Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20. Helping Hands

Keluarga Tuning, Nikky, dan Hisashi duduk melingkari meja dapur The Hourglass yang sempit. Sementara Monika memilih berdiri. Namun, wajah sendu terpasang di muka mereka semua.

Ada ketegangan di antara mereka. Tentu saja. Subjek yang mereka bahas bukan hal mudah. Selalu begitu jika menyangkut The Silent Hands.

Nikky menaruh berkas Kuba Hisao di atas meja. Mendesah berat selagi dia mengurut pangkal hidungnya.

"Nihil."

Atmosfir suram di ruangan makin berat.

"Kami berusaha mencari tahu koneksi The Silent Hands lewat maniak ini," lanjut wanita itu. "Tetapi dia sama sekali tidak buka mulut."

"Kami juga tidak bisa menemukan aktivitas organisasi itu dimanapun," tambah Monika.

"Mereka terlalu... kecil. Terlalu sedikit. Ini seperti mencari satu tikus spesifik di kota yang ramai."

"Bugger," desis Avery di balik napasnya. Dia berdehum kecil.

"Apa kita tidak punya sumber lain? Apa saja? Siapa saja?"

Hening sejenak.

Nikky dan Monika saling bertukar pandang. Melakukan percakapan tanpa suara. Sampai akhirnya Nikky mendesah.

"Ya, kita punya. Sebenarnya, itu alasan kalian di sini."

Jawaban Nikky tidak lebih dari sebuah gumaman. Mata hijau-biru berpaling. Tangan anggota The Children itu mulai memainkan rambut hitamnya yang panjang.

"Aku bisa merasakan 'tapi' di kalimatmu, Nikky-san," celetuk Hisashi.

Wanita yang disebut mendesahkan napas berat. "Ya, memang. Kita punya sumber tapi—"

Netra heterokromatik menatap ke Dorothea.

"Dia hanya mau bicara denganmu, kit."

Alis si rambut merah yang disebut menukik. Dia menggigit bibir. Menatap langsung ke mata dwiwarna dengan penasaran.

"Memang, siapa orang ini?"

Lagi-lagi diam.

Monika menyilangkan tangan di dada. Tubuh bersandar ke kitchen counter selagi wanita itu berdehum.

"Kau ingat orang yang menyerangmu sewaktu masih SMP?"

Alis Dorothea naik. "Huh?"

"Yang dirasuki oleh wraith?"

Si gadis mengangguk pelan. Bayangan eksorsisme dadakan yang harus dilakukan Izuku masih ada di otaknya.

"Kenapa dengan dia?"

"Well—" gumam Monika.

Dia meraih ke stopmap lain yang ada di meja. Membukanya. Tampak wajah orang yang sama yang menyerangnya pulang sekolah beberapa tahun lalu.

"Namanya Ando Kuroo, 24 tahun," jelas wanita berambut pirang itu. Mata biru Monika menyipit melihat foto pria di dalam stopmap.

"Kami seratus persen yakin The Silent Hands yang memberinya tanda perasukan," ucapnya. "Jadi, ada kemungkinan besar dia pernah melakukan kontak dengan mereka."

Nikky mendesah. "Itu sebabnya, kami berusaha mengorek informasi darinya namun—"

Dorothea menelan ludah.

Gadis itu calon anggota Children of Earth. Dia melahap buku tentang sihir, demonologi, dan taumaturgi sejak kecil. Seakan itu bacaan ringan. Sang gadis sekarang punya bestiary soal demon yang lumayan permanen di kepalanya.

Dia tahu apa yang terjadi dengan korban wraith.

Atau korban demon secara umum.

"Mentalnya terganggu," gumam Dorothea.

Sesuai yang dia duga, kedua mentornya mengangguk bersamaan.

"Dia sekarang ada di Rumah Sakit Fujiya," terang Monika. Dia meraih salah satu file dari stopmap.

"Secara prosedur, dia seharusnya bisa diberi amnestik dan kembali normal. Tetapi, kita masih butuh informasi yang dia punya."

"Jadi, tinggal wawancara, kan?" tanya Avery. Tangan membenarkan tusuk di gulungan rambut merahnya. Mata cokelat memandang serius.

"Kenapa harus Dorothea? Kenapa tidak salah satu dari Fabulist?"

Fabulist.

Kata itu berputar di otak Dorothea. Sudah sangat familiar. Mereka ordo The Children yang menangani administrasi, pengumpulan dan penutupan informasi dari masyarakat awam.

Orang-orang yang menjaga agar Children of Earth tetap menjadi rahasia.

"Mereka sudah berusaha."

Suara Nikky memecah calan pikiran Dorothea. Semua mata di ruang itu tertuju padanya.

"Namun, dia menolak untuk bicara kecuali kepada 'Sang Mata' karena dia harus 'memperingatkan Sang Mata'."

Semua pandangan langsung beralih ke Dorothea. Netra emas sang gadis mengerjap.

"Ah...," gumam si gadis. "Ini satu-satunya petunjuk kita, ya?"

"Sayangnya," ucap Nikky. Rambut melingkar di jari telunjuk. Dia menghela napas berat. Entah untuk keberapa kalinya.

"Dengar, kit. Kalau kau tidak mau—"

"Tidak masalah."

Dorothea merasakan tatapan orang-orang dewasa di ruang itu seakan menembus tengkoraknya. Membuat anak itu agak berjengit.

"Yah, semakin cepat kita dapat informasi, semakin cepat mereka kembali tertangkap," ucap Dorothea. Berusaha memasang senyum menenangkan.

"Semakin cepat semuanya kembali normal."

Diam meliputi sejenak.

Sebelum Akira terkekeh. Dia mengacak-acak rambut merah sang anak dengan sayang. Senyum lembut terpasang di wajah.

"Senormal yang bisa keluarga kita dapatkan, hmm?"

Semua orang di dalam dapur itu langsung tertawa. Dorothea tersenyum. Merasa baikan melihat suasana yang lebih cair.

"Erm, karena kita sudah setuju—" Dorothea menunduk. Memainkan ujung syalnya. "Aku—boleh keluar?"

Alis Avery terangkat. Senyum tipis menghiasi bibir.

"Ke Kafe Yukimura's lagi?"

Dorothea mengangguk. Tempat itu memang kafe langganannya dan Izuku setiap pergi ke Hosu dan berlatih bersama Nikky dan Monika. Gadis itu suka cokelat panas mereka.

"Mau ditemani?" tanya Akira.

Hisashi terkekeh. "Eh, dia sudah bersama teman, kan?"

Avery, Akira, dan Hisashi langsung terkikik geli. Sementara itu, Nikky dan Monika saling bertukar pandang bingung. Dorothea meringis.

Oh, benar.

Mereka berdua belum kuberi tahu.

"Hehe, ini canggung."

Eins 'melingkarkan' tangan dingin di leher Dorothea.

"Uh, Nikky-san, Monika-san," gumam gadis itu. Dia memberi gestur canggung ke pintu.

"Ini teman hantuku, Eins. Maksudku, kalian tidak bisa melihatnya, tapi—"

Ekspresi dua mentornya itu membuat Dorothea ingin terbahak.

Keduanya mirip seperti ikan koi. Dengan mata membulat dan mulut melongo.

Sang gadis berharap bisa mengabadikannya dengan kamera.

"Kau berteman dengan hantu?"

"Yep," kata si gadis. "Dia di sini di dekatku."

Mata emas melirik ke Eins yang sekarang melayang ke sampingnya. Mata dingin mengintip dari rambut putih yang menutupi separuh wajahnya. Baju kusamnya bergerak seakan ditiup angin tak kasat.

"Untung kebiasaan paranoidmu membuat lingkaran garam sudah hilang, eh?" canda Monika sembari menyenggol sahabatnya. Nikky merutuk.

Dorothea hanya bisa melepas tawa.

"Jadi—boleh kami pergi?"

***

Sesuai perkiraan, Todoroki menang dalam babak pertamanya.

Namun, mau tidak mau Izuku mendesah kecil. Gunung es untuk melawan satu musuh itu berlebihan.

Tapi sisi esnya seperti... mulai tidak terkendali.

Mata hijau menyipit melihat bunga es di bagian kanan anak itu.

Tubuhnya... punya batasan.

Pertarungan berikutnya dimulai. Anak kelas 1-A lawan 1-B. Yang disebut kedua menang berkat sulur rambutnya.

Lalu, Hatsume melawan anak berkacamata dari kelas 1-A.

Namun, melawan sepertinya agak berlebihan.

Hatsume menjadikan anak itu komersial hidup.

Sementara dia dengan santainya mempromosikan alat support buatan mereka satu persatu. Sebelum akhirnya melangkah keluar arena dengar sadar diri.

Si greenette tidak tahu harus bangga atau merasa bersalah kepada lawan si gadis.

Beberapa pertarungan setelah itu berlangsung cepat. Anak berkulit merah jambu mengalahkan anak laser dengan membuat sabuknya malfungsi. Tsuyu mengalahkan seorang gadis berambut hitam dengan menjerat dan melemparnya keluar arena menggunakan lidahnya yang panjang. Anak berambut merah jabrik dan anak besi saling pukul sampai hasilnya seri. Yang nanti akan ditentukan dengan lomba lain.

Setelah semua itu selesai. Pertandingan selanjutnya—

Uraraka Ochako versus Bakugou Katsuki.

Izuku melihat pertarungan Katsuki dan Uraraka. Katsuki menang tentu saja. Namun, Izuku lebih kesal kepada para penonton yang meremehkan kawan barunya itu.

Untung Aizawa berhasil membantah mereka.

Lalu Uraraka menyerang lawannya dengan hujan meteor.

Izuku bertepuk dan bersorak keras melihat strategi super keren itu. Sayang sekali itu belum cukup untuk mengalahkan Katsuki.

Sungguh sayang sekali.

"Nyaris," decih Izuku. Namun dia hanya bisa menghembuskan napas berat. Katsuki itu memang bukan lawan yang sembarangan.

Akhirnya, Izuku memutuskan untuk bangkit dari kursinya dan pergi ke ruang tunggu. Pertandingan terakhir hanya adu panco dua anak yang tadi seri. Dia memilih bersiap

"Semoga beruntung," ucap Shinsou yang duduk di sampingnya. Izuku menjawabnya dengan anggukan kecil.

Yeah, beruntung.

Aku akan perlu itu.

***

"Penonton sekalian! Saatnya masuk ke PERTANDINGAN QUARTERFINAL yang PERTAMA!"

Suara riuh penonton kembali menggema. Izuku naik ke arena dengan langkah berat. Dia memandang kerumunan sejenak. Sebelum menarik napas panjang untuk menenangkan diri.

"DI SATU SISI! Underdog dari Prodi Umum! MIDORIYA IZUKU!"

Izuku nyaris tertawa mendengar panggilan Present Mic untuknya. Namun dia memilih untuk menyibukkan diri dengan Jadestaff.

Dia menyatukan dua komponen tongkat itu. Sebelum memutar ring pengatur energinya ke 60%.

Yosh, itu sepertinya cukup.

"DAN DI SISI SATUNYA! Si Pangeran Es dari Prodi Pahlawan! TODOROKI SHOTO!"

Anak berambut hijau melempar senyum ke anak laki-laki yang berdiri di seberang. Berharap ekspresinya cukup tulus untuk Todoroki yang bermuka seperti papan.

"Ayo bertanding dengan sportif."

Todoroki tidak menjawab. Izuku sudah menyangka itu.

"START!"

Es menyeruak melintasi lapangan.

Izuku juga menyangka itu.

"Tembakkan!"

Dia menekan pelatuk. Ledakan energi terlepas dari Jadestaff. Menembus es. Membuatnya pecah berkeping-keping. Serpih putih berterbangan. Runtuhan balok dingin terserak.

Si grenette tersenyum tipis.

Gerakan pembukaannya mudah ditebak. Dia membuat serangan skala besar.

Kepala Izuku miring. Melihat es di belakang lawan.

Heh, menggunakan es untuk mencegah terlempar.

Pintar.

Izuku menerjang.

Tangan Todoroki terangkat. Izuku berkelit ke samping. Sealur es melewatinya. Dia mempercepat langkah. Tongkat teracung.

Todoroki terbelalak. Mempersiapkan diri untuk hantaman. Tangan tersilang.

Izuku melewatinya.

Netra dwiwarna melebar.

40%. Tembakkan.

BLAST!

Todoroki terguncang.

Tubuhnya terlempar.

Dia terbelalak. Sebelum sadar. Lalu mengayunkan tangan.

Membuat dinding es baru. Menahan diri agar tidak keluar. Punggung menempel pada dinding itu.

Sakit.

Seluruh tulangnya seperti disusun ulang.

Dia melewatiku, pikir Todoroki. Hanya untuk menyerangku dari belakang!

"Oh, kupikir itu sudah cukup?" bisik Izuku di ujung yang lain. "Padahal 40% itu lumayan."

Gigi Todoroki menggertak. Dia maju. Kaki menghentak tanah. Es runcing berkilat. Kembali menyeruak.

Izuku menghindar dengan roll ke samping. Dinding es lagi. Kali ini ditahan perisai energi. Todoroki berdecak.

"Apa kau tidak punya teknik lain?"

Suara Izuku membuatnya terkejut.

Itu bukan nada mengejek. Ataupun merendahkan. Atau marah. Atau frustasi. Izuku hanya terdengar...

Penasaran.

Dan—

Sedih?

"Kau—"

Suara Izuku bergetar. Tangan erat menggenggam senjata. Sampai buku-buku jarinya memutih. Emosi menari di matanya. Bingung, marah, kesal—

Kecewa.

Seakan anak itu baru menyadari sesuatu.

"Apa kau tidak serius dalam hal ini?"

Suaranya turun seoktaf.

Todoroki merasa baru saja membangkitkan sesuatu.

Sebelum dia bisa menjawab-

BUGH!

Izuku maju. Memukul perut dengan ujung tongkatnya. Todoroki terpental. Namun, dia cepat. Berhasil membuat es di ujung arena. Tubuh menghantam es itu.

"APA MASALAHMU?!"

Bentakan Izuku membuat si anak tersentak.

Netra abu-abu biru mendelik melihat ujung Jadestaff terarah padanya.

Terdengar bunyi ledakan.

Todoroki menghindar di detik terakhir. Matanya mendelik. Mulut menganga lebar. Dinding esnya hancur lebur terkena tembakkan energi.

Astaga—!

THWACK!

Pikirannya terputus. Todoroki lagi-lagi menghindar di saat kritis. Ujung Jadestaff menghantam tanah. Untung bukan tubuhnya.

Kenapa Midoriya menjadi offensif?!

Es menerjang Izuku. Lagi-lagi ledakan energi menghancurkannya. Todoroki menyilangkan tangan di depan wajah. Melindungi diri dari pecahan es.

Saat dia menurunkan tangan, dia bisa melihat kekesalan di wajah lawannya.

"Lihat, kau gemetaran."

Benar.

Todoroki mengangkat tangan kanan. Melihat lapisan es mulai muncul. Tulangnya bergemeletuk. Ujung jarinya mulai membiru.

"Frostbite—radang dingin," ucap Izuku. Dia berdehum.

"Kalau parah, kau bisa kehilangan tangan."

Bulu kuduk Todoroki berdiri. Namun, memilih memasang tampang marah untuk menutupi kengeriannya.

"Apa hubungannya denganmu?"

Izuku tertawa. "Kau ingin menjadi Pahlawan, kan?"

Moncong Jadestaff terarah.

"Akan lebih efektif jika kau punya dua tangan."

BLAST!

Sekali lagi energi melintas di udara. Kali ini, Todoroki gagal menghindar. Dia terdorong. Lalu jatuh berlutut. Punggungnya serasa remuk.

"Well, setelah dipikir-pikir, akan lebih efektif juga jika kau memakai dua quirkmu!"

Todoroki meringis. Ekspresknya mengeras. Es mencuat dari kakinya. Runcing. Mengarah ke si anak hijau. Sekali lagi, Izuku menghindar.

Dan Todoroki merasa ingin menjambak rambutnya.

Ini

Ini tidak mengarah kemanapun.

Midoriya hanya—dia hanya

Dia hanya memancingku.

"Apa pedulimu?! Kau hanya anak dari Prodi Umum! Kau bahkan tidak mau menjadi Pahlawan!" desis Todoroki. Dia sudah frustasi. Dia juga marah.

Selapis es melebar dari kakinya. Mengarah ke lawan. Izuku terlambat bergerak. Dia tersentak.

Kakinya terjebak.

BLAM!

Todoroki menerjang. Tangan meninju wajah Izuku. Namun, ada perisai menahannya. Lawannya mendengus.

"Apa hubungannya? APA HUBUNGANNYA?!"

Perisai menghilang. Todoroki terjungkal ke depan. Jadestaff terayun. Memukulnya di perut. Membuatnya terlempar mundur. Memberi jarak diantara dua anak.

"Apa hubungannya denganku? Denganku? Seorang Prodi Umum? Seseorang yang nantinya akan jadi 'warga sipil'?" racau Izuku. Dia menggunakan ledakan kecil untuk membebaskan kaki.

"BAGAIMANA BISA KAMI MEMPERCAYAI PAHLAWAN YANG TIDAK MEMAKAI SEMUA KEKUATANNYA?!"

Todoroki tersentak. Jeritan Izuku berdering di otak. Tangan memegangi perut yang semakin berdenyut. Dia bisa merasakan lebam di sana.

"Menurutmu warga umum akan merasa aman dengan Pahlawan yang maju setengah-setengah?!" tambah Izuku.

"Apa kau tidak serius ingin menjadi Pahlawan?! APA KAU TIDAK SERIUS INGIN MELINDUNGI KAMI?!"

Tubuh Izuku bergetar. Matanya berkilat.

Todoroki terperangah.

"Tentu tidak! Aku—!"

Dia berusaha melanhkah. Namun malah berjengit. Tubuhnya terasa sakit. Dingin di tangan kananya menggigit. Tulangnya seperti meraung.

Dingin ini—es ini—melukainya. Seperti yang Izuku bilang, dia bisa cidera parah.

Otaknya bergulir ke pembicaraan dengan Dorothea Tuning.

'Api ini melukai orang lain!'

'Dan menurutmu es-mu tidak?'

Benar. Es ini melukainya.

Es ibunya menyakitinya.

Tapi—ini bukan es ibunya. Kekuatan ini tidak pernah menjadi milik siapapun kecuali—

Dirinya sendiri.

"Tapi—"

"Tapi apa?!"

Suara Izuku menyentaknya ke kenyataan. Anak itu menggertakkan gigi. Jadestaff masih siaga.

"Berhentilah mencari alasan, Todoroki!" jerit anak itu. "Kau ingin melindungi, kan?! Kau ingin menjadi Pahlawan, kan?!"

Todoroki ingin berteriak balik. Namun, lidahnya kelu.

Aku ingin menjadi Pahlawan.

Aku ingin melindungi.

Aku ingin melindungi semuanya.

Semua orang, Natsuo, Fuyumi, dan

Ibu.

"Jadi berhentilah bersembunyi dengan alasan konyol! Majulah dengan semua yang kau punya!" Izuku masih melanjutkan. "Api itu—"

"ITU KEKUATANMU!"

Benar.

Todoroki memaksa tubuhnya berdiri. Tangan mengepal. Matanya tertutup.

Dia merasakan dingin di bagian kanannya.

Yang lama-kelamaan mencair.

Hilang.

Apinya membara.

"Gila," bisiknya.

Kali ini, senyum lebar terpatri di bibirnya.

"Kau gila, Midoriya Izuku."

Dia bisa mendengar tawa si greenette. Kali ini lebih ringan dan bebas.

"Aku anggap itu sebagai pujian."

Dia tidak peduli dengan sorakan penonton dan entah-apa yang dijeritkan sang ayah dari samping. Atau apapun komentar yang diberikan Present Mic. Yang dia pedulikan sekarang hanya—

Untuk pertama kalinya—

Apinya terasa hangat.

"Majulah! Midoriya Izuku!"

"Aku juga tidak akan memahan diri!"

Tangan kanan Todoroki bergerak. Pilar es besar menerjang. Izuku tentu menghindar. Jadestaff melepaskan energi. Memberinya tolakan untuk melayang.

Tapi, kali ini berbeda.

"Midoriya—" bisik Todoroki.

Api memercik dari tangan kiri Todoroki. Sebelum menguar dan menyambar. Es di sekelilingnya meleleh.

Tangan kiri Todoroki terulur ke depan.

Begitu juga ujung Jadestaff.

"Terima kasih."

"100%. Tembakkan."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Ledakan mengguncang arena.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Lalu gelap.

***
.
.
.
.
.
.
.

A.N. :
Ngahahaha maaf lama. Moodku nulis ini sempat hilang lmao. Chapter ini rada... eh. Menurutku. Bagaimana pendapat kalian?

Anyways...

Thank you for reading! :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro