16. First Round, Start!
Sinar matahari yang terik sejenak membutakan mata. Sebelum cahaya itu hilang dan menampakkan stadion maha besar yang penuh sesak oleh penonton. Sorak-sorai memenuhi udara. Suara Present Mic yang familiar bergaung di udara.
Itu tidak membantu kegugupan Dorothea.
"Ini ide buruk," gerutu si gadis. "Ini ide yang sangat buruk."
Mata emas menatap nanar ke deretan penonton yang sama banyaknya dengan Olimpiade Internasional. Tubuh gadis itu agak bergetar. Suara jeritan khalayak mulai membuatnya pusing.
Ugh, bicara soal demam panggung...
Izuku yang berdiri di sampingnya memberinya tepukan di punggung. Senyum simpatik terpatri di wajah. Dorothea membalasnya dengan senyum yang lebih kecut.
"Penontonnya banyak sekali."
"Yeah." Izuku terkikik. Ikut melirik ke sekitar. "Aku juga tidak menyangka skalanya akan sebesar ini."
"Tetapi sepertinya mereka tidak di sini untuk kita."
Celetukkan Shinsou membuat dua anak itu menoleh. Si rambut ungu hanya memberikan gestur ke Prodi Pahlawan.
Dan mereka langsung paham.
"Untunglah," dengus Dorothea pelan. "Kita benar-benar jadi figuran di sini."
"Kau mau menghindari spotlight, ya?"
Suara Eins terdengar. Hantu itu melayang dan 'menaruh' tangan di pundak si gadis. Dorothea tidak menjawab. Hanya sedikit mengangkat bahunya. Tawa makhluk transpan itu bergema di telinganya.
"Yah, aku akan menonton. Sampai nanti, Dorothea. Semoga beruntung!"
Dengan itu, sang hantu melayang menjauh. Menembus beberapa siswa yang ada di jalannya. Gadis itu hanya tersenyum kecil. Setidaknya Eins terlihat bersenang-senang.
"Waktunya perjanjian pemain!"
Kalimat itu diiringi suara lecutan di udara. Fokus semua anak langsung beralih ke panggung. Tampak seorang wanita berambut gelap panjang dengan—
Apa-apaan kostum itu?!
"Midnight, Pro Hero," bisik Izuku. Mendekatkan kepalanya ke Dorothea.
"Quirknya Somnambulist, mirip dengan quirk Anesthesia Monika, hanya saja dengan asap."
"Uh-huh, lalu ada apa dengan pakaiannya?"
"Uh, dia R-Rated Hero, jadi—"
"Mereka membiarkan orang seperti itu di sekolah?"
Izuku hanya meringis. Sementara si gadis menahan diri untuk tidak menepuk jidat. Sepertinya orang ini yang akan menjadi wasitnya.
"HARAP TENANG!"
Wanita itu—Midnight—melecutkan cemetinya lagi.
"Untuk perwakilan murid, kelas 1-A, Bakugo Katsuki!"
Izuku dan Dorothea langsung saling pandang.
Keduanya memerhatikan ketika 'teman' SMP mereka itu naik panggung dengan langkah yang mantap. Ekspresi kesal abadi—atau dalam kosa kata Dorothea, resting bitch-face—yang ada di mukanya juga tidak hilang.
"Taruhan dia akan mengatakan sesuatu yang bodoh atau arogan," ucap Dorothea sembari menyenggol Izuku. Sebelum dia berpikir lagi.
"Atau keduanya."
Izuku terkikik. Sementara Shinsou menatap kedua kawannya dengan air muka penasaran.
"Kalian kenal—"
"Perjanjiannya..."
Kalimat Shinsou itu terputus oleh suara Katsuki. Wajah anak yang ada di panggung itu lebih seperti bosan daripada kesal sekarang.
"...Aku akan jadi nomor satu."
Lalu—
Keriuhan meledak.
Kombinasi ejekan, sahutan, dan suara 'boo' ditambah dengan jempol terbalik yang diacungkan cukup menjawab bagaimana perasaan prodi-prodi lain yang merasa direndahkan.
"Heh." Dorothea hanya menggeleng.
"Klasik, Baka-gou. Klasik."
Izuku berdehum. Teman masa kecilnya itu memang sangat mudah diprediksi. Namun—selagi anak kelas lain melempar protes, dan satu anak berkacamata tampak berusaha menasehati Katsuki—Izuku merenung.
"Percaya diri—? Bukan. Katsuki yang dulu akan tertawa selagi mengatakan itu..."
Dorothea menoleh ke si greenette. Jari anak itu menggenggam erat Jadestaff yang ada di pinggangnya.
"Dia menyudutkan diri sendiri."
Si gadis mengerjap. Kemudian tersenyum sedikit. Izuku selalu bisa memahami hal seperti itu.
"Baiklah, mari kita langsung mulai saja!" ucap Midnight yang kembali mengambil alih panggung.
"Lomba pertama atau sering disebut babak penyisihan!—"
Izuku berdehum. "Biasanya lomba yang membuat tiap individu menunjukkan quirk mereka."
Shinsou menengok ke anak berambut hijau itu dengan alis terangkat.
"Bagaimana kau tahu?"
Izuku mengangkat bahu. "Aku menonton banyak sekali rekaman Festival Olahraga U.A. dua minggu ini, lama-lama, polanya kelihatan."
"—Setiap tahunnya banyak yang meneteskan air mata di sini—"
Midnight masih berbicara. Izuku bergumam.
"Lomba kedua biasanya melibatkan permainan tim dan kerja sama. Sampai pada babak tiga yang selalu berakhir satu lawan satu. Walau dengan berbagai macam variasi lomba. Setiap babak, orang yang lolos semakin tersorot kamera."
Mata Dorothea mendelik mendengar penjelasan panjang lebar sahabatnya itu.
Izuku memang tidak pernah main-main soal strategi. Itulah yang diajarkan Nikky dan Monika pada mereka.
Pengetahuan adalah senjata.
"—Baiklah, ini dia lomba pertama penentu takdir!"
Midnight mengayunkan cambuk. Layar besar muncul di belakannya. Kata-kata berputar cepat di sana. Algoritma mulai mengacak lomba apa yang akan mereka mainkan.
"Tahun ini adalah—"
Pengacakan berhenti.
"—Ini!"
Lari halang rintang.
"Kesebelas kelas akan mengikuti lomba ini," terang Midnight. "Lintasannya adalah lingkaran luar stadion dengan jarak empat kilometer."
Layar menampilkan denah stadion yang harus mereka lewati. Dorothea jadi mengingat latihannya dengan Nikky dan Monika. Hanya segitu mungkin tidak cukup berat.
Lagi-lagi, cemeti menyentak di udara. Midnight tersenyum.
"Nilai jual sekolah kita adalah kebebasan—"
Lidah si guru membasahi bibirnya.
"—Selama masih berada di lintasan, kalian bebas melakukan apa saja!"
Shinsou dan Dorothea mematung.
Boleh melakukan apa saja.
Boleh menggunakan quirk.
Dua anak itu perlahan menengok ke Izuku yang tersenyum bangga karena teorinya benar.
Semua anak langsung mengikuti instruksi untuk bersiap di depan gerbang besar. Itu menuju ke lintasan. Ekspresi serius dan gugup terpasang di wajah.
Dorothea dan Izuku berdiri terpisah. Dari jauh, si rambut merah bisa melihat yang satunya sudah menggabungkan Jadestaff dan memutarnya dengan santai. Si gadis terkikik melihat anak lain yang langsung bergerak menjauhi Izuku. Sepertinya tongkat itu memang agak mengintimidasi.
Pandangan mata emas kemudian teralih ke tiga lampu hijau yang ada di atas gerbang.
Aba-abanya.
Satu lampu sudah mati.
Tiga.
Satu lampu mati
Dua
Lampu terakhir mati.
Satu.
"START!!!"
Mereka berlari.
***
Baru babak pertama, dan komplikasi sudah terlihat.
Dorothea berdesakan di lautan manusia. Saling dorong, sikut dan menjatuhkan satu sama lain.
"Agh!"
"Aw! Awas!"
"Jangan—ouh!"
Gadis itu mengangkat kepalanya. Berusaha mengambil napas selagi terhimpit oleh kerumunan yang ribut.
Sial, perangkap leher botol.
Pikiran anak itu berputar.
Aku harus keluar dari sini.
Mata emas menerawang sekitar. Lalu mendongak. Dan dia melihat sesuatu.
Ada pipa besi di atas kepalanya.
Oh! Syukurlah!
Dengan susah payah, Dorothea menarik tangannya yang terjebak. Dia mengulurkan lengan ke atas.
Benangnya melesat.
Terikat kuat pada pipa. Dan si gadis menarik tubuhnya ke atas—
Bertepatan dengan hawa dingin yang menjamah kakinya.
"HEI!"
"Apa-apaan ini?!"
"Es! Ini es!"
"Ah! Kakiku!"
Tidak mempedulikan jeritan di bawah, Dorothea menggunakan momentum untuk berayun ke depan. Keluar dari pintu lorong. Memutus benangnya. Dan mendarat di—
Es?
Ada selapis es di atas tanah. Dorothea harus merentangkan tangan. Menjaga keseimbangannya agar tidak terpeleset.
Dia melirik ke belakang. Mata emas langsung membulat.
Tampak bongkahan es solid membeku di mulut lorong tadi. Lengkap dengan anak-anak yang kakinya terjebak.
"Ah, pasti quirk seseorang," gumam Dorothea. Dia melihat skala es itu.
Quirknya pasti kuat sekali.
"Yo, Dorothea!"
Si gadis hampir terjatuh karena terkejut. Dia berbalik. Tampak senyuman lebar Shinsou.
Yang sedang dibopong oleh kumpulan siswa lain.
Gadis itu tertawa kecil. "All is fair in war, eh?"
"Yep." Cengiran Shinsou melebar. Duduk santai di tandu manusianya. Salah mereka sendiri mau saja menjawab anak itu tadi. Mata ungu berkilat licik.
"Kau mau naik? Aku bisa membuat mereka menggotong satu lagi."
Dorothea berdehum. Jari ditempelkan di bibir. Benar-benar memikirkan tawaran itu.
Sampai dia ingat perkataan Izuku tadi.
Setiap babak, orang yang lolos semakin tersorot kamera.
Artinya kalau aku gagal babak ini—
Aku tidak akan ada di spotlight. Aku aman.
"Tidak perlu, Shinsou-kun," ucap Dorothea. Dia tersenyum. "Kau lanjut saja."
Manik violet mengkalkulasi sejenak. Memperhatikan sang kawan dengan seksama. Sebelum purplenette itu mengangkat bahu.
"Baiklah, semoga beruntung."
"Selamat menikmati perjalanannya, Your Highness."
Dorothea menutup kata-katanya dengan membungkukkan badan ala kesatria medieval. Disambut oleh tawa Shinsou yang pergi menjauh dengan 'pelayan'-nya.
Selanjutnya, anak perempuan itu berselancar dengan hati-hati di atas es. Berusaha untuk tidak terjungkal.
Sampai dia berhasil kembali menapaki tanah, barulah Dorothea bisa bernapas lega. Dan mulai berjalan di antara anak lain yang berlari. Tubuhnya masih lemas karena berdesakan tadi. Toh, dia juga tidak mau menang.
Lagipula, yang disorot juga bukan mereka. Namun, Prodi Pahlawan. Sepertinya tidak apa kalau dia menarik napas sejenak.
Dari jauh dia bisa melihat Izuku. Merasa senang karena kawannya itu sudah lebih di depan.
Namun, yang dia lihat selebih itu jauh lebih tidak menyenangkan.
Dorothea terhenyak.
ARE THOSE BLOODY ROBOTS?!
Di depan mereka, terlhat robot-robot raksasa. Berwarna hijau militer dengan sensor merah di 'kepala'.
"Lihat! Tiba-tiba dihadang rintangan!"
Suara Present Mic terdengar dari speaker.
"Tempat itu dimulainya rintangan pertama!"
"ROBO INFERNO!"
Serius?! Kenapa U.A. segila ini?!
Dan yang gadis itu lihat selanjutnya jauh lebih gila lagi.
Robot itu menyerang. Mengincar siapapun yang memimpin di depan sana. Akan tetapi—
Es mencuat dari tanah.
Membekukan si robot secara instan.
Mata emas mendelik.
Lagi-lagi es. Anak yang sama?
Asap putih mengepul. Para murid kembali berlari. Melihat celah setelah robot pertama dibekuk. Dorothea mengikuti dengan langkah lebih pelan selagi suara riuh berderap di sekitarnya.
Ada yang tak beres. Posisinya—
Benar saja—
Robot itu jatuh.
Dorothea tidak yakin apa yang terjadi di depan sana. Namun anak-anak yang lain panik. Sesuatu tentang ada yang tertimbun—
Serius.
Ini lomba lari atau neraka?
Akhirnya, setelah sadar dari keterkejutan. Anak lain mulai meringsek maju. Terutama Prodi Pahlawan. Mereka mulai membuka jalan dan mengalahkan robot yang terus bermunculan.
Dorothea ikut berlari. Berusaha menghindari pertempuran atau tertimpa robot, sampai—
CRACK.
Si gadis menoleh. Melihat seorang murid berdiri dekat dengan puing metal yang jatuh.
"AWAS!"
Benangnya terjulur. Mengikat lalu menarik. Anak itu terjengkal. Tepat sebelum besi padat mengenainya.
"Kau tak apa?!" Dorothea berlari mendekati perempuan berambut biru itu.
"Y-ya." Si gadis tampak bergetar di tempatnya duduk di tanah. Matanya melebar ketika menatap wajah Dorothea.
"Di belakangmu—!"
Dorothea berbalik. Tiga jari refleks melepas benang—
Memotong robot menjadi tiga.
"Ukh. Nyaris..."
Napas Dorothea tersendat. Dia kembali fokus ke gadis tadi. Mulutnya masih terperangah. Mata cokelat melebar dibalik kacamata.
"Bisa berdiri?"
"Uh..., i-iya!"
Dorothea membantu mengangkatnya. Namun, si Rambut Biru malah menjerit dan terjatuh lagi. Muka meringis menahan sakit.
"S-sepertinya aku terkilir," desisnya.
Si red head mengangguk. Pergelangan kaki anak itu memang agak memerah.
"Kalau begitu—"
"Target ditemukan."
Dorothea merutuk. Langsung melibas tangan. Memotong 'kepala' robot yang berani mendekat dalam hitungan detik. Sensor merah mati bersamaan dengan bunyi berdebam besi yang menyentuh tanah.
Rasanya persis seperti melawan demon.
"Menyebalkan," decih si gadis. Dia kembali lagi pada murid tadi. "Ayo, aku bantu kau keluar."
"Eh? Tidak perlu! Aku yakin medis pasti—"
"Setidaknya, kau harus sampai tempat aman. Aku tidak akan meninggalkanmu di tengah robot yang mengamuk."
"Tapi... lombanya?"
"Tidak penting." Dorothea tersenyum lembut.
"Lagipula aku tidak berniat menang."
Si rambut merah mengangkat gadis yang satunya. Lalu memapahnya pergi. Untung saja robot-robot itu sudah tumbang. Atau sibuk dengan murid lain.
"Oh, kita sekelas, kan? Mungkin ini agak terlambat tapi—namaku Dorothea."
"Oh! Aku Hikaru!"
Gadis berambut biru itu tersenyum lebar. "Hikaru Hana."
***
Izuku bersenang-senang.
Itu mungkin agak aneh karena mereka sedang ada di tengah perlombaan sengit. Namun, itu hanya bagi Prodi Pahlawan. Untuk Izuku dari Prodi Umum, arena ini adalah tempat mengetes limitasi alatnya.
Dan itu menyenangkan.
Pertama-tama dia menggunakan 3% energi untuk membuka jalan di tengah kerumunan murid. Dia harap yang lain tidak keberatan sedikit didorong.
Lalu seseorang memutuskan membekukan tanah. Jadi dia bisa menggunakan Jadestaff sebagai penyeimbang dan pendorong selagi dia berselancar. Rasanya seperti skating. 10/10 akan lakukan lagi.
Lalu robot.
Pada saat itu, Izuku tersenyum sangat lebar sampai pipinya agak sakit.
Dia menggunakan Robo Inferno untuk mengetes berbagai persenan pelepasan energi Jadestaff. Membuat catatan mental soal kekuatannya dari seberapa parah robot itu rusak. Dia melompat dan berkelit diantara besi-besi. Mungkin sedikit tertawa girang.
Mungkin itu kenapa pelari yang lain menjauhinya.
Akhirnya dia sampai di rintangan berikutnya. Present Mic mengumumkan nama tempat itu dari speaker.
The Fall.
"Hmm..." Izuku mengelus dagu.
Dia mengedarkan pandangan, mengecek taktik anak-anak di sekitarnya. Kebanyakan dari mereka menggunakan tali tambang untuk merangkak melewati ngarai. Beberapa yang lain—dengan quirk yang lebih kompatibel—menggunakan quirk mereka.
Anak itu berdehum pelan. Menaksir jarak ujung rintangan itu dari tempatnya berdiri. Mulai mengkalkulasi energi yang dia butuhkan.
Sampai dua tangan menyambar bahunya.
"E-EH?!"
Dia melayang!
"Hahah! Aku mendapatkanmu!"
Izuku berusaha memutar kepala. Melihat siapa yang mengangkatnya. Sebelum tertawa.
"Hatsume!"
"Mei, Greenie! Mei!"
Anak berambuk pink itu tertawa lepas. "Jetpack kita berhasil dengan baik! Lihat! Kita TERBANG!"
Kedua anak itu tertawa sebentar. Sebelum melihat ke bawah.
Tampak beberapa anak terpental di area berikutnya. Ada asap merah jambu di sana. Kening Izuku mengerut.
"Pasti itu rintangan selanjutnya."
Tampak tanah yang lebih gelap di area yang terbuka itu. Dari atas, Izuku bisa Katsuki dan seorang anak lain sibuk berkelahi. Namun, langkah mereka aneh. Penuh dengan jingkatan.
"Ranjau."
"Heh, iya. Dan—uh-oh."
"Uh-oh? Kenapa uh-oh?"
Terdengar bunyi berderak. Lalu bunyi baut terlepas.
"Mei-san..."
"Kita terlalu berat, Greenie!" ucap Hatsume. "Aku akan mendarat!"
Namun, otak Izuku berputar. Kemudian dia mendapat ide ketika melihat ranjau di bawah.
"Tidak perlu! Terbang rendah dan jatuhkan aku!"
"Heeh?!" Nada gadis itu sejenak tertegun. Sebelum diikuti kekehan.
"Baik! Aku percaya pada otak gilamu itu! Hitungan tiga!"
Izuku menyiapkan Jadestaff. Menggenggamnya dengan erat.
"Satu!"
Matanya fokus pada tempat dengan ranjau yang paling banyak.
"Dua!"
Izuku menggigit bibir. Mata hijau penuh determinasi.
"Tiga!"
Tangan Hatsume terlepas.
Izuku jatuh bebas.
Jadestaff terarah ke bawah. Sisi keduanya menuju ke tanah. Izuku tersenyum.
"Energy Shield! Aktif!"
Cahaya spektral biru melebar di ujung tongkat. Memadat. Membentuk perisai biru transparan.
Sebelum menyentuh ranjau.
Dan meledakkannya.
Izuku menjerit selagi dia terpental ke depan. Tapi dia belum selesai.
Dia membalik Jadestaff. Mengarahkan sisi depan ke punggungnya.
50%. Tembakkan.
Terdengar suara berdebum keras. Dan Izuku terbang semakin jauh.
Jauh.
Jauh.
Dan jauh.
Melewati dua anak yang memimpin.
"YEAH!"
Setelah ladang ranjau lewat. Dia memanuver pendaratannya dengan sisi atas Jadestaff. Melepas hentakan energi kecil untuk mendekatkannya pada landasan. Sebelum kakinya menyentuh tanah lagi dan membuatnya terguling.
Napas Izuku memburu. Dia jatuh di satu lututnya. Menyandarkan tubuh pada Jadestaff. Masih terengah-engah.
"Okaa-san dan Otou-san akan membunuhku..." bisiknya pada diri sendiri sebelum tertawa.
Namun, hal manis itu hanya sesaat.
"DEKUUU!!!"
Ah, sialan.
Katsuki 'terbang' menyusulnya. Ledakan dari tangannya besar dan marah. Mendorong anak itu ke depan. Wajahnya murka.
"JANGAN PIKIR KAU BISA MENANG, SIALAN!"
Ah, kasar seperti biasa, Katsuki.
Izuku berusaha berlari. Namun, dia tahu Katsuki terlalu cepat. Hawa panas di belakangnya semakin dekat dan—
Wajah Katsuki ada di sampingnya.
Berdecih ketika dia melewati Izuku. Meninggalkan asap dan percikan merah.
"MAKAN ITU! SIALAN!"
Izuku terhenyak. Masih berusaha berlari secepat mungkin. Anak yang satunya tidak terlihat di belakang. Dia tidak ada saingan lagi. Jadi dia fokus berlari. Dan berlari.
Sementara suara Present Mic mengumumkan siapa yang pertama melewati garis finish.
"Saat ini, peserta yang pertama kali kembali ke Stadion, laki-laki itu adalah—"
"BAKUGOU KATSUKI!!"
Dan Izuku—
Tertawa.
Dia tertawa keras.
Dan masih tertawa ketika dia menembus garis finish. Sebelum tawanya menghilang dan berubah menjadi engahan napas. Dia berusaha mengaturnya. Tubuh menunduk. Tangan bertumpu pada lutut.
Kemudian kepalanya terangkat. Menatap punggung Katsuki yang seperti biasa dielu-elukan. Terpendam dalam konfeti dan sorakan.
Izuku tersenyum.
Selamat, Katsuki. Kau menang di babak pertama.
Batin anak hijau itu selagi merapikan komposurnya. Mata hijau mengerling geli.
Tetapi aku bermain permainan jangka panjang.
Senyumnya masih tidak hilang.
Dan kau berada persis di tempat yang aku mau.
***
Perlahan, satu persatu peserta keluar dari lorong besar. Pertama, anak es yang memiliki rambut merah-putih dan luka bakar. Dia melempar wajah datar ke Izuku.
Mungkin kesal karena si greenette mengambil tempatnya. Izuku hanya bisa berpaling. Pura-pura sibuk mengecek Jadestaff.
Setelah semakin banyak yang masuk, Izuku mulai memperhatikan mereka. Wajah-wajah yang sama sekali tidak dia kenal.
Prodi Pahlawan.
Prodi Pahlawan.
Prodi Pahlawan, lagi.
Astaga, semua ini benar-benar didominasi Prodi Pahlawan.
Oh, itu Asui—uh, Tsu-san! Haha, dia lolos! Hebat!
Prodi Pahlawan lagi.
Prodi Pahlawan.
Shinsou—
Eh?
Shinsou!
Izuku bangkit dari tempatnya bersila. Kemudian melambaikan tangan agar anak berambut ungu itu mendekat.
"Kau berhasil!"
"Yeah." Anak itu terkekeh. Mengelus tengkuknya dengan canggung. Namun ada senyum di wajahnya. Mata ungu melirik ke kawannya.
"Tidak sehebat kau, Tuan Nomor Dua. Tadi itu nyaris sekali."
"Yeah, benar," ucap Izuku. Dia menggaruk surai hijaunya. "Tetapi ada baiknya aku dapat tempat kedua."
Shinsou mengangkat alis. Izuku terkikik kecil. Mendekatkan wajahnya ke teman sekelasnya itu untuk berbisik.
"Apa kau ingat, aku berkata aku menganalisis banyak rekaman Festival Olahraga?"
"Uh, ya?"
"Aku menemukan pola lain. Selain jenis lomba yang diadakan."
Shinsou menatapnya dengan wajah penasaran. Suara si greenette merendah. "Aku memperhatikan, di babak kedua, pemenang pertama selalu mendapat—hmm, kita bisa menyebutnya apa, ya?"
Izuku tersenyum kecil.
"'Hukuman'?"
***
.
.
.
.
.
.
.
A.N. :
Ingat mantra saya...
Canon Divergence :v
Btw Izuku di sini taktikal banget. Lebih daripada yang di canon. Padahal yang di canon dia juga sudah strategis lmao.
Di sini tambah lagi karena dia harus lebih pakai otak daripada otot. Jadinya dia perhitungan dan berusaha mengumpulkan info. Ini juga ilmu penting untuk COE. Dorothea dan Izuku dilatih mencari celah dan informasi. Itu penting untuk The Children karena mereka kadang melawan sesuatu yang sangat berbeda bagi manusia.
Anyway...
Thank you for reading! :D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro