Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28. Swift and Effective

Jantung Izuku berdetak kencang di rusuknya. Tubuh mati-matian dipaksa tetap berdiri. Tangan bergetar menggenggam erat Jadestaff.

Sementara pembunuh berantai di depannya mengawasi bak hewan buas.

Memberanikan diri, anak itu melirik ke Iida yang tergolek di tanah.

"Apa kau baik?"

"Tubuhku tidak bisa bergerak!"

Mata biru tua melirik. Kepada si pembunuh di dalam gang.

"Ini quirknya. Aku menjadi kaku setelah dia menusukku!"

Izuku ikut memandang Stain. Bahkan selagi keduanya berbicara, orang gila itu tidak bergeming. Malah mengamati. Tatapan mata merahnya membuat Izuky merinding.

Sementara itu, otaknya berputar dengan segala variabel.

Quirknya membuat tubuh paralisis?

Sial, sekali terkena sama saja dengan mati!

Ugh, kalau hanya Iida, aku bisa menggendongnya. Tetapi—ada Native juga!

Ayolah Izuku!

Pikirkan sesuatu!

Anak itu memaki diri dalam hati.

Kau biasa menghadapi demon!

Itu jauh lebih parah dari ini!

Dia hanya manusia!

Giginya menggertak. Keringat dingin meluncur di belakang lehernya. Pikiran Izuku berpacu cepat.

Detik lambat berlalu.

Masih tidak ada yang bergerak.

Dan suara pengkhianat di belakang otaknya berbisik.

Tapi—itu masalahnya, kan?

Dia manusia.

Lebih sulit diprediksi.

Tidak seperti demon dan insting mereka

"Dengar, bocah."

Suara Stain membuyarkan jalan pikirnya.

Sang Hero Killer menatap. Lalu mendecih. Memutar katana di tangan.

"Ini bukan saatnya bermain Pahlawan."

Mendengar kalimat itu—

Izuku tidak bisa menahan tawa.

Terselip begitu saja. Tanpa sadar. Hanya sebuah kekehan kecil.

Namun Stain tersentak.

Mata menyiratkan heran dari sela topengnya.

Waspada.

"Pahlawan?" Izuku mengulang. Berhasil menghentikan kikikkan.

"Aku bukan Pahlawan."

Stain tersentak. Lagi.

Posturnya yang bungkuk menegang. Tangan memegang bilah dengan kencang. Gigi menggeram. Suara seraknya kembali menyahut dari ujung gang.

"Lalu kenapa repot dengan dua orang palsu ini, nak?! Selamatkan dirimu sendiri!"

"Memang kau harus menjadi Pahlawan untuk membantu orang lain?" balas Izuku.

Nada suaranya tenang. Terlalu tenang. Sangat mengkhianati pikiran yang sebenarnya kalang kabut.

"Aku menolong mereka karena aku peduli! Aku tidak bisa membiarkan orang di hadapanku mati begitu saja!"

Hening.

Lagi.

Semua stasis ini mulai membuat Izuku gila.

Lalu—

Swutt

CLANG!

Pisau melesat. Tertangkis oleh Jadestaff.

Napas Izuku tersendat.

Nyaris!

Namun—belum selesai.

Stain muncul di samping Izuku. Mata hijau melebar.

Kapan dia—?!

Katana terayun. Izuku menunduk. Menjatuhkan diri dalam roll depan. Membuat jarak. Lalu berhenti dan berbalik. Tongkat terangkat—

CLANG!

—Beradu dengan bilah sempal pedang Stain.

"Heh, hahahaha! Kau boleh juga!"

Pedangnya yang lain menyerang dari samping. Izuku mendorong tongkat. Membuat Stain terjengkal. Dia memakai kesempatan itu untuk melempar tubuh ke belakang. Melakukan lenting. Sebelum mendarat di kaki. Kembali ke posisi bersiap. Moncong Jadestaff ditodongkan.

30%. Tembakkan.

Pusaran energi menembus udara—

—Dan Stain melompat kesamping.

Menghindarinya.

Mata Izuku membulat.

SIALAN—!

Hero Killer menggunakan tembok sebagai tumpuan. Melempar dirinya ke arah Izuku. Pedang berkilat ketika terayun dan—

CRAASH!

Izuku terlambat menghindar.

"AGH!"

Anak itu mundur. Memegangi luka di bahunya. Darah mengucur di sela jemari.

"Kurang cepat," ucap Stain. Nadanya menggurui. Seakan Izuku adalah bocah bermasalah.

Ada senyum miring di wajahnya. Dia mengangkat katana yang sekarang lebih merah ke mulut.

Lalu menjilatnya.

Dasar orang sinting.

"Sialan—kau—" decih Izuku. Meringis menahan sakit. Tangan yang bebas berusaha mengangkat Jadestaff.

Berusaha.

Itu kata kuncinya.

Mata hijau membulat ketika sadar bahwa tangannya kaku.

Seluruh tubuhnya kaku.

Izuku tidak bisa bergerak.

Tawa Stain sampai ke telinganya. Kasar dan nyaring. Penuh dengan ejekan.

"Bukankah temanmu tadi sudah bilang?" kata sang Penjahat. Senyum manik terpasang di wajah terdistorsi. "Quirkku bekerja membuat paralisis."

Quirk

Pikiran Izuku kalut.

Ini dia.

Aku akan mati.

Maaf Okaa-san, Otou-san, Dorothea-chan

"Siapa namamu?"

Pertanyaan dari Stain itu tidak disangka. Namun, secara refleks, Izuku menjawab.

"Midoriya Izuku."

"Aku harusnya membunuhmu sekarang, Midoriya Izuku."

Suara Stain kini memelan. Aneh.

Leher Izuku juga tidak dapat bergerak, tetapi dia masih bisa menggulirkan mata hijau untuk melihat orang gila di depannya itu.

Senyum Stain sirna. Terganti dengan ekspresi termenuh. Dahi mengerut khidmat. Air mukanya hampir mirip—

Sedih?

Apa-apaan?

"Kalau begitu lakukan, pengecut."

Stain tampak terkejut mendengar kalimat anak itu.

Bukan salahnya, Izuku sendiri kaget. Dia tidak tau darimana itu datang.

Keduanya saling tatap. Mata merah seakan menembus jiwa. Namun, Izuku tak goyah. Menatap balik ke mata itu dengan keras kepala.

Menantang.

Setelah semua yang dia alami, Izuku Kecil yang penakut sudah hilang.

Dia ini Pemburu.Walau belum resmi, dia sudah menghadapi demon, monster, dan makhluk lain yang jauh lebih buruk.

Sayang dia harus mati di tangan manusia. Yah itu tidak penting.

Bagaimanapun caranya, dia memilih gugur dengan kepala terangkat.

Namun, tanpa diduga—

Stain malah tertawa.

Izuku mendelik. Mulut ternganga. Dia bisa mendengar suara Iida dari jauh. Namun, pikiran hanya terpusat pada pembunuh berantai aneh di depannya.

"Ini—ini sebabnya!"

Stain mengatakan itu sembari memberi gestur ke Izuku dengan ujung pedang.

"Yang lain—orang yang menyebut diri mereka 'Pahlawan'—yang harusnya gagah berani melawan Penjahat, kebanyakan jatuh berlutut! Memohon agar diampuni! Menawarkanku uang, harta!"

Dia tertawa lantang.

Izuku sangat ingin melangkah mundur. Jika saja quirk sialan ini tidak menahannya.

"Tapi kau—kau yang masih remaja. Kau mau mencelupkan tangan ke urusan orang lain dan membantu mereka! Dan kau tetap teguh walaupun aku memegang nyawamu! Kau gila, nak!"

Tidak segila kau, pikir Izuku. Kemudian sedikit meringis.

Tapi, aku sepertinya sudah bisa dianggap tidak waras dalam standar normal.

Stain menggelengkan kepala. Ikatnya meliuk tertiup angin.

"Aku harusnya membunuhmu sekarang," kata Hero Killer itu.

"Tapi aku tidak bisa. Kau bibit yang bagus. Sayang jika kucabut."

Dia menarik pedangnya kembali ke sisi tubuh. Sekali lagi, manik hijau dan merah beradu. Masih tidak mau mengalah. Seringaian Stain melebar.

"Kau bilang, kau bukan Pahlawan," ucapnya. Dia berdehum kecil.

"Jika begitu kasusnya, dunia mungkin butuh lebih banyak 'Bukan Pahlawan' sepertimu."

Izuku menggeram marah.

Dia tidak butuh pengakuan dari seorang pembunuh berantai.

Stain berbalik. Pedang mengeluarkan bunyi melengking ketika menggores pavement. Dia berjalan ke arah mulut gang. Ke tempat Iida dan Native tergolek.

Oh sial, Iida dan Native

"Menjauh dari mereka!" jerit Izuku.

Stain menggeleng. Dia berhenti di samping Iida. Lalu kembali menghadap Izuku. Berdiri memunggungi mulut gang.

Bilahnya berkilat kejam di bawah cahaya rembulan.

"Mereka palsu."

Pedang terangkat. Ujung terhunus ke Iida yang terbaring tak berdaya.

"Tapi tidak masalah—"

Izuku merutuk dan memaki. Berusaha bergerak. Tetapi tubuh masih menolak mengikuti perintah.

"—Mereka akan jadi pengorbanan untuk dunia yang baru—!"

SREET.

Tangan Stain tertahan.

Mata merah membulat.

"Apa-apaan—? Benang?!"

Benang?

"Tujuan yang bagus, sire. Tapi eksekusinya buruk."

Stain berbalik. Menghadap ke sosok yang berdiri di mulut gang. Kepala Izuku tidak bisa fokus untuk mengenali mereka. Lukanya berdenyut-denyut.

Sementara itu, Stain menggertak.

"Siapa kalian—"

PRAAANG!

Sebuah vial kaca menghantam dan pecah di kepala Sang Hero Killer.

Cairan bening terciprat ke wajahnya.

Membuatnya ambruk seketika.

Diam.

Tidak ada yang bergerak.

Sampai salah satu orang di ujung gang angkat bicara.

"Oke, itu—sangat antiklimatis."

"Oh, maaf Candy Cane. Aku di sini untuk menolong temanku agar tidak terbunuh, bukan menghiburmu dengan pertunjukan!"

"Heyaku hanya bilang—"

"Sudahlah, kau tidak bisa menang soal ini."

"Lihat! Shinsou mengerti!"

Tiga suara yang saling bersahutan terdengar familiar.

Perasaan lega langsung membasuh Izuku.

"D-Dorothea-chan?"

Sosok yang paling pendek langsung menoleh. Dalam sekedip, dia sudah ada disampingnya. Mata emas berkilat dalam malam. Setidaknya, Izuku mengenali netra itu dimana-mana.

"You little motherfucker! Kau membuatku khawatir, you fucking twat!"

Ah, dan juga mulut kotor si gadis jika dia sedang panik.

"Oh, sial, kau terluka!" pekik Dorothea.

Gadis itu dengan hati-hati mengangkat tangan Izuku. Memeriksa bahunya dengan hati-hati.

"Tidak dalam," kata Dorothea. "Sepertinya tidak butuh jahitan."

Dia melepas syalnya. Lalu melilit kain itu ke luka Izuku. Si bocah hijau sedikit meringis ketika Dorothea mengencangkannya.

"Itu harusnya cukup," bisik sang gadis. "Oh, dan—"

Tangan hangat melingkupi Izuku. Membawanya ke dalam dekapan erat.

"Jika kau melakukan hal seperti ini lagi, aku akan membunuhmu."

Izuku tertawa mendengar ancaman itu. Tangannya mulai merasa regang. Sepertinya efek quirk Stain berakhir setelah dia pingsan. Jadi, Izuku balas memeluk Dorothea. Sebelum mereka berpisah dan saling melempar senyum.

"Terima kasih sudah menolong kami," ucapnya. Dia melirik ke tubuh Stain yang jatuh lemas. "Memangnya, apa yang tadi kau lempar?"

"Anestesi dari Monika." Dorothea meringis. "Itu sebenarnya untuk bahan ujimu, tetapi... sepertinya kau harus minta lagi."

Izuku tertawa. Dia menepuk pundak sahabatnya itu. "Tidak masalah. Sekarang, ayo kita bantu yang lain!"

Mereka mengecek keadaan Iida dan Native. Keduanya mengalami pendarahan dan Native mendapat luka di bagian kaki. Jadi, dia tidak bisa bergerak. Todoroki dan Shinsou memapahnya ke luar gang.

Sementara itu, Iida sudah bisa berdiri. Dia membantu Izuku menyeret Stain dengan tangannya yang sehat. Sementara tangan yang satu menggantung dengan luka cukup parah.

"Kau tidak apa?" tanya Dorothea. "Itu tampak sakit..."

Iida berjengit. "Aku baik, untuk saat ini."

Sang gadis skeptis dengan jawaban dari Iida itu. Tetapi hanya mendesah dan tidak mendorong. Dia memilih melihat Stain yang sekarang ada di posisi duduk bersandar pada sebuah tiang lampu. Lalu mengikatnya dengan benang yang cukup kuat.

"Baiklah, begini cukup." Dorothea berkacak pinggang. "Monika bilang obat bius ini dosis paling kuat, jadi sepertinya dia akan tidur lama."

"Aku sudah menghubungi ambulan," ucap Shinsou yang berjalan mendekat. Todoroki mengikuti di sebelahnya.

"Endeavor juga akan datang." Dia melirik sekitarnya. Tempat itu sepi. Sepertinya semua yang lain sudah dievakuasi. Dari jauh, asap dan api masih membumbung.

"Setidaknya, setelah mereka selesai dengan Nomu."

Izuku dan Dorothea bertukar pandang. Sang gadis menarik napas panjang.

"Ah, ini akan merepot—"

"Wah, wah. Ramai, ya?"

Suara baru itu membuat mereka terlonjak.

Tampak seseorang dengan jubah hitam mendekat. Tudung ditarik menutupi separuh wajah. Dari postur, sepertinya wanita. Dia bertepuk tangan pelan sembari melangkah. Di bawah lengan, terdapat tato yang sangat familiar.

Ouroboros.

"The Silent Hands," desis Dorothea.

Izuku menegang. Mata ungu Shinsou mendelik. Sementara dua anak yang lain kelihatan bingung.

"Ah, kau tidak perlu perkenalan, kalau begitu?" Sang wanita tersenyum lebar.

Izuku mengambil satu langkah maju. "Apa yang kau mau?"

"Hanya lewat. Aku bahkan tidak menyangka Sang Mata ada di sini!"

Dia melempar senyum ke Dorothea. Dingin dan ganas. Cukup untuk menggetarkan bulu kuduk.

"Kalau begitu, bagaimana dengan sedikit hadiah?"

Wanita itu mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah liontin. Kecil dan bulat. Berwarna emas dengan batu hitam kecil di tengah.

Mata Izuku langsung membulat. Dia mengenali benda itu dari waktu yang dia habiskan berjam-jam di bengkel Saiki.

"Tunggu dulu—!"

Terlambat.

Liontin itu dilempar. Pecah berkeping-keping.

Asap hitam pekat menguar dari batunya. Berkumpul dan meliuk. Lalu terpusat. Memadat dan membentuk tubuh besar. Bercakar dan bergigi tajam.

"Gigant!" Dorothea berseru. Mengingat demon yang satu itu dari salah satu buku Nikky. "Tapi—bagaimana bisa?!"

"Demonic Amulet," ucap Izuku sembari mendecih. Memberi gestur ke liontin rusak di tanah. Tangan menyiagakan Jadestaff.

"Benda itu bisa mereplikasi demon dari energi sihir. Walau tidak akurat."

"Oh, fuck"

"Ahahaha, selamat bersenang-senang, kalian!"

Wanita Berjubah tertawa tanpa dosa.

"Aku pergi dulu!"

Dia berlari menjauh. Pita melesat dari tangan. Mengangkatnya ke bangunan terdekat.

"Hei tunggu—!" Todoroki melangkah maju. Namun terhenti.

Demon raksasa itu mengaung. Kepalan besar terayun ke tanah.

"AWAS!"

Di detik terakhir, Shinsou berhasil menariknya mundur. Begitu juga dengan Dorothea. Sementara Izuku mendorong Iida ke samping.

Tepat sebelum cakar monster menghantam tanah.

Meremukkannya.

"Ini yang kalian hadapi tiap malam?!" pekik Shinsou panik. Dorothea menggeleng.

"Yeah." Dorothea meringis. "Bukan tier kami yang biasa, tapi—"

Gigant itu meraung lagi.

"Kalian pergi!" perintah gadis itu. Mata emas berkilat panik. "Bawa Natives ke tempat aman! Kami bisa mengatasinya!"

Protes langsung terlontar.

Namun, Izuku dan Dorothea sudah berlari. Mata hijau melirik ke emas.

"Siap, partner?"

"As I'll ever be."

Dorothea menghindari pukulan dari demon itu. Meluncur diantara dua kaki besar. Sebelum berdiri lagi di belakang monster itu.

"Izuku-kun!"

Jadestaff tertodong.

Tepat ke perut monster.

80%. Tembakkan.

BLAAST!!

Dentum keras terseru. Energi menyeruak di udara. Memukul sang demon. Monster itu menggeram keras. Terhuyung. Kakinya bergetar. Dia terjatuh ke belakang.

Tangan Dorothea terayun.

Benang terlibas di udara.

Memotong.

Gigant itu jatuh ke tanah. Tanpa kepala. Membuat hempasan besar. Sebelum menghilang menjadi asap. Menyisakan retak besar di batu jalan.

"Huh, menghilang?" gumam Dorothea.

Izuku mengangguk. "Yeah, ini bukan demon asli. Hanya kopian."

"Ah..."

"APA-APAAN ITU?!"

Suara Iida menyentak mereka berdua. Kini berpaling pada tiga teman yang tampak kebingungan. Ralat, dua teman. Shinsou hanya tampak lelah.

"Kalian tahu..." Shinsou berjalan ke Izuku. Menepuk pundaknya. "Pada titik ini, aku yakin sifat kalian ini tidak bisa disebut waras."

Izuku terkikik. "Percayalah, kami tahu itu."

"A-apa yang—" Todoroki masih tampak terguncang. Mata lekat pada tempat monster tadi jatuh.

"Kalian mengalahkan makhluk itu dengan sangat cepat."

"Sudah kubilang, kami di sini bukan untuk pertunjukkan." Dorothea menyilangkan tangan. "Kami menghadapi masalah dengan ringkas dan efektif. Lebih cepat lebih baik."

"Kami?" Iida membeo. "Siapa 'kami'? Kau dan Izuku?"

Dorothea, Izuku, dan Shinsou saling lirik. Seperti berkomunikasi dalam diam. Ketiganya tampak ragu. Sementara Todoroki dan Iida tampak bingung dan tersesat.

"Well." Dorothea menggaruk kepala. "'Kami' itu—"

"Apa yang terjadi di sini?!"

Suara baru membuat mereka semua menoleh. Melihat tiga pendatang yang mendekat. Dua memasang wajah heran dan khawatir. Satu tersenyum lebar.

Yang tersenyum tentu Monika. Nikky mengikuti di sebelahnya. Sementara, di belakang mereka—

"Aizawa-sensei?" gumam Todoroki.

Guru itu mendesah panjang. Mengurut kening dengan jari jempol dan telunjuk. Wajah tegas ketika memandang siswa-siswa U.A. di depannya.

"Sebaiknya seseorang menjelaskan semua ini."

Anak-anak itu meringis.

Mereka sepertinya dalam masalah.

***

A.N. :
Aaaaa... maaf sudah menunggu lama :"(

Banyak hal terjadi akhir-akhir ini. Aku jadi tidak bisa up cepat. Sekali lagi. Aku minta maaf!

Seperti biasa,

Thank u for reading! :D

Oh, sedikit bonus... aku banyak melihat orang membuat gambar seperti ini dengan OC mereka. Jadi, aku ikutan hehehe

Btw, lambang di penghapus Tanaka itu referensi ke 'SCP field codes' (mengingat inspirasi Children of Earth) yang berarti 'alternate reality entered'.

Saat membuat tiga ini, aku berusaha membuat pose mereka dinamik. Bosan melihat diri sendiri menggambar OC yang berdiri anteng, hehehe.

As always, author bukan artist, maafkan gambar saya yang burik :")

Anyway, ini pertama kalinya aku memberi gambar Tanaka dan Hikaru, heh? Sayang sekali mereka akan tidak banyak muncul di Interweave. Karena aku ingin lebih fokus dan bersenang-senang dengan canon di sini. Kalau mereka masuk, aku takut kesannya memaksa. Sorry, you two. I still very much love them tho!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro