Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Father's Homecoming

"Izuku?"

Suara lembut ibunya membuat anak berambut hijau yang dipanggil mengangkat kepala. Buku tentang Pahlawan di tangannya terlupakan sejenak.

"Kenapa belum tidur?"

Izuku menggigit bibir. Tangan tergenggam di atas selimutnya. Kasur dan bantalnya empuk. Namun kantuk tetap tidak kunjung datang. Matanya memandang kemanapun yang bukan sang ibu.

"Okaa-san," suara Izuku tidak lebih dari sebuah bisikan. "Kapan Otou-san pulang?"

Ya, sudah satu minggu sejak Hisashi harus pergi bertugas di luar negeri. Dan Izuku sudah mulai tidak sabar menunggu ayahnya kembali.

"Oh, Izuku," gumam Inko. Duduk di kasur dan mengelus kaki putranya yang ada di dalam selimut. "Kau merindukannya, ya?"

Izuku mengangguk kuat-kuat. "Otou-san belum menyelesaikan ceritanya!"

"Oh? Cerita tentang Pahlawan?"

"Bukan!" Sanggah Izuku sembari menggeleng.

"Tentang monster! Dan—dan kesatria! Itu keren sekali, Okaa-san!"

"Begitu?" Inko tersenyum geli. "Kupikir yang menurutmu keren itu All Might."

Izuku diam sebentar sembari merengut. Menarik selimutnya menutupi mulut. Dia tidak bisa memutuskan mana yang lebih baik dari dua hal kesukaannya di dunia.

"All Might itu keren, tapi cerita Otou-san keren juga!"

Kali ini, Inko tertawa. Kemudian dia mengangkat ponsel yang sedari tadi dia sembunyikan.

"Baguslah. Karena Otou-sanmu juga ingin bercerita!"

"Otou-san!"

Izuku sontak meraih ponsel dari tangan Inko dengan bersemangat. Dia bisa mendengar suara tawa yang familiar dari seberang sana.

"Halo Izuku, kau masih bangun?"

"Otou-san!" Sorak anak itu bersemangat. "Bagaimana kabar Otou-san? Kapan Otou-san kembali?"

"Kesabaran adalah kebajikan, little bush," ucap Hisashi. "Maaf, ya. Di sini masih banyak yang ayahmu harus urus."

"Tapi..." bibir Izuku bergetar. "Aku rindu dongeng Otou-san..."

"Eh? Hanya dongengnya? Kamu tidak rindu Otou-san?"

Mata Izuku melebar. Dia dengan cepat menggeleng. Walaupun dia tahu sang ayah tidak bisa melihatnya.

"Bukan begitu! Aku juga sangat rindu Otou-san! Tapi—tapi dongeng—"

Ayahnya tertawa kecil dari seberang telepon. "Iya, iya, little bush. Aku hanya bercanda!"

Anak itu merengut. "Tidak lucu."

"Hahaha, maaf, maaf," kekeh Hisashi. "Jadi, terakhir kali kita sampai mana?"

Senyuman lebar kembali ke wajah Izuku.

"Sampai Ratu Jahat!" serunya bersemangat. Bangga karena mengingat hal itu. "Otou-san bilang para monster punya Ratu Jahat!"

"Ohoho, baiklah." Suara di ujung telepon terdengar sedikit geli. "Nah, jadi... para kesatria..."

Inko terkikik kecil melihat mata hijau Izuku yang mengerling senang. Dia mengelus rambut semak-semak putranya dan tersenyum lembut.

"Ibu tinggal ya? Tetapi jangan sampai kau tidur terlalu malam. Besok sekolah!"

Izuku menangguk-angguk. Namun, perhatiannya sudah penuh kepada kisah yang mulai diceritakan sang ayah.

Cerita yang berhasil meninabobokannya malam itu.

***

Sudah tiga tahun Izuku tidak melihat Ayahnya.

Terakhir kali mereka bertatap muka secara langsung adalah ketika dia dan Inko mengantar Hisashi ke bandara. Izuku tidak ingat banyak soal hari itu. Yang dia ingat adalah mereka bertiga sama-sama menangis. Alhasil menjadi tontonan orang lain.

Tiga tahun yang lalu, rasanya sudah lama sekali. Sejak itu, Hisashi secara rutin menelpon rumah. Dia berusaha mendongengi Izuku setiap malam. Dan tentu saja memberikan Inko perkembangan soal pekerjaannya.

Akan tetapi, tetap saja rasanya berbeda. Itu sebabnya Izuku tidak sabar menunggu sang ayah pulang.

Bahkan komentar dan ejekan Katsuki hari ini tidak cukup untuk membuat suasana hatinya memburuk. Dia tetap pulang dengan langkah ceria. Untung saja besok libur. Jadi dia bisa menghabiskan banyak waktu dengan ayahnya.

Dia menyelesaikan pekerjaan rumahnya dan duduk di sofa depan televisi. Walaupun begitu, pandangannya tidak fokus ke televisi dan kartun sore yang sedang tayang. Anak itu malah sering-sering melirik ke pintu.

"Ayahmu tidak akan pulang sampai nanti malam, Izuku," ucap Inko. Terkikik melihat bibir anaknya yang berdecak.

"Hayo, kau ingat kata Otou-san, kan? Kau harus sabar."

Izuku mengerang kecil. Tubuhnya melorot di sofa. Inko terkikik lagi. Putranya itu benar-benar imut.

"Bagaimana kalau kau bantu Okaa-san membuat kue? Pasti ayahmu senang disambut dengan makanan manis!"

Mendengar kata 'kue', kepala Izuku langsung naik. Dia menegakkan posisi duduknya.

"Cokelat?"

"Tentu," ucap Inko. Menggandeng tangan kecil Izuku ke dapur.

"Kita masih punya bubuk cocoa. Lagipula, itu juga kue kesukaan Hisashi."

"Yay!"

***

Izuku membantu Inko mengaduk adonan. Dan berakhir dengan rambut putih-hijau karena tepung yang melayang kemana-mana. Setelah itu, Izuku membantu memotong kue. Dia memilih cetakan berbentuk kelinci. Yang dia pikir agak mirip dengan wajah All Might.

Selagi kue dipanggang, Izuku menunggu di sofa. Kakinya diayun maju mundur sembari menggumamkan lagu bahasa Inggris yang diajari sang ayah. Saat Hisashi pulang nanti, Izuku ingin memberitahu bahwa dia sudah bisa menyanyikan lagu pengantar tidur itu.

Sayang sekali, bahkan sebelum kuenya masak, Izuku jatuh tertidur di sofa. Kegirangan sepertinya malah menyedot tenaga anak itu.

Dia bangun di bawah selimut tebal yang hangat dan bantal di kepalanya. Namun, dia masih bisa mendengar suara televisi.

Dan suara berbincang yang tidak asing.

"Aww, little bush sampai tertidur di sofa!"

"Dia semangat sekali menunggumu, Hisashi."

"Yeah, maaf, penerbangannya ditunda. Seandainya aku—"

"Shush! Yang penting kau sudah kembali."

Dan mata Izuku menjeblak terbuka.

"OTOU-SAN!"

Hisashi tertawa. Mendekap Izuku  yang melompat dari sofa dan berlari ke pelukannya. Tangan mengelus surai hijau berantakan.

"Aku pulang, little bush."

Izuku membenamkan mukanya di perut Hisashi. Sebelum mengangkat kepala untuk melihat ayahnya itu.

"Otou-san pergi lama sekali!"

"Iya," ucap Hisashi sembari meringis. "Tapi aku di sini sekarang. Aku tidak akan kemana-mana lagi."

Diam sejenak.

"Semoga," tambahnya.

Anaknya mengangguk-angguk. Dia melepas dekapan dan menarik lengan baju sang ayah.

"Ayo, Otou-san! Tadi aku dan Okaa-san membuatkan kue!"

"Oh? Cokelat?"

Izuku mengangguk. Menarik dan menuntun Hisashi ke dapur. "Iya! Butter cookies! Kesukaan Otou-san!"

Inko terkekeh dibalik tangannya. Melihat Hisashi harus menunduk ketika tangan kecil Izuku menarik lengan bajunya ke arah dapur.

"Oke, kalian boleh makan kuenya. Namun, sisakan tempat untuk makan malam!" perintah Inko. Wanita itu berdehum sejenak.

"Kira-kira, aku masak apa ya...?"

Duo ayah-anak di depannya berhenti. Saling pandang selama beberapa saat. Sebelum menoleh ke Inko dan bersorak bersamaan.

"Katsudon!!"

Perempuan itu tertawa. Sudah tahu itu yang akan menjadi jawaban.

"Katsudon kalau begitu."

***

Makan malam hari itu lebih ceria dari biasanya. Hisashi bertanya macam-macam soal apa yang dia lewatkan selama pergi. Sesekali, memakan sayur di piring Izuku yang disisihkan anak itu. Inko tentu melihatnya. Tetapi untuk malam ini, dia tidak akan mengatakan apapun.

Izuku dengan senang hati bercerita tentang Pahlawan. Seperti biasa, dia tidak berhenti soal All Might ataupun Pahlawan lain yang baru debut. Ketika dia mulai menguap di tengah kalimat, Inko tahu itu sudah saatnya tidur.

"Kami bereskan ini dulu," ucap si Ibu. Mulai menumpuk piring dan mangkuk yang mereka gunakan. "Bagaimana jika kau pergi ke kamar dan istirahat, Izuku?"

Izuku mengangguk sembari mengucek mata. Namun, dua netra hijau besar menatap ke Hisashi. Pria itu paham apa maksudnya.

"Apa kau tidak terlalu besar untuk dongeng, little bush?" canda Hisashi.

"Tidak!" sanggah Izuku.

Ayahnya tertawa. Mengacak surai hijau. Membuatnya lebih berantakan.

"Baiklah, kau duluan. Aku akan bantu ibumu dulu."

Izuku mengangguk. Kemudian melesat menuju kamarnya. Hisashi tersenyum simpul. Ketika beralih kepada Inko, dia melihat mata wanita itu sudah berkaca-kaca.

"Oh, Inko..."

Dia mendekap sang istri dalam pelukan hangat. Sementara Inko terisak di dadanya.

"Kau di sini, kau sungguh di sini."

"Ya," bisik Hisashi. Menaruh dagunya di atas surai hijau perempuan itu. "Aku pulang Inko. Aku di sini."

Inko mengendurkan pelukannya. Menarik dirinya mundur. Hisashi mencium kening sang istri dengan lembut. Sementara wanita bersurai hijau itu mengusap air matanya.

"Jadi, bagaimana? Semuanya lancar?" tanya Inko setelah cukup tenang.

Hisashi memberi senyuman getir.

"Ya. Tetapi ada harga yang dibayar untuk itu," bisiknya. "Kami kehilangan banyak. Dan kami masih belum selesai."

Inko mengangguk. Paham betul situasi suaminya.

Mereka berdua diam sebentar. Hanya menikmati kedekakatan mereka setelah sekian lama. Hisashi hangat. Dan Inko selalu merasa aman dalam pelukan suaminya.

Setelah beberapa detik, Hisashi memecah keheningan.

"Maafkan aku—"

"Jangan."

Tangan Inko terangkat. Membelai pipi suaminya dengan lembut. Wanita itu menggeleng pelan.

"Jangan meminta maaf. Yang kau lakukan ini penting, Hisashi. Aku tahu itu." Inko tertawa serak. "Tetapi bohong kalau aku bilang aku tidak khawatir."

Mata hitam Hisashi menoleh ke arah Izuku pergi. Dia mendesah.

"Aku hanya—aku merasa bersalah. Meninggalkan kalian—"

Dia menunduk. Memandang Inko. Melihat detail wajah istrinya. Bentuk hidung dan pipinya yang lembut. Surai hijaunya yang berkilau. Mata hijau bagai pohon rindang. Dia senang Izuku mendapat semua warna itu dari ibunya.

Keduanya seperti emerald yang ingin selalu Hisashi jaga dengan baik.

Dan melihat Inko sekarang, rasanya dia seperti jatuh cinta lagi.

"Aku sangat merindukan kalian," ucapnya.

Hisashi tersenyum. Memiringkan kepalanya ke tangan Inko. Telapak tangannya dingin di pipi Hisashi. Inko terkikik.

"Aku saja yang berberes," ucapnya. "Kau ke Izuku. Putramu itu bisa jadi tidak sabaran."

Suaminya tertawa. Mencium pelipis Inko sejenak sebelum melepas pelukan mereka.

"Ya, sebaiknya aku memberikan little bush ceritanya."

Inko menangguk. Mulai membawa tumpukan piring ke wastafel. Sementara Hisashi beranjak ke kamar Izuku.

***

"Jadi, cerita apa yang kau mau malam ini, Izuku?"

Anak berambut hijau di kasur terdiam sejenak. Selimut ditarik menutupi separuh wajahnya. Netra melirik langit-langit.

"Uh... aku suka cerita soal kesatria! Oh, dan Pahlawan!"

Hisashi terkekeh. "Kau mungkin bisa pilih salah satu, little bush."

"Tapi aku suka keduanya!" rengek Izuku. "Apa Otou-san tidak punya cerita yang ada keduanya?"

"Humm, bagaimana ya?" Ayahnya itu berdehum. "Kau tahu para kesatria suka menyimpan rahasia. Jadi mereka jarang terlihat..."

Izuku merengut. Pipinya yang tembam agak menggembung. Hisashi menahan diri untuk tidak mencubitnya.

"Baiklah... aku mungkin punya satu. Tapi mereka tidak benar-benar bekerja sama. Hanya—bertukar informasi?"

Rambut hijau Izuku bergoyang ketika dia mengangguk. "Tidak apa-apa, Otou-san."

Hisashi tersenyum. Kemudian membersihkan tenggorokannya dengan batuk dramatis. Sebelum membuka mulut dan memulai ceritanya.

"Pada suatu hari, para kesatria mendapat berita soal obat jahat di suatu negeri..."

***

Izuku tertidur pulas di separuh ceritanya. Saat para tokoh utama baru menjelajahi lorong rahasia untuk mencari petunjuk.

Selimut dengan palet warna All Might ditarik oleh Hisashi agar menutupi tubuh anaknya dengan lebih baik. Izuku bergerak sedikit. Menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Akan tetapi, tidak terbangun.

Hisashi mencium rambut putranya. Mengucapkan selamat malam. Sebelum keluar dan berusaha menutup pintu setenang mungkin.

Malam itu, untuk pertama kali dari tiga tahun terakhirnya, Hisashi juga bisa tertidur pulas.

***

Hari-hari berlalu dengan lancar. Hal yang paling sulit Izuku lakukan hanya menyembunyikan beberapa luka dari 'teman-temannya' ketika mereka 'bermain' dari dua orang. Alhasil, Izuku tahu banyak perawatan pertama.

Malam ini, luka bakar di pundaknya dari quirk Katsuki terasa agak gatal. Jadi, Izuku mengendap-endap keluar dari kamarnya. Berharap Ibu dan Ayahnya masih tertidur. Lagipula, ini tengah malam.

Sayang sekali, ternyata tidak.

Hisashi sedang berdiri di dapur.

Izuku mengintip. Memperhatikan ayahnya. Hisashi memakai jas panjang hitam yang disebut 'pakaian kerja' oleh Inko. Matanya fokus ke sebuah alat elektronik di tangan kirinya. Sekilas, bentuknya mirip telepon genggam biasa. Mengeluarkan bunyi kecil konstan.

Bip.

Bip.

Bip.

Wajah Hisashi tampak mengerut. Sedikit pucat. Matanya menyipit melihat layar alat itu. Sebelum dia mengeluarkan desahan panjang.

Dia menaruh alat itu di meja. Kemudian menarik koper hitam yang Izuku ingat ada sejak sang ayah pulang. Tapi, anak itu tidak ingat apa sang ayah pernah membukanya. Dia tidak tahu apa isi koper itu.

Jadi, tentu saja dia terkejut ketika Hisashi menarik pistol dari sana.

Izuku mungkin masih kecil. Namun bukan berarti dia tidak tahu apa itu. Bukan berarti dia tidak tahu apa kegunaannya. Lagipula, dia bukan anak yang bodoh.

Tetapi, untuk apa Otou-san punya itu?

Hisashi tampak menggumamkan sesuatu di balik napasnya. Sebelum menyelipkan senjata api itu ke balik jas. Setelah itu, dia kembali meraih alat aneh tadi. Bunyi 'bip' yang keluar semakin keras dan cepat.

Pria itu merutuk. Kemudian berlari ke pintu.

Izuku melihat ketika ekor jubah panjang sang ayah menghilang. Dia berjinjit melewati dapur. Mengikuti Hisashi ke pintu.

Ayahnya membiarkan pintu depan terbuka.

Apapun yang terjadi, dia terburu-buru.

Izuku terdiam. Salah satu suara di otaknya menyuruh untuk berbalik, mengambil salep, kemudian kembali ke kamar untuk tidur. Akan tetapi, suara yang lainnya menjerit.

Apa yang dilakukan Otou-san dengan benda berbahaya seperti itu?

Perasaan Izuku tidak enak. Sesuatu mengganjal dalam hati. Dan itu bukan hal yang menyenangkan.

Melawan penilaiannya yang lebih baik, Izuku mengambil sepatu dan jaketnya. Keluar dari ruangan dan disambut angin malam yang dingin. Langkah kecil mulai mengikuti bunyi bip yang saat ini menuruni tangga gedung apartemen.

Keingtahuan bisa mengalahkan ketakutan.

Namun, keingintahuan juga bisa membunuh seekor kucing.

Izuku berharap nasibnya lebih baik dari si kucing.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro