15. Of Talk and Preparation
Izuku dan Dorothea berjalan berdampingan di lorong yang sudah kosong. Sementara sosok tembus pandang Eins setia menempel di belakang anak yang disebut terakhir itu.
Mereka sibuk bercakap dan saling melempar candaan sampai—
Bunyi ledakan menggema.
Dan Dorothea teringat apa yang terjadi di Prodi Support saat tes masuk pertama.
Gadis itu menengok pelan ke arah sahabatnya. "Uh, Izuku-kun, apa kau yakin kau tetap mau—?"
Senyuman lebar di wajah anak hijau itu cukup untuk jawaban.
Dorothea langsung pundung dalam hati.
Selamat tinggal Izuku Normal yang ramah dan tenang.
Halo Izuku Maniak Teknologi yang otaknya agak miring.
Anak hijau itu langsung melesat ke arah bunyi ledakan. Bersemangat ingin tahu darimana sumbernya. Dorothea merutuk. Mau tidak mau berlari mengejar.
Dia berharap Izuku yang dulu tidak mendengar 'filosofi' seorang Saiki Kazuhiko. Apalagi mengikutinya.
'Jika itu meledak, artinya kau sudah dekat dengan penemuan baru!'
- Saiki Kazuhiko, 20XX
Tidak, Saiki-san, jika itu meledak, artinya kau sudah dekat dengan kematian, you bloody wanker—
Tetapi Dorothea tidak bisa memutar waktu dan memastikan dua otak kelewat pintar itu bertemu.
Dia hanya bisa jauh-jauh jika Saiki dan Izuku sudah ada dalam satu lab. Dan melempar desain senjata yang dia ingin sebelum terjebak dalam ledakan atau listrik statis.
Berbicara soal ledakan, akhirnya mereka sampai di pintu Development Studio.
Ralat—yang tadinya pintu Development Studio.
Sekarang benda itu hanya seonggok besi gosong yang bersandar menyedihkan di dinding lorong.
Dorothea berjengit melihat asap kehitaman yang keluar dari ruangan. Sementara mata Izuku malah berbinar-binar.
"HATSUME MEI! Apa yang kau lakukan?! Dan kenapa kau belum pulang?!"
Seruan itu membuat kedua anak saling berpandangan. Dorothea dan Izuku melongokkan kepala ke dalam lab tanpa pintu itu. Sementara Eins menembuskan miliknya dari tembok.
Izuku langsung terkesiap melihat siapa yang berdiri di sana.
"Ah! Itu Power Loader!"
Seseorang dengan—helm? Entahlah, ayo sebut itu helm—helm berwarna kuning yang menyerupai ekskavator. Tubuhnya kecil dan agak bungkuk. Mungkin karena tangannya yang besar dan tidak proporsional.
Pria itu—yang tadi disebut Power Loader oleh Izuku—tampak memarahi seorang gadis berambut merah jambu. Ada kacamata steampunk di kepalanya. Tubuh dan pakaiannya coreng-moreng oleh arang hitam.
"Uh, permisi?" tanya Izuku pelan. Dia melangkah masuk. Dorothea mengikuti di belakang. Power Loader dan Hatsume Mei ini langsung menoleh. Izuku terhenyak.
"Ah—uh—apa ini saat yang buruk?"
Power Loader mendesah kecil. Mungkin akan facepalm jika saja dia tidak memakai helm itu.
"Setiap saat adalah saat yang buruk kalau Mei di sini terlibat, nak." Yang disebut hanya meringis. Guru itu mendesah lagi. Menengok ke Izuku.
"Apa ada yang bisa kubantu."
Laki-laki berambut hijau itu gelagapan sejenak. Sebelum kembali menemukan komposurnya dan mengambil cetak biru dari dalam tas. Dorothea mengenali senjata yang tergambar di sana.
Jadestaff.
"Aku berharap bisa mendapat izin menggunakan ini pada Festival Olahraga." Dia menyodorkan cetak biru ke Power Loader.
"Oh! Dan aku ingin membuat lebih banyak alat support untuk event itu. Apa aku boleh menggunakan lab ini?" tambahnya.
Power Loader berdehum. Mulai mempelajari rancangan Izuku dengan seksama. Hatsume Mei yang penasaran ikut mengintip kertas itu.
Beberapa detik kemudian, mereka tersentak kaget.
"Siapa namamu tadi?"
"Uh, Midoriya. Midoriya Izuku."
"Kau bukan Prodi Support, kan?"
"Err—ya. Aku Prodi Umum."
"Apa kau mau pindah ke Prodi Support?"
Izuku tersentak. Dorothea menahan diri untuk tidak tertawa. Eins sudah terkikik di sampingnya.
Wajah Izuku yang kaget mirip dengan ikan koi.
"Uh, m-maaf?"
"Desain ini luar biasa, nak!"
"Ah! T-tidak! Dibanding anak Support, pasti tidak ada apa-apanya..." Izuku jadi salah tingkah. Dia tidak terbiasa dengan pujian.
"Oh jangan merendah, Greenie!" Anak berambut pink berkoar. Izuku tersentak.
"Greenie??"
"Alat ini sangat bagus! Dan itu berarti banyak keluar dari mulut prodigi seperti aku!"
Dorothea benar-benar ingin tertawa melihat wajah Izuku yang sangat tersesat. Untung gadis itu punya sopan-santun dan memutuskan memasukkan diri ke percakapan.
"Maaf, kami belum dapat namamu?" tanya si redhead.
"Hatsume Mei!" Si gadis menjulurkan tangan yang bernoda oli. "Seorang jenius dan calon pemilik Hatsume Industries!"
Dorothea akhirnya melepas tawa kecil dan menyambut jabat tangannya. Izuku melakukan hal yang sama.
"Namaku Dorothea Tuning, dan ini—" Gadis itu memberi gestur ke sahabatnya dengan jempol. "Midoriya Izuku. Dia jenius juga."
Wajah anak yang disebut langsung memerah. Muka Izuku jadi seperti buah tomat.
"Dorothea-chan! Aku bukan—!"
"Tunggu dulu." Power Loader menyela. Dia menatap Izuku dan Dorothea bergantian.
"Kalian anak-anak yang dibicarakan di ruang guru. Yang mengenal Saiki Kazuhiko!"
Great, batin Dorothea. Berusaha tidak memutar mata.
Tidak hanya murid. Guru bergosip soal kita juga.
"SUNGGUH?!"
Pekikan keras Hatsume membuat dua anak itu terlonjak. Mata kuning kehijauan si gadis rambut pink tampak berbinar.
"Kalian kenal Saiki Kazuhiko? Saiki Kazuhiko yang itu? Si Inventor Keajaiban?!"
Izuku dan Dorothea saling berpandangan. Mereka tidak tahu Saiki ternyata terkenal di berbagai demografi umur.
"Yeah." Dorothea menggaruk kepala. "Secara teknis, Ibuku dan Ayah Izuku kenal dengan Saiki-san. Kenalan lama, bisa dibilang."
Mata Hatsume berbinar semakin cerah. Dia menarik cetak biru Jadestaff dari tangan Power Loader. Tidak menghiraukan protes dari sang guru.
"Apa kau mau membuat baby ini? Boleh aku bantu membuatnya?! Boleh ya? Boleh ya?"
Selagi Dorothea terpaku dengan komentar 'baby' tadi, Izuku tampak sibuk berpikir.
"Yang satu itu sudah selesai—"
"Aww! Sayang sekali!"
"—Tapi aku mungkin butuh bantuan untuk yang lain," tambah si greenette. Dia berdehum.
"Aku kesini juga untuk membuat alat support baru. Aku tidak yakin anak Quirkless sepertiku bisa lanjut di festival tanpa alat bantu."
"Baiklah," ucap Power Loader. Dia tersenyum. "Kau boleh menggunakan Development Studio, Midoriya. Dan Hatsume-"
"Aku boleh membantu?!"
Pahlawan itu mendenguskan napas panjang. Sepertinya skenario ini sudah sering terjadi. Dan Hatsume pasti lebih sering menang.
"Baiklah, tetapi jaga agar kerusakannya tetap... minimal."
Dia melemparkan pandangan ke bekas pintu yang masih ada di lorong.
Itu sudah jadi ledakan ketiga minggu ini.
Dan itu masih hari Senin.
Hatsume—yang entah mengerti atau hanya tidak peduli—mengangguk dengan semangat. Dia langsung menarik Izuku.
"Jadi, apa rencanamu? Berapa banyak baby yang mau kau buat? Apa saja?"
Lagi-lagi, Dorothea terhenyak dengan kata 'baby'. Itu ambigu sekali. Izuku malah sibuk menggosok dagunya.
"Aku butuh sesuatu yang bisa melayang. Jet pack, Mungkin?"
"Oh! Oh! Itu ide bagus! Bagaimana kalau rocket shoes?"
"Tidak mustahil. Oh! Dan aku ingin bom asap—"
"Bom asap! Aku suka gayamu, Greenie!"
Dorothea dan Power Loader mengamati percakapan super cepat itu dengan seksama.
Tiba-tiba merasakan hasrat kuat untuk pergi dari sana.
"Oh, bugger," dengus Dorothea di balik napasnya.
"There is two of them."
Power Loader hanya mengangguk ngeri di sampingnya. Mulai berdoa untuk keutuhan Development Studio di masa depan.
Sementara itu, tawa Hatsume dan Izuku semakin tinggi.
"Menurutmu itu akan stabil? Bagaimana kalau sirkuitnya terbakar dan meledak?"
"Ledakan hanya satu langkah menuju penemuan baru!"
"Akhirnya! Orang lain yang paham! Aku setuju!"
Tidak Hatsume, kau harusnya tidak setuju.
Dorothea bisa merasakan bulu kuduknya meremang.
Sial, ini sama saja dengan pertemuan Saiki dan Izuku dulu. Sejarah terulang lagi. Kerja bagus, Dorothea.
Kau baru menyaksikan lahirnya pertemananan yang mengerikan.
"Sebaiknya aku pergi," ucap gadis itu buru-buru.
"Aku tidak mau di sini saat kiamatnya terjadi."
"Hei, tunggu dulu—!"
Dorothea melemparkan wajah bersalah ke Power Loader. Sebelum berlari keluar dari Development Studio diiringi tawa Eins.
Dia hanya bisa berharap U.A. masih berdiri setelah apapapun yang dilakukan dua gremlin teknologi itu.
***
Larinya mulai dipelankan setelah jauh dari laboratorium. Dorothea mendesah. Tawa Izuku dan Hatsume yang khas sekali dengan saintis gila akan menghantui mimpinya.
"Kau punya teman-teman yang unik."
Mau tidak mau, si gadis tetap tersenyum. Lagipula, celetukan hantu itu ada benarnya.
"Yeah, memang. Dan kupikir hari ini aku dapat satu lagi."
"Kau bicara dengan siapa?"
Gadis itu tersentak. Menengok untuk melihat rambut ungu yang familiar masuk dalam jarak pandangnya.
"Shinsou-kun!" sapa Dorothea. "Kau belum pulang?"
Dia mengendikkan bahu. Tersenyum kecil. "Tadi aku ada... urusan, di Prodi Pahlawan. Kau sendiri, kenapa masih di sini?"
"Yeah, baru saja meninggalkan Izuku-kun di lab Prodi Support." Dorothea meringis kecil. Baru sadar soal itu. "Tadinya aku ingin pulang bersamanya, tetapi sepertinya dia akan lama."
"Kalau begitu, aku menemanimu."
"Eh? Tidak perlu!" Gadis itu mengibaskan tangannya. "Kau tidak usah repot-repot—"
"Ingat apa yang terjadi terakhir kali kau pulang sendiri?"
Dorothea langsung diam. Shinsou benar, tentu saja. Akan tetapi, secara teknis kali ini dia tidak pulang sendirian. Ada Eins.
Namun dia jelas tidak bisa memakai alasan itu.
Mata emas menatap ke ungu yang menantang untuk protes. Keduanya saling pandang beberapa saat. Tidak ada yang berkutik. Akhirnya, si gadis menyerah.
"Itu hanya satu kali."
"Yeah, tapi tidak ada salahnya untuk hati-hati." Shinsou terkekeh. Mulai berjalan menuju pintu keluar dengan tangan di saku. Sebelum menoleh dan mengangkat alis ke Dorothea.
"Kau ikut?"
Si rambut merah menghembuskan napas berat. Namun tetap berlari kecil mengejar kawannya itu.
"Aku tidak tahu di bawah muka yang seram, kau sangat baik, Shinsou-kun. Apa kau khawatir?" canda Dorothea.
Shinsou tidak menjawab. Hanya mengendikkan bahu. Eins tertawa geli di belakang si gadis. Tangan dingin 'ditaruh' di pundaknya.
"Yep, dia jelas khawatir."
Dorothea terbatuk denga canggung. Sebelum kembali mengganti topik.
"Jadi... Festival Olahraga. Bagaimana pendapatmu?"
Lawan bicaranya terdiam sejenak. Menengadah untuk melihat ke langit saat mereka sudah keluar dari gedung.
"Ini... kesempatan."
Dorothea melirik ke anak di sebelahnya dengan heran. Shinsou berdehum.
"Event ini bisa dipakai untuk anak Prodi lain masuk ke Prodi Pahlawan."
Prodi Pahlawan?
"Well, aku yakin kau bisa jadi Pahlawan yang baik," ucap Dorothea. "Setidaknya itu berarti ada satu Pro Hero yang benar-benar bisa dipercaya di luar sana."
Mata violet Shinsou mengamati kawannya. Dia menelengkan kepala.
"Setelah dipikir... kau jarang berbicara soal Pahlawan."
"Ah?" Dorothea berdehum. Tangan menggaruk tengkuknya.
"Uh, sungguh? Yah, aku memang tumbuh di... lingkungan yang tidak terlalu dekat dengan hal itu."
"Tidak dekat dengan Pahlawan?" ucap Shinsou skeptis. "Di era seperti ini?"
"Bukan begitu. Hanya—keluargaku tidak terlalu... peduli? Maksudku, tentu kami berterima kasih karena jasa mereka, tapi-err, mereka masih manusia juga, kan?" terang si gadis panjang lebar.
"Mereka Pahlawan."
"So? Mereka sama saja seperti penegak hukum lain. Hanya lebih flashy. Dan asal tahu saja, penegak hukum tidak selalu bersih."
"'Pahlawan'—dengan kapital 'P'—itu hanya gelar. Bukan berarti jika kau seorang 'Pahlawan' maka kau orang baik," lanjutnya. Wajah gadis itu tampak agak kesal.
Namun, dia melirik si purplenette sekilas. Kemudian berdehum. "Tapi kalau Shinsou-kun... sepertinya kau bisa jadi salah satu yang baik."
Shinsou terhenyak. Melirik ke Dorothea yang sibuk membersihkan kuku jari dengan wajah bosan.
"Aku tidak akan menyembah orang dengan spandeks mencolok hanya karena mereka melawan Penjahat, Shinsou-kun."
Tawa kecil menyelinap keluar dari bibir Shinsou. Anak itu menggeleng dan melihat ke Dorothea dengan mata lembut.
"Kau aneh, Tuning."
"Tapi aku punya poin, kan?" balas Dorothea. "Dunia ini rumit. Dan manusia bukan hanya karikatur dari sebuah sifat."
Mendengar itu, Shinsou berdehum setuju. "Kau benar. Sepertinya hidup tidak segampang itu."
Si purplenette tersenyum ke gadis disampingnya.
"Kalau begitu, aku akan jadi Pahlawan yang bersih dan bisa diandalkan," katanya. "Toh, aku tidak mau mengecewakanmu."
Dorothea tersenyum lebar. Tangannya terkepal di udara. "Baiklah! Kalau begitu, aku akan bersorak untukmu dan Izuku-kun di Festival nanti!"
"Ah? Izuku juga akan serius mengikuti ini?"
"Oh percayalah—" Dorothea terkekeh. "Anak itu mungkin tidak bertujuan menang, tapi dia bukan tipe yang maju setengah-setengah."
"Ngomong-ngomong soal Izuku," gumam Shinsou. Kaki meremukkan satu daun kering di jalan. Dia menatap Dorothea.
"Kau yakin tidak mau bercerita soal Kuba Hisao padanya?"
Setelah kalimat itu terlontar, Dorothea langsung diam.
Dia berhenti di jalan. Wajah yang tadinya cerah menjadi berkerut. Senyum lebih kecil dari sebelumnya.
"Ah—itu, aku tidak mau dia khawatir."
Dia bisa merasakan pandangan Shinsou membakar kepalanya. Netranya tajam dan mengkalkulasi. Anak itu mengambil satu langkah mendekati si gadis.
"Aku masih tidak tahu apa yang terjadi," bisiknya. "Tapi kalau kau dalam bahaya—"
"Aku baik-baik saja. Semuanya terkendali."
"Tapi Penjahat itu kenal namamu—!"
"Shinsou!" sela si gadis. "Aku baik, oke? Hanya—ugh, lupakan saja."
Kalimat itu jauh lebih menggigit daripada yang Dorothea mau.
"Dia hanya ingin membantu, Dorothea."
Lihat, Eins yang dari tadi diam sampai angkat bicara. Dorothea menarik napas untuk menenangkan diri. Sebelum akhirnya membalas tatapan si bocah ungu.
"Aku aman. Dan mungkin ada baiknya kau tidak terlalu memikirkan ini."
Gadis itu menggaruk rambutnya. Merasa agak bersalah dengan permintaan yang ingin dia ucapkan.
"Dan—boleh aku minta tolong sesuatu?" bisik Dorothea.
Shinsou awalnya berdiam ragu. Sebelum akhirnya mengangguk.
"Tolong jangan ceritakan itu pada Izuku-kun," pinta si gadis. "Aku tidak mau fokusnya pecah karena hal konyol ini."
"Serangan Penjahat bukan hal konyol, Dorothea," decih Shinsou. Dia menghela napas. "Tapi baiklah kalau itu maumu."
Gadis itu diam. Kemudian msngangkat jari kelingkingnya. Mata emas berkilat di bawah cahaya mentari.
"Janji?"
Shinsou mendesah kecil. Ternyata kawannya ini bisa agak kekanakan. Akan tetapi, dia tetap mengaitkan kelingkingnya dengan anak itu.
"Janji."
Senyuman langsung kembali ke wajah Dorothea. Dan Shinsou membalasnya dengan sebuah senyuman kecil yang lebih tersembunyi.
"Dulu, kupikir aku tidak akan dapat teman di U.A." Shinsou menggaruk kepalanya. Dia melihat si gadis dengan ekspresi lembut.
"Aku senang aku salah."
Dorothea tertawa. Suaranya jernih layaknya dentingan bel. Shinsou turut terkekeh. Namun, batinnya berkata lain.
Kau menyembunyikan sesuatu, Dorothea Tuning.
Kuharap suatu saat kau cukup percaya padaku untuk menceritakannya.
***
Izuku menarik wakizashi-nya dari kepala seekor canineas. Melihat darah hitam demon itu mengucur dari luka yang terbuka.
"Jadi... sudah berapa banyak benda gila yang kau dan Hatsume-san buat?"
"Heh, cukup." Izuku terkekeh. Masih mengamati tubuh si monster. "Tunggu sampai Festival nanti. Kau pasti menyukainya."
"Kau bersemangat, huh?"
Izuku berbalik untuk melihat senyum geli sahabatnya. Dorothea bersandar di tembok bangunan tua. Tangan memutar pisau yang terikat pada benang di ujung jarinya. Ada mayat canineas lain di dekat gadis itu.
"Menurutmu kau bisa menang?"
"Eh, aku punya kesempatan," ucap Izuku sembari mengangkat bahu. "Tapi jujur, aku tidak terlalu memikirkan menang atau kalah. Aku hanya ingin bersenang-senang."
Si gadis tertawa kecil mendengar itu. "Tapi kau akan tetap berusaha, ya kan?"
"Oh, kau kenal aku Dorothea-chan." Izuku terkekeh. Cahaya rembulan mengiluminasi seringaian di wajahnya.
"Kalau Prodi lain ingin menjadikanku batu loncatan, silahkan. Mereka bisa mencoba. Bukan berarti aku akan diam saja."
Dorothea memandang kawannya itu dengan ekspresi lembut. Izuku balas tersenyum sebelum menyarungkan wakizashi.
Anak hijau itu tidak akan kalah tanpa bertarung. Dia tipe yang terus maju menghadapi apa yang dilemparkan padanya.
Kontras sekali dengan Dorothea yang lebih suka memilih pertarungannya dengan hati-hati.
"Yeah, semoga beruntung kalau begitu," ucap si gadis. Dia kembali berdiri dan menepuk pundak si greenette dengan senyum kecil.
"Lagipula, kalau kita selamat dari ini—"
Dorothea menunjuk ke tubuh dua canineas yang sudah tidak bernyawa.
"—Kupikir Festival Olahraga tidak akan seburuk itu."
"Melawan manusia dan demon itu dua hal yang berbeda," ucap Izuku sembari menggelengkan kepala. Lawan bicaranya berdehum.
"Benar juga," bisik Dorothea. Dia menyeringai. "Kita tidak bisa membantai murid lain."
Kedua anak itu bertukar tawa kecil. Sampai meteran anomali mereka berbunyi lagi.
Malam masih panjang.
Dua calon Children of Earth itu langsung kembali ke dalam bayang.
***
Dua minggu berjalan dengan sangat cepat.
Tanpa terasa hari Festival Olahraga sudah datang.
Izuku menghabiskan waktu dengan membuat lebih banyak penemuan. Dorothea sampai harus menarik kawannya—dan Hatsume, karena anak itu juga perlu merawat diri, ya ampun—untuk makan siang.
Anak-anak kelas 1-C yang lain juga mempersiapkan diri dalam standar masing-masing. Ada yang seperti Shinsou, yang ingin berusaha ikut dengan sepenuh hati. Ada juga yang hanya ikut karena sekedar keharusan.
Dorothea termasuk yang kedua.
Ruang tunggu kelas 1-C diisi dengan hening. Ada energi gugup yang meliputi mereka. Beberapa anak bahkan memasang ekspresi cemas. Sisanya tampak tidak peduli dan sibuk dengan hal lain.
Sepertinya sudah siap agar semua ini cepat selesai. Lalu bisa menonton dari bangku yang nyaman.
Dorothea berdiri di pojok ruangan. Mengamati Eins yang terbang menembus siswa yang lain. Izuku berdiri di sampingnya. Sibuk mengamankan posisi Jadestaff yang masih dorman di sabuk.
"Kau hanya membawa itu?" tanya Dorothea. "Bukankah kau membuat lebih? Berapa lama kau berkutat di Development Studio?"
"Oh, tentu saja ini tidak satu-satunya!" Anak itu menepuk Jadestaff dengan seringaian lebar.
"Tapi kalau langsung kupakai semua, kejutannya akan hilang, kan?"
Mata emerald Izuku berkilat di bawah cahaya lampu. Mengingatkan Dorothea pada trickster deity dari buku mitologi yang sering dia baca. Sang gadis terkikik.
"Kau tidak gugup?"
"Oh, aku sangat gugup!" ucap Izuku. "Coba bayangkan! Aku akan menunjukkan 'baby'-ku keseluruh Jepang! Mungkin dunia!"
"Geez, Izuku-kun, kau ketularan Hatsume—"
Dorothea terhenyak. Kalimatnya terputus.
"Tunggu, kau bilang seluruh Jepang?"
"Uh, ya?"
Anak berambut hijau itu melihat wajah sahabatnya memucat. Dia mulai khawatir saat si gadis menariknya mendekat. "Dorothea-chan, ada ap—"
"Apa kau lupa siapa yang ada di luar sana?!" desis gadis itu.
Otak Izuku kosong sejenak. Wajah Dorothea mulai mengerut panik. Kemudian dia serentak.
"Maksudmu—?"
Dia menggambar lingkaran imajiner dengan telunjuk pada nadi tangannya.
"Siapa lagi?!" bisik Dorothea. Izuku langsung merasakan panik yang sama merambat.
"Kau yakin mereka masih tersisa?"
"Jangan bilang kau lupa apa yang terjadi waktu kita SMP, Izuku-kun."
Si rambut hijau ingin membantah. Namun dia mengurungkan niat. Izuku tidak melihat tanda-tanda lain The Silent Hands sejak hari itu. Tetapi, dia tahu itu bukan berarti mereka hilang.
"Apa yang akan kau lakukan?"
"Entahlah," bisik Dorothea balik. "Berharap wajahku tidak masuk kamera?"
Izuku mendengus. Itu tidak mustahil. Namun, belum sempat dia memulai brainstorming soal rencana—pintu ruang tunggu bergeser terbuka.
"Ayo semua! Sekarang giliran kita!"
Terlambat.
Tidak bisa lagi mundur sekarang.
***
.
.
.
.
.
.
.
A.N. :
This... is going to be so weird holy hell-
Eh, anyway, chapter baru! Ini akan... menarik. Dan sekali lagi kuingatkan, Arc ini mungkin akan berbeda dari canon. But yeah, canon-divergence so...
Thank you for reading! :D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro