendengar suara kendaraan yang melaju di jalan raya. Begitu juga dengan keriuhan pusat pertokoan. Dan—
"Blessed thee who dwell in shadow
O'er the hills, o'er the meadow..."
Sebuah lagu?
Itu suara Dorothea.
Perlahan Shinsou bergerak dari tempatnya berdiri. Melangkah di atas lantai licin yang berdecit ketika diinjak. Dia berusaha tetap tenang agar Izuku tidak terbangun. Untung anak berambut hijau itu tidur seperti koma. Shinsou tidak perlu susah payah.
Langkah membawanya ke bagian depan The Hourglass. Bagian tokonya yang penuh benda antik. Di sanalah dia menemukan sang gadis berambut merah. Sibuk meneliti isi lemari buku.
Melodi masih mengalun dari mulutnya.
"Soldier of sun, Soldier of moon
Do not be afraid; we'll be home soon..."
"Suaramu bagus."
Dorothea tersentak. Sang gadis langsung berbalik. Pandangan mata emas melembut begitu melihat Shinsou.
"Pagi, Shinsou-kun!"
"Siang, lebih tepatnya."
Gadis itu terkikik. Shinsou tersenyum sembari menghampirinya. Berusaha tidak menginjak berbagai benda yang terserak di lantai.
"Kemana Nikky? Dan Monika?"
"Pergi. Mereka harus melaporkan soal anggota The Silent Hands kemarin..."
"Ah, begitu. Err... apa Eins di sini?"
"Oh! Tidak. Dia mungkin pergi saat kita istirahat, belum kembali."
Shinsou mengangguk mengerti. Dorothea tersenyum. Sebelum kembali meneliti buku-buku di lemari. Mengambil satu. Lalu menepuk debu dari sampulnya. Barulah setelah itu Shinsou kembali angkat bicara.
"Aku tidak tahu kau bisa bernyanyi."
"Ah! Tidak juga," gumam Dorothea. Kembali menghadap si purplenette. "Aku hanya familiar dengan lagu itu. Jadi mudah menyanyikannya."
"Nadanya lembut," komentar Shinsou.
"Yah, itu memang lagu pengantar tidur anak-anak Children of Earth."
Si purplenette tersenyum. "Organisasi kalian unik sekali. Kalian punya sihir dan pedang, tetapi juga lagu pengantar tidur."
"Kami memang agak sentimental." Dorothea terkekeh. Tawanya mereda. Berubah menjadi senyum.
"Bicara soal tidur..."
Entah sadar atau tidak, sang gadis mengangkat tangannya yang tidak memegang buku.
Lalu menangkupkannya ke wajah Shinsou.
Tangan sang gadis hangat di pipi anak itu. Telapaknya kasar—hasil dari menggenggam banyak senjata—tetapi memegang dengan sangat lembut.
Jempol mengusap pelan pelupuk bawah mata Shinsou. Mengikuti garis menghitam yang ada di sana.
"Kantung matamu tidak hilang ya..."
Shinsou membatu.
Otaknya seakan berubah menjadi layar biru bertuliskan error.
Kemudian—
Pipinya merona.
Dorothea tersentak. Seperti sadar. Dia langsung menarik tangannya. Beralih memeluk buku yang dia bawa. Lalu memalingkan muka.
Wajahnya juga ikut memerah.
"Ah—maaf—aku—aku tidak tahu apa yang aku—"
Shinsou diam sejenak. Kemudian ikut terlonjak lalu menenangkan gadis itu.
Rasa hangat masih tertinggal di pipi. Dia mulai merindukannya.
"Ah—ehm—tidak apa-apa," ucap Shinsou. Dia menggaruk tengkuk. Netra bergulir ke samping.
"Dan—yah, kupikir—kantungku itu permanen. Aku sudah berusaha menghilangkannya, tapi..."
Dorothea terkikik. Menutupi mulut dengan buku di genggaman. Entah kenapa, Shinsou merasakan pipinya memanas lagi. Dia menyebar pandangan ke sekitar. Berusaha mencari topik lain.
Dan matanya jatuh pada buku yang dibawa gadis itu.
"H.P. Lovecraft?"
Dorothea menelengkan kepala. Lalu menunduk untuk melihat buku yang dia bawa.
"Yep," ucap sang gadis. Tangan membuka lembaran buku itu dengan hati-hati. Sepertinya itu edisi tua. Kertasnya sampai menguning dan menempel satu sama lain.
"Dia bukan orang yang... paling baik. Tetapi cerita yang dia buat bagus."
"Sungguh?"
Anak berambut merah di depannya mengangguk. "Apa kau mau baca?"
Shinsou mengintip ke halaman yang terbuka. Lalu meringis ketika melihat alfabet latin yang ada di sana.
"Aku tidak payah dalam bahasa inggris. Tetapi aku tidak sebaik itu."
"Ugh, maaf, maaf," gumam Dorothea.
Sejanak, mereka berdua diam. Keheningan hanya diisi suara acak dari luar toko dan suara detikan jam kuno yang entah bagaimana masih hidup.
Gadis di depannya tampak berpikir. Sebelum matanya berkilat dan kepala terangkat. Shinsou bisa membayangkan bola lampu imajiner menyala di dekat kepalanya.
"Aku bisa membacakannya untukmu!"
"Eh? Tidak perlu repot—"
"Ayolah. Ini akan menyenangkan!"
Melihat seringai lebar sang gadis, Shinsou merasa tidak bisa menolak. Dia menurut ketika Dorothea kembali menariknya ke ruang tengah. Lalu mengajaknya duduk bersebelahan di loveseat. Mengingat Izuku masih memakai di sofa.
"Tenang, anak itu tidur pulas di tempat yang dia anggap aman," kata Dorothea. Dia sibuk membolak balik halaman buku. Mencari cerita yang menurutnya cukup bagus.
"Ah! Bagaimana kalau ini? Call of Cthulhu? Ini klasik."
"Terserah saja," ucap Shinsou. Menyandarkan punggung pada loveseat yang empuk. Bahu dua anak itu saling bersentuhan. "Aku percaya pada pilihanmu."
"Baiklah...," gumam Dorothea. Dia menarik napas. Lalu mulai membaca.
"Hal paling menyedihkan di dunia, menurutku adalah ketidakmampuan manusia mengaitkan semua isi pikirannya..."
Suara mendongeng Dorothea sama dengan suara nyanyiannya. Lembut dan tenang. Mengingatkan Shinsou pada air sungai yang jernih.
Lama kelamaan, suara sang gadis mengabur menjadi satu. Cerita berubah menjadi gambar buram di otak Shinsou setelah adegan Inspektur Legrasse membawa patung aneh ke Perkumpulan Antropologi.
Matanya semakin berat. Dan seperti sungai, suara Dorothea juga menghanyutkan.
Tidak lama, dua netra ungu tertutup.
Dia tertidur.
***
Ckrek.
Ckrek.
Suara pelan itulah yang membuat mata Dorothea terbuka sedikit. Dia mengerjap bingung. Mengucek matanya yang masih berat karena kantuk dengan satu tangan.
Aneh, tangan yang satu terasa berat.
Kemudian dia teringat. Dia baru sampai di tiga perempat cerita ketika matanya juga ikut terasa berat. Melihat Shinsou yang terlelap, Dorothea merasa tidak masalah jika dia mengistirahatkan mata sebentar.
Tetapi dia malah ikut tertidur.
Ckrek.
Ckrek.
Suara itu terdengar lagi.
Diikuti sebuah kikikan geli.
Barulah Dorothea mendapat sedikit kesadaran untuk membaca keadaan sekitar.
"Monika...?"
"Halo, lil' psychic!" sapa orang di depannya dengan ceria.
"Apa yang kau lakukan?"
"Ohoho... hanya mengabadikan moment kecil ini."
Ckrek.
Ah, itu suara kamera.
Kantuk mulai menepi di gadis itu.
Tetapi... kenapa Monika mengambil foto—?
Dorothea tersadar. Langsung menengok ke bagian tubuhnya yang mulai kebas.
Shinsou tertidur di sana.
Kepala tersender di bahunya. Rambut ungu menggelitiki hidung Dorothea ketika sang gadis menoleh muka.
Wajah gadis itu memerah. Langsung berpaling kembali ke wanita berambut pirang yang kini sibuk tertawa.
"Auntie Monika!!"
"Aaw, jangan cemberut begitu! Ini hanya sedikit blackmail material!" katanya Monika disela kekehan.
Wanita itu tertawa lebih keras ketika Dorothea berusaha menggapai ponsel yang sekarang memiliki foto-foto yang 'berharga'.
Merasakan 'bantal'-nya bergerak, pelupuk mata Shinsou ikut terbuka perlahan. Dia menarik kepala dari bahu Dorothea. Lalu mengusap wajahnya.
"Uugh, apa yang aku lewatkan...?"
"Bukan apa-apa," ucap si gadis cepat. Berharap rona di wajahnya sudah menghilang.
"Hehehe, lihat! Dia jadi bangun, Dorothea! Padahal kalian imut sekali~!"
"Shut up, Monika!"
Rupanya, suara berisik mereka cukup membuat Izuku terusik. Setelah berbalik di sofa satu dua kali, anak itu menyerah. Akhirnya bangkit dan menguap.
Betapa terkejutnya dia ketika melihat jam.
"Eeh? Sudah sore? Aku tidur seharian!"
Tiga kepala di ruangan itu langsung menoleh kepadanya. Monika tersenyum lebar.
"Bagus, aku tidak perlu membangunkanmu," ucapnya. "Sana keluar, orang tua kalian sudah menunggu, lil' psychic, lil' bush. Oh, dan kau sebaiknya mengecek ponselmu, lil' lavender."
"L-lavender?"
"Maksudnya kau, Shinsou-kun."
Anak itu terhenyak. Namun memutuskan mengikuti saran Monika. Benar saja, ponselnya penuh dengan notifikasi pesan dan panggilan tidak terjawab dari ayah dan ibunya.
"Ah, mereka tidak bisa ke sini—" gumam Shinsou. Mata menerawang ratusan pesan. "Tapi mereka jelas khawatir."
Ketiga anak itu langsung berjalan keluar. Shinsou melangkah sembari mengetik balasan dan meyakinkan orang tuanya jika dia baik-baik saja.
Ketika sampai di bagian toko, hawa dingin langsung mengitari Dorothea. Tangan putih pucat melingkar di lehernya. Sang gadis berjengit. Lalu tersenyum.
"Halo, Eins."
"Halo," balas sang hantu. "Saat aku kembali, kau masih tidur. Aku tidak mau mengganggu."
Dorothea mengangguk. Lalu berterima kasih pelan.
Di depan toko, langit telah berubah kemerahan. Dua mobil sudah menunggu. Tampak keluarga Midoriya dan Takeshita-Tuning mengobrol. Begitu juga Nikky. Dan yang mengejutkan, Aizawa.
"Dorothea!" panggil Avery ketika melihat sang putri.
Gadis itu langsung menghambur dan memeluk kedua orang tuanya. Izuku melakukan hal yang sama. Sementara Shinsou memutuskan berdiri di samping Nikky. Yang menepuk pundaknya.
"Kerja bagus hari ini, cub." Dia tersenyum. Anak ungu itu tersenyum balik.
Izuku melepas pelukan ke Ibunya. Yang menangis dengan deras seperti biasa. Kata-katanya agak sulit ditangkap. Tetapi, dia bisa mendengar kata 'putraku' dan 'syukurlah'. Jadi, dia pikir Inko akan baik-baik saja.
Sementara Hisashi mengamati anaknya dengan hati-hati.
"Hero Killer, hmm?"
"Yeah." Izuku meringis. Dia menggaruk kepala. "Dia bukan demon tapi—aku tidak punya banyak pilihan."
"Kau ini..." Hisashi mengacak-acak rambut hijau Izuku yang sudah berantakan.
"Yah, kerja bagus. Dan juga soal gigant itu."
"Hisashi..." desis Inko.
"Ah—uh, tapi! Tapi kau harus lebih hati-hati anak muda! Jangan ceroboh!"
Inko bersedekap. Mengangguk puas. Hisashi hanya tertawa kecil.
Yang lain ikut tertawa. Termasuk Dorothea. Dia kemudian menengok ke ibu dan ayahnya.
"Kau baik?" tanya Avery. Tangan mengelus pipi sang putri. Dorothea mengangguk.
"Ya."
"Kami melewatkan beberapa, huh?"
"Bukan salahmu, Mom. Kau tahu bagaimana The Silent Hands itu."
Avery menghela napas. Kemudian kembali mendekap anaknya. Akira ikut memeluk keduanya.
"Kau tidak apa-apa, syukurlah."
"Tapi—fashion show-nya?"
"Itu belakangan." Sang Ayah menegaskan. "Yang paling penting itu kamu, Dorothea."
Hati sang gadis menjadi hangat.
"Aku tidak mau menyela, tetapi—"
Semua di sana langsung menoleh ke Aizawa. Guru itu menggaruk kepalanya. Lalu melirik ke anak perempuan berambut merah yang masih dirangkul oleh sang ibu.
"Dorothea, besok, Nezu ingin bertemu denganmu."
"Eh, Nezu?"
"Ya. Dia ingin bicara. Mungkin ada baiknya beberapa dari kalian menemani."
Kalian. Mereka tahu implikasi kata itu.
"Tunggu—dia kepala sekolah U.A., kan?" gumam Hisashi. "Apa kau memberitahunya soal kami?"
"Tidak," jawab Aizawa. Dia mendesah lelah.
"Tapi ini Nezu, yang kita bicarakan. Dia tahu segalanya."
***
Akhirnya, mereka berpisah sebelum matahari benar-benar hilang di ufuk barat. Keluarga Midoriya berbaik hati mengantar Shinsou pulang. Jadi, mobil Keluarga Takeshita Tuning hanya diisi tiga orang—dan satu hantu.
Perjalanan mereka banyak diisi diam. Radio berbunyi. Lagi-lagi berita soal Stain. Jalanan sepi. Tidak banyak yang orang berniat keluar setelah semua itu.
Lalu, notifikasi ponsel Avery berdering.
Dia membukanya. Muncul sebuah foto yang dikirim oleh Monika. Mata cokelat wanita itu melebar.
"Akira!" bisik Avery sembari terkikik. "Lihat ini!"
Dia menyodorkan ponsel ke sang suami yang sedang menyetir di sampingnya. Akira melirik sekilas ke layar. Mata melebar. Lalu terkekeh sebelum kembali melihat jalan.
"Dorothea?"
Panggilan sang ibu membuat anak yang melamun menatap jendela itu menegak. Begitu juga Eins yang 'duduk' disampingnya.
"Huh?"
"Jadi..."
Cara Avery tersenyum padanya lewat kaca spion dalam mobil membuat Dorothea curiga.
"Jadi... Shinsou-kun, eh?"
"Ha? Apa maksudnya?"
Ibunya mengangkat ponsel. Alis Dorothea menukik. Lalu matanya melebar.
Gambar yang diambil Monika.
Sialan.
"Ah—itu—!"
"Hehehe, Shinsou kelihatannya anak yang baik."
"Dad! Bukan begitu—!"
"Kalian kelihatan manis."
"Eins, not you too!"
***
.
.
.
.
.
.
.
A.N. :
Maaf lama! Aku nggak punya mood dan ide ngadat beberapa hari ini -_-
Anyway, banyak interaksi ShinThea kali ini, gimana, gimana? :3
Yah, ketemu di chapter berikutnya. Stay safe y'all!
Thank u for reading! :D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro