26. A Trip to Hosu
Mereka baru berangkat ke Hosu pada hari ketiga liburan. Menyamakan dengan jadwal fashion show yang harus diikuti Ayah Dorothea.
Akira dan Avery mengantar putri mereka, Izuku, dan Shinsou ke Hosu dengan mobil. Sebelum lanjut pergi ke kota lain. Ketiga anak itu langsung diturunkan di depan The Hourglass. Tempat Nikky dan Monika sudah menunggu.
"Kalau ada apa-apa, jangan segan hubungi Mom atau Dad, oke?"
"Yeah, Mom. Aku mengerti."
"Dan kalian berdua, jaga putriku baik-baik!"
"DAD!"
Wajah Dorothea memerah selagi kedua orang tuanya tertawa di dalam mobil. Sang gadis menggerutu. Namun, dia ikut tersenyum.
Keduanya mengucapkan sampai jumpa sekali lagi. Dorothea, Izuku, dan Shinsou melambaikan tangan mengiringi kepergian mereka.
Setelah mobil itu pergi dan menghilang di ramainya jalan raya, barulah ketiga anak berbalik. Disuguhi oleh bangunan The Hourglass yang bergaya eropa tua. Sangat kontras dengan toko lain di kanan kirinya.
"Ayo masuk!" ajak Dorothea. Mendahului kedua anak laki-laki.
Dia sampai di depan toko. Mengintip sebentar ke kaca etalase. Sebelum mendorong pintu terbuka. Kayu berderit mengiringi gerak engsel.
Toko itu masih berantakan seperti biasa. Dengan buku berdebu dalam rak serta benda kuno yang menempati semua permukaan rata yang ada di sana.
"Kau sudah memberi tahu kau akan datang, kan?"
Eins bertanya sembari menaruh jemari dingin di pundak anak perempuan itu. Sang gadis mengangguk.
"Nikky! Apa kau di sini??" teriak Dorothea. Berusaha tidak menginjak serangkaian patung atau kotak musik yang ada di lantai.
Terdengar gumaman dari lantai atas. Diikuti suara benda jatuh dan rutukan keras yang membuat ketiga anak terlonjak.
"Nikky? Kau baik?"
"Give me a sec, kit!"
Terdengar derap langkah menuruni tangga. Lalu pintu di belakang meja kasir terbuka. Ada Nikky berdiri di ambangnya. Rambut hitam agak sedikit kusut. Ada debu di sweater rajut yang dia kenakan.
"Ugh, maaf soal ini. Aku baru berusaha merapikan gudang atas."
Dia menunduk dan menepuk-nepuk pakaiannya. Merapikan kerut dan kotoran yang menempel. Sebelum Nikky kembali menegakkan tubuh. Mata hijau-biru langsung terarah ke Shinsou.
"Hmm, jadi ini Shinsou Hitoshi? Namaku Nikky Ito, salam kenal."
Anak yang disebut menelan ludah.
"A-ah, senang berkenalan denganmu, Nikky-san," ucapnya diikuti membungkuk.
"Likewise." Nikky menutupi mulut yang terkikik kecil.
"Dorothea dan Izuku banyak bercerita tentangmu. Mereka bilang, kau calon Pahlawan?"
Shinsou mengangguk. "Yeah, itu—itu sebabnya kami di sini—"
"Oh, tenang! Kit sudah menjelaskan semuanya!"
Wanita yang lebih tua itu menyeringai. Dia melangkah anggun di tengah benda yang berserak di lantai. Seakan sudah paham betul dimana harus berpijak. Dengan mudah, Nikky melewati Shinsou, Izuku, dan Dorothea. Kembali di dekat pintu.
Dia menaruh tangan pada gagangnya. Sebelum menoleh kepada anak-anak tadi. Seringai terpulas di wajah.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Monika sudah menunggu di tempat latihan!"
Tanpa basa-basi, trio itu langsung mengikuti Nikky keluar.
***
'Tempat latihan' yang dimaksud tampak seperti gedung kantoran biasa.
Saat masuk, isinya mirip gedung kantoran biasa juga.
Bilik-bilik diisi dengan pekerja. Banyak tumpukan kertas dan beberapa mesin printer. Semua orang sibuk. Mengetik di komputer, bicara di telepon, atau berlarian kesana kemari dengan map berisi dokumen. Sesekali ada yang menyapa Nikky, Dorothea, atau Izuku. Sepertinya mereka sudah sering kemari.
Ini tidak seperti yang Shinsou bayangkan.
Selagi mereka berjalan dibelakang Nikky melewati bilik, anak berambut ungu itu mendekat ke Dorothea. Kemudian berbisik.
"Apa kita—"
"'Salah tempat'?" sambung gadis itu. Seakan bisa membaca pikirannya. Dia terkekeh kecil.
"Tidak, kita tidak salah tempat, kok," jawab Dorothea santai. Dia memberi gestur ke para pekerja di sekitar mereka.
"Orang-orang ini adalah bagian dari Order of Fabulist."
"Fabulist?"
"Mereka yang bertugas menutupi aktivitas The Children," celetuk Izuku. "Cover up, menghapus pikiran, semacam itu."
"Oh... tapi—itu tidak menjelaskan kenapa kita ada di kantor mereka."
"Ini fasilitas multifungsi."
Jawaban Nikky membuat ketiga anak mengangkat kepala dari pembicaraan mereka. Tanpa sadar, mereka berempat sudah sampai di sebuah pintu kayu.
"Kita ada di bagian kantor, sementara di balik ini—"
Nikky mendorong pintu terbuka.
"Selamat datang di Fasilitas Pelatihan Children of Earth."
Ini baru 'tempat latihan' yang cocok.
Tampak sebuah ruang luas. Ada beberapa tikar yang disekat untuk tempat latihan beladiri satu lawan satu. Beberapa samsak tergantung. Ada pula peralatan gym di sisi lain ruangan. Lengkap dengan sebuah dinding yang penuh dengan berbagai macam senjata.
Namun, bukan itu yang membuat Shinsou melongo.
Ruang itu memiliki beberapa pintu yang mengarah ke ruang lain. Beberapa memiliki kaca besar sehingga isinya terlihat.
Ada ruang berisi simulasi area hutan dan perkotaan. Mirip sekali dengan milik U.A. yang biasa dipakai untuk latihan Prodi Pahlawan. Ada pula shooting range untuk latihan menembak. Itu hanya beberapa yang terlihat. Masih ada pintu lain yang jauh dari mereka.
"Tidak mungkin," bisik Shinsou. Masih terpana. Dia melirik ke Nikky yang hanya tersenyum kecil.
"Bagaimana bisa semua ini ada di satu gedung?"
"Pseudospace."
Suara baru memasuki percakapan mereka. Seorang wanita berambut pirang berjalan mendekat. Tangannya tersaku di jaket kulit. Di lehernya terkalung dog tag yang berkilat di bawah lampu biru ruangan itu.
"Tempat ini dibuat di luar dimensi. Semacam dimensi kantong. Orang kami menyebutnya pseudospace," jelas wanita itu.
Fokusnya beralih pada kelompok mereka. "Yo. Nikky, kiddos!"
Dia menyapa ketiganya dengan salutan. Sebelum mata biru mengarah ke Shinsou.
"Ah! Dan kau pasti Shinsou!"
Si wanita tersenyum. Lalu membungkukkan badan dengan dramatis.
"Monika Ashling, siap melayani!"
"Senang berkenalan denganmu," ucap Shinsou. Membungkuk dengan lebih wajar. Monika tertawa.
"Rileks, nak," ucapnya. "Santai saja denganku. Aku bukan Nikky—"
"Hei!"
"—Dan aku dengar kau ingin berlatih, hmm?"
"Ya," jawab Shinsou. "Walaupun hanya sedikit, aku mohon bantuannya!"
Monika terkekeh lagi. "Heh! Aku suka semangatmu! Kudengar kau ingin menjadi Underground Hero? Melawan Penjahat yang tidak ada di publik?"
Shinsou mengangguk mengiyakan. Dia memang merasa lebih cocok di lingkungan itu. Mendukung untuk quirknya juga.
"Kalau begitu, kau akan sangat sering mengejar kriminal di perkotaan saat malam hari, huh?"
Si purplenette mengangguk lagi.
Senyum lebar muncul di bibir Monika. Ada kilat jenaka di matanya.
"Bagaimana kalau kita mulai dengan parkour?"
***
Monika dengan ceria menarik Shinsou ke salah satu ruang berisi area untuk berlatih parkour. Tempat itu berisi berbagai rintangan untuk berlatih dasarnya.
Sementara itu, Izuku sudah hilang entah kemana. Dorothea menebak dia sudah pergi ke bagian R&D gedung itu. Dia juga membawa Jadestaff hari ini. Mungkin dia berniat ingin mengeceknya lagi. Atau mungkin hanya mencari sesuatu untuk diledakkan.
Sang gadis sendiri duduk bersama Nikky di salah satu bangku di ruang yang sama dengan Shinsou. Matanya memerhatikan Monika mulai mengajari dasar gerakan kepada kawannya itu.
"Apa ada perkembangan?" tanya Dorothea pada Nikky.
"Soal The Silent Hands, maksudku."
"Belum," ucap wanita itu. Jemari memilin rambut hitam panjangnya.
"Jujur, kalau memang yang dikatakan Ando benar—entahlah. Rasanya sulit membayangkan The Silent Hands bergabung dengan organisasi lain."
"Mungkin itu karena mereka tinggal sedikit." Dorothea berspekulasi. "Jadi, mau tidak mau, mereka terpaksa harus berkerja sama dengan League of Villain."
Nikky mengangguk. "Itu kemungkinan terbesar. Operasi Scrouge Healer sudah menghabisi mereka semua."
"Kuharap kita cepat menemukan sisanya."
"You and me both, kit."
Mereka kembali memperhatikan Monika dan Shinsou.
Yang perempuan sedang mengajari bagaimana cara melakukan safety vault—melompat di atas objek dengan tumpuan satu tangan dan satu kaki. Dia memperagakannya satu kali. Shinsou mengikuti. Berhasil dalam percobaan pertama.
Nikky bersiul.
"Impresif," pujinya. Dia tesenyum pada Dorothea. "Jauh lebih baik daripada kau dulu."
"Hei! Apa maksudnya itu?!" protes si rambut merah. Pipi menggembung. Sementara Eins terkikik disampingnya.
Nikky tertawa. Mengacak rambut anak itu. Ya, walaupun mereka tidak sedarah, dia selalu menganggap keluarga Tuning keluarganya. Begitu juga dengan Monika.
"Rasanya baru seperti kemarin, hmm," ucap Nikky bernada nostalgik.
Dia masih ingat mata emas yang menatap bingung. Masih muda waktu itu. Dia ingat mengajari Dorothea kecil melempar pisau. Masih menancap jauh dari sasaran. Dia kadang tidak percaya anak yang sama sekarang bisa membidik kepala demon dengan akurasi yang mematikan.
"Kau sudah banyak berkembang, kit."
"Tentu saja!" ucap Dorothea bangga. Dia tersenyum lebar. Mata emas menatap Nikky dengan kilat gembira.
"Aku punya mentor-mentor yang hebat, kan?"
Bibinya itu tertawa. Kembali mengelus kepala sang gadis dengan sayang.
"Sejak kapan mulutmu jadi manis begini, heh?"
Dia berdiri. Melempar pandangan ke Monika yang menyoraki Shinsou ketika anak itu melakukan roll depan dengan benar.
"Sebaiknya aku mendekat." Mata heterokrom kembali menatap Dorothea. "Kau ikut?"
"Nope." Dia melibaskan tangan. "Secara teknis ini bukan hari latihanku. Aku dan Eins disini saja."
Jari telunjuk terarah ke ruang kosong disampingnya. Nikky terkekeh. Memberi anggukan ke tempat yang ditunjuk. Sebelum berjalan untuk membantu Shinsou dan Monika.
***
"Tujuh menit tiga puluh dua detik!"
Nikky dengan semangat menunjukkan angka di stopwatch yang dia bawa.
"Tidak buruk untuk percobaan pertama, boyo!"
Setelah mencoba dan mengulang beberapa dasar parkour, Shinsou ingin mencoba melakukan satu obstacle course yang ada di sana. Ternyata, otak anak itu cukup cepat mencerna informasi. Dia sampai di ujung arena dengan cukup piawai.
"Masih ada tempat untuk peningkatan. Ayo kita istirahat sebentar," gumam Nikky. Dia menyilangkan tangan lalu melirik ke anak berambut ungu itu.
"Selain parkour apalagi yang ingin kau pelajari?"
"Eh?" Shinsou tersentak. Dia menggaruk kepala.
"Entahlah, aku belum berpikir jauh. Mungkin olah raga sedikit untuk membangun otot. Dan—er, mengembangkan quirkku?"
Kedua wanita itu mengangguk. Ketiganya berjalan kembali ke bangku di sudut ruangan. Dorothea tidak ada di sana. Tadi sempat menjerit bahwa dia akan membelikan minum.
"Soal yang pertama, kami punya gym," ucap Monika. "Tapi kalau yang kedua..."
Dia dan Nikky saling bertukar pandang. Shinsou merasa keduanya sedang bicara tanpa mengucapkan satu patah kata. Sebelum kembali menoleh padanya.
"Soal quirk, kami tidak bisa banyak membantu," kata Nikky.
"Huh?"
"Bagaimana ya..." Monika menggaruk kepala. "The Children, tidak terlalu peduli soal quirk."
"Tidak seperti Pro Hero," sela Nikky.
"Standar kami bukan 'basmi demon dengan quirk' tapi 'basmi demon dengan senjata'." Wanita berambut hitam itu menjelaskan sembari mengangkat bahu.
"Dan hampir semua orang bisa belajar memakai senjata."
"Selain itu, tidak semua quirk cocok untuk memburu demon." Wanita yang berambut pirang menyahut. "Milikku hanya bekerja untuk manusia dan hewan."
"Dan bagi pemilik quirk yang cocok, mereka biasanya berlatih sendiri. Dorothea misalnya," jelas Nikky. Dia duduk di bangku dan menyilangkan kaki.
"Itupun tidak membuat dia berhenti membawa pisau kemana-mana."
Shinsou terpaku.
Itu benar. Dia ingat insiden dengan Kuba Hisao. Dorothea membawa pisau lempar waktu itu. Bahkan lebih dari satu.
Dia juga ingat pernah sekali, di kafetaria, saat Shinsou membeli apel. Gadis itu menawarkan untuk mengupaskan. Lalu dengan santai menarik keluar pisau. Seakan dari udara kosong.
"Yeah, aku tahu..." gumam Shinsou.
Monika terkikik. "That's my girl!"
Nikky ikut terkekeh. Setelah tawanya mereda, dia menatap langit-langit dan mendesah.
"Pemburu—terutama Paladin—berbeda dengan Pahlawan, kami tidak perlu quirk yang flashy. Secara teknis kita bahkan tidak perlu quirk. Asalkan kami punya metode yang efektif, tidak masalah."
"Hah, seandainya semua bisa bekerja seperti itu," gumam Shinsou.
"Pfft, tenang saja!" ucap Monika. Dia mengacak rambut Shinsou. Membuat surai ungu anak itu lebih berantakan dari sebelumnya.
"Jika para Pahlawan itu cukup bodoh untuk tidak menerimamu, kau bisa menjadi Paladin!"
"Yeah, kita butuh lebih banyak tangan sekarang." Nikky berujar diikuti tawa datar.
Sebelum Shinsou sempat menjawab, langkah kaki bergema mendekati mereka. Dorothea datang dengan menenteng kantung berisi tiga botol air mineral.
"Ah? Kalian sudah selesai?" tanya sang gadis. Dia membagikan air. Shinsou mengucapkan terima kasih, lalu langsung menenggaknya.
"Lelah?" goda Dorothea.
"Yeah, tetapi tidak seburuk yang aku pikir," balas Shinsou sembari mengusap peluh di jidatnya.
"Ngomong-ngomong, dimana Izuku?" Shinsou menaikkan alis. Dorothea mengangkat bahu.
"Aku bertemu dengannya di lorong. Membawa tas Jadestaff. Dia bilang dia harus keluar untuk membeli beberapa onderdil lain."
"Oh, ngomong-ngomong soal lil' bush!"
Monika merogoh saku celananya. Menarik keluar sebuah vial kecil dari kaca. Berisi air jernih.
"Berikan ini padanya, oke?"
Dia menaruh vial itu di tangan Dorothea. Sang gadis mengangkat alis.
"Apa ini?"
"Cairan dari quirkku! Itu dosis yang tinggi. Izuku ingin menelitinya."
"Ew, bodily fluid," dengus sang gadis dengan jijik. Namun, dia dengan patuh memasukkan botol kaca kecil itu ke tasnya.
Shinsou hanya memiringkan kepala. "Apa sekarang kita menyusul Izuku?"
"Yeah, kita bisa menyusulnya. Atau bertemu di satu titik kumpul? Mungkin restoran? Kita memang belum makan..."
Bunyi keruyuk dari perut Shinsou membuat wajahnya memerah.
"Makan malam tidak terdengar buruk."
Dorothea menutupi tawa dengan lengannya. Nikky menepukkan tangannya sekali.
"Baiklah! Ini memang sudah sore. Sepertinya sudah cukup untuk hari ini." kata wanita itu sembari tersenyum. "Oh! Dan dimana kalian—"
"Dad memesankan tiga kamar di hotel kecil dekat sini," sela Dorothea.
"Bagus! Kalau begitu, istirahatlah," ucap Monika dengan seringaian lebar. Dia menepuk pundak kedua anak itu.
"Menjadi calon Pahlawan atau Pemburu tidak menghapus hak kalian untuk menjadi remaja." Si Rambut Pirang itu menyeringai.
"Kalian boleh bersenang-senang sedikit!"
"Mungkin bukan 'bersenang-senang' dalam kamus Monika. Itu hanya akan berakhir dengan arson."
"Shut your goddamn mouth, Nikky."
***
Di atas tank air di salah satu bangunan Hosu, asap hitam berspiral. Melebar dan membesar. Merembak di kekosongan udara sekitarnya.
Seseorang melangkah keluar dari asap itu.
Tepat di belakang seorang pria dengan topeng kain dan syal merah yang tercabik. Katana dengan bilah penuh sempal terpasang di punggung. Sementara mata tajam fokus ke kota di bawah. Tidak peduli pada laki-laki berambut biru muda yang muncul di belakangnya.
"Kota Hosu terlihat lebih baik daripada dugaanku, ya," ucap Shigaraki Tomura kepada orang yang memunggunginya.
Pembunuh Pahlawan.
Stain.
"Lalu apa yang akan kau lakukan."
"Aku akan memperbaiki kota ini."
Jawaban dari sang Hero Killer itu penuh dengan keyakinan.
"Demi melakukan itu, aku butuh lebih banyak korban."
"Apa ini yang kau maksud tempo hari? Saat berkata punya urusan di sini?" tanya asap hitam yang kini sudah kembali berbentuk humanoid—Kurogiri.
"Aku tahu kalian ini orang yang mengerti." Stain berdiri dari duduknya.
Shigaraki mulai menggaruk lehernya lagi. "Apa yang coba kau katakan tentangku?"
"Pahlawan itu gelar yang hanya diberikan pada pelaku perbuatan besar."
Stain mengatakan itu dengan membentangkan tangan. Angin meniup ujung topeng kain yang terikat di kepalanya.
"Terlalu banyak... orang yang berlagak seperti Pahlawan namun memuja uang."
Orang itu menggenggam gagang katana.
"Sampai dunia ini menyadari kesalahannya—"
Dia melompat turun.
Pedang berkilat di tangan.
"Aku akan terus muncul."
Dan dengan itu—
Stain pergi. Meninggalkan tiga orang yang masih berdiri di atas tank air.
"Dia bicara sombong seperti itu," gumam Shigaraki. Kuku menggaruk leher kasar. "Tapi dia hanya melakukan perbuatan yang remeh."
"Dia sangat berani, sampai membuatku menangis."
Tanpa melihat ekspresi di balik sepotong tangan yang ada di kepalanya, kalimat itu sudah jelas penuh dengan sarkasme.
"Kau tidak bisa meremehkannya seperti itu," ujar Kurogiri.
"Kenyataannya, di semua kota tempat Stain pernah muncul, angka kejahatan telah menurun. Beberapa kritikus bilang, ini meningkatkan angka kesadaran Pahlawan. Namun dia tetap akan diburu."
"Itu indah sekali." Shigaraki berhenti menggaruk. "Para Pahlawan berjuang keras heh? Jadi, Pembunuh Pahlawan juga Pembiak Pahlawan, ya?!"
Suara pria itu meninggi. Hiteris dan manik. Sebelum jatuh lagi menjadi geraman.
"Terlalu berbelit-belit." Dia bersedekap. "Rupanya kita tidak bisa saling setuju. Dia juga membuatku jengkel."
Dia melirik pria asap disampingnya. "Kurogiri—"
"Bawa para Nomu keluar."
Portal hitam kembali terbuka di bawah tank air.
Tiga makhluk keluar. Satu bersayap. Dua yang lain mirip raksasa dengan tubuh kekar. Otak ketiganya terlihat jelas di kepala. Tanpa kulit atau tengkorak yang menutupi.
Shigaraki tertawa. Serak dan panjang. Sebelum dia berbalik. Melihat sesosok bertudung yang dari tadi diam. Malah duduk dan mengayunkan kakinya. Mulutnya menggumamkan melodi kecil.
"Ey, kau! Dari tadi tidak melakukan apapun. Kenapa kau ikut—"
"Hanya penasaran."
Suaranya tinggi. Perempuan.
Dia bangkit. Menatap ke bawah. Tudung menutupi mata. Tangannya terulur.
Dari telapak, seutas pita melesat.
Terikat pada sebuah tiang besi di bangunan lain.
"Aku akan jalan-jalan. Melihat kekacauan yang kau buat."
"Hah!" Shigaraki melempar pandangan.
"Bersiaplah untuk takjub kalau begitu, Seren."
Wanita itu terkekeh.
Lalu berayun turun.
***
.
.
.
.
.
.
.
A.N. :
This is going to be... interesting.
Ingat, canon-divergence. Dan aku akan banyak mengambil creative liberty lmaoo.
Hope u enjoy this chapter!
Thank u for reading! :D
Bonus :
Fantasy AU! Niatnya cuma mau bikin Dorothea. Tapi keterusan (Pertama kali bikin fanart karakter canon. Maaf skill pas-pasan.)
Anggap saja setting gambar itu sesudah Manuscript 8 : Questing. Dorothea dan Izuku diundang ke pesta yang sama or something.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro