22. Of Heroes and Hunters
"Sial!"
Dorothea merutuk. Segera berlutut di samping sang Pahlawan.
"Hei, kau bisa dengar?!"
Hening.
Rutukan Dorothea terdengar lagi.
Sang gadis meraih ponsel. Memanggil nomor darurat. Jantungnya berpacu.
Nada panggilan terdengar.
Angkat! Cepat angkat!
Tersambung. Dia hampir menangis mendengar operator.
"Ya! Aku butuh ambulan—"
"—Tempat? Di sebuah gang—"
"—Dekat Kafe Yukimura's, ya, Hosu—"
"—Seorang Pro-Hero, terluka—"
"—Pendarahan parah—"
"—Cepatlah, kumohon..."
Lalu panggilan selesai.
Fokusnya teralih. Mata emas menelisik luka di tubuhnya.
Luka tusuk.
Banyak luka tusuk.
Dia berdecih. Otaknya melaju. Mengingat latihan P3K yang sudah dia hapal.
Dalam.
Pendarahan parah.
Ada pisau yang masih menancap.
Jangan ditarik. Itu memperburuk.
Lukanya terlalu banyak. Aku tidak bisa menutupnya.
Aku tidak bisa melakukan apapun.
Sialan.
Sialsialsial—
"Bertahanlah," pinta Dorothea. "Bantuan segera da—"
Hawa dingin menyambarnya.
Napasnya tercekat. Dia mendongak. Netra emas menangkap sosok spektral melayang. Tepat di atas si Pahlawan.
Hantu?
Matanya terbelalak. Tersadar.
Bukan—
Tapi hampir jadi hantu.
Sosok itu tampak terkejut. Menatap Dorothea. Lalu tubuhnya. Dia menunduk.
"...Oh..."
"Tidak! Jangan menyerah dulu!"
Pahlawan itu menggeleng.
"...Tolong...bilang...adik...ku...Ten...ya..."
"Aku tak mau dengar!!"
Hantu itu terlonjak. Dorothea berjengit. Ekspresinya mengeras. Dia menggeleng kuat-kuat.
Si calon-hantu tampak sedih.
"...Ter...lam...bat..."
"BELUM! BELUM TERLAMBAT!"
Dorothea menjerit. Dia tidak peduli siapa yang mendengarnya.
"Apapun yang mau kau bilang untuk adikmu, kau harus mengatakannya sendiri, kau dengar!?"
Kenapa medis lama sekali?!
"Jadi jangan—jangan—"
Mati.
Kata-kata itu tidak keluar.
Tetapi si sosok mengerti.
"Hanya sebentar lagi," bisik Dorothea. "Bertahanlah."
Pahlawan itu mengangguk. Dan Dorothea sedikit merasa lega. Sosoknya semakin tak fokus. Hawa dingin di sekitar memudar.
Dan sirine ambulan terdengar.
"...Te...ri...ma...ka...sih..."
***
Waktu mengabur setelah itu.
Dorothea tidak ingat apa yang terjadi.
Suara ramai. Polisi dan ambulan datang. Orang bergerak dengan cepat. Dorothea yakin dia ditanyai sesuatu. Namun terlalu shock untuk menjawab. Tubuhnya mati rasa. Mukanya pucat. Dia ingat ketika dia turut masuk ke ambulan. Dia ingat ketika dokter memeriksanya. Memastikan dia baik.
Dan disinilah dia.
Di Hosu General Hospital.
Beberapa petugas kepolisian menghampirinya ketika dia sudah selesai diperiksa. Mengajukan pertanyaan singkat. Dorothea menjawab sebisa mungkin. Tapi suara mereka seakan teredam. Kepalanya kacau. Setelah mereka selesai, Dorothea bersandar ke dinding.
"Sepertinya kau harus duduk."
Suara Eins membuatnya tersentak. Dia menoleh. Merasakan hawa dingin dari tangan si hantu yang 'memegang' bahunya.
Si gadis mengangguk. Lidah terlalu kelu untuk membisikkan jawaban. Dia menemukan bangku dan segera duduk di sana. Berusaha memproses situasi mereka.
"Tubuhmu bergetar."
Ya, dia tahu. Dan itu bukan karena dingin.
Dorothea terbiasa dengan horor. Dia tidak asing dengan pemandangan mengerikan dan darah. Gore dan body horror itu hal yang wajar di kehidupan Children of Earth.
Dorothea bisa memenggal kepala banyak monster. Mengayunkan bilah dan menusukkan pisau. Dia bisa melakukan itu semua tanpa berkedip. Sekarang, membunuh demon senatural bernapas bagi sang gadis.
Tapi—
Tapi ini manusia.
Pahlawan.
Yang kemungkinan tidak bersalah.
Bukan demon.
Dorothea tidak pernah membunuh manusia. Belum. Dan dia tidak akan ragu melakukan itu kalau diperlukan. Terlebih jika orang yang mendapatkannya pantas.
Tetapi pada situasi ini? Apa Pahlawan di gang itu pantas?
Entahlah.
Dan melihat seluruh lukanya—
Dorothea bukan saint. Tapi dia tidak yakin dia bisa sekejam itu.
"Dorothea?"
"Hmm?"
Suara gadis itu tidak lebih dari sebuah gumaman.
"Aku bisa masuk dan mengecek keadaannya?"
Si gadis menggigit bibir. Berpikir sejenak. Sebelum memberi anggukan singkat dan menggumamkan 'terima kasih' di balik syalnya. Eins tersenyum. 'Mengelus' kepala si gadis sejenak sebelum menembus tembok.
Dorothea mendesah. Kembali larut pada pikirannya. Lalu teringat dia belum mengabari kedua orang tuanya di The Hourglass. Jadi, dia mengambil ponsel dan mengetikkan pesan. Memilih-milih kata agar ayah dan ibunya tidak panik.
Tepat ketika jarinya menekan tombol kirim, Seorang wanita dengan rambut hitam pendek dan kacamata berdiri di depannya.
Wajahnya murung. Tetapi dia memaksakan senyum.
"Anda... Dorothea Tuning?"
Dorothea sontak berdiri. Mata wanita itu berkaca-kaca. Dia menuduk. Lalu menggenggam tangan Dorothea erat.
"Terima kasih sudah menyelamatkan anak saya."
Mata si rambut merah membelalak. Sementara itu, bendungan air mata wanita itu pecah.
"A-ah! Tidak perlu berterima kasih, Ma'am! Orang lain pasti akan melakukan hal yang sama!"
Ibu di depannya masih terisak. Dorothea berusaha menenangkan dengan canggung. Akan tetapi, ponselnya berdering. Dia mengeluarkannya. 'Dad' tertulis di layar.
Dorothea segera undur diri untuk mengangkat telepon itu. Dia mencari lorong yang cukup sepi sebelum menerima panggilan. Seperti yang di duga, kedua orang tuanya memastikan dia baik-baik saja lalu berjanji akan segera menjemput.
Setelah panggilan itu berakhir, sang gadis kembali memasukkan ponsel ke saku rok. Sebelum menarik napas dalam-dalam.
"Hei."
Eins menembus keluar dari dinding di sampingnya.
"Dia akan selamat."
"Syukurlah," desah Dorothea. "Setidaknya itu berita baik. Oh-dan Dad akan segera menjemput."
Si hantu mengangguk. Melayang rendah ke samping si gadis. "Jadi, mau menunggu di sini?"
Dorothea melirik ke koridor dan dingin di sekitarnya. Beberapa hantu lain melintas. Memberi dia pandangan bingung. Namun tetap menjaga jarak karena Eins.
Gadis itu mendesah. Sebelum menggeleng pelan.
"Ayo ke kantin. Kita bisa menunggu di sana."
Kemudian sang gadis meninggalkan lorong itu. Eins mengikuti dengan setia.
Ketika sampai di dekat ujung lorong, seseorang menabraknya.
Dorothea terjatuh. Dia bisa merasakan mata pengunjung dan petugas medis tertuju padanya.
"Ah! Maaf!"
Sebuah tangan terulur. Menawarkan untuk membantu. Dorothea menjabatnya dan tangan itu menariknya berdiri.
Pria yang membantunya berkacamata. Berambut hitam gelap dan menggunakan seragam... U.A.?
Anak ini familiar. Sama seperti-
Oh.
"Kau... Tenya?"
Anak di depannya tampak terkejut. "Kau—gadis yang di USJ—?"
"Namaku Dorothea, murid U.A. juga. Uh—aku yang menemukan kakakmu—"
Matanya membulat. Napas anak itu memburu. Panik terlukis di matanya.
"Dia baik-baik saja," ucap Dorothea cepat. "Dia harus dioperasi, tetapi dia selamat."
Kini Tenya tampak lebih tenang. Wajahnya suram.
"Sebaiknya kau menemuinya. Ibumu juga ada di sana."
Tenya mengangguk. Tanpa sepatah kata apapun, dia segera berlari. Membuat beberapa dokter dan suster menegurnya.
Dorothea menghela napas. Dalam hati merasa kasihan. Dia tidak tahu bagaimana perasaan anak itu sekarang. Tapi dia bisa tebak itu tidak baik.
Akhirnya mereka sampai di kantin. Namun, ternyata si gadis tidak punya selera makan setelah kejadian tadi. Jadi dia hanya membeli soda dingin dari vending machine dan duduk di salah satu kursi.
Dia sesekali mengecek ponsel. Ada pesan masuk dari sang ayah bahwa rute mereka dialihkan. Pasti untuk menghindari TKP. Jadi mereka akan sampai lebih lama.
"Mmm, jadi... menunggu?"
"Yeah, mau tidak mau."
Dorothea mendesah. Tangan meraih kaleng soda. Yang mengeluarkan suara mendesis ketika sang gadis membukanya.
Belum sempat dia minum, sudut matanya menangkap orang lain memasuki kantin yang sepi. Wajah berkacamatanya familiar.
"Ah, anak yang tadi."
Benar.
Si Tenya tadi tampak... bingung. Pandangan kosong selagi dia berdiri limpung di depan pintu masuk kantin. Seakan separuh jiwanya sedang berpergian entah kemana. Setelah melihat apa yang terjadi pada kakaknya, dia pasti terguncang.
Dorothea jadi agak kasihan.
"Psst, hei!" panggil si gadis. Berusaha agar suaranya tidak terlalu keras. Ini masih di rumah sakit.
Untung saja, anak yang satu mendengar. Mata biru membelalak sebentar di balik kacamata. Sebelum dia mendekati meja tempat Dorothea duduk.
"Ah—eh—aku—"
Dia mulai bicara. Tangannya naik-turun. Namun, sepertinya otaknya masih penuh keterkejutan. Tidak bisa membuat kalimat utuh. Jadi, Dorothea memutuskan sedikit membuka obrolan.
"Kita belum berkenalan secara formal," ucap si gadis sopan. Dia mengulurkan tangan.
"Dorothea Tuning, salam kenal."
Anak itu memandangi tangannya sebentar. Sebelum berakhir menyambut jabat tangan.
"Iida Tenya."
Dorothea mengangguk. Lalu memberi gestur ke kursi yang berseberangan dengan mejanya. "Kau mau duduk?"
Iida tampak tersentak dengan tawaran itu. Namun, dia tidak menolak. Dia menggeser kursi dan duduk di depan Dorothea.
Lalu diam.
Anak itu tidak mengucapkan apapun. Namun, Dorothea bisa melihat berbagai macam emosi menari di wajahnya. Dia berterima kasih kecil kepada Avery yang mengajarinya membaca mood seseorang lewat ekspresi mereka.
Dan kata 'sedih' tidak bisa digunakan untuk menjelaskan ekspresi Iida.
Ya, memang ada semburat sedih di sana. Namun, banyak lagi raut yang lainnya. Kecewa, bingung, panik, kaget, dan—
Amarah.
Semuanya bercampur aduk jadi satu.
"Ehem—" Dorothea menarik perhatian anak itu dengan batuk kecil. Ketika Iida menoleh, sang gadis memasang senyum lembut. Berharap itu cukup untuk sedikit menenangkan.
"Ada vending machine di sini, mau kubelikan sesuatu?"
"Ah? Tidak usah repot-repot—"
"Aku memaksa," sela Dorothea sembari berdiri. "Kau mau apa? Soda? Kopi?"
Iida diam sebentar. Sebelum berkata lirih. Tidak lebih dari sebuah bisikan.
"Kalau ada... jus jeruk?"
Dorothea tersenyum.
"Tentu."
Si gadis buru-buru menghampiri deretan mesin yang berdempet dengan dinding. Menemukan satu yang menjual jus botolan. Dia menekan tombol lalu memasukan uang. Sebelum mengambil jus yang jatuh dengan bunyi berdebuk pelan.
"Ini," ucapnya sembari mengulurkan botol berwarna jingga itu. Iida menerimanya.
Dorothea kembali duduk. Meneguk sodanya. Sebelum memperhatikan Iida melakukan hal yang sama. Dia lalu menutup botol itu dan menghela napas panjang.
"Terima kasih, Tuning-kun—"
"Dorothea," ralat sang gadis. "Tuning bukan nama Jepang. Rasanya aneh bila dipanggil begitu."
"Ah, Dorothea-kun, kalau begitu. Aku, uh—"
Iida menunduk. Giginya menggertak. Tangan terkepal di atas pangkuannya.
"Terima kasih sudah menyelamatkan kakakku."
Dorothea meringis. Berusaha menjawab dengan nada tenang.
"Itu bukan hal besar. Sungguh," kata si gadis. "Aku hanya memanggil ambulan. Aku yakin banyak orang akan melakukan hal yang sama."
Iida menggeleng kecil.
"Jangan merendah," ucapnya serius. Dia berpaling.
"Kalau kau tidak di sana, kakakku pasti sudah—"
Kalimatnya menggantung.
Namun, kedua anak itu sudah tahu apa yang harusnnya dia katakan. Dorothea mendesah kecil.
"Sebaiknya kau tidak usah terlalu memikirkan hal itu," kata sang gadis. Dia menggaruk leher.
"Maksudku, kakakmu masih hidup. Sekarang, kau harus fokus untuk membantunya pulih! Bukankah itu yang paling penting?"
Iida tersentak. Kemudian menunduk lagi. Pandangan matanya menggelap. Melihat kosongnya ekspresi itu, Dorothea pikir dia tidak akan senang dengan berita yang akan keluar.
"Soal pulih—itu—"
Jari-jari si lelaki mengepal di pangkuannya.
"Kakakku—dia tidak akan bisa menjadi Pro Hero lagi."
Tangan Dorothea refleks menutup bibir. Menyembunyikan mulut yang terperangah. Mata emas membulat.
"Aku... aku turut berduka."
"Ini semua karena Stain."
Lagi-lagi, Dorothea tercekat. Ekspresi heran menyusup ke wajahnya. Si gadis menelengkan kepala.
"Stain? Maksudmu...?"
"Ya, Stain. Pembunuh Pahlawan."
Iida mengucapkan nama itu seakan memuntahkan racun.
"Polisi mengatakan bahwa kejadian ini sesuai dengan modus operandi Penjahat itu."
Jujur, Dorothea mendengar nama Hero Killer—Pembunuh Pahlawan—beberapa kali. Namun, karena dia tidak dekat dengan dunia Kepahlawanan, dia tidak menggali lebih dalam. Hanya sekedar desas-desus berita atau judul artikel koran pagi.
Sang gadis tidak menyangka dia malah menolong salah satu korban Penjahat itu.
"Nii-san beruntung. Dan semua itu karena kamu," ucap Iida.
Dia mengangkat kepalanya. Dorothea tersentak mundur di kursi. Mata anak laki-laki di depannya berubah. Ada pancaran amarah menari bagaikan api.
"Aku bersumpah, jika aku bertemu dengan Stain sialan itu aku akan—"
"Woah, woah! Tunggu dulu!"
Tangan Dorothea terkibas. Sukses menyela perkataan Iida. Sang gadis mendesah panjang.
"Hati-hati, Iida-san. Yang kau katakan barusan hampir tidak terdengar... heroik."
Iida tertegun. Akhirnya membuang muka dengan agak tersipu. Netra Dorothea memperhatikan sembari sang gadis melipat tangan di dada.
"Maaf Dorothea-kun, aku tidak tahu apa yang tiba-tiba merasuki."
"Hei, itu wajar," ucap Dorothea. "Kau marah. Normal kalau kau ingin melampiaskan itu ke hal lain."
"...Sungguh?"
Si gadis mengangguk. Dia menggaruk kepala.
"Yeah, aku—juga pernah ada di posisimu."
Kali ini, giliran Iida yang terkejut. Dia melipat tangan di atas meja. Kepala dicondongkan ke depan dengan ekspresi khawatir. Dorothea tersenyum lemah.
"Mom—Ibuku—dia bukan Pahlawan, tetapi dia dulu juga bekerja di bidang keamanan."
Kalimat itu lancar meluncur dari lidah Dorothea. Cover story yang sudah dia pakai selama bertahun-tahun untuk menutupi pekerjaan Ibunya.
"Beberapa tahun lalu, ada sebuah... penggrebekan besar-besaran. Ibuku selamat. Tenang saja."
Jari-jari Dorothea saling tertaut di pangkuannya. Dia menatap Iida. Melemparkan sebuah senyum sedih.
"Tetapi dia mengalami cidera di kakinya. Dia tidak bisa banyak berjalan lagi. Apalagi berlari. Jadi, Mom pensiun."
Lalu diam.
Kedua anak itu saling menatap.
Rasa saling mengerti seakan membasuh mereka.
"Lalu... apa yang kau lakukan?" bisik Iida.
"Tetap berada disampingnya," jawab Dorothea mantap. Ditambah anggukan.
"Dukung dia. Beri dia bahu untuk bersandar, telinga untuk mendengar."
Si gadis tersenyum kecil.
"Dan jangan biarkan amarah itu merasukimu. Fokuslah kepada masa depan. Hal itu lebih penting."
"Itu... akan sulit," decih Iida kecil. Dorothea tertawa.
"Aku tahu, kalau aku ada di posisimu, aku pasti sudah mengejar pelakunya."
Iida terdiam. Si gadis buru-buru menambahkan.
"Tetapi, aku bukan Pahlawan. Atau Calon Pahlawan. Aku tidak yakin mengejar pembunuh berantai akan bagus untuk resume-mu, Iida-san."
Ada nada bercanda di bagian akhir perkataannya. Sedikit mencairkan suasana.
"Kau benar." Iida memberikan senyum tertahan. "Sepertinya membunuh orang lain tidak bisa dibilang heroik."
Dorothea tidak menjawab. Hanya tersenyum lemah.
Dan itu salah satu yang membuat kita berbeda.
Pemburu dan Pahlawan.
Aku Pemburu.
Dan kami ada di area 'abu-abu'.
Kebetulan kata 'membunuh' bagi kami ada di area itu juga.
Terdengar dering teredam dari saku rok sang gadis. Memutus monolog internalnya. Sang gadis mengeluarkan ponsel. Melihat notifikasi pesan dari sang ayah yang sudah menunggu di luar.
"Ah, aku sudah dijemput," ucapnya sembari mendorong mundur kursi. Berdiri lalu merapikan rok seragamnya.
"Aku berharap yang terbaik untuk kakakmu, Iida-san. Maaf, aku harus pergi—"
"Dorothea-san?"
Si gadis menggumamkan 'hm?' pelan ketika mendengar namanya dipanggil.
Bahu Iida yang tadinya tenang sekarang lebih rileks. Walau hanya sedikit. Dan Dorothea masih bisa melihat frustasi dan amarah mencoreng senyumnya.
Dendam bukan penyakit yang bisa sembuh dalam satu hari.
Begitulah pikiran sang gadis.
Aku hanya berharap kau tidak gegabah mengatasinya.
"Aku tahu kau bilang kau bukan Pahlawan. Tetapi, yang kau lakukan, itu sudah membuatmu jadi Pahlawan di mataku," ucap Iida mantap. Dan—
Dan nadanya tulus.
Dorothea mau tidak mau merasa agak sedikit tersentuh. Dia tertawa kecil. Merasa lucu karena dia sendiri tidak pernah menganggap apapun yang dia lakukan sebagai heroik.
"Aku membantunya bukan karena aku Pahlawan."
Ucapan Dorothea disambut air muka bingung Iida. Sang gadis hanya tersenyum lemah.
"Aku membantunya karena aku manusia."
***
Baru saja kakinya menapaki tempat parkir, Avery dan Akira langsung menghambur dan memeluk Dorothea erat-erat.
Dari jauh, gadis itu bisa mendengar tawa Monika dan desahan lega Nikky. Dia juga mengintip Hisashi yang hanya menggelengkan kepala dari balik bahu orang tuanya. Dia bahkan mendengar Eins terkikik geli.
Setelah beberapa detik, ayah dan ibu Dorothea itu melepas dekapan mereka. Lalu mulai melempar rentetan pertanyaan. Mulai dari apa yang terjadi sampai kondisinya sekarang.
"Aku baik-baik saja, Mom, Dad," ucapnya menenangkan. "Sungguh, tidak ada lecet sedikitpun!"
Akhirnya, setelah lebih banyak pertanyaan bernada khawatir, Akira dan Avery puas dan berhenti. Barulah Nikky, Monika, dan Hisashi mendekat.
"Serius, kit. Tidak ada yang namanya hari tenang untukmu," canda Nikky. Tangan mengacak-acak rambut si gadis. Dan Monika terkekeh ketika Dorothea menggerutu.
Hisashi melihat adegan itu dan tersenyum simpul. Kilat geli tertanam di matanya.
"Kau dan Izuku itu sama. Magnet masalah," candanya. "Ada baiknya kalian selalu keluar berdua. Bersama teman lebih baik."
Dorothea tersenyum. Kemudian teringat sesuatu.
"Ah! Benar—! Err, kalian ingat Shinsou?"
Alis Nikky terangkat dengan topik yang tiba-tiba berubah. Kemudian mengangguk.
"Anak yang kau ceritakan. Yang menolongmu dari Kuba. Ada apa dengannya?"
"Aku—"
Kalimat Dorothea tertahan. Dia menunduk. Memainkan ujung syalnya.
"Aku ingin memberi tahu Shinsou soal Children of Earth."
Diam sejenak. Semua mata tertuju padanya. Dorothea menelan ludah.
"Eh, kalau dia bisa dipercaya, kenapa tidak?"
Celetukan santai dari Monika itu membuat mata emas Dorothea melebar.
"Sungguh?"
"Secara teknis, dia sudah menyelamatkanmu satu kali," gumam Nikky.
Hisashi mengangguk. "Ini Shinsou yang sering Izuku ceritakan juga, kan? Sepertinya dia anak baik."
Dorothea tersenyum. Kemudian melempar pandangan ke Akira dan Avery. Mereka menatap putrinya lembut.
"Kami tidak keberatan. Seperti yang Monika bilang, asal bisa dipercaya, kenapa tidak?" ucap Avery. Dia menepuk bahu putrinya. Tersenyum kecil.
"Lagipula, aku mulai khawatir kau hanya berteman dengan Izuku!"
"Hei! Aku tidak se-antisosial itu!"
Mereka semua tertawa. Bahkan Eins juga. Dia meletakkan tangan dingin di kepala Dorothea.
"Yah, semuanya lancar ternyata."
Sang gadis mengangguk. Hari ini tidak berjalan seperti yang dia kira. Dorothea tidak menghitung rencana pergi melakukan wawancara dengan korban perasukan demon atau semua kekacauan menyangkut gang dan Pahlawan tadi.
Bisa dibilang, energinya cukup terkuras.
"Ayo pulang."
***
.
.
.
.
.
.
.
A.N. :
Sooo...
Aku masih hidup.
Mood nulisku ngadat. Jadi nggak bisa nulis apapun. Chapter ini pun banyak recycle scene dari Normal (A BNHA Fanfiction). Sorry.
Thank u for reading! :D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro