25. An Offer and A Plan
Seminggu dilewati dengan damai oleh Dorothea dan Izuku.
Itu berarti hanya belajar. Bersekolah seperti biasa. Tidak ada event besar seperti Festival Olahraga atau acara menemukan Pro Hero sekarat di gang sempit.
Namun, mereka masih memburu demon tier rendah tiap malam.
Yah, 'damai' dalam kamus dua anak itu memang agak berbeda.
Tetapi, seperti yang sudah disinggung, satu minggu terlewati tanpa ada masalah besar baik itu menyangkut sekolah atau The Children. Semuanya aman dan tenang.
Sampai mereka dipanggil ke ruang kepala sekolah.
Itu sangat tiba-tiba.
Pada jam pertama—matematika bersama Ectoplasm—Present Mic tiba-tiba mendobrak pintu kelas dengan tidak etisnya. Menarik Izuku, Dorothea, dan Shinsou. Sementara anak lain saling berbisik dan bertukar pandang heran.
Awalnya, Dorothea senang karena tidak harus menghitung fungsi limit. Namun, kesenangan itu terhapus ketika sadar bahwa wali kelas mereka itu menggiring ketiga anak untuk menemui Nezu.
Melihat tikus itu tersenyum riang jujur membuatnya agak merinding.
"Apa kau melakukan sesuatu?" tanya Eins. Setia melayang disampingnya.
Dorothea tentu tidak bisa menjawab. Hanya mengigit bibir. Mata emas memperhatikan orang—hewan?—di depannya. Sementara mata hitam Nezu yang tampak seperti kelereng mengamati balik. Seakan menelaah informasi hanya dari penampilan ketiga anak Prodi Umum itu.
"Jadi... kenapa kita di sini?" tanya Dorothea pelan.
Nezu berdehum. Jari berbulu putih saling tertaut.
"Kami punya tawaran untuk kalian."
Dia duduk di kursi ruang kepala sekolah sembari tersenyum. Mengatakan kalimat tadi dengan wajah ceria.
Sementara itu, Izuku, Dorothea, dan Shinsou hanya saling pandang.
"Err, boleh kami dengar dulu apa?" tanya Dorothea. Nadanya pelan. Ini memang pertama kali dia bertatap muka dengan Bapak—tikus?—Kepala Sekolah mereka itu.
"Selalu hati-hati, Miss Tuning." Senyum Nezu semakin melebar. "Aku suka itu."
Tangan—cakar?—kecil Nezu terlipat di meja. Dia mencondongkan tubuh sedikit. Mengamati tiga anak di depannya bergantian.
"Apa kalian mau ditransfer ke Prodi Pahlawan?"
Diam.
Mata tiga-tiganya melebar.
Memproses perkataan Nezu.
Tidak ada yang berkutik.
Dorothea yang pertama menjawab.
"Terima kasih, tetapi aku menolak."
Sepertinya tidak ada yang terkejut dengan keputusan gadis rambut merah itu. Namun, dia tetap menggaruk kepala dengan canggung.
Matanya menatap ke Eins yang melayang di belakang kursi kepala sekolah. Menampilkan sebuah senyum kecil.
Mengingatkan Dorothea akan kelebihannya. Akan statusnya.
Dorothea turut tersenyum.
"Aku punya peran lain yang harus kumainkan."
"Begitukah?" tanya Nezu. "Baiklah, bagaimana kalau kalian berdua?"
Izuku terpaku. Pandangan terlempar jauh selagi otaknya berkecamuk. Dia benar-benar masih berusaha menerima semua informasi itu di kepalanya.
Dia masih tidak percaya.
Dia Izuku.
Quirkless.
Dan disinilah dia.
Diberi tawaran untuk menjadi calon Pro Hero di Sekolah Pahlawan paling terkenal seantero Jepang.
Izuku merasa sangat bangga pada dirinya sendiri.
Rasanya seperti menunjukkan semua orang kalau dia bisa. Kalau dia pantas. Bahkan tanpa quirk sekalipun.
Tetapi—
Dia bisa berada di posisi ini bukan karena dia ingin menjadi Pahlawan.
Tidak lagi.
Dia berlatih. Dia menjadi lebih kuat, lebih pintar, karena alasan lain.
Dia mengingat waktu yang dihabiskan membaca buku demonologi. Hari yang dilewati dengan berlatih menggunakan senjata. Dan malam-malam yang terlewat selagi dia mengejar monster yang tidak diketahui masyarakat umum.
Dia berlatih untuk melindungi semua orang dari hal yang lebih buruk daripada Penjahat.
"Aku... juga harus menolak."
Dia menatap Nezu. Sementara si Kepala Sekolah memiringkan kepalanya.
"Kalau kau bertanya pada Izuku yang dulu, dia pasti akan langsung menjawab 'iya'. Tapi... sekarang kasusnya berbeda."
Dia melirik ke samping. Senyum simpul Dorothea cukup untuk membuatnya terkikik.
"Aku juga punya peran lain sekarang."
Let the limelight Hero in the light,
Underground Hero in the dark,
While The Children in the abyss.
"Ohoho! Dua penolakan! Ini jarang sekali terjadi!"
Suara Nezu terlalu ceria untuk seseorang yang tawarannya baru saja ditolak. Tikus—beruang—apapun dia itu—kemudian melirik ke Shinsou. Yang masih tidak bergeming sedari tadi.
"Dan bagaimana denganmu, Shinsou-kun?"
Kini, giliran Shinsou yang berbicara.
"Aku—"
Namun, kalimatnya terhenti. Dia menuduk. Matanya menjadi sayu.
"Dengan quirk-ku—menurutmu... aku bisa?"
"Shinsou Hitoshi!"
Mendengar nama lengkapnya diserukan, si purplenette langsung mengangkat kepala. Dia berjengit sedikit ketika disuguhi wajah kesal Dorothea.
"Sudah berapa kali kita bilang? Quirkmu itu hebat. Dan kau pasti menjadi Pahlawan yang hebat," ucap Dorothea tegas. Giginya menggertak.
"Haruskah aku menulis itu di jidatmu agar kau selalu bisa melihatnya di depan kaca?"
"Eh? Tidak—!"
"Shinsou-kuuuun..."
Kali ini Izuku yang memanggil. Dia menoleh. Mata hijau Izuku tampak jauh lebih besar dan berkaca-kaca.
"Apa kau sebegitunya tidak percaya pada kami?"
"Ah! Bukan begitu maksudku—!Tolong jangan menangis—"
Dia mendesah. Berpikir sejenak.
"Menjadi Pahlawan memang cita-citaku dan—"
Anak itu beralih pada Nezu. Mata ungunya penuh dengan determinasi.
"—Sepertinya aku tidak bisa mengecewakan dua orang ini."
Izuku mengusap matanya dengan cepat. Ekspresi sedihnya langsung berubah menjadi seringaian lebar. Dia dan Dorothea saling bertukar fistbump. Kemudian tersenyum kepada anak rambut ungu itu.
"Bagus! Kau pasti bisa, Shinsou-kun!"
"Yep! Kami percaya padamu!"
"Kalian ini..."
Nezu menepukkan tangan. "Bagus! Bagus! Kalau begitu, kita harus membuat rencana. Aizawa sudah bersedia untuk melatihmu sebelum kau ditransfer."
"Aizawa-sensei—maksudmu Eraserhead?"
Shinsou tampak terpana. Bagaimanapun, Eraserhead adalah salah satu Pahlawan yang sangat menginspirasinya.
"Benar sekali!" Nezu tersenyum lebar. "Latihanmu akan dimulai sesegera mungkin. Sekarang kalian boleh kembali ke kelas!"
***
Begitu keluar dari ruang kepala sekolah—
Izuku dan Dorothea langsung membuang napas lega.
"Bloody hell, aku sudah berpikiran yang tidak-tidak," dengus sang gadis.
Shinsou menatapnya bingung. Perempuan berambut merah itu mengangkat bahu. Izuku malah menyeringai.
"Terakhir kali kami ada di ruang kepala sekolah, itu bencana."
"Hei! Tidak separah itu!"
"Kau nyaris memenggal Bapak Kepala Sekolah SMP kita, Dorothea-chan."
"That old fucker had it coming!"
"Oke, oke!"
Shinsou menengahi. Dia menggeleng. Untung saja dua anak itu hanya bertengkar sebagai candaan. Tidak pernah serius. Si purplenette tidak pernah membayangkan bagaimana jadinya kalau mereka serius.
Yang satu anak laki-laki genius yang membuat senjata di waktu luang dan satunya adalah gadis cenayang yang bisa memotong kepala orang dengan quirknya.
Belum lagi keduanya adalah calon anggota organisasi pemburu demon.
Kadang anak rambut ungu itu heran juga bagaimana dua orang ini bisa menjadi sahabatnya.
Sejak kapan hidupku jadi seaneh ini?
Maksudku, aku tidak akan menukarnya dengan apapun. Tapi tetap saja—
"Shinsou-kun? Halo? Earth to Shinsou?"
Anak itu tersentak dari lamunan. Izuku dan Dorothea memasang wajah geli ketika menatapnya.
"Ada apa? Masih terlalu bahagia karena akan pindah ke Prodi Pahlawan?"
Komentar itu membuat Shinsou tercekat.
"Astaga..." Shinsou tersadar.
"Ini—ini sungguhan. Aku—aku memang bisa menjadi Pahlawan—"
"Selamat Shinsou-kun!" puji Dorothea. Dia meringis.
"Jangan senang dulu, tho. Aizawa-sensei terlihat seperti orang yang memberikan latihan keras."
Wajah Shinsou memucat.
"Aku akan dilatih oleh Pahlawan idolaku—"
"Oh, sungguh?"
"—Dan aku akan mempermalukan diriku sendiri..."
"Hei, hei!" Izuku menyela. Wajah mengerut. "Kenapa tiba-tiba bilang begitu?"
"Aku sama sekali tidak punya pengalaman beladiri atau apapun!"
Alis anak berambut hijau menukik. "Kau pasti tidak seburuk itu..."
"Izuku, kau lupa? Kau bisa membantingku tanpa berkeringat!"
"Itu karena Izuku-kun sudah berlatih sejak kecil," komentar Dorothea. "Lagipula, bukankah poin dari 'latihan' adalah agar lebih baik?"
"Tetap saja...," ucap Shinsou nelangsa.
"Bagaimana kalau nanti mereka memutuskan aku tidak siap? Atau aku tidak cukup pantas?"
Dorothea berdecak. "Kau hanya paranoid."
Akan tetapi, melihat wajah lemas Shinsou, gadis itu agak sedikit kasihan. Dia melirik ke Izuku. Yang menatap balik dengan mata sama sedihnya. Sang gadis berdehum kecil.
"Bagaimana kalau kita ke Hosu?"
Shinsou kelihatan heran dengan ujaran yang sangat tiba-tiba itu.
"Hosu? Kenapa dengan Hosu?"
Dorothea melirik Izuku. Menepuk pundaknya sembari menyeringai. Sang grenette terlonjak sadar.
"Oh. Oh—!"
Dia turut menampilkan senyum lebar. Kedua anak itu lalu menatap Shinsou yang kelihatan semakin bingung.
"Kami dilatih di sana oleh dua bibi Dorothea," jelas Izuku. "Mereka pasti bisa membantumu juga!"
"Bibi?" tanya Shinsou. Menoleh ke si rambut merah. "Apa mereka—?"
"Yep! Mereka bahkan termasuk yang terbaik!" sela Dorothea sebelum anak ungu itu sempat menyebut Children of Earth.
"Kita punya dua minggu. Prodi Pahlawan sedang internship dan kita mendapat libur. Kupikir Eraserhead akan sibuk mengurus itu. Jadi, latihanmu pasti dimulai sesudahnya."
Izuku berspekulasi. Bergumam cepat dibalik napasnya. Tangan menggosok dagu.
"Kita bisa menggunakan fasilitas di sana. Nikky-san dan Monika-san pasti tidak keberatan. Berarti kurang metode pergi—"
"Aku bisa urus itu," ucap Dorothea.
"Ayahku akan menghadiri persiapan fashion show beberapa hari lagi. Dia pasti tidak keberatan jika kita ikut sampai ke Hosu."
"Bagaimana jika kita harus menginap sementara? Nikky hanya punya satu kamar tamu."
"Dad bisa memesankan kita hotel," jawab Dorothea santai.
Shinsou mendengus.
"Kadang aku lupa kau anak Takeshita Akira..."
"Haha, we trust in Dorothea-sama supremacy!"
"Izuku-kun, panggil aku begitu dan semuanya batal."
"Eh?! Maaf, maaf!"
Dorothea hanya menggeleng. Namun, senyum di wajahnya tidak menghilang.
"Kita bahas lebih detail nanti," ucap gadis itu.
"Sebaiknya kita ke kelas. Setelah ini pelajaran Bahasa Inggris, dan—tidak seperti Matematika—aku tidak mau melewatkan pelajaran itu."
***
Karena mereka terlalu bersemangat—
Mereka lupa bahwa mereka masih di depan kantor Nezu.
Kepala sekolah itu hanya tertawa. Tersenyum kepada dirinya sendiri.
"Anak-anak Prodi Umum memang sangat menarik tahun ini!"
***
Waktu makan siang datang seiring dengan bunyi bel. Seperti biasa, Izuku, Dorothea, dan Shinsou berjalan bersama ke kantin. Setelah memesan, mereka duduk di satu meja. Mengobrolkan tugas Sastra Jepang yang harus dikumpulkan besok.
Akan tetapi, pembicaraan itu berhenti sebentar dengan munculnya wajah yang familiar.
"Aku boleh duduk di sini?"
"Todoroki-kun!" sapa Izuku. "Silahkan! Lebih ramai lebih baik!"
Anak berambut merah-putih itu tersenyum. Kemudian duduk disamping Izuku yang berhadapan dengan Shinsou dan Dorothea.
"Jadi... kabarmu baik?" Izuku angkat bicara. "Bagaimana dengan Prodi kalian akhir-akhir ini?"
"Selain rencana internship besok, tidak ada yang menarik," kata Todoroki. "Oh, dan kami sudah memilih nama Pahlawan kami."
"Wow, sungguh? Apa milikmu?" tanya Dorothea.
Todoroki terpaku sebentar.
"Shoto."
Hening.
Tiga anak yang dari Prodi Umum saling bertukar pandang satu sama lain.
"Itu tidak kreatif."
"Dorothea-chan!"
Izuku melempar pandangan meminta maaf ke Todoroki. Si gadis hanya tertawa sebelum menggigit roti isi katsunya.
"Apa? Kalian pasti berpikiran sama!"
"Bukan berarti kau harus mengucapkannya keras-keras," kata Shinsou. Dia berpaling ke Todoroki.
"Tetapi dia benar. Nama Pro Hero-mu agak... membosankan."
Todoroki menelengkan kepala.
"Apa kalian punya saran?"
"Aku akan bilang 'Candy Cane'," canda Dorothea. "Tetapi sepertinya terlalu imut untuk personamu."
"Kita bisa menggunakan quirk sebagai inspirasi!" Izuku giliran berucap. "Seperti—Coldfire? Iceflame? Burning Snow?"
Shinsou terkekeh. "Bagaimana dengan Half and Half?"
"Todoroki itu manusia, Shinsou. Bukan kopi susu!"
Sang anak yang berasal dari Prodi Pahlawan hanya mengulum senyum. Sementara tiga yang lain berdebat tentang nama yang cocok.
Ternyata memiliki teman tidak terlalu buruk.
"Shoto namamu, kan?" tanya Shinsou tiba-tiba. "Apa tidak masalah menggunakan itu sebagai nama Pro Hero?"
Todoroki terlonjak. Kemudian mengangguk. "Nemuri-sensei memperbolehkan. Lagipula, bukan aku satu-satunya yang menggunkan namaku."
"Eh? Ada yang lain?"
"Ya." Anak setengah-setengah itu mengangguk lagi.
"Iida Tenya."
Dorothea langsung terdiam.
Mata emas melebar. Melempar pandangan ke Eins yang melayang disamping Izuku. Hantu itu melirik balik dengan mata mati yang paham.
"Maksudmu... adik Ingenium?" bisik Dorothea pelan.
Izuku tampak terkejut. Mata hijau mengamati sahabatnya selagi dia memainkan bawang bombay di gyudon-nya dengan sumpit.
"Aneh. Kau biasanya tidak tahu soal Pahlawan."
"Yang ini—berbeda." Gadis itu menelan ludah.
"Aku—bertemu dengannya."
"Oh?" Shinsou mengangkat alis. "Kapan? Dimana?"
Dorothea menunduk untuk melihat roti isi yang tersisa di pirinya.
"Di Hosu, saat hari Festival Olahraga."
"Oh? Benar, Iida langsung pergi hari itu tanpa naik ke podium. Kakaknya—"
Suara Todoroki memelan. Menoleh perlahan ke sang gadis yang berjengit. Air mukanya berubah terkejut.
"—masuk rumah sakit. Berita bilang, Ingenium—"
"Diserang oleh Stain."
Izuku memotong kalimat Todoroki. Masih mengamati sang sahabat. Ekspresi mulai bertanda khawatir.
"Jangan bilang—"
"Yeah..." Sang gadis meringis. "Aku yang menelpon ambulan untuknya."
"Dorothea-chan!"
"Astaga! Apa kau tidak apa-apa?!"
"Apa kau bertemu dengan Stain?!"
"Shush! Kecilkan suaramu!"
Perintah itu langsung membuat tiga anak laki-laki di depannya bungkam. Beberapa murid lain di luar meja mereka mengamati dengan penasaran ketika mendengar keributan. Sang gadis menghela napas.
"Aku baik. Dan tidak, aku tidak bertemu Stain. Hanya Ingenium. Dia sekarat waktu itu," jelas Dorothea singkat.
"Jujur, aku lebih khawatir tentang Iida-san."
"Kenapa?"
"Banyak hal," jawab Dorothea. Mengingat pada anak yang dia temui di rumah sakit. Tampak sangat bingung dan tersesat. Dan juga—
Marah.
"Dia kelihatan sangat sedih. Mungkin agak terguncang."
"Berarti... Pembunuh Pahlawan ada di Hosu, huh?" bisik Izuku. "Semoga kita tidak bertemu dengannya."
"Jangan jinx hal ini, Izuku-kun," dengus Dorothea.
Setelah itu, pembahasan beralih topik. Todoroki bertanya tentang tujuan mereka ke Hosu. Shinsou hanya menjawab 'liburan'.
Yah, kalau begitu, mereka harus bersiap-siap untuk 'liburan' ini. Nikky dan Monika bisa menjadi pelatih yang tegas jika mereka mau.
***
.
.
.
.
.
.
.
A.N. :
Yeah, aku masih hidup.
Chapter ini menolak untuk ditulis dan otakku loading ide lama sekali. Maaf...
But here it is! Semoga chapter ke depan bisa lebih cepat! Hosu Arc sudah dimulai!
Hope u guys enjoy!
Thank u for reading! :D
Bonus Nikky dan Monika! (a.k.a. Blacksmith dan Daydream) Rencananya mereka akan muncul di chapter depan :3
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro