17. Unconventional Method
Empat puluh dua siswa yang berhasil menembus garis akhir kembali berkumpul di dalam stadion. Hatsume mendapat urutan ke-41. Dari debu dan coreng hitam di baju serta wajahnya, Izuku bisa menebak apa yang terjadi.
"Setelah menjatuhkanmu, aku ikutan jatuh, hehe..." Hatsume terkekeh tanpa rasa malu. "Sayangnya aku tidak punya rencana seperti kau, Greenie."
Izuku hampir meminta maaf. Namun, senyum lebar Hatsume cukup menjadi tanda bahwa gadis itu tidak menyalahkannya.
"Hey! Aku masih lolos! Aku masih bisa memperlihatkan baby-ku yang imut pada dunia!"
Hatsume mengatakan itu dengan merentangkan tangannya. Sebelum tertawa lebar. Anak berambut hijau yang menjadi lawan bicaranya ikut terkekeh.
Izuku melempar pandangan ke pintu gerbang untuk terakhir kalinya. Merasa agak kecewa tidak melihat Dorothea lolos. Tetapi, tahu sifat sahabatnya itu, Izuku berani bertaruh si gadis tidak keberatan.
Midnight kemudian mengumumkan lomba kedua.
Cavalry Battle.
Izuku langsung tersenyum bangga. Menonton semua rekaman lama Festival Olahraga itu memang membuahkan hasil. Dia pantas mendapat tepukan di bahu.
Yep, lomba kedua. Lomba yang mengharuskan kerja sama tim, sesuai prediksi.
Checkmate.
Midnight menjelaskan peraturan lomba itu. Setiap anak akan mendapat poin sesuai urutan menyelesaikan lari halang rintang tadi. Lalu, mereka harus membentuk tim, yang mana jumlah poin anak dalam satu tim akan dijumlah dan ditaruh pada satu ikat kepala.
Penunggang akan menjadi yang memakai ikat kepala itu. Bisa dibilang, dia adalah target. Sementara yang lain menjadi 'kuda'-nya. Objektif mereka adalah saling merebut ikat kepala.
Yang mendapat ikat kepala dengan poin paling banyak, dia yang menang.
"Oh! Dan satu lagi!"
Suara Midnight bergema keras. Ada seringaian di wajah Pahlawan itu.
"Untuk peringkat pertama, nilaimu—"
"10 JUTA POIN!"
Semua peserta terkesiap.
Perlahan menengok ke pemenang lomba sebelumnya. Ekspresi mereka beragam. Kaget, senang, mencemooh.
Sementara itu—
Mata merah Bakugou Katsuki melebar.
"APA-APAAN?!?!"
Ugh, batin Izuku. Berisik.
"Jadi itu sebabnya kau tidak mau menjadi nomor satu," bisik Shinsou. Senyumnya mengembang.
"Kau mengerikan, Midoriya. Kau yakin quirkmu bukan inteligensi seperti Nezu?"
Yang disebut hanya menggeleng dan tertawa kecil. "Aku hanya berlogika dan membuat kesimpulan."
Izuku mulai memperhatikan kerumunan anak. Tidak mempedulikan sang mantan sahabat yang mulai menyerukan serangkaian kata yang pasti harus disensor televisi nasional. Otaknya sibuk berpikir untuk membuat kelompok.
"Kau mau setim denganku, Shinsou-kun?"
Anak ungu yang ditanya diam sejenak. Memikirkan tawaran itu. Sebelum akhirnya menggeleng.
"Terima kasih, tapi posisimu juga rawan incaran. Sebaiknya kita berpisah."
"Ah! Masuk akal. Semoga beruntung, Shinsou-kun!"
"Kau juga."
Dengan itu, Shinsou beranjak untuk mencari anggota timnya sendiri.
Sementara itu, Izuku melihat sekelebat rambut merah jambu dan kacamata steampunk. Lalu langsung menghampiri orang itu dengan senyum lebar.
"Bagaimana Mei-san? Kita sudah siap?"
Orang yang dipanggil meringis dengan semangat. Tangannya mendorong kotak besar. Tempat mereka menyimpan alat-alat yang sudah mereka buat dua minggu ini.
"Aye-aye, Greenie! Tapi kita masih butuh orang lain! Tidak mungkin hanya berdua!"
"Kalau begitu, kami boleh ikut, kero?"
Dua penemu muda itu tersentak. Sebelum menoleh ke sumber suara. Tampak gadis berambut hijau gelap panjang. Jari telunjuknya menempel di bibir dengan lidah yang sedikit terjulur.
"Asui—er! Tsu-san!"
"Kero, kero!" Tsuyu tersenyum. "Kalian tidak keberatan, kan?"
Izuku dan Hatsume saling bertukar pandang. Sebelum tersenyum menghadap Tsuyu.
"Selamat datang dalam tim!" ucap Izuku. Sebelum dahinya mengkerut.
"Umm, tadi kau bilang 'kami'?"
"Ah, a-ano..."
Seorang anak perempuan berambut cokelat maju dari belakang Tsuyu. Bibirnya agak bersemu malu.
"Aku Uraraka Ochako! Uh... aku melihatmu setelah.. uh, USJ. Boleh aku menjadi timmu juga?"
Izuku langsung mengangguk. Membuat tim ternyata lebih mudah dari yang dia sangka.
"The more the merrier," ucap Izuku diikuti seringaian.
"Omong-omong, Uraraka-san, apa quirk-mu?"
"Oh!"
Uraraka kemudian menjelaskan soal Zero Gravity. Quirk yang bisa membuat benda melayang di udara.
Mata Izuku langsung berkilat. Jarinya gatal ingin membuat notes.
"Itu quirk yang hebat," pujinya. Wajah mulai mengerut sembari otaknya menyusun rencana.
"Mei, apa saja yang kita punya?"
"Satu jetpack, kacamata infrared, sepasang hovershoes dengan sol kecil, dan—"
Hatsume mengeringai. Dia menarik tiga bola berwarna platinum dari kotak itu. Izuku langsung terkekeh.
"Bagus! Semua itu dan ditambah Jadestaff—"
Anak itu tersenyum. Melirik ke tongkat di pinggangnya. Sebelum kembali menatap anggota tim itu satu persatu.
"Baiklah. Ini rencananya..."
***
Dorothea kembali dari kamar kecil ke deretan tempat duduk untuk kelas 1-C. Dia bisa melihat hampir semua kursi sudah kembali terisi. Ternyata memang banyak anak Prodinya yang tidak lolos.
"Dorothea-chan! Di sini! Di sini!"
Matanya melihat rambut biru yang tidak asing. Hikaru melambaikan tangan untuk menarik perhatiannya. Menunjuk kursi kosong yang ada di sampingnya.
Gadis berambut merah itu mendekat dengan senyum tipis.
"Bukankah kau tadi masih di UKS, Hikaru-san?"
"Recovery Girl langsung menyembuhkanku!" ucap Hikaru bersemangat. "Ayo duduk! Aku sudah menjagakan kursi ini untukku."
Dorothea merasa agak sedikit terkejut. Sebelum tersenyum lembut. Kawan barunya ini sangat baik hati. Siapa dia untuk menolak ajakan ramah itu.
Si gadis duduk. Mata emas memandang ke lapangan. Melihat rambut ungu dan hijau yang masih ada di sana. Sebelum tersenyum lebar. Tidak semua anak Prodi Umum gagal, ternyata.
Good luck Shinsou-kun, Izuku-kun.
"Oh, Dorothea-san?"
Yang dipanggil menoleh. Hikaru memberi gestur ke anak laki-laki yang duduk disampingnya. Juga menatap Dorothea dengan mata hitam yang cekung.
"Ini sahabatku. Tanaka Kogoro!"
"Oh, salam kenal, Tanaka-san."
Dorothea mengulurkan tangannya. Melintang di depan Hikaru. Tanaka menyambut jabatan itu.
"Salam kenal juga, Dorothea-san. Terima kasih sudah menyelamatkan teman cerobohku ini."
"Hei!"
Gadis itu mau tidak mau tertawa kecil melihat interaksi dua anak di depannya. Hikaru yang sibuk menjaga kehormatannya dengan menjerit 'Aku tidak ceroboh!!' dan Tanaka yang hanya terkekeh.
Netra emas kembali fokus ke lapangan. Dia memperhatikan Midnight yang menjelaskan peraturan. Lagi-lagi, tebakan Izuku soal pertandingan kedua akurat. Harusnya gadis itu tidak terkejut.
Lalu, Katsuki mendapat 10 juta poin untuk ikat kepalanya.
Dan Dorothea melepaskan tawa kecil puas.
Serve you right. Dasar pomeranian rabies.
"Ada yang lucu?"
Dorothea tersentak. Merasakan hawa dingin familiar saat tangan transparan melingkarkan diri di lehernya. Dia terkekeh.
"Mm... tidak juga," bisiknya kecil.
Untung semua orang terlalu sibuk melihat ke arena daripada mendengar jawaban untuk Eins.
"Oh, lihat! Kawanmu sudah dapat kelompok!"
Si gadis menengok ke lapangan. Agak terkejut melihat Shinsou dan Izuku yang berpisah. Lalu mengeluarkan keringat dingin ketika Izuku dan Hatsume menjadi satu tim. Bersama dengan gadis yang membelanya waktu di depan USJ dan seorang anak lain yang asing untuk Dorothea.
Keempat anak itu tampak bergerumbul. Izuku dapat terlihat sedang membisikkan sesuatu. Dorothea bertaruh itu pasti rencana.
Setelah selesai, lingkaran mereka bubar. Hatsume menarik dua gadis yang lain dan menunjukkan cara menggunakan 'baby'-nya. Memberikan jetpack pada Tsuyu dan hovershoe pada gadis yang lain. Dia sendiri memakai kacamata infrared. Sementara itu Izuku—
Izuku menghampiri Midnight.
Mereka tampak membicarakan sesuatu. Si Pro Hero tampak menampilkan senyum geli sebelum mengangguk dengan antusias. Izuku turut menyeringai puas.
Keringat dingin imajiner di dahi Dorothea seakan menjadi semakin banyak.
I've got bad feeling about this.
***
"Baiklah, Tsu-san, Uraraka-san, Mei-san. Kalian siap!"
"Ha! Tentu saja, Greenie!"
"Apa ini tidak illegal, kero?"
"Tenang, Midnight-sensei memberi lampu hijau!"
"Ayo semangat semuanya! Plus Ultra!"
"Heh, godspeed."
***
Hitung mundur dimulai.
"Satu."
Izuku bersiap diatas 'kuda'. Hatsume di depan. Uraraka dan Tsuyu di belakang.
"Dua."
Satu tangan Izuku memegang Jadestaff. Yang lain memegang satu bola platinum.
"TIGA!"
Bola itu dilempar.
Dan—
Arena langsung terselubungi asap.
***
"Pertandingan ini dimulai dengan tidak terduga! Apa itu BOM ASAP?!"
Suara wali kelas 1-C itu terdengar diantara kebisingan penonton yang tampak terkejut. Tidak sepenuhnya yakin apa yang terjadi.
Dorothea sendiri terpaku. Mata emas terbelalak melihat pemandangan yang disuguhkan di depannya.
Hanya arena dan asap abu-abu.
Izuku, what the hell?
"Apa ini legal? Apa menggunakan bom asap diperbolehkan?!"
Terdengar suara dengusan lelah. Jelas sekali bukan suara Present Mic yang melengking.
"Tidak ada peraturan yang bilang tidak boleh."
Itu Aizawa. Dorothea lupa kalau guru pengantuk itu juga ada di sana.
Si gadis melihat asap tebal yang tak kunjung hilang. Dia tidak tahu apa yang terjadi disana. Begitu juga penonton lain yang mulai mengeluh karena pertandingan ini menjadi membosankan.
Mendengar itu—
Dorothea tertawa.
Dia sadar bahwa sekarang beberapa teman yang lain memandangnya dengan aneh. Namun, dia tidak bisa menahan diri.
"Oh, Izuku-kun." Gadis itu berbisik di tengah tawanya. Seringaian muncul di bibir marunnya.
"You clever little twat."
Dorothea tahu apa yang terjadi disini.
Izuku hanya menggunakan salah satu pelajaran yang dia sendiri juga sangat paham.
Salah satu konsep Children of Earth.
Kalau ada satu hal yang mereka bisa banggakan, itu adalah kemampuan mengeksploitasi kelebihan yang mereka punya dan menyelesaikan masalah secepat mungkin.
The Children tidak biasa berlama-lama.
Membosankan, memang. Tetapi praktikal.
Dan itu yang paling penting ketika kau melawan demon. Tidak ada pertunjukan. Hanya kau, dan monster yang menghadang jalanmu ke hidup esok hari. Itu yang diajarkan ke mereka sedari kecil.
Tidak heran Izuku membawa prinsip itu ke Festival Olah Raga.
***
Shinsou merasa sangat terbantu dengan asap ini. Dia memang berencana bermain secara gerilya. Namun, dengan selimut kabut yang menyelubunginya?
Ini terlalu mudah.
Dia melihat bayangan kavaleri lain mendekat. Anak ungu itu menyeringai.
"Hei, kau yang disana!"
"Huh?!"
"Berikan ikat kepalamu."
"OI?!"
"Apa-apaan?!"
Tidak menghiraukan anggota yang lain. Siapapun si penunggang itu mengulurkan poinnya. Shinsou langsung menyambar ikat kepala itu.
Lalu kembali masuk ke dalam kabut.
***
"ARGH! AKU TIDAK BISA MELIHAT APAPUN!"
"Ya! Kami tahu! Kita di situasi yang sama!"
"Ya Bakugou! Jangan panik!"
"AKU TIDAK PANIK SHITTY HAIR!"
Manik emas melihat ke sekeliling dengan cepat dan seksama. Banyak sekali bayangan di dalam kabut. Jauh maupun dekat.
Katsuki tahu dia harus hati-hati.
"Cih, Deku sialan. Ini sangat merepotkan."
Tapi taktik ini efektif, kan?
Suara pengkhianat yang ada di otaknya berbisik. Suara yang selalu berusaha dia pendam di sudut paling dalam benaknya.
Lihat, 'Deku' yang sekarang berhasil membuatmu bingung.
"Diam," dengus Katsuki pada dirinya sendiri.
Ya, Katsuki masih denial masalah itu. Deku itu... deku. Tidak berguna. Selalu begitu. Ini tidak membuktikan apapun.
Begitulah yang ingin Katsuki percaya.
Namun, sekarang bukan waktunya untuk memikirkan hal lain. Dia harus fokus ke pertandingan. Yang paling penting, adalah menjaga agar ikat kepalanya tidak—
Tunggu.
Katsuki meraba dahinya.
Dimana ikat kepalanya?!
Terdengar kikikan kecil dari dalam kabut asap. Diikuti suara familiar yang entah kenapa terasa sangat janggal di telinganya.
"Good game, Katsuki~"
Bulu kuduknya meremang.
Katsuki.
Bukan Kacchan.
Namun itu suara yang sangat dia kenal.
"SIALAN KAU DEKU!!"
Ledakan di tangannya ribut. Namun dia tidak tahu siapa yang dia serang. Sementara anggota timnya—Ashido, Sero, dan Kirishima—berusaha menenangkan.
Suara di benak anak itu seakan mengejeknya.
Lihat, dia mengambilnya.
Katsuki tidak ingin mempercayainya. Dia tidak mungkin kalah dari anak sepayah Deku.
Lagipula, dia tidak berguna.
Apa kau yakin 'Deku' masih tidak berguna?
***
"Yosh! Kita berhasil!"
Izuku tertawa mendengar sorakan kemenangan anggota timnya. Tangan mengikat kain bertuliskan 10.000.456 di lehernya. Menyambarnya dari Katsuki ternyata mudah. Anak itu kelihatan sedikit kewalahan jika tidak bisa melihat apa yang harus dia ledakkan.
Manik hijau memperhatikan kabut yang mulai menipis. Sebentar lagi akan hilang sepenuhnya. Itu artinya, beberapa saat fokus semua tim akan ke arah mereka.
Toh, Tim Izuku berhasil mengambil poin 10 juta dengan mudahnya.
"Hei? Apa alat-alat kita sudah siap?"
"Yessir!" Seruan Hatsume menjawabnya. "Ini akan sangat keren!"
Benar saja, setelah kabut menghilang, tim-tim lain tampak kebingungan. Berusaha mencerna apa yang barusan terjadi. Kelompok Izuku mau tidak mau menahan kekehan geli.
"Apa ini pemirsa sekalian?! Poin 10 juta sudah berpindah tangan! Tidak lain tidak bukan pada murid KELASKU! MIDORIYA IZUKU!"
"Berhenti menyombongkan diri, Mic."
Mendengar itu, semua pandangan kelompok lain langsung menuju kepadanya. Izuku menyeringai.
Majulah.
Namun, prediksinya sedikit meleset.
Tanah yang dipijak kelompok lain membeku.
"HEI! APA INI?!"
"Sial! Tidak lagi!"
"AAGH!"
Es berkilap di bawah sinar matahari layaknya kristal putih. Manik hijau terbelalak. Kepala terangkat untuk melihat siapa yang melakukan itu.
Wajah dengan luka bakar menatap balik dengan penuh kalkulasi.
"Uh-oh, itu Todoroki-kun," bisik Uraraka.
"Dia bergerak kemari, kero!"
Benar saja, kavaleri anak berambut dwi warna itu maju. Mengambil beberapa ikat kepala lain. Namun jelas menerjang ke arah Tim Izuku.
"Kalau begitu, kita juga!"
"Eh?!"
"Kero?!"
"Ha! Ayo lakukan!"
Hatsume langsung maju. Uraraka dan Tsuyu mengikuti. Izuku mengedipkan satu mata kepada dua anak itu.
"Tunggu aba-abaku," ucapnya santai.
"Kita akan terbang."
***
Todoroki berhasil membekukan separuh dari arena. Membuat kaki para 'kuda' terjebak pada lapisan es keras yang diciptakan tangan kanannya.
Sayang sekali es itu tidak mencapai tim Izuku.
"Kita langsung serang, kepala ke kepala," ucap Todoroki datar.
Jadi, tiga orang kelompoknya—Yaoyorozu, Iida, dan Kaminari—langsung meringsek maju. Tangan anak bermata heterokrom itu sendiri berkerja cepat mengambil ikat kepala yang lain.
Tapi tujuannya pasti.
Ikat kepala 10 juta poin itu.
Anak rambut hijau ini boleh mengalahkannya di lomba lari. Tapi tidak lagi.
Dia akan membuktikan pada pak tua sialannya kalau dia bisa menang tanpa quirk terkutuk orang itu.
Namun, dia tidak menyangka ini.
Tim Izuku ikut maju.
Menghadapinya secara langsung. Ada kilatan determinasi di mata hijau anak itu. Todoroki langsung terhenyak.
Mereka berdua layaknya dua kesatria yang sedang melakukan joust.
Untuk kasus Izuku, dia bahkan membawa senjata.
Tongkat hijaunya dia sandangkan ke depan. Siap untuk menyerang.
Semakin dekat.
Semakin dekat.
Dekat.
Terlalu dekat.
Cukup dekat untuk Todoroki melihat mania yang ada di matanya.
Mata hijau yang menantang.
Tongkatnya terhunus. Posisi bersiaga. Entah untuk melindungi. Atau menyerang.
Todoroki tidak yakin.
Dia panik.
Tanpa sadar—
Tangan kirinya berasap.
Mata abu-abu-biru terbelalak.
Apinya—
Apinya menyala.
Apa yang aku lakukan?!
Izuku juga tampak terkejut. Mulutnya sedikit terbuka saat dia tercekat.
Api?
Anak ini punya dua quirk?
Tapi itu tidak penting sekarang. Mereka terlalu dekat. Jika Todoroki sadar, dia bisa langsung menarik ikat kepalanya.
Dia harus segera menghindar ke tempat yang aman.
"SEKARANG!"
Dan Tim Izuku melayang.
Saat dia sudah sangat dekat. Semua alat support mereka aktif. Langsung meluncur ke atas. Membeberkan bunyi bising yang diikuti sorak-sorai penonton.
Meninggalkan Todoroki yang masih shock.
Melihat asap tipis yang membumbung dari lengannya sendiri. Tidak percaya apa yang baru saja terjadi.
Kemudian dia mendongak. Menatap ke anak berambut hijau yang sekarang jauh di atasnya.
Anak yang tanpa sengaja berhasil membuat kontrolnya lepas.
"Todoroki-kun?!"
Suara Iida mengagetkannya. Mata anak berkacamata itu terpaku pada wajahnya.
"Ini belum selesai!"
Benar.
Tim Izuku mungkin sudah lepas dari jangkauannya. Namun tim yang lain masih di bawah.
***
"Apa semua stabil?"
"Ya, kero."
"Yup."
"Uh jadi..."
Keempat anak itu melihat ke bawah. Memandang kavaleri lain yang sibuk berlarian dan berusaha mengumpulkan poin. Sementara mereka dengan nyaman mengambang di atas yang lain dengan hovershoes dan jetpack.
Bahkan Izuku melihat Tim Katsuki mengejar tim anak lain yang juga berambut pirang. Dan teman masa kecilnya itu kelihatan marah.
"Uh, jadi... apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Uraraka.
Izuku menggaruk surai hijaunya dan mendesah kecil.
"Er... menunggu?"
***
"Kalian calon Children of Earth benar-benar gila."
Suara Eins terdengar disamping telinga Dorothea. Gadis itu hanya tertawa kecil sebagai balasan. Matanya memandang skor akhir Cavalry Battle.
Tim Bakugou ada di urutan keempat.
Tim Shinsou ketiga.
Tim Todoroki ada di kedua.
Dan tentu saja—
Tim Izuku ada di posisi pertama.
Berhasil merebut dan mempertahankan 10 juta poin tanpa banyak berkeringat.
"Woah! Anak dari kelas kita berhasil!" sorak Hikaru antusias. Mata cokelatnya memancarkan gembira saat dia menoleh ke Dorothea.
"Sahabat-sahabatmu sangat keren, Dorothea-chan!"
"Yep!" Gadis itu terkikik kecil. "Izuku-kun dan Shinsou-kun memang yang terbaik."
"Walaupun metode mereka itu tidak biasa."
"Yah, metode mereka memang inkonvensional, tapi kalau itu berhasil, kenapa tidak?"
Hikaru mengangguk-angguk. Tentu tidak sadar kalau pernyataan Dorothea tadi untuk menjawab Eins. Sebelum anak berambut biru itu kembali membuka mulut—
Ponsel Dorothea berdering.
Gadis itu langsung merogoh sakunya. Dahinya mengernyit membaca nama yang tertera di layar.
"Hisashi-san?"
Dorothea langsung bangkit. Hikaru dan Tanaka menatapnya. Dia hanya memberi gestur ke ponselnya dengan tangan.
"Aku harus menjawab ini. Permisi," ucap si redhead sembari berlalu.
Dia mencari tempat yang agak jauh dari kursi penonton. Agar suara dari telepon tidak teredam oleh sorakan kerumunan. Si hantu rambut putih tentu mengikutinya.
Sang gadis menerima panggilan itu dan mengangkat ponsel ke telinga. Eins ikut mendekatkan kepalanya. Agar bisa mendengar percakapan mereka.
"Halo?"
"Dorothea! Kau masih di stadium?"
"Iya Hisashi-san, ada yang bisa kubantu?"
"Ada urusan penting. Aku dan orang tuamu akan menjemputmu. Kita harus ke The Hourglass."
"The Hourglass? Hisashi-san, apa yang terjadi?"
Hening sejenak. Terdengar suara bercakap orang di ujung yang lain. Dorothea bisa menangkap suara Ibu dan Ayahnya.
"Nikky punya perkembangan dan informasi baru. Yang sebaiknya dibahas secara lisan."
Diam sejenak.
"Ini tentang The Silent Hands."
***
.
.
.
.
.
.
.
A.N. :
Life is being life. Aku juga tidak bisa menjanjikan kapan chapter berikutnya up. Maaf karena sudah membuat menunggu lama. Dan kemungkinan akan membuat kalian menunggu lama lagi :"(
Oh btw, seperti biasa, lupakan canon untuk fic ini, capiche?
Bonus :
Dorothea dengan pakaian modis(?). Maksudku, ayahnya desainer... jadi...
Welp, aku berusaha :"v
Thank you for reading! :D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro