Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Red, Green, Candy Cane

Lomba ketiga adalah pertarungan satu lawan satu.

Pengumuman pasangan untuk bersaing ditampilkan di layar besar. Tepat setelah beberapa anak memutuskan untuk mengundurkan diri. Mereka tidak ingat apa yang mereka lakukan di babak sebelumnya. Jadi, mereka merasa tidak pantas untuk lanjut.

Semua anak itu dari tim Shinsou. Izuku tidak menyalahkan mereka. Tapi dia tidak menyalahkan temannya itu juga. Penggunaan quirk jelas diperbolehkan. Itu tidak curang.

Akhirnya pasangan lawan muncul.

Izuku hampir memekik ketika namanya bersanding dengan Shinsou.

Dia sudah tidak sabar.

Namun sebelum itu, ada jeda makan siang dan perlombaan hiburan. Sekaligus jeda untuk para peserta yang lolos mempersiapkan diri.

Izuku tentu tidak membuang kesempatan. Selagi orang-orang berduyun-duyun untuk mengisi perut, dia dan Hatsume langsung berlari ke Development Studio. Alat support mereka harus dicek ulang. Dua anak itu juga harus mengambil alat-alat tambahan mereka.

"Kau yakin tidak butuh yang lain?" tanya si pinknette selagi mengecek jaring untuk capture gun-nya. Manik yang berbentuk layaknya lensa sorot melirik ke Izuku.

"Sayang loh, kau juga membantu membuat semua ini."

Izuku hanya menggeleng. Tangan sibuk mengencangkan baut yang kendur di tongkat kesayangannya.

"Tidak perlu," jawab si bocah hijau. "Jadestaff sudah cukup. Dan juga—eh? Dimana aku menaruh benda itu?"

Kepala Izuku celingukan. Mencari sesuatu diantara tumpukan besi, perkakas, dan cetak biru yang menghiasi meja Development Studio.

Hatsume tergelak. Sebelum menemukan terlebih dahulu apa yang kawannya itu cari. Menariknya dari bawah kain berbekas oli. Sebelum melemparkannya ke Izuku. Anak itu refleks menangkapnya.

Benda itu sebuah gelang.

Warnanya perak mengkilat. Tampak dibangun dari potongan besi dan mesin yang dirangkai menjadi satu. Jika dilihat lebih seksama, itu jelas sebuah komponen mekanik.

"Kau tahu memakai gelang itu sama saja menyiksa diri sendiri, kan?" ucap Hatsume sembari meringis.

"Yeah." Izuku memasukkan gelang itu ke saku.

"Tapi ini tindakan pencegahan untuk quirk Shinsou."

Hatsume mengangkat alis. Izuku hanya tersenyum simpul. Tidak memberikan penjelasan lanjutan.

"Lagipula, aku bisa menahan sakitnya. Ini hal kecil."

"Pft, terserah katamu, Greenie," kata Hatsume. Memandang Izuku yang memasukkan gelang tadi ke sakunya.

"Tidak seperti dua alat membosankan itu, aku akan memamerkan baby-baby yang lain! Ini akan sangat keren!"

Izuku pura-pura terkesiap tersinggung. Tangannya memegang dada.

"Mei! Berani-beraninya kau mengejek Jadestaff! Belahan hatiku!"

"Pfft! Hahaha! Sejak kapan kau mengencani tongkatmu?! Dasar aneh!"

"You're the one to talk, Pinky. Kau memanggil ciptaanmu 'baby'!"

Keduanya terkekeh bersama. Sebelum Izuku keluar dan meninggalkan gadis berambut merah jambu itu mempersiapkan mesin yang dia butuhkan.

Bocah hijau berjalan sembari bersenandung kecil. Dua bagian Jadestaff menggantung di sabuknya. Izuku tidak bisa menahan senyum melirik senjatanya itu.

Izuku yang dulu mungkin tidak akan percaya dimana dia sekarang. Berada di ronde terakhir Festival Olahraga U.A. dan bersanding dengan orang lain yang sangat berbakat.

Dan dia melakukan semuanya tanpa quirk.

Dia yang sekarang bahkan masih tidak bisa percaya.

Rasanya seperti mimpi.

Anak itu terkikik kecil. Sebelum mempercepat langkah. Dia berniat mencari Dorothea sebelum kembali ke arena. Mungkin sedikit meneriaki si gadis karena dia memutuskan sengaja kalah di ronde pertama.

Sayang sekali, mood-nya yang sedang bagus hancur begitu si greenette berbelok di lorong.

Manik hijau menangkap rambut dwiwarna.

Berdiri sendiri di lorong temaram dengan muka datar. Namun, ketika dia sadar dia tidak sendiri, sepasang mata abu-abu-biru langsung menatap Izuku tajam.

"Kau."

Suara anak itu dalam. Terdengar lembut seperti kain sutra.

Tapi nadanya sangat dingin.

Izuku tersentak. Berdiri dengan canggung. Berusaha tidak blak-blakan melirik ke luka di mata kanan laki-laki yang berdiri di depannya.

Anak ini...

"Uh, kau—Todoroki, benar? Putra Endeavor?"

Dua manik heterokrom masih tidak bergeming menatapnya. Biru seperti pecahan es dan abu-abu yang suram.

Tatapannya penuh perhitungan.

Izuku merasa terperangkap.

"Err, apa ada yang bisa kuban—"

"Siapa kau?"

Anak itu tersentak. Kepala berambut hijau dimiringkan ke samping. Tidak paham dengan maksud pertanyaan itu.

"Uh, aku Midoriya Izuku—"

"Aku tahu."

Lagi-lagi jeda diam. Dua anak itu terlibat dalam perlombaan saling tatap. Tidak ada yang berkutik.

"Yang tidak aku tahu adalah—"

Suara Todoroki bergetar ketika dia menunduk. Menatap ke tangan kananya dengan wajah mengkerut.

"Bagaimana bisa anak Prodi Umum sepertimu membuat kontrol apiku lepas?"

Oke, itu tidak sopan.

Kenapa harus bawa-bawa Prodi?

Izuku mendengus. Sekilas paham dengan aversi Dorothea terhadap Pahlawan.

Tapi, ada hal lain yang harus dia luruskan.

"Jadi benar, huh?"

Netra hijau turut bergulir melirik tangan kanan anak di depannya.

Gambaran percik api terlintas di ingatan. Merah dan panas. Walau hanya sekilas.

"Kau punya dua quirk."

Ada secarik gusar terlintas di air muka Todoroki. Sebelum bibirnya kembali menjadi garis lurus dan ekspresinya kembali netral.

"Ya."

Singkat, jelas, padat.

Izuku mendengus. Dia tidak yakin apa yang anak ini mau. Mungkin sebaiknya dia pergi saja. Daripada membuang waktu dengan pembicaraan yang tidak mengarah kemanapun.

Namun, mulut pengkhianatnya memutuskan untuk angkat bicara.

"Api dan es. Quirk yang sempurna sekali untuk calon Pahlawan."

Izuku bersumpah itu pujian.

Tetapi Todoroki sepertinya tidak berpikir hal yang sama.

Melihat kilatan marah di manik beda warna Todoroki, Izuku kembali menelengkan kepala. Rasa penasaran membuncah di hatinya.

Dia tahu skenario ini seperti membangunkan singa tidur. Akan tetapi, Izuku tidak bisa menahan dirinya.

"Kau sepertinya tidak menyukai apimu."

Itu bukan pertanyaan.

Semua petunjuk tergambar jelas dari cara Todoroki bersikap. Dari gerak-gerik anak itu saat topik tersebut disinggung. Si greenette bahkan tidak perlu mengenal Todoroki untuk tahu bahwa hal ini cukup sensitif.

Wajah Todoroki mungkin datar.

Namun bukan berarti Izuku tidak bisa membaca ekspresi mikro anak itu seperti buku yang terbuka.

"Aku tidak akan pernah memakai api orang itu," geram Todoroki.

Sekarang Izuku semakin bingung. Dia belum sempat bertanya, Todoroki melanjutkan.

"Apa kau tahu apa itu quirk marriage?"

Mata hijau mengerjap. Izuku menelah ludah.

Tentu saja dia tahu. Semua orang tahu. Itu adalah hal tabu dan kolot yang sudah ditinggalkan oleh orang beradab zaman sekarang.

Pernikahan hanya untuk menghasilkan quirk yang sempurna.

Izuku tidak suka kemana pembicaraan ini mengarah.

"Kau pasti tahu ayahku—"

Flame Hero, Endeavor.

"Dia selalu menjadi Nomor Dua. Selalu di belakang All Might."

Jeda.

Dua anak itu saling tatap. Mata penuh dengan kalkulasi. Layaknya dua serigala yang menantang satu sama lain.

"Jadi dia memutuskan untuk membuat keturunan yang bisa."

Alis Izuku terangkat. Todoroki melanjutkan.

"Maka dari itu, dia menikahi ibuku yang memiliki quirk es. Quirk yang mengimbangi apinya."

Napas Izuku tercekat.

Astaga.

Ini—aku sekarang paham kenapa Dorothea tidak suka Pahlawan.

Aku tahu Endeavor bukan Pahlawan paling ramah. Tapi ini

Ini kelewatan.

Si anak panas-dingin sepertinya tidak melihat wajah tidak nyaman Izuku. Malah terus berkoceh.

"Dia melatihku dengan sangat brutal. Dia juga menyakiti Ibuku dan menelantarkan kakak-kakakku. Api ini miliknya. Aku tidak sudi menggunakan api dari orang yang menyiksa kami."

Todoroki menunduk. Melihat ke tangan kanannya yang terkepal. Giginya menggeretak.

"Maka dari itu, aku akan menang tanpa menggunakannya."

Izuku merasakan sesuatu di dalam dirinya putus.

Mungkin urat kesabarannya.

Sekilas, manik hijau berkilat di lorong yang gelap. Tajam dan berbahaya. Tangan Izuku menggenggam kuat. Sampai buku-buku jarinya memutih.

Dan anak itu terkekeh.

Todoroki sejenak tampak terkejut. Sebelum ekspresi datarnya berubah menjadi bingung dengan sedikit waspada.

Tawa itu bukan tawa geli. Ataupun mengejek.

Kekehan Izuku hanya terdengar lelah.

"Kau—astaga—sungguh? Kau serius?"

Izuku terkekeh di sela kalimatnya itu. Sampai akhirnya suara tawa mereda. Diikuti dengan hembusan napas panjang. Sang greenette mengurut pangkal hidungnya.

"Kau—aku tidak percaya ini." Izuku berusaha mengatur emosinya. "Dengar, aku tidak tahu soal kehidupan personalmu. Mungkin hidupmu seperti neraka. Tapi kau tahu apa?"

Dia menatap Todoroki tajam. Suaranya menggigit.

"Aku punya nerakaku sendiri."

Kedua anak itu menjaga posisi mereka. Tidak ada yang berkutik. Keduanya mengangkat dagu tinggi-tinggi secara figuratif.

"Aku quirkless," bisik Izuku. Pandangan masih lekat dengan wajah anak di depannya.

"Kau tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk bisa berada di sini, Todoroki-san," ucapnya lagi. Suaranya bergetar. "Kau tidak tahu apa yang kualami. Setiap ejekan dan luka. Hanya karena aku tidak punya satupun kekuatan yang keren."

Ada jeda lagi.

Izuku menggeleng-gelengkan kepala.

"Dan kau—kaupunya dua quirk."

Todoroki kini hanya mematung.

Izuku mendesah berat.

"Kau punya dua. Dan kau seenak jidatnya tidak memakai semua kekuatanmu itu? Di hadapan anak lain yang harus memberikan seluruh kerja keras mereka? Apa kau tidak malu?!"

Izuku tahu suaranya meninggi. Dan tawa yang keluar setelahnya terdengar agak manik. Mata Todoroki berkedut. Impresif dia masih bisa memasang wajah tenang di depan Izuku yang terkikik histeris.

Setelah tawanya berhenti. Izuku melangkah maju. Melengos melewati Todoroki. Namun, di ujung lorong, kakinya berhenti.

"Aku tak berniat menang. Namun, di luar sana aku akan berkelahi mati-matian dengan semua yang kupunya."

Kepala bersurai hijau menengok.

"Apa kau bisa mengatakan hal yang sama?"

Dengan itu, Izuku pergi.

Meninggalkan Todoroki yang tidak bergeming di lorong gelap. Masih terkejut. Hanya menatap punggung si bocah hijau yang berlalu.

Sampai dia mendengar suara tepukan tangan.

Anak berambut dwiwarna itu spontan berbalik. Melihat seorang gadis berambut merah berjalan mendekat. Todoroki bisa melihat senyum miring di bibir yang tipis.

Panggilan manis tercurah dari mulut si perempuan layaknya racun.

"Oh, darling."

Netra emas menatap menusuk.

"You've done fucked up."

***

Dorothea baru saja berganti ke seragam biasa dari baju olah raganya. Sebelum dia mencari Izuku untuk memberitahukan rencana dadakan pergi ke Hosu.

Namun, yang dia temukan bukan sesuatu yang bisa dibilang menyenangkan.

Anak berambut hijau itu sedang terlibat dengan anak laki-laki berambut putih-merah. Dorothea mengenalinya dari Cavalry Battle tadi. Dan dia kemungkinan yang menyebabkan dinding es besar saat lari halang rintang.

"Todoroki Shoto."

Eins berbisik di telinganya. Tangan dingin 'diletakkan' di pundak Dorothea.

"Putra Todoroki Enji."

"Siapa?"

Si hantu memberikannya pandangan tak percaya. Sementara sang gadis mengangkat bahu.

"Pahlawan Nomor 2. Endeavor."

Nama itu tidak terdengar asing.

Dorothea bisa mengingat nama itu kadang disebut di acara berita. Diikuti dengan wajah seorang Pahlawan bermuka tak ramah yang selalu ditertawakan oleh gadis itu.

Serius, Dorothea heran apa maksud jenggot terbakar si Pahlawan. Dia terlihat konyol.

Akan tetapi—mengabaikan selera
style Pahlawan yang tidak masuk akal—ada masalah yang lebih penting sekarang.

Seperti konfrontasi dua anak ini.

Dorothea berdiri di belakang dinding. Memutuskan untuk mendengarkan terlebih dahulu. Bersiap-siap menyela jika diperlukan.

Dia tidak menyangka akan mendengar topik yang sensitif.

"Good lord," gumamnya. "Siapapun Endeavor ini, dia resmi menggeser All Might dari list Pahlawan Yang Paling Kubenci."

"Aku yakin waktu itu All Might tidak berniat menyinggung Izuku, Dorothea."

"Ssh, diam Eins."

Gadis itu bisa menangkap suara Izuku sekarang. Dalam hati dia menyoraki sahabatnya. Merasa bangga kepada si greenette yang bisa membela dirinya sendiri dalam perdebatan. Poin yang diberikan Izuku juga masuk akal.

Good job Izuku-kun!

Akhirnya, dia mendengar langkah kaki menjauh. Ketika dia mengintip ke lorong, dia melihat Izuku baru saja melempar kalimat terakhirnya, sebelum beranjak pergi.

Dorothea mengerjapkan mata.

Dia tidak pernah mendengar Izuku begitu... pasif-agresif.

Akhirnya, setelah langkah kaki bocah hijau itu hilang dari udara, Dorothea melangkah maju. Eins melayang mengikuti. Gadis itu menepukkan tangannya dengan santai. Membuat pria yang ditinggal di lorong menoleh.

"Oh, darling."

Panggilan itu sarat dengan sarkasme.

"You've done fucked up."

Mata emas beradu dengan abu-abu-biru.

"Kau... gadis dari USJ. Yang memperingatkan para guru."

Tidak menghiraukan perkataan Todoroki, Dorothea melempar pandangannya ke ujung lorong. Ke tempat sahabatnya tadi berdiri. Sebelum melipat tangan di dada bersiul.

"Kau impresif juga, Candy Cane"

"Candy"

"—Jarang ada orang yang bisa membuat Izuku-kun kesal begitu."

Dia memberikan senyum tanpa dosa ke arah Todoroki. Yang kelihatan agak bingung dengan nickname dari sang gadis.

Apa boleh buat, rambut putih-merah itu mengingatkan Dorothea pada permen tongkat rasa mint.

"Oke, tapi serius, yang kau lakukan sekarang ini—agak berengsek," ucap si gadis jujur. "Kau tahu yang kau lakukan ini sama saja merendahkan murid lain yang berjuang di luar sana, kan?"

Wajah Todoroki tampak tidak senang. Tangannya terkepal kuat-kuat.

"Berapa lama kau menguping kami?"

"Menguping? Nah, aku... mencari informasi," tukas Dorothea. "Oh, dan aku ada di sana sejak awal pembicaraan kalian."

"Jadi kau tahu alasanku—"

"Bukan berarti itu membenarkan perbuatanmu," tandas si rambut merah. "Tragic backstory don't give you the right to be an asshole."

Dia bisa melihat tubuh Todoroki menegang. Sementara si gadis dengan polosnya memiringkan kepala. Surai merah yang tidak tergulung jatuh di pundaknya.

"Api ini melukai orang lain."

"Dan menurutmu es-mu tidak?"

Todoroki tercekat. Sementara Dorothea menahan senyum. Eins melayang di sampingnya. Mata dingin memandang wajah Dorothea dengan penasaran. Tertarik soal kemana pembicaraan ini mengarah.

"Saat lomba lari, saat kau membuat robot itu jatuh dengan es, seseorang bisa terluka, lho."

Nada suara gadis itu ringan. Wajahnya tersenyum. Akan tetapi—

"Kau bisa saja membunuh seseorang."

—Isi kalimatnya keras.

Todoroki tampak terkejut. Netra heterokrom membulat. Bibirnya agak terbuka.

"Aku tidak bermaksud—"

"Bermaksud atau tidak, kau bisa melukai seseorang," sela Dorothea. Dia berdehum.

"Jadi kupikir, es dan apimu sama saja. Hanya bagaimana kau memakainya."

Gadis itu berjalan mendekat. Mata Todoroki sama sekali tidak lepas. Akan tetapi, kali ini Dorothea bisa melihat keraguan di sepasang netra itu.

"Kau tadi bilang api itu milik ayahmu?"

Hening.

Todoroki tidak menjawab.

"Yah, aku tidak melihat Janggut Terbakar itu disini mengontrolnya," ucap si gadis lagi. "Bukankah api itu di tanganmu?"

Sejenak, Todoroki tampak mempertimbangkannya. Dorothea bisa membayangkan gir di otak anak itu berputar.

Namun, ekspresinya kembali mengeras.

"Ayahku menggunakan quirk ini untuk hal buruk."

"Jadi kenapa tidak kau gunakan untuk hal baik?"

Lagi-lagi hening.

Dorothea hanya menggeleng. Rambut merah terlibas saat bergerak.

Keras kepala.

Dalam hati dia agak kecewa tidak bisa merubah sudut pandang anak ini. Dorothea pikir kemampuan kata-kata persuasinya sudah cukup kuat.

Ah.

Tapi aku tahu siapa yang bisa.

"Kalau begini, pertandinganmu dan Izuku akan jadi menarik."

Alis Todoroki terangkat. Tidak paham. Sementara Dorothea mengeluarkan kikikan geli. Sebelum berjalan melewati anak itu.

"Yah, Tapi aku harus pergi. Sayang aku tidak akan bisa menonton—"

"Menurutmu temanmu itu akan menang?"

Langkah Dorothea berhenti di mulut lorong. Sebelum dia berbalik dan mencubit-cubit dagunya. Berpikir.

"Tidak. Tidak juga. Kesempatan kalian... 50/50. Seimbang."

Seringaian mulai terlukis di wajahnya. "Tapi—"

"Kupikir definisi 'menang' untuk Izuku-kun baru saja berubah."

***

Belum jauh dia berjalan dari lorong, lengan Dorothea ditarik oleh seseorang. Sukses membuat si gadis memekik dan hampir jatuh terjengkal.

Suara tawa yang bergema di telinganya sangat familiar.

"Kau benar-benar ya, Dorothea-chan." Izuku—si pelaku penarikan itu—tersenyum lebar. Ternyata dia tidak langsung pergi setelah selesai dengan Todoroki.

"Dasar, memancing anak Prodi Pahlawan seperti itu..."

Kepala berambut hijau menggeleng. Dorothea hanya terkekeh dan mengangkat bahu.

"Ayolah, kau yang mulai duluan," kata si gadis dengan senyum lebar. "Jadi, kau mendengarku dan Candy Cane tadi? Apa tebakanku benar?"

Izuku tampak bingung. Eins yang menampakkan diri di belakang anak itu juga mengadopsi muka heran yang sama. Dorothea terkikik.

"Tebakan?"

"Yep!" Mata emas sang gadis menelisik wajah Izuku. "Sekarang kau tidak peduli soal mengalahkannya, kan?"

Senyum siswi itu berubah menjadi cengiran menggoda.

"Kau ingin membantunya."

Izuku mengerang dan mengusap wajahnya. Gestur itu membuat lawan bicaranya tergelak lagi.

"Ya... astaga—apa aku semudah itu ditebak??"

"Oh, Izuku-kun." Dorothea menepuk pundak sang kawan dengan pelan. "You're softie. Kau akan membantu semua orang kalau kau bisa."

Izuku hanya mendengus. Walaupun poin anak perempuan di depannya itu  benar juga. Kadang Izuku tidak bisa diam kalau soal mencampuri masalah orang lain.

"Jadi... kau punya rencana?"

"Entahlah." Si greenette mengelus dagu. "Tapi—kupikir aku akan coba mendorong Todoroki-san memakai apinya."

"Uh-huh," gumam Dorothea. Dia melirik ke belakang. Melihat ke lorong yang dia tinggalkan. Entah apa Todoroki masih di sana atau tidak.

"Aku sudah menanam bibit ragu di hati anak itu," gumam gadis itu.

Dia mengacungkan kepalan tangannya ke Izuku. Sudut bibir tertarik ke atas.

"Sisanya terserah padamu."

Izuku meringis. Lalu mengadukan kepalannya sendiri ke Dorothea. Fist bump.

"Ngomong-ngomong, kenapa kau ganti pakai seragam?"

"Ah! Benar!"

Dorothea menceritakan soal telepon yang dia terima. Dan alasannya harus pergi ke Hosu sekarang.

"Ayah tidak memberi tahu lebih?" tanya Izuku. Ada kekhawatiran di kalimatnya.

Dorothea menggeleng. "Sepertinya lebih aman jika kami berbicara di The Hourglass."

Anak yang berambut hijau mengangguk paham. Kemudian memberikan senyum lemah. Merasa bersalah karena tidak bisa menemani.

"Janji kau akan hati-hati?"

"Tentu," ucap Dorothea. "Lagipula, ini cuma The Hourglass. Di sana ramai. Ada Ayahmu, Nikky, dan Monika. Ada Eins juga."

Mendengar namanya disebut, si hantu terbang menembus Dorothea dan melayang di belakangnya. 'Meletakkan' tangannya di atas kepala sang gadis.

"Hmm, yah. Seseorang harus mengawasimu."

Dorothea terkekeh lagi. Sebelum kembali memandang Izuku.

"Semoga kita berdua beruntung hari ini, Izuku-kun. Believe and carry on."

Mata hijau mengerling. Izuku mengangguk.

"Godspeed."

***
.
.
.
.
.
.
.
.

A.N.:
Mhhmm update lebih cepat dari rencana go brrrr.

Anyway, aku sudah membaca manganya sampai chapter 307.

Apa artinya ini untuk Interweave dan Smithborn Family AU? I dont fricking know. There is a lot of stuff to unpack. Mulai dari backstory Dabi, the nature of One For All and wtf happened to Shigaraki.

Aku punya 'ide'. Tapi tidak konkret dan bisa berubah sewaktu-waktu. Mungkin akan kutulis di message dan kuumumkan.

Eh, anyway, terima kasih sudah membaca. Semoga kalian suka interaksi Todoroki-Izuku-Dorothea.

Thank you for reading! :D

Edited [07/03/21] : menambahkan sedikit di awal soal anak-anak yang mengundurkan diri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro