Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19. Let's Get Going

Shinsou melihat Dorothea berjalan menuju pintu keluar stadium. Dahinya mengerut melihat anak perempuan itu sudah memakai seragam biasa, bukan pakaian olah raga.

"Yo! Dorothea!"

Yang disebut berbalik. Mata emas berkilat ketika bersirobok dengan netra ungu Shinsou.

"Heya, Shinsou-kun! Sudah siap menghadapi Izuku-kun?"

Si purplenette meringis kecil.

"Yeah, begitulah." Alisnya terangkat. "Kau mau kemana?"

Gadis di depannya terhenyak. Kaki mengetuk lantai. Sementara tangannya menggaruk rambut merah yang sebenarnya tidak gatal.

"Aku ada... urusan."

"Urusan?"

Dorothea berjengit. Sang gadis menggigit bibir bawahnya. Tampak merenung sebentar. Akhirnya dia mendesah kecil.

"Jujur, ini ada hubungannya dengan—er, penyeranganku..."

Netra violet mendelik. "Soal Kuba Hisao?" tanyanya.

Wajah Dorothea berputar menjadi ekspresi tidak nyaman.

"Kurang lebih," gumamnya. "Dan—uh, mungkin yang sebelumnya juga..."

"Sebelumnya? Apa maksudmu sebelumnya?!"

Si gadis tak menjawab. Mata emas terlempar ke samping. Menolak untuk memandang wajah sang kawan yang tampak semakin bingung.

Melihat anak perempuan di depannya yang jelas tidak akan menjawab apapun, sang purplenette mendesah.

"Dorothea...," bisik Shinsou. "Apa kau... akan baik-baik saja?"

"Yeah. Aku hanya ingin menggali lebih dalam soal... penyerangan itu." Gadis itu menepuk pundaknya. Berusaha memasang senyum. "Kau tidak perlu khawatir."

Ha. Kau mengatakannya seakan itu mudah.

"Apa kau yakin itu ide cerdas? Penjahat itu tahu namamu," protes Shinsou. "Itu berarti dia bukan orang gila yang memilih korban secara acak. Kau target, Dorothea. Target untuk siapa. Untuk apa. Aku tidak tahu."

Tatapan Shinsou tajam. Rasanya seperti menguliti nurani gadis di depannya. Keduanya diliputi hening. Anak laki-laki itu menunggu penjelasan. Sementara Dorothea tidak bergeming. Mata emas mengerjap.

"Aku—uh, kau ternyata jeli juga."

Shinsou mendengus.

Ya, dia memang pendiam dan lebih suka menyimpan semuanya dalam diri sendiri. Dari dulu dia jarang bicara. Terlebih jika orang yang diajak berkomunikasi tahu soal quirknya. Mereka biasanya malah pergi sebelum dia sempat mengatakan sesuatu.

Maka dari itu—karena dia tidak bisa mendapat informasi dari berbicara—Shinsou belajar mengamati.

Dan dari pengamatannya, Dorothea menyembunyikan sesuatu.

Dia itu aneh. Hal itu terlihat ketika sang gadis dan Izuku sama sekali tidak menghakimi quirknya. Dan dia pikir, sampai di situlah keanehannya berhenti.

Dia salah.

Gadis itu jauh lebih membingungkan daripada yang dia kira.

Pertama, dia memiliki informasi soal serangan besar yang tidak diduga. Dia punya informan—yang Shinsou tidak tahu bagaimana moralnya. Lalu, dia mengenal seorang inventor yang sangat dicari di dunia Kepahlawanan. Lalu dia diserang.

Sungguh, Shinsou tidak iri dengan nasib Dorothea.

Tapi dia khawatir.

Dorothea dan Izuku adalah dua teman pertama yang bisa menerima dirinya apa adanya.

Bukan salah Shinsou jika dia mau mereka aman.

"Kau tahu apa—" Si purplenette mengurut pangkal hidungnya. Sebelum melempar seringaian pada Dorothea.

"Kau berutang padaku."

Gadis itu tersentak. Memberikan pandangan menyelidik kepada Shinsou.

"Berutang untuk?"

"Aku menyelamatkanmu satu kali."

Dorothea ber-'ah' pelan. Dia tampak berpikir sejenak. Sebelum mengangkat bahu.

"Itu adil," gumamnya. "Apa yang kau mau?"

"Penjelasan."

Keduanya saling tatap. Ada sekelebat bingung di netra Dorothea yang sewarna madu. Shinsou menggaruk lehernya.

"Setelah Festival Olahraga, kau akan menjelaskan apa yang kau tahu soal serangan Kuba Hisao, hubunganmu dengan 'informan'-mu, dan—" Shinsou berdehum.

"Kenapa ada bata bisa melayang sendiri."

Tawa kecil lepas dari bibir Dorothea. "Sial, kau masih mengingatnya."

Alis Shinsou naik. Tetapi, melihat sang gadis terlihat lebih rileks, senyum kecil turut muncul di bibirnya.

"Jadi, bagaimana?"

Ada hembusan napas panjang keluar dari mulut Dorothea.

"Baiklah...," ucapnya pelan.

"Bagus." Shinsou mengangguk. Tersenyum puas. "Sampai jumpa setelah Festival."

"Yeah. Semoga beruntung dengan Izuku," kata Dorothea diselingi tawa kecil. "Gunakan semua yang kau punya. Break a leg. All is fair in love and war, after all."

Shinsou mengangkat alis. Sudut bibirnya tertarik ke atas. "Sama untukmu. Semoga beruntung dengan—apapun itu yang harus kau lakukan."

Dorothea mengangguk. Keduanya berpisah. Sang gadis menggumamkan Children of Earth's Lullaby di balik napasnya. Sekali lagi, menyayangkan karena tidak bisa melihat pertandingan dua temannya itu.

***

Suara penonton yang riuh rendah benar-benar membuat Izuku gugup. Anak laki-laki itu berusaha menenangkan napasnya. Bahkan suara keras Present Mic sebagai komentator teredam di otaknya yang berkecamuk.

Dia bisa melihat rambut ungu Shinsou muncul dari ujung lain arena. Bergitu wajahnya tampak, tampak senyum khas terpampang di ekspresinya.

"Halo, Midoriya."

"Shinsou-kun."

Anak itu memberikan anggukan kecil. Tangan sudah berada di atas Jadestaff. Mata hijau menatap fokus.

"Apapun yang terjadi, uh—kita tetap teman?"

Sejenak, senyum Shinsou melembut.

"Tentu, kita memang kawan, kan?"

Sudut bibir Izuku terangkat. Dia tidak menjawab. Shinsou berdecih.

Bocah pintar.

"START!"

Suara Present Mic menggema.

Izuku maju. Tangan mengayun tongkat. Shinsou menghindar. Jadestaff berdebum ketika menyentuh tanah. Mata violet melebar.

Nyaris!

"Heh, kau cepat Midoriya—"

10%. Tembakkan.

Moncong Jadestaff terarah. Energi menembus udara. Shinsou merutuk. Berguling kesamping. Kemudian bergerak mundur. Membuat jarak.

Sialsialsial

Dia sama sekali tidak menjawab!

Otak Shinsou berputar. Dia terdesak. Asalkan dia bisa membuat Izuku menyahut—

Sebuah ide terlintas.

"Hei Midoriya!" panggil Shinsou pada anak yang siap menyebrang.

"Apa kau tahu Dorothea diserang?!"

Langkah si greenette terhenti.

Manik emerald berkilat. Bingung. Tangan yang menggenggam tongkat melonggar.

"Dia diserang oleh pembunuh berantai, Kuba Hisao—" lanjut Shinsou. Menggigit bibir.

Maaf Dorothea, aku sudah janji tapi

"Dia hampir ditusuk dengan belati." Shinsou berusaha mengingat semua detail kejadian itu. Mencari apapun yang mungkin bisa menarik reaksi—jawaban—dari Izuku.

"Belati ular."

Dan kata itu.

Kata itu yang membuat manik Izuku melebar.

"Belati u—?!"

Tubuhnya menegang. Menjadi kaku. Pandangan mata hijau jauh. Kilat emerald menjadi berkabut. Quirk Shinsou mengambil alih. Si anak ungu bersorak dalam hati.

"Berjalan keluar dari garis! Sekarang!"

Dengan patuh, tubuh Izuku bergerak. Pandangannya kosong. Shinsou menarik napas lega.

"Sebenarnya, aku tidak mau melanggar perkataanku pada Dorothea, namun—"

Shinsou mendesah.

"All is fair in love and war, kan?"

Berhasil.

Aku tidak percaya itu berhasil.

Tapi—

Dia terlalu cepat bicara.

Tinggal beberapa langkah. Izuku berhenti. Mata violet giliran terbelalak.

Apa yang—?!!

Izuku berbalik. Ujung Jadestaff menodong Shinsou.

Dia menyeringai.

"15%. Tembakkan."

Tangan Shinsou tersilang di muka. Menamengi diri dari hembusan kuat energi. Matanya tertutup. Debu berterbangan. Dia terdorong. Saat pelupuknya kembali terbuka—

"Bagaimana bi—?!"

—Izuku menjegalnya.

BRUK!

Shinsou oleng. Dia jatuh ke belakang. Didampingi bunyi keras.

Tepat di luar garis.

"DAN PEMENANGNYA ADALAH MIDORIYA IZUKU DARI KELAS 1-C!!"

Gelora teriakan kembali membanjiri stadium. Bersaamaan dengan tepuk tangan dan sorakan.

Shinsou mendesah. Bangkit ke posisi duduk. Mengelus belakang kepalanya. Merasakan sedikit perih di tempat itu.

"Kau baik-baik saja?"

Anak itu mendongak. Melihat wajah Izuku menunduk kepadanya. Raut wajah menunjukkan cemas.

"Kau baik-baik saja? Aku tidak kelewatan, kan?"

Tangannya terulur. Shinsou meringis. Dia tidak bisa marah melihat air muka yang diberikan anak itu. Dia menyambut bantuan Izuku untuk berdiri.

"Ya," ucap Shinsou setelah kembali di kakinya sendiri. "Pertarungan bagus, Midoriya."

Sang anak hijau memberinya senyum lebar. Shinsou mau tidak mau terkekeh melihat pipi Izuku yang bersemburat merah.

"Uh, soal itu. Quirkku, bagaimana bisa—?"

"Ah! Itu!"

Izuku mengangkat tangannya. Cahaya matahari menimpa gelang besi yang melingkari pergelangan anak itu. Membuatnya berkilat.

"Gelang ini, menyetrumku dengan listrik statis dalam jangka waktu tertentu."

"Huh? Apa?"

"Yah—aku tidak tahu bagaimana caranya terlepas dari quirkmu. Tapi, aku berhipotesis quirkmu bekerja seperti sleepwalking. Melihat tidak ada yang ingat apa yang mereka lakukan. Jadi, aku membuat alat kecil untuk membangunkanku—"

"Oke, oke," sela Shinsou. Tersenyum geli. "Aku paham. Menjelaskan quirkku padamu saat makan siang bukan ide baik."

Izuku tersenyum malu-malu. "Yeah, tapi aku juga tidak tahu kita akan saling berhadapan—"

"Tapi serius?" Anak di depannya menggeleng-geleng. "Kau rela disetrum agar bisa mengatasi quirkku? Dorothea benar. Kau tidak maju setengah-setengah."

Izuku tertawa. "Yeah! Memang agak sulit. Tetapi hanya disetrum beberapa kali itu tidak buruk."

"AWW! Sepertinya mereka terlihat sudah berbaikan! No hard feeling, eh?! ANAK-ANAK KELASKU MEMANG YANG TERBAIK!!"

"Mic, kau pilih kasih."

Izuku dan Shinsou saling pandang. Kemudian tertawa bersama mendengar komentar wali kelas mereka itu. Akhirnya mereka turun dari arena bersama-sama. Dengan senyum di wajah.

"Ayo kita ke UKS," ajak Izuku. "Lukamu memang tidak parah, tapi ada baiknya—"

"Aku bisa pergi sendiri," tolak Shinsou. Kemudian terkekeh. "Dan kau tidak kelihatan perlu medis."

Izuku merona. Pertarungan mereka tadi memang cepat. Shinsou bahkan tidak berhasil mendaratkan satupun pukulan ke Izuku.

"Kau pergilah bersiap-siap," ucapnya. "Lawanmu berikutnya—"

"Todoroki Shoto."

Nama itu keluar dari mulut Izuku dengan serius. Shinsou mengangkat alis.

"Kau sangat yakin dia yang akan lolos, huh?"

"Kau sudah lihat quirk anak itu di lomba sebelumnya, kan?" balas Izuku. "Menurutmu dia bisa kalah?"

Shinsou terkekeh. "Yeah, benar. Sepertinya semua orang waras sudah tahu hasil pertarungan itu."

Anak berambut ungu itu mulai berjalan menjauh. Tangan bersarang di saku. Namun, sebelum dia berbelok di lorong, dia berhenti. Kemudian menengok kembali ke belakang.

"Oh, ya, Midoriya?"

"Humm?"

"Aku tahu kau cemas soal Dorothea. Tapi kenapa kau menjadi semakin panik ketika mendengar belati ular?"

Izuku tercekat. Dia menutupi kekagetannya dengan tawa canggung. Tangan menggaruk rambut.

"Ah... itu..."

Izuku memikirkan apa yang harus dia katakan. Dia pembohong yang buruk. Dan dia tidak sepandai partnernya dalam merangkai kebenaran. Dorothea yang lebih baik dalam hal itu.

"Er—itu hanya terdengar... familiar?"

Dia berjengit mendengar kalimatnya sendiri. Jelas tahu bahwa nadanya terdengar ragu. Shinsou sepertinya juga tidak memakan kata-katanya. Kalau dilihat dari alis yang terangkat dan pandangan tidak percaya.

"Familiar. Bagaimana bisa senjata seorang pembunuh 'familiar'?"

Izuku berjengit lagi. Dia menahan diri untuk tidak menyembunyikan wajah di telapak tangannya.

Sial!

Awas saja ya, Dorothea-chan.

Tidak hanya kau menyembunyikan hal ini dariku—

Kau juga membuatku terjebak dalam pembicaraan seperti ini!

***

"HATSCHU!!"

Suara bersin Dorothea menggema di dalam mobil. Bahkan sempat membuat tangan Eins yang 'menggenggam' bahunya terlepas.

"Kau baik-baik saja, Dorothea?" tanya Avery yang duduk di sampingnya. Dia melepaskan syal yang dia pakai. "Apa dingin? Ini, pakailah."

Dorothea hanya mengucapkan terima kasih. Sebelum meraih dan melilitkan syal itu di lehernya. Bau parfum mawar sang Ibu masih menempel di sana.

"Apa karena aku?" tanya Eins.

Dorothea menggeleng. Dia mengangkat syal itu sampai menutupi bibirnya. Sebelum bergumam kecil.

"Bukan. Mungkin ada orang yang membicarakanku?"

"Kau mengatakan sesuatu, Dorothea?" Sang Ayah menengok dari kursi depan. Dia duduk disamping Hisashi Midoriya yang menyetir.

"Oh, uhm, hanya bicara dengan Eins," jawab Dorothea canggung.

Orang tuanya hanya memberi senyum lembut. Sebelum mengangguk dan kembali diam. Selama semenit, yang terdengar hanya deru halus mesin mobil dan jalan raya yang mereka lewati.

Sampai Hisashi angkat bicara.

"Aku masih tidak percaya kau memutuskan berteman dengan hantu," ucapnya geli. "Aku penasaran ekspresi kalian saat tahu, Akira, Avery," candanya.

Dorothea tertawa kecil di balik kain syal merah. Dia ingat wajah keduanya waktu itu. Rahang mereka langsung jatuh terperangah. Seperti ikan koi. Terlebih ketika melihat Eins menggeser gelas di meja dan merasakan tangan dinginnya 'menyentuh' mereka.

Untung saja, keluarga Takeshita-Tuning sudah terbiasa dengan hal-hal aneh dan magis.

Jadi menerima hantu di kehidupan sehari-hari bukanlah hal yang sulit.

"Apa Nikky benar-benar tidak mengatakan detail apapun padamu, Hisashi?" tanya Avery.

Sang pria berdehum. "Dia bilang lebih baik mengatakan semuanya secara langsung. Dan dia memaksa agar Dorothea ikut."

"Itu juga yang dia katakan saat menelponku," gumam Akira.

Dorothea mengeluarkan desahan kecil. Jika Nikky tidak memberikan apapun, itu artinya mereka harus sampai di Hosu dulu agar mendapat keterangan.

Dia menempelkan kepala ke jendela. Melihat mobil-mobil yang bergerak di sekitar mereka dan tumbuhan lampu-lampu jalan yang bergerak semu ke arah lain.

Eins melayang di dekatnya. Tubuh menembus kursi dan Hisashi yang sedang menyetir.

"Kuharap semuanya baik-baik saja," bisik Dorothea. Tidak yakin kepada siapa. Namun, semua orang—dan hantu—di mobil itu setuju.

Atmosfir tenang melingkupi mereka sejenak. Dorothea sibuk melamun dan melihat ke jalan. Sampai dia disentak oleh getaran dari dalam tasnya. Bersamaan dengan bunyi notifikasi pesan.

Gadis itu langsung mengambil ponselnya keluar. Melihat beberapa pesan dari Izuku yang baru masuk.

Apa pertandingannya sudah selesai?

Ini lebih cepat dari yang aku kira.

Sang gadis meringis. Kemudian ingat bahwa Izuku secara teknis 'berlatih' setiap malam bersamanya sejak mereka masih SMP. Ditambah lagi arahan dari Nikky dan Monika dan peralatan yang dia buat.

Jujur, sepertinya Shinsou tidak punya kesempatan.

Yah, aku harusnya tidak terkejut.

Dorothea membuka pesan Izuku. Sudah siap mengetik kata selamat. Namun, ternyata isi pesan itu bukan tentang kemenangannya di babak penyisihan.

***

Private Message
You >> Broccoli Boi

Broccoli Boi
Dorothea-chan

Broccoli Boi
Kenapa kau tidak bilang ada orang dari organisasi itu menyerangmu?

Broccoli Boi
Kenapa aku baru tahu dari Shinsou?

Broccoli Boi
:)

You
Senyum itu terlihat seperti ancaman

You
Aku minta maaf. Aku hanya tidak ingin kau khawatir

You
Izuku-kun?

You
Oi, jawab aku

You
Aku tau kau masih disana!
[Read just now]

***

"Sial," decih Dorothea. Dia melirik ke Eins yang menelengkan kepala dengan bingung.

"Izuku-kun sepertinya sedang menyiapkan ceramah."

***
.
.
.
.
.
.
.

A.N.:
Chapter ini selesai jam 12 malem, baru aku up sekarang and honestly at this point idgaf lmaoo...

Enjoy!

Thank you for reading! :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro