3. Stranger than Fiction
Izuku tahu dia agak jauh dari Hisashi. Bunyi bip yang terdengar dari alatnya sedikit samar sekarang. Kaki kecil masih berusaha melangkah setenang mungkin. Namun, cukup cepat untuk tidak kehilangan langkah ayahnya.
Dia melihat Hisashi berbelok ke sebuah gang. Agak jauh dari rumah lain dan apartemen. Bunyi bip kini menggemam dalam keheningan.
Bip.
Bip.
Bip.
Bip.
Bip.
Izuku memberanikan diri untuk berdiri di depan mulut gang itu. Perasaannya tidak enak.
Mata hijau melihat punggung ayahnya yang hampir dimakan kegelapan.
Izuku menelan ludah. Mengumpulkan keberanian.
"Otou-san!"
Hisashi berbalik.
Mata hitam melebar.
Bip.
Bip.
Bip.
Bip.
Bip.
Bip.
Bip.
Bip.
Bip.
Bip.
"IZUKU, MENUNDUK!"
Tubuh Hisashi menerjangnya. Membuat keduanya terjatuh ke tanah. Bunyi berdesing terdengar. Sesuatu melintas di udara.
Clack.
Clack.
Izuku mendongak. Tampak duri hitam menancap tidak jauh dari kepalanya.
Apa—? Quirk—?
"Pergi ke belakang tempat sampah itu! SEKARANG!"
Perintah Hisashi berhias panik. Izuku langsung melesat mengikuti.
Anak itu berjongkok di balik dua tong besi. Tubuhnya tersembunyi. Terdengar suara geraman. Diikuti lolongan panjang.
Hisashi berbalik. Memandangi gang gelap dengan muka jijik. Tangan merogoh ke balik jubah.
Satu duri melesat lagi. Ke arah Hisashi. Napas Izuku tertahan.
Hisashi hanya memiringkan kepala. Duri itu lewat begitu saja.
"Hyaepine," desis Hisashi. Mengeluarkan tongkat pendek dari jasnya. "Harusnya bisa kutebak."
Hisashi menekuk tongkat itu. Cahaya putih langsung menguar.
Glowstick. Tapi jauh lebih terang.
Hisashi mengangkat tongkat itu. Berjalan masuk ke gang. Mengiluminasi kegelapan yang ada.
Izuku masih mengintip dari balik persembunyian. Setiap satu langkah dari ayahnya membawa cahaya lebih dekat ke apapun yang ada di gang itu.
Dan yang ada di sana membuat Izuku hampir pingsan.
Sesuatu itu—karena Izuku tidak tahu itu apa—tampak terbuat dari lelehan tar. Berbentuk mirip anjing. Gigi tajam menggertak dan mengerang. Dua pasang mata merah melotot. Ada duri yang bergetar di punggung makhluk itu.
Duri yang tadi digunakan untuk menyerang.
Hisashi membawa glowstick lebih dekat. Makhluk itu melolong ketika cahaya membakar kulit hitamnya.
"Untung jenismu yang datang malam ini. Jadi aku hanya perlu lampu," decak pria itu.
Hisashi menarik pistolnya keluar. Membidik. Izuku langsung menunduk. Membenamkan wajah di lutut. Tangan menutupi telinga.
Terdengar dua suara letusan.
Lalu hening.
"Izuku?"
Anak itu tersentak. Hisashi sudah berjongkok di depannya. Masih ada panik di mata hitam sang ayah. Dan Izuku bisa melihat bahunya bergetar.
Yang pertama anak itu lakukan adalah memeluk si ayah.
Hisashi mengeluarkan suara tercekik. Kemudian mendekap Izuku dengan erat. Menggumamkan 'syukurlah' dan 'tidak apa-apa' di rambut hijau.
Barulah setelah dirasa tenang, Hisashi melepaskan pelukannya.
"Kau baik-baik saja? Ada yang terluka?"
Izuku menggeleng. Hisashi mendesah lega. Sebelum kembali memasang wajah serius.
"Kenapa kau di luar, Izuku?"
"Aku—"
Si rambut hijau berhenti sebentar. Menggigit bibir. Dia tahu yang dia lakukan ini salah. Tetapi...
"Aku khawatir," gumamnya. "Aku melihat Otou-san pergi dan—aku khawatir."
"Oh little bush..." Hisashi mengelus pelan kepala putranya.
"Aku tidak apa-apa. Tapi kau tidak boleh mengikutiku begitu. Harusnya kau memanggil Okaa-san, ya?"
Izuku menunduk. Memainkan ujung piyamanya. Kemudian melirik ke arah gang yang sudah kembali gelap.
"Otou-san," bisik Izuku. "Itu tadi apa?"
Hisashi mengikuti pandangannya. Menghembuskan napas berat.
"Ayo kita bahas itu di rumah," gumamnya. Tangan mengangkat Izuku dan menggendongnya. Untuk anak tujuh tahun, tubuh Izuku memang kecil.
Duo itu kembali ke apartemen dalam diam. Dengan banyak pertanyaan masih menggantung di antara mereka.
***
Kembali di apartemen, seperti yang Hisashi duga, mereka menemukan Inko dengan sungai air dari matanya.
"Oh terima kasih tuhan!"
Itu yang dia ucapkan ketika memeluk Hisashi dan Izuku. Kedua laki-laki itu jadi merasa bersalah.
"Kemana saja kalian?!" ucap Inko di sela tangisan. "Pintu rumah terbuka! Aku hampir memanggil polisi!"
Hisashi berjengit. "Inko, aku—"
Dia melirik Izuku. Yang masih bergetar. Entah karena dingin atau adrenalin.
Inko sepertinya juga menyadari hal itu.
"Izuku, kau pergilah ke kamar," ucap Inko. "Aku dan ayahmu harus bicara."
Anak mereka mengangguk lemah. Wajahnya masih tidak fokus. Namun, dia dengan patuh pergi kembali ke kamarnya.
Kini, dua manik hijau Inko teralih ke Hisashi. Masih tampak basah.
"Apa yang terjadi?"
"Izuku melihatku."
Jawaban itu membuat sang istri terlonjak. Hisashi memijit keningnya.
"Dia melihatku membunuh salah satu makhluk itu."
Tangan Inko tertangkup di mulut. Air mata hampir menitik lagi. Mereka berdua saling pandang selama beberapa saat.
Kemudian Inko mengusap air matanya. Wajahnya mengeras.
"Kalau begitu, beritahu dia."
Rahang bawah Hisashi jatuh.
"Inko, kau yakin—?"
"Berapa umurmu saat kau tahu soal organisasi itu?"
Hisashi terdiam. "Enam tahun."
"Masih lebih muda satu tahun," bisik Inko. Wanita itu mendesah.
"Aku tahu ini sulit. Tetapi lebih baik jika Izuku tahu apa pekerjaanmu," tambah Inko.
Hisashi berpaling. Masih tidak yakin.
"Menurutmu dia bisa menerimanya?"
"Izuku anak yang pintar," ucap Inko. "Dia pasti bisa."
Pria itu mengalihkan pandangan ke arah kamar sang anak. Kemudian mengangguk.
"Sekarang?"
"Biarkan dia istirahat," ucap Inko. "Untung besok akhir pekan. Kita bahas ini setelah tidur nyenyak."
Hisashi mengangguk. Istirahat terdengar baik. Peristiwa malam ini pasti cukup berat dicerna oleh anaknya itu.
"Jadi..," Inko mulai menuntun Hisashi ke kamar. "Apa yang kau temukan?"
"Hyaepine, yang satu itu mudah diatasi," gumam Hisashi.
Kemudian dia terdiam dan berjengit. Mengingat sisa-sisa makhluk yang kepalanya pecah dan mengotori gang.
"Aku belum menghubungi seseorang untuk mengurus mayatnya."
***
Ketika pagi menyingsing, mata Izuku menjeblak terbuka. Iris bergerak tidak tentu. Memandang langit-langit kamar dengan nanar.
Mimpinya malam itu aneh sekali.
Sampai dia menyadari dia tidur dengan memakai jaket.
Mata Izuku membulat. Dia langsung bangkit. Duduk di tempat tidur dengan wajah terperangah.
Yang semalam... bukan mimpi?
Tepat saat itu, pintu diketuk.
"Izuku? Ini Otou-san, aku boleh masuk?"
"Ah, Iya!"
Gagang pintu diputar. Pintu kamarnya digeser dengan iringan bunyi berdecit. Tampak sang ayah berdiri di sana.
Hisashi masuk kemudian duduk di kasur Izuku. Mata hitam mengawasi wajah anaknya yang seperti tersesat. Dia menepuk lutut si bocah hijau yang masih ada di dalam selimut.
"Bagaimana perasaanmu, little bush?"
"A-aku—" Izuku tergagap. "Yang semalam itu... nyata?"
Hisashi menarik napas dalam-dalam. Wajahnya melembut. Dia mengelus rambut Izuku.
"Izuku, kau ingat dongeng yang sering aku ceritakan? Tentang monster dan kesatria?"
Anak di depannya mengangguk. Tidak mempercayai suaranya sendiri untuk menjawab.
"Bagaimana kalau aku bilang... semua cerita itu nyata?"
Muka Izuku langsung serupa dengan ikan di darat.
"Huh, a-apa?"
"Monster-monster itu, mereka benar ada," ucap Hisashi lembut. "Begitu juga para kesatria yang memburunya."
Otak Izuku berputar. Otomatis menyangkutkan semua informasi dari tadi malam dengan cerita ayahnya. Seperti kepingan puzzle. Dan anak itu terhenyak. Mata hijau membulat.
"Otou-san seorang kesatria."
Itu bukan sebuah pertanyaan.
Ujung bibir Hisashi terangkat. Dia mengangguk. "Walaupun sekarang kami disebut hunter—pemburu, bukan kesatria."
"Jadi yang semalam itu monster?"
"Hmm, kami menyebutnya demon," ralat Hisashi. Termenung sebentar.
'Namun, sebenarnya kami juga tidak tahu mereka itu apa. Demon hanya yang paling mendekati."
Izuku mengangguk. Ketegangan mulai cair dari pundaknya. Digantikan oleh gemilang penasaran di dua manik hijau besar.
"Jadi, Otou-san memburu demon?"
"Tidak hanya itu," ucap Hisashi dengan senyum lebar. "Kami juga memastikan bahwa sihir lain yang ada di dunia tidak jatuh ke tangan yang salah."
"Sihir ada?!"
Kali ini, Izuku benar-benar sudah kembali ke sifatnya yang biasa. Hisashi tertawa lega.
"Ya, little bush, dunia ini penuh dengan hal yang aneh dan menakjubkan!" kata Hisashi. Dia mendekatkan kepalanya ke Izuku. Lalu berbisik.
"Tetapi juga berbahaya."
Izuku mengangguk dengan serius. Dia ingat makhluk—demon—yang ada di gang tadi malam. Itu jauh lebih menakutkan dari Penjahat yang dia lihat di televisi.
"Itu sebabnya, kami bertugas menyembunyikan dan melindungi kalian dari hal-hal itu."
"Kami?"
"Ya, organisasi kami bersumpah untuk melindungi mereka yang tidak tahu soal hal-hal supranatural dan taumaturgi," jelas Hisashi.
Izuku tidak terlalu yakin dengan arti kata itu. Namun, matanya tetap bersinar takjub. Hisashi menepuk kepala putranya.
"Kami adalah Children of Earth."
***
Beberapa jam dihabiskan dengan Izuku bertanya macam-macam mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan ayahnya itu. Kalimat gugup dan bingung digantikan oleh kocehan penuh rasa ingin tahu. Hisashi bersyukur Izuku bisa menerima semua ini dengan mudah.
Mereka berhenti ketika Inko mengetuk pintu kamar dan menyuruh mereka untuk makan siang. Yang berarti hanya memindahkan obrolan mereka ke meja makan.
"Izuku, telan dulu makananmu!" komentar Inko sembari menggeleng melihat putranya yang berusaha berbicara dengan mulut penuh.
Izuku menurut. Mengunyah sembari menata semua informasi yang dia dapat hari ini.
"Jadi, saat Otou-san pergi, Otou-san melawan demon?"
"Itu... agak sedikit lebih rumit," gumam Hisashi.
"Uh, kau ingat soal Ratu Jahat di dongeng?"
"Otou-san mengalahkannya??"
Hisashi meringis. "Tidak juga. Ini agak—"
"Rumit?" celetuk Inko. Hisashi mengangguk.
"Yah, rumit."
"Aku tidak masalah mendengarkan!" seru Izuku.
Melihat mata anaknya yang lebar dan pipi yang menggembung. Hisashi tahu dia tidak bisa menolak.
"Hmmm, apakah kau ingat soal grup yang lain? Selain kesatria?"
Izuku mengingat-ngingat dongeng yang diceritakan sang ayah. Dia masih merasa sangat terpana mengetahui cerita fantastis seperti itu didasari kisah nyata.
"Yang satunya...? Kelompok Pemberontak?"
"Ya. Mereka bernama The Silent Hands," gumam Hisashi. Meminum air di gelasnya.
"Mereka juga nyata. Dan mereka ingin melepaskan si Ratu Jahat."
Mata Izuku melebar. Melihat anaknya tidak memberikan komentar, dia melanjutkan.
"Para demon berasal dari sebuah residu portal. Di sanalah Ratu Jahat tinggal," ucapnya. "Sayang sekali, portal itu hanya residu. Tidak cukup besar."
Izuku berdehum. "Jadi mereka ingin melebarkannya?"
Sang ayah tertawa. Mengangguk dan menepuk kepala Izuku. Rasa bangga membuncah melihat anaknya bisa membuat kesimpulan dengan tepat. Izuku memang anak yang punya intuisi tajam.
"Tapi Otou-san dan yang lainnya bisa mengalahkan mereka, kan?"
Hisashi mengangguk. Kepalanya agak menunduk. "Yah, kami berhasil mengatasi mereka. Tetapi, tugas kami belum sepenuhnya selesai."
"Masih banyak masalah selain mereka. Walaupun portal tertutup, masih ada demon yang tersisa," ucap Hisashi. "Organisasi lain juga masih—"
"Baiklah!" Inko menyela. Membuat Izuku dan Hisashi menoleh. Ada senyuman geli di wajah perempuan itu.
"Kalian itu mirip sekali! Selalu lupa waktu kalau sudah berbicara soal hal seperti ini," ucap Inko sembari terkikik. "Habiskan dulu makanan kalian, lanjutkan nanti obrolannya!"
Hisashi dan Izuku tertawa. Akhirnya kembali fokus ke mangkuk nasi yang sempat terlupakan. Memakan karaage yang sudah setengah dingin dengan cepat.
***
Setelah makan selesai, Izuku dan Hisashi duduk di depan televisi. Melanjutkan pembicaraan sampai Izuku tidak punya pertanyaan lain yang ingin dia tanyakan. Jadi, sekarang mereka hanya duduk bersantai. Menghabiskan siang hari libur itu dengan tenang.
Hisashi membaca koran sementara layar menayangkan pengulangan film lama. Izuku sendiri duduk sembari melamun. Tidak benar-benar memperhatikan film di televisi.
"Uuh... Otou-san?"
Suara kecil itu membuat Hisashi menoleh. Dia melihat Izuku yang menunduk. Memainkan jari-jari kecil dengan canggung.
"Ya, Izuku?"
"A-aku... uhm..."
Suara gumaman Izuku sama sekali tidak terdengar. Hisashi melipat koran dan memusatkan perhatian pada anaknya itu.
"Uh, itu, uhm..." Izuku menggigit bibirnya. Akhirnya mengangkat kepala.
"Apa aku bisa menjadi anggota organisasimu?"
Jujur, Hisashi tidak memprediksi itu.
Mata hitam mengerjap. Melihat mata hijau anaknya yang agak berkaca-kaca. Senyuman Hisashi melembut.
"Bukannya kau mau menjadi Pahlawan?"
"Uh... bukannya yang dilakukan Otou-san sama seperti Pahlawan?"
"Tidak juga," jawab Hisashi jujur. "Kami bukan Pahlawan, Izuku. Banyak hal yang kami lakukan ada di area abu-abu."
Izuku terdiam. Menggigit bibir lagi.
"Tapi Otou-san melindungi orang, kan?"
Giliran Hisashi yang terdiam. Kemudian, dia mengangguk.
"Aku ingin melindungi orang lain juga," ucap Izuku. Suaranya menjadi lebih mantap.
"Dan demon... mereka lebih berbahaya, kan? Bahkan Pahlawan tidak tahu mereka ada."
Hisashi masih diam. Menunggu Izuku melanjutkan.
"Itu artinya, aku bisa melindungi semua orang. Bukan hanya masyarakat, tetapi juga Pahlawan!"
Hening.
Kemudian, Hisashi terkekeh.
"Tentu Izuku! Kau bisa menjadi anggota The Children yang hebat!"
Kini, netra hijau yang mulai berair tampak lebih lebar. Mulut Izuku bergetar.
"S-sungguh?"
"Tentu saja, Izuku aku tahu kau punya semangat untuk itu."
"T-tapi—" Izuku menunduk. Tangannya terkepal di baju. "Aku tidak punya quirk."
"Lalu?" tanya Hisashi. Sontak membuat Izuku mendongak.
"Dengan ataupun tanpa quirk, kau tetap bisa melakukan hal yang besar."
Sang ayah menaruh tangan di pundak anaknya. Tersenyum lebar.
"Kau pasti bisa."
Izuku ternganga. Tidak menyangka akan mendengar hal itu. Akhirnya, air mata yang susah payah dia bendung menetes.
Akhirnya. Setelah sekian lama. Setelah semua hal yang dikatakan oleh semua orang.
Menyerah saja.
Maaf.
Tidak berguna.
Sekarang, dia mendengar sesuatu yang tidak pernah dengar. Hisashi percaya dia bisa melakukan hal-hal yang hebat. Walaupun tanpa quirk.
Air matanya menjadi lebih deras.
Hisashi tersentak. Tangan berusaha menghapus air mata anaknya. "Oh, little bush. Tolong jangan menangis!"
Kau pasti bisa.
Dan dalam tangisnya, Izuku tersenyum.
***
"Inko..."
"Aku tahu."
Dua orang tua itu ada di depan kamar Izuku. Setelah anak mereka menangis sampai tertidur, Hisashi harus menggendongnya ke kasur. Inko ikut mengantarnya.
Kini, mereka berdua berdiri dan berbisik di depan kamarnya. Merefleksikan pembicaraan di sofa tadi.
"Latih dia, Hisashi."
Suara Inko bergetar. Namun, terdengar jelas. Wanita itu memalingkan pandangan.
"Aku—aku merasa aku tidak cukup mendukung Izuku."
Napas Inko tercekat. "Saat dia bertanya apa dia bisa menjadi Pahlawan, aku—"
Kalimat itu menggantung. Hisashi menaruh tangannya di pipi Inko. Sebagai balasan, wanita itu menaruh tangannya sendiri di atas tangan suaminya.
"Mulai sekarang, tidak lagi. Aku akan memberi apa saja yang aku bisa agar dia mencapai mimpinya."
Diam yang menyelimuti mereka dingin dan penuh perhitungan. Akan apa yang terjadi di masa depan.
"Ini tidak akan mudah."
"Tidak." Inko mengangguk setuju. "Itu sebabnya kau harus melatihnya."
"Kita pastikan Izuku menjadi Pemburu yang terbaik."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro