Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29. Explanation, Explanation

Sebelum salah satu anak itu bisa menjawab pertanyaan Aizawa, Nikky melangkah maju. Dia mendekati Iida dan meneliti luka-lukanya.

"Duduk."

Walau masih bingung, Iida menurut. Dia duduk bersila di jalan. Sementara Nikky berlutut di sampingnya. Tangan ditaruh di atas luka yang terbuka. Sebelum api keemasan menyala.

Iida berjengit. Namun, api itu tidak panas. Malah hangat.

Dia merasakan lukanya yang perih kini kebas. Kulit yang berdarah perlahan menutup. Menjahit kembali menjadi satu. Hanya meninggalkan bekas kecil. Seperti sudah dirawat selama beberapa hari.

"Wow..." bisik Iida takjub.

"Phoenix's Flames, quirkku." Nikky tersenyum. "Siapa lagi yang terluka?"

"Dia." Dorothea menunjuk Pro Hero Native yang masih duduk lemah di dinding salah satu bangunan. "Izuku juga, tapi sudah dibebat. Sepertinya tidak parah."

Nikky mengangguk. Dia menyelesaikan semua luka Iida. Lalu beralih ke Native. Butuh sedikit lebih banyak waktu untuk Pahlawan itu. Namun, dari ekspresinya, dia sangat berterima kasih. Setelah itu, dia menyembuhkan Izuku.

"Kerja bagus kiddos!" puji Monika. Dia merangkul Dorothea.

"Kami melihat kau mengalahkan gigant itu! Hebat sekali!"

Aizawa menyela. "Ngomong-ngomong soal itu—"

"Aku masih butuh penjelasan."

"Dan kau akan mendapatkannya, Eraserhead," kata Nikky. Akhirnya selesai dengan luka Izuku. Dia menggelengkan kepala.

"Kau masih tidak sabaran. Sama seperti dulu."

"Err—kalian kenal satu sama lain?" tanya Shinsou.

"Orang ini—" Nikky memberi gestur ke guru mereka itu dengan jari jempol. "Dulu mengejarku setiap patroli. Aku tidak tahu apa masalahnya!"

"Kau terlihat seperti vigilante."

"Aku sudah memberimu lisensiku!"

"Dan aku masih tidak tahu apa yang organisasimu lakukan."

"Itu poin dari organisasi rahasia, you little—"

"Oke, oke!" Monika menyela kedua orang dewasa itu. Dia mendesah. "Sumpah, kalian itu mirip pasutri tua saja."

Nikky dan Aizawa langsung protes bersamaan.

Remaja yang ada di sana mati-matian menahan tawa. Setidaknya, Shinsou, Dorothea, dan Izuku. Todoroki hanya kelihatan pasrah. Mulai terbiasa dengan keanehan yang meliputi tiga orang itu. Sementara Iida kelihatan terkejut melihat sang guru yang biasa berwibawa—walau sedikit malas—tiba-tiba terlibat cekcok seperti anak kecil.

"Uh—maaf, Ma'am—" Iida angkat bicara dengan suara kecil. Takut tidak sopan. "Kalian berdua ini... Pahlawan?"

"Pfft! Pahlawan..." ucap Monika sembari terkekeh. Seakan Iida baru saja mengatakan sebuah lelucon. Dia melepas tangannya dari pundak Dorothea.

"Pekerjaan kami jauh lebih menyenangkan dari itu, kiddo!"

"Aku tidak akan bilang menyenangkan," sanggah Nikky. Dia mendesah panjang.

"Kau tahu apa? Sebaiknya kita bicarakan ini nanti. Sekarang—"

Terdengar suara sirine mendekat.

Diikuti langkah kaki dan—

"SHOOOOOTOOOOOO!!"

Para murid U.A. dan Aizawa langsung menengok ke Todoroki. Wajah si rambut dwiwarna sedikit memerah.

"Dasar. Pak Tua itu berlebihan sekali!"

Tak lama, terlihat rombongan Pahlawan dan polisi datang. Endeavor melangkah paling depan. Berjalan dengan tegap. Wajahnya mengkerut serius.

"Apa yang kau lakukan di sini—?!"

Dia tersentak. Mata melebar. Ekspresi marahnya berubah menjadi terkejut ketika pandangannya sampai di sosok yang terikat di tiang lampu. Mulut terperangah.

Ah, benar, batin Dorothea sembari meringis.

Kita lupa soal Stain.

"APA YANG TERJADI DI SINI?!"

***

Semua penjelasan harus ditunda lagi. Karena tidak etis membiarkan orang yang ada di tempat kejadian perkara tanpa pengecekan medis. Walaupun quirk Nikky sudah mengatasinya, Aizawa masih menyeret mereka ke rumah sakit.

Jadi, sekarang kelima murid U.A. itu terjebak di satu kamar bernuansa steril. Menunggu hasil pengecekan mereka. Sementara itu, Native dibawa ke kamar lain. Sempat mengucapkan terima kasih sebelum kasur tempatnya berbaring didorong menjauh.

Karena Iida yang sempat mendapat banyak luka, yang lain memaksa agar dia mengambil satu kasur di bilik mereka. Sementara sisanya duduk di kursi-kursi plastik. Eins melayang di belakang Dorothea. 'Menaruh' tangan dingin di atas pundak sang gadis.

"Kupikir aku harus turun tangan tadi. Melempar batu atau apa. Tapi, ternyata kalian bisa mengatasinya."

Sang gadis terkikik sedikit. Langsung diam begitu yang lain menoleh padanya.

Dokter datang dan memberi tahu bahwa cidera mereka sebagian besar sudah stabil. Semua terima kasih karena penanganan cepat Nikky. Namun, ada baiknya tidak memaksakan diri.

"Kita beruntung sekali tidak terluka, hmm?" gumam Dorothea. Dia tersenyum kepada Todoroki dan Shinsou. Si rambut violet hanya menggeleng.

"Fisik? Tidak. Mental? Mungkin sedikit."

"Ayolah, itu tidak parah-parah amat," celetuk Izuku. "Anggap saja latihan sebelum kalian benar menjadi Pahlawan. Kalian tidak tahu berapa banyak hal mengerikan yang akan kalian lihat di masa depan, kan?"

"Maksudku, tidak mungkin separah yang kita lihat, eh?" canda Dorothea.

Dia menyenggol pelan lengan Izuku. Anak hijau itu tertawa.

"Apa—apa ini semacam inside jokes?" sahut Iida ragu-ragu.

Shinsou menyeringai. Todoroki mengangkat bahu. Izuku dan Dorothea malah terkekeh semakin keras.

Si anak berkacamata menyandarkan punggung ke tumpukan bantal. Dia menatap langit-langit dengan pasrah.

"Kalian—astaga—aku tidak tahu kalian ini kenapa—" bisik Iida nelangsa. "Sepertinya aku orang paling waras di sini."

"Hey! Kami bukan orang yang berusaha menghadapi pembunuh berantai tanpa rencana matang!" balas Dorothea.

Iida berjengit mendengar itu. Dia menunduk. Lengkung di bibirnya merosot. Dan dia menghela napas.

"Ini... bukan ideku yang paling bagus, huh?" gumamnya.

Yang lain turut diam. Memandang satu sama lain. Selama beberapa menit. Hanya keheningan yang mengisi ruang itu.

"Tentu itu bukan idemu yang paling bagus, Iida. Kau hampir mati."

Celetukan brutal itu datang dari Todoroki. Mata heterokrom menatap langsung kepadanya.

"Kalau kami terlambat sedetik saja, kau mungkin sudah tamat. Apa yang sebenarnya kau pikirkan?"

Iida berjengit mendengar itu. Gigi meringis seperti menahan sakit.

"Saat aku melihat Stain, aku kehilangan akal. Seharusnya aku memberi tahu Manual terlebih dahulu, tapi—" Iida menggigit bibir. "Aku membiarkan amarah menguasaiku. Dan aku harusnya lebih baik dari itu."

Iida melihat ke tangannya yang sekarang terkepal.

"Aku janji, aku akan menjadi lebih kuat lagi!"

Izuku menatap Iida yang tampak penuh dengan determinasi. Dia bisa melihat api semangat baru ada di balik kacamata si rambut hitam.

Anak itu tersenyum kecil.

"Baguslah. Warga sipil seperti kami sepertinya ada di tangan yang baik."

Iida tampak terkejut. Kemudian tersenyum lebar. Izuku menepuk pundaknya pelan.

Namun, momen lembut itu diputus oleh Todoroki.

"Kalau semua warga sipil seperti kalian, kupikir dunia tidak butuh Pro Hero lagi."

Dorothea dan Izuku tersentak. Menoleh ke anak merah-putih yang masih memasang wajah polos.

"Kami melihat bagaimana kalian mengalahkan—uh—makhluk hitam tadi," ucapnya. Dia bergumam. "Itu—sebenarnya makhluk apa? Apa dari quirk?"

Iidak mengangguk mengiyakan perkataan Todoroki. Turut merasa penasaran.

"Aku dengar kalian memanggilnya—gigant? Demon? Dan uh—sepertinya Shinsou-kun juga tahu? Dia bilang kalian menghadapi makhluk itu—tiap malam?"

Shinsou meringis. Sementara mata Dorothea dan Izuku berkilat panik.

Untung saja, pintu bilik terbuka. Membuat fokus mereka teralihkan. Aizawa berdiri di sana. Kantung mata tampak semakin gelap. Sementara itu, disampingnya berdiri seorang Pahlawan lain. Dia memakai helm dengan sirip di sisinya.

"Manual," gumam Iida. Bersamaan dengan Izuku.

"Pro Hero, bisa mengendalikan air. Sepertinya Iida magang dengannya." Eins berbisik di telinga Dorothea.

Sang gadis mengangguk. Dia berterima kasih akan pengetahuan Pahlawan Eins yang luas. Karena Dorothea tidak tahu apapun kalau menyangkut itu.

"Bagus. Kalian baik-baik saja." Aizawa angkat bicara.

"Err, jadi—kapan kami bisa pergi?" tanya Dorothea.

Aizawa mengangkat alis. "Jangan buru-buru. Ada yang ingin menjenguk kalian."

"Menjenguk?"

Pintu di belakang mereka terbuka lebih lebar. Seseorang berjalan masuk. Dia berkepala anjing dan memakai jas.

"Perkenalkan, nama saya Tsuragamae Kenji." Orang itu membungkukkan badan. "Dari Kepolisian Kota Hosu."

"Dia kepalanya, pimpinannya!" ucap Eins.

Kepala Kepolisian?

Dorothea berdehum.

Ini akan jadi menarik.

"Kalian tahu apa yang kalian lakukan, guk?"

G-guk?

"Mencegah agar kawan kami tidak mati?" jawab Dorothea blak-blakan. Eins menggeleng di sampingnya. Menahan tawa.

Tsuragamae mendesah. "Walaupun itu benar, kalian tahu peraturan ada, kan?"

"Oh, peraturan?" Kali ini Izuku yang menyahut.

Tapi, nadanya bukan bertanya. Bukan penasaran. Seakan Izuku sudah menebak itu yang akan sang opsir katakan. Dia lebih seperti menafsir. Mengkalkulasi.

"Benar," ucap Tsuragamae. "Kalian memang mengalahkan Hero Killer. Tetapi metode kalian tidak menaati aturan."

"Aku yang melibatkan mereka!" Iida berseru. Dia berusaha bangkit. Langsung ditahan oleh Todoroki. Wajah anak berkacamata itu memelas.

"Ini salahku. Mereka hanya menolong. Jadi, jangan hukum mereka. Kumohon."

Dorothea merasakan hatinya melunak. Ternyata Iida ini anak yang tidak egois dan berani mengakui kesalahan.

Sayang sekali, Tsuragamae menggeleng.

"Maaf, tapi penggunaan quirk untuk melukai tanpa pengawasan pembimbing itu ilegal. Yang kalian lakukan bisa disebut vigilantisme."

"Vigilantisme?"

Izuku membeo. Nada suara meninggi. Bukan. Bukan karena marah. Lebih seperti—

Gemas.

Sepasang mata hijau dan mata emas saling lirik. Duo calon Children of Earth di ruangan itu bertukar seringai satu sama lain.

Sementara, orang lain di ruangan itu merasakan keringat dingin mengucur.

"Maaf, Tsuragamae-san," kata Izuku.

"Apa kau yakin kami melanggar?"

Tsuragamae tersentak.

Netra hijau berkilat.

"Heh, tentu saja, guk—"

"Tapi—" Izuku menyela.

"Definisi vigilantisme pada zaman ini adalah penggunaan quirk sebagai tindak penghentian kejahatan—bukan membela diri—tanpa memiliki lisensi. Betul?"

"Ya. Benar sekali. Dan aku tidak melihat lisensi kalian—"

"Ah, ah, tapi, tapi—"

Izuku menggoyangkan jari telunjuk. Senyumnya makin lebar.

"Aku quirkless!"

Yang lain tersentak. Bukan karena fakta itu baru—kecuali Manual dan Tsuragamae, semua sudah tahu status Izuku—namun, karena si anak hijau mengatakan itu dengan santainya. Bangga, malah.

Ah, pikir Izuku.

Aku benar-benar sudah jauh, ya?

"Apa maksudmu?" Tsuragamae mendelik. "Kupikir kau punya quirk agility atau semacamnya? Dari yang kulihat di Festival Olahraga—"

"Nope! Kelincahanku itu murni skill!" kata Izuku sembari mengelus leher. Lalu melanjutkan.

"Jadi, karena aku tidak menggunakan quirk. Secara teknis, aku tidak bisa disebut vigilante!" sambungnya. "Dan aku memiliki lisensi untuk menggunakan Jadestaff pada saat terdesak. Jadi..."

Tsuragamae berkedip. Wajah terpana. Izuku hanya meringis. Eins malah tertawa keras. Tetapi, tentu yang bisa mendengarnya hanya Dorothea.

"Baiklah, baiklah, bagaimana dengan—"

"Aku dan Todoroki sama sekali tidak menggunakan quirk kami," tandas Shinsou. Dia melirik ke satu-satunya perempuan di ruangan itu. "Tapi Dorothea.."

Sang gadis mengangkat bahu.

"Aku punya lisensi."

Hening.

Kali ini, semua orang memandang gadis itu dengan ekspresi kaget yang sama. Kecuali Izuku. Dia sudah tau sejak pertemuan pertama mereka dulu sekali. Dengan imp dan mini market.

Dorothea merogoh tasnya. Lalu mengeluarkan sebuah kartu tipis dari dompet. Dia menyerahkan kartu itu pada si Kepala Kepolisian. Yang kemudian membacanya dengan seksama.

Mata hitam di kepala anjingnya melebar.

"Ini—langsung dari PBB, guk?"

"Yep."

"Kau—Kasus Spesial, guk?"

"Yeeep."

Tsuragamae menatap sang gadis. Si rambut merah dengan polos memiringkan kepalanya. Seakan lisensi yang memperboleh memakai quirk di hampir semua negara di muka bumi bukan hal yang besar.

Dia sebenarnya ingin bertanya. Namun, Kasus Spesial itu langka sekali. Apalagi yang langsung dari PBB seperti ini. Berarti gadis ini, entah bagaimana, terlibat dengan sesuatu berskala internasional.

Dan itu pasti sangat dirahasiakan.

Ada alasan kenapa Kasus Spesial yang turun bisa dihitung jari.

"B-begitu," gumam Tsuragamae. Dia mengembalikan kartu Dorothea. Gadis itu memasukkannya kembali ke dompet.

"Lagipula, aku hanya mengikatnya," bisik sang gadis. "Aku bisa memenggal kepalanya kalau aku mau. Dan aku tidak akan mendapat masalah."

Yang lain bergidik melihat senyum polos di wajahnya.

"Lalu, bagaimana kalian membuatnya tidur?" tanya Aizawa. Akhirnya angkat bicara setelah sedari tadi hanya memperhatikan.

"Ah, itu quirk mentor kami," kata Izuku. "Itu tidak berbahaya. Dan dia memberi kami autoritas untuk menggunakannya."

Tsuragamae mengerjap. Dia kehabisan kata-kata.

"Kalian—"

Opsir itu membenamkan kepalanya ke tangan. Mendesah berat.

"Ya. Secara hukum, kalian tidak melanggar apapun. Aku tidak bisa menghukum kalian berempat, guk."

Izuku dan Dorothea melakukan high-five.

Sementara Shinsou dan Todoroki menggelengkan kepala heran. Namun, bahu mereka melorot lega.

"Tapi—lain dengan Tuan Iida Tenya di sini."

Keempat siswa U.A. itu tersentak. Dia menengok ke teman mereka yang teduduk di tempat tidur. Iida menarik napas.

"Ya. Aku paham bahwa perbuatanku salah. Aku akan menerima apapun hukumanku."

"Bagus. Kau anak yang baik Iida. Aku harap kau bisa belajar dari ini," ucap Tsuragamae.

Pandangan matanya kembali ke Dorothea dan Izuku. Dia tampak ragu dan bingung.

"Kemudian, ada masalah lain. Soal publikasi kejadian ini."

Kelima anak saling lirik. Tidak ada yang tahu harus mengatakan apa. Mereka yakin media pasti ingin tahu soal siapa yang menangkap Stain. Karena siapapun itu, pasti akan mendapat popularitas besar.

Iida menggigit bibir. Lalu mendesah. "Aku tidak pantas mendapat nama setelah kejadian ini. Aku harus memperbaiki sifat dulu."

"Dan aku tidak melakukan apapun," ucap Shinsou. "Aku tidak keberatan namaku tidak disebut. Aku tidak butuh perhatian massa."

"Aku juga." Todoroki mengangguk ke arah Shinsou.

Berarti. Tinggal Dorothea dan Izuku. Dua anak itu saling melirik.

"Bisa kalian lewatkan aku?" tanyanya. "Wajahku sebaiknya jauh dari media. Untuk masalah... keamanan."

"Setuju." Izuku menaruh tangan di pundak Dorothea. Menembus tangan pucat Eins yang juga ada di sana.

"Kisah Stain yang dikalahkan sekumpulan remaja sepertinya agak... dramatis. Aku tidak mau mendapat ketenaran seperti itu."

"Kalian bijak untuk seumur kalian," puji Manual yang berdiri di depan pintu. Dia mendekati kasur. Lalu menepuk pundak Iida.

"Aku harap kau bisa lebih berkembang lagi, Iida-kun. Jangan ulangi hal seperti ini lagi."

Iida mengangguk. Wajahnya sedih. "Maaf, Manual-san."

"Hei, tidak masalah. Aku juga harusnya lebih memperhatikanmu."

"Yak! Dengan semua itu selesai—" Dorothea bangkit dari kursinya. Menepukkan tangan.

"Bisa kita pergi?"

***

Dorothea, Izuku, Todoroki, dan Shinsou berjalan keluar bangsal diikuti Aizawa. Sementara Manual, Iida, dan Tsuragamae masih harus tinggal dan membicarakan tindakan Iida.

Belum jauh mereka menyusuri lorong, mereka melihat Nikky dan Monika. Yang berambut pirang bersandar di dinding. Melambaikan tangan sebagai sapaan.

"Heya, lil' psychic, lil' bush!" ucapnya ketika sudah dekat. Dia mengacak rambut Dorothea dan Izuku. "Bagaimana interogasinya?"

"Lancar!" Izuku mengacungkan jempolnya. Kemudian wajahnya mengkerut dramatis.

"Tapi... mereka sama sekali tidak menanyakan soal gigant tadi..."

"Biar fabulist yang mengurus itu, bun," kata Nikky. "Lagipula saksi di sana hanya kita. Dan tidak ada satupun dari kalian yang tadi menyinggungnya, kan?"

"Eer... tapi... bagaimana kalau Iida atau Native—"

"Sudah kubilang, fabulist akan mengurusnya."

"Ya. Bahkan aku tidak menyinggung itu." Suara berat Aizawa memutus mereka. Guru itu bersedekap. Mata memandang ke Nikky.

"Sekarang, tepati janjimu."

"Tidak sabaran," desis Nikky.

Dia mencubit pipi guru mereka itu. Aizawa menepis tangannya dengan menggerutu. Membuat wanita itu tertawa.

"Hah! Ternyata ini bocah yang sama yang cukup bodoh menantangku parkour. Dan kalah."

"Kita seumuran, Blacksmith. Dan aku masih pemula waktu itu. Aku jauh lebih baik sekarang."

"Ohoho, sungguh? Tidak kelihatan."

"Kau jauh lebih menyebalkan dari Present Mic."

"Pfft. Penghargaan itu jatuh untuk Monika, sebenarnya."

"Hei!" protes si pemilik nama. "Jangan tarik aku ke perdebatan aneh kalian, idiot!"

Nikky mengacungkan jari tengahnya. Sementara Aizawa mendesah.

"Tolong, aku hanya mau penjelasan..."

"Yeah, yeah." Nikky mengibaskan tangannya. "Pertama-tama, ayo kita ke The Hourglass. Lebih aman di situ."

"Oh, kau boleh ikut Todoroki-kun!" sambung Monika. "Ayahmu mengira kau masih harus diinterogasi. Namun, sepertinya lebih baik kau menjauh dari dia sekarang."

"Pak Tua itu pasti sedang tantrum karena tidak bisa menangkap Hero Killer," gumam Todoroki.

Monika menjentikkan jari. "Benar sekali!"

Dengan itu, mereka segera keluar dari rumah sakit. Lalu menunggu bus yang akan membawa mereka ke toko barang antik Nikky.

***

Dapur The Hourglass penuh.

Dorothea duduk diapit oleh Izuku dan Shinsou. Todoroki duduk disamping Anak berambut ungu itu. Diikuti Nikky, lalu Monika. Aizawa memutuskan berdiri. Tujuh cangkir teh yang masih berasap tersuguh di meja.

"Ini informasi sensitif," kata Nikky. "Kalian harus bersumpah untuk tidak membocorkannya. Atau kami harus menghapus memori kalian."

Aizawa dan Todoroki tampak terkejut. Tetapi mereka mengangguk. Shinsou mendekatkan bibir ke telinga Dorothea.

"Aku tidak ingat kau bercerita soal bagian 'menghapus pikiran' kepadaku."

Sang gadis tertawa canggung. Namun, memutuskan tidak menjawab.

Nikky mulai bercerita. Semuanya mirip video pengenalan standar Children of Earth. Suara Nikky pasti dan mantap. Sudah paham betul soal organisasi yang dia ikuti seumur hidupnya itu. Sesekali, Monika ikut menyeletuk. Menggaris bawahi beberapa poin.

Dorothea jadi ingat saat pertama kali dia diberi tahu oleh Avery dan Nikky. Bedanya, dia masih kecil waktu itu.

Aizawa dan Todoroki mendengarkan dengan seksama. Mata mereka semakin melebar semakin banyak informasi yang diterima.

Terlebih ketika sampai ke bagian tentang Dorothea dan Izuku.

Aizawa menatap mereka berdua. Ekspresi kaget sangat tidak cocok di wajah yang biasanya lelah itu.

"Jadi, kalian berdua—"

"Calon pemburu monster dan hal abnormal? Yep."

"Kunci masuknya ratu para demon ke dunia manusia? Tepat sekali."

Aizawa seperti akan pingsan di tempat. Dia memijit pangkal hidungnya. Kerutan di wajah sang guru tampak semakin dalam.

"Aku pikir kalian itu 'aneh'. Tetapi ternyata kalian sudah jauh melewati batas itu."

Dua anak itu hanya bisa meringis.

***
.
.
.
.
.
.
.

A.N.:

Aizawa & Nikky : *bickering*
Monika : I ship.
Aizawa & Nikky : nO.

Mereka tsundere gaess...

Sorry lama. Ada banyak yang terjadi di rl. Tapi, semoga kalian suka chapter ini. See u next chapter!

Thank u for reading! :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro