Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14. Sport Festival is Near

Banyak hal yang Aizawa Shouta sesali di dunia ini.

Mulai dari hal besar, hal-hal yang sangat sulit untuk dia bicarakan tanpa termakan rasa bersalah, sampai hal tak seberapa seperti tidak menyetok lebih banyak juice pouch leci sebelum rasa itu hilang dari pasaran.

Namun, sekarang—

Hal yang paling dia sesali adalah tidak mendengarkan peringatan anak bermata emas dari Prodi Umum.

Dorothea Tuning, itu namanya, jika dia tidak salah. Pada awalnya, Aizawa jelas ragu dengan klaim gadis itu soal serangan. 'Informan' yang dia sebut juga sedikit mengkhawatirkan. Mereka tidak bisa memercayai seseorang begitu saja.

Sampai insiden USJ benar-benar terjadi.

Aizawa ingat betapa tidak berdayanya dia dalam genggaman Penjahat hitam di USJ.

Dia masih bergidik membayangkan tangan yang diremukkan seperti ranting ringkih. Bunyi tulang patah masih terngiang. Satu hal lagi untuk ditambahkan ke daftar traumanya yang sudah panjang.

Kemudian, Tsukauchi memberi tahu soal percakapannya dengan Dorothea.

Hati Aizawa terasa agak sakit mendengar apa yang diceritakan oleh sang detektif. Mungkin hampir seburuk tubuhnya yang penuh perban.

Informan Dorothea sudah meninggal.

Dia meninggal dibunuh penjahat.

Detektif Tsukauchi berteori bahwa ada kemungkinan dia dibunuh karena mencari tahu soal serangan ini. Otak Aizawa langsung diserang oleh berbagai macam skenario yang tidak menyenangkan.

Apakah itu berarti Dorothea juga dalam bahaya?

Lagipula, bagaimana dia bisa berkenalan dengan orang itu?

Kenapa mau susah payah memperingatkan kami?

Apa dia membahayakan dirinya sendiri?

"Gadis itu sepertinya punya—koneksi." Begitu yang dikatakan Tsukauchi disamping kasur rumah sakitnya.

"Dia bahkan memiliki nomor Saiki Kazuhiko, sepertinya nomor pribadi."

Pupil Aizawa melebar di balik perbannya.

Inventor genius itu?

"Anak yang unik, eh?" ucap Nezu.

Aizawa tidak yakin kenapa kepala sekolah itu ada di ruang inap. Akan tetapi, dari senyuman si tikus, sepertinya dia tidak mau tahu.

"Begitu juga dengan anak yang satu lagi."

"Satu lagi? Siapa?"

"Midoriya Izuku," jawab Tsukauchi. "Dia yang menyelamatkanmu, Eraserhead-san. Tanpanya, lukamu mungkin bisa lebih parah."

"Aku tidak punya murid dengan nama itu."

Nezu tersenyum simpul.

"Dia juga anak Prodi Umum."

Selagi Tsukauchi menjelaskan apa yang terjadi, termasuk bagaimana siswa itu bisa ada di USJ, Aizawa merasa otaknya berputar dengan kewalahan. Berusaha mencerna sebaik mungkin segalanya.

Akan tetapi, dia lelah. Dan seluruh tubuhnya masih terasa sakit.

Satu kalimat terlintas di benaknya.

Apa yang salah dengan siswa-siswimu tahun ini, Hizashi?!

***

Dorothea berjalan ke U.A. sembari bersenandung. Hari libur yang diberikan sekolah benar-benar sebuah berkah setelah insiden USJ. 

Izuku tidak berangkat bersamanya pagi ini. Melainkan Akira yang mengantarnya sebelum pergi kerja. Dorothea tahu ayahnya itu sedikit gelisah dengan peristiwa di gang. Ibunya juga agak panik ketika Dorothea menceritakan soal lambang musuh bebuyutan The Children di tangan penyerangnya.

Seminggu ini benar-benar gila.

Yah, di sisi lain yang lebih positif, dia punya teman baru.

Sekarang dia tidak pernah benar-benar sendirian.

Eins melayang disampingnya. Tubuh spektral menguarkan hawa dingin. Sejak mereka saling bertukar nama, hantu itu menjadi salah satu tokoh konstan dalam hari-hari Dorothea. Awalanya agak aneh. Namun, lama kelamaan dia pikir ini tidak terlalu buruk. Dorothea jadi memiliki teman kemanapun dia berada.

Dan pada situasi sekarang, itu hal baik.

Jujur, serangan Kuba Hisao—The Silent Hands, secara teknis—masih membuatnya khawatir.

"—Halo? Dorothea?"

Gadis itu tersentak. Melirik ke Eins yang memasang ekspresk khawatir di wajah pucatnya.

"Kau tidak apa-apa?"

"Uh, yeah—" bisik gadis itu. "Hanya... er, berpikir. Tadi kamu bilang apa?"

"Apa tidak masalah kalian masuk sekolah hari ini?"

"Eh, kenapa tidak?" balas Dorothea. "Lagipula, kita sudah dapat libur untuk beristirahat."

Gadis itu berdehum kecil. Menendang kerikil di dekat kakinya sebelum melanjutkan. "Aku bahkan tidak turun tangan langsung. Jika ada yang harus kau khawatirkan, itu Izuku. Dia yang bertarung kemarin."

Dorothea meringis mendengar kalimat yang baru saja dia lontarkan. Karena dia tahu, Izuku tidak akan bolos sekolah hanya karena serangan seperti itu.

Jika anak lain akan mengambil kesempatan untuk berisitirahat, bocah itu terlalu keras kepala untuk duduk diam. Ditambah lagi, dia tidak punya luka parah. Izuku pasti akan tetap ngotot berangkat.

Toh, mereka terbiasa tetap masuk sekolah walaupun semalaman babak belur melawan demon.

USJ tidak sebanding dengan itu.

Lagi-lagi, Dorothea meringis karena jalan pikirannya sendiri. Gadis itu menyadari, bahwa di dunia dengan berbagai kekuatan super yang serba aneh—

Entah bagaimana, dia dan Izuku bisa ada di tingkat keanehan yang baru.

Dorothea akhirnya masuk ke area sekolah. Tampak murid-murid berjalan beriringan dan saling menyapa. Eins masih melayang di sampingnya. Gadis itu langsung menyadari hantu lain menjauh. Dia membuang napas lega.

"Hantu jarang suka dekat dengan satu sama lain, ya?" bisiknya kecil. Eins mengangguk.

"Yep. Lagipula, aku Poltergeist."

Eins berdehum kecil. Dia 'meletakkan' tangan transparannya di bahu Dorothea.

"Kau,—biasanya mengabaikan yang lain?"

Si rambut merah mengangguk. Sebelum menambahkan dengan bisikan lirih, agar tidak di dengar anak lain.

"Mereka kadang memintaku melakukan hal-hal mustahil. Atau membuatku tidak nyaman."

Dia mendengar Eins membalas dengan 'oh' pelan. Hantu itu tersenyum.

"Kalau begitu, kau tidak perlu khawatir lagi."

Dorothea terkekeh. Menggumamkan terima kasih selagi melempar senyuman simpul ke Eins yang tersenyum balik.

Mereka berdua melalui koridor. Ini sudah tidak pagi-pagi amat, tetapi lorong itu sepi. Mungkin yang lain sudah masuk ke kelas. Jadi, Dorothea mempercepat langkahnya.

Hampir saja dia menabrak mumi yang muncul di ujung lorong.

Eh, mumi?

Dorothea menahan langkahnya dan terhuyung ke belakang. Untuk saja mereka belum jadi bertubrukan.

"Ah! Maaf, sir, aku—"

Sang gadis terkesiap. Terkejut melihat tubuh penuh perban orang yang hampir dia tabrak. Kemudian, mata emas menatap ke rambut hitam panjang di kepala orang yang berbalut perban itu. Yang di depannya ini bukan mumi.

"Aizawa-sensei?"

"Pagi."

Suara gurunya serak dan datar. Dorothea berjengit. Dia tidak bisa melihat mulut Aizawa bergerak dari balik perban. Jujur, melihat kondisinya, dia tidak yakin si guru boleh banyak berbicara.

Atau bergerak secara general.

"Selamat pagi," balas Dorothea. Dia menggigit bibir. "Uh, Sensei. Apa kau baik? Bukankah sebaiknya—"

"Luka kecil begini tidak akan membuatku meninggalkan tugasku."

Dorothea melongo mendengar itu. Kemudian melirik dua kali untuk memastikan bahwa seluruh tubuh Aizawa yang terlilit perban dan kedua tangan yang digendong bukan hanya ilusi. Tidak, itu semua nyata.

Yang seperti ini dibilang 'luka kecil'?

Bloody hell...

"Keras kepala," bisik Eins disampingnya.

Dorothea mau tidak mau setuju dengan celetukan itu. Dia menatap Aizawa dengan rasa agak bersalah. Semua cideranya itu pasti karena USJ.

Ah, seandainya aku lebih bersikeras soal peringatannya...

"Maafkan aku, Aizawa-sensei," bisik Dorothea kecil. Dia menarik napas panjang. "Kalau saja aku—"

"Kau tidak salah."

Selaan Aizawa itu membuat si redhead tersentak. Suara sang guru bernada tegas. Berisi totalitas. Tidak memberi ruang untuk membantah.

"Yang terjadi itu bukan salahmu," lanjut Aizawa. "Malah kami yang harusnya meminta maaf. Kami tidak mendengarkan."

Mata emas mengerjap. Dorothea lalu menggaruk kepalanya dengan canggung. Melempar pandangan ke samping.

"Itu—itu juga bukan salah kalian," ucap Dorothea. Pipinya bersemburat merah selagi dia menunduk. Entah karena malu atau kesal pada diri sendiri.

"Aku tidak memberi kalian banyak alasan untuk percaya."

"Bukan berarti kami boleh tidak menghiraukannya," kata Aizawa lagi. "Kami setidaknya harus lebih waspada. Lihat apa yang terjadi."

Dorothea meringis melihat Aizawa beusaha memberi gestur ke—entah apa. Mungkin tubuhnya yang remuk. Atau mungkin hanya gerakan tangan untuk memperkuat poinnya. Gadis itu mendesah.

"Kita sama-sama salah, kalau begitu."

Aizawa menatap—setidaknya, Dorothea menebak begitu—dari celah kecil di perbannya. Wajah si rambut merah mengeras.

Guru itu ingin meyakinkan lagi. Tidak mau anak semuda si gadis menyalahkan diri sendiri karena peristiwa yang bukan salahnya. Namun, sepertinya pernyataan tadi sudah final.

"Baiklah."

Dorothea membiarkan sedikit senyum menyusup ke wajahnya.

"Uhm, sebaiknya aku ke kelas sekarang," ucap si gadis. Tangan menunjuk ke arah ruang 1-C.

Aizawa mengangguk. Jujur, Dorothea berharap dia tidak melakukan itu. Entah berapa banyak tulang yang remuk di kepalanya. Akan tetapi, si gadis tidak berkomentar dan segera berlalu.

Sebelum dia mendengar namanya dipanggil lagi.

"Dorothea—"

Gadis itu menoleh. Aizawa tampak terdiam sejenak.

"Soal informanmu ini—"

"Dia tidak bermaksud buruk," sela Dorothea dengan cepat. "Lagipula dia sudah tiada, jadi..."

Gadis itu bisa membayangkan wajah skeptis di balik perban.

"Apa kau jadi terlibat masalah karena informasi ini? Mungkin dengan—penjahat?"

Aizawa bertanya dengan hati-hati. Suaranya merendah.

"Apa kau dalam bahaya?"

Dorothea menahan tawa ironisnya di balik wajah datar.

Iya, Sensei.

Dia ingin menjawab begitu.

Walaupun ini bukan bahaya yang kau bisa bayangkan.

"Anda—tidak perlu khawatir, Aizawa-sensei." Gadis itu menjawab. Memperhatikan kalimatnya. "Lagipula, aku selalu berusaha menjaga diri."

Dorothea memberikan senyum simpul. Sebelum berbalik dan mengambil langkah seribu. Meninggalkan Aizawa yang terpaku di lorong kosong. Menatap rambut merah menghilan di belokan.

Pro Hero itu mendesah. Dia tidak menyangka ada juga anak seperti itu di Prodi Umum. Prodi yang dibilang paling 'normal' di U.A.

Dia sudah bisa merasakan pusing memanjati keningnya. Aizawa merutuk kecil.

"Problem Child."

***

Kaki Dorothea menapak lantai 1-C tepat sebelum bel masuk berbunyi. Dia buru-buru pergi ke mejanya dan duduk. Izuku tersenyum melihatnya.

"Good morning, Dorothea-chan!"

"Ohayou, Izuku-kun." Gadis itu terkikik kecil. "Maaf tidak bisa berangkat bersamamu pagi ini."

"Tidak masalah. Akira-san pasti masih khawatir."

"Yeah, akhir-akhir ini banyak kejadian yang tidak terlalu baik."

"Tidak terlalu baik?"

Celetukan itu membuat Izuku dan Dorothea menoleh. Shinsou menatap mereka dengan pandangan heran.

"Kalian bilang itu 'tidak terlalu baik'? Kalian terlibat dalam serangan Penjahat! Yang kalian alami itu bisa dianggap sangat buruk."

Nada anak berambut ungu itu tidak bisa disebut marah. Tetap saja suara yang agak meninggi membuat Dorothea berjengit.

"Well, aku tidak terlibat secara langsung," bantah Dorothea.

Shinsou menatapnya dengan tidak percaya. Mata yang berkantung membulat.

"Dorothea, jangan bilang kau lupa peristiwa sebelu—"

"Ah! Tapi semua baik pada akhirnya, kan?" Gadis itu menyela. "Bukankah itu yang paling penting?"

Shinsou mengerjap. Matanya menyipit memandang Dorothea. Sadar benar kenapa gadis itu memotong pembicaraannya. Izuku sendiri hanya bolak-balik memandang mereka bingung.

Si gadis hanya mendesah. Memutuskan untuk menyiapkan buku dan peralatan menulisnya.

"Beritanya cepat tersebar, ya?"

Netra emas bergulir untuk melirik ke Eins yang menyejajarkan kepala dengan meja tulis. Separuh kaki hantu itu menembus lantai.

Dorothea mengangkat kepalanya. Melihat beberapa anak yang tadi memperhatikan cepat-cepat menarik pandangan mereka. Berpura-pura sibuk ke buku atau ke teman lain. Gadis itu mendengus.

"Yah, ingat saja Dorothea. Yang kau lakukan itu hal yang benar. Jadi jangan malu, oke?"

Dorothea menunduk. Sudut bibir sedikit tertarik ke atas. "Tentu, Eins. Aku tidak akan malu membantu orang."

Si hantu melayang dengan senyum puas. Menyilangkan tangan spektral di belakang kepala pucatnya.

"Bagus kalau be—"

Terdengar suara pintu dibanting.

"Sebentar lagi Festival Olah Raga! APA KALIAN BERSEMANGAT, LITTLE LISTENERS?!"

Kriiik...

Dorothea bisa mendengar suara jangkrik imajiner di kejauhan.

Tidak ada angin, tidak ada hujan, tidak ada salam juga.

Begitukah anda membuka pembelajaran, Yamada-sensei?

Semua mata langsung mengacu ke depan. Manusia-kakatua yang mereka panggil wali kelas itu tersenyum lebar.

Present Mic memang selalu bersemangat. Kadang, anak-anak kelas 1-C sampai kewalahan mengimbangi sifat eksentrik dan hiperaktif guru mereka ini.

Akan tetapi, kali ini, siswa 1-C tampak ekstra tidak bersemangat.

"Maaf, Sensei." Seorang anak laki-laki berambut hitam yang duduk sudut mengangkat tangan.

"Kami biasanya hanya jadi batu loncatan agar anak Prodi Pahlawan bisa pamer. Agak logis kalau kita tidak bersemangat."

Ouch, harsh.

Namun, Dorothea tahu bahwa itu benar. Sejak dia pindah ke Jepang, Festival Olahraga U.A. itu adalah topik yang hangat setiap tahun. Walaupun dia sendiri tidak banyak menonton, dia bisa menebak prodi mana yang disorot.

Lihat, dia bahkan tidak cukup peduli untuk menontonnya. Jika U.A. ingin dia ikut dengan bersemangat, itu tidak akan terjadi.

"Oh, ayolah! Aku yakin ini tidak seburuk itu!"

Beberapa anak masih tidak percaya. Saling berpandangan skeptis. Beberapa langsung mendenguskan rutukan kecil di napas mereka. Anak-anak mulai ribut berbisik dan mengeluh.

Sampai satu tangan terangkat lagi.

Kali ini, anak perempuan berambut biru yang duduk di dekat anak laki-laki yang bertanya duluan tadi.

"Yamada-sensei, apa tidak masalah melakukan event besar setelah... insiden kemarin?"

Kelas langsung hening.

Topik itu masih jadi sore spot, rupanya.

Wali kelas mereka langsung memasang senyum lebar.

"Tentu! Ini cara kita berkata bahwa U.A. tidak takut! Lagipula, keamanan akan dijaga lebih ketat lagi!"

Ekspresi ceria si guru tidak luntur selagi menerangkan. Mau tidak mau, Dorothea memberikannya salutan dalam hati.

Hebat juga, pikir gadis itu.

Dia bisa pulih mental dari insiden USJ secepat ini. Pahlawan memang beda.

Setelah itu, Present Mic mulai membuka homeroom dan berkoceh soal banyak hal. Suara berisik sang guru langsung mengabur di otak Dorothea yang memutuskan melamun.

Festival Olahraga, ya?

***

Hari berjalan dengan cepat.

Bel pulang akhirnya berbunyi. Menyela suara Ectoplasm yang menjelaskan rumus fungsi atau apalah itu, Dorothea tidak punya cukup ruang di otak untuk peduli.

Dia hanya lega jam ini sudah selesai. Gadis itu tidak benar-benar bisa fokus sedari tadi. Pelajaran matematika di sore hari memang menyebalkan.

Ectoplasm menutup pertemuan itu dan melangkah keluar kelas. Dorothea meregangkan tubuhnya yang terasa kaku karena duduk seharian.

"Hei, Dorothea-chan!"

Si rambut merah menoleh. Melihat Izuku tersenyum lebar. Tas sudah rapi di punggung. Mata emeraldnya berkilat dengan semangat.

"Apa kau harus langsung pulang?"

"Er, tidak juga—"

"Bagus! Mau menemaniku sebentar?"

Alis Dorothea terangkat. Tubuh si greenette tampak bergetar. Terlihat seperti menahan diri untuk tidak melompat karena bersemangat.

"Tentu." Dorothea berdiri dan mencangklongkan tas selempangnya.

Senyum Izuku makin cerah. Si gadis sampai merasa harus berpaling karena silau.

"Tapi... boleh aku tahu kemana?"

Eins melayang mendekat. Sepertinya juga turut penasaran. Izuku terkikik kecil. Baiklah, Dorothea mulai heran dengan sikap sahabatnya ini.

"Ke Development Studio!"

"Development Studio?" beo si gadis. "Bukankah itu laboratorium Prodi Support?"

Ah, pantas dia kelihatan senang...

"Yep!" Izuku mendahului Dorothea berjalan ke pintu. Si rambut merah—plus Eins—mengikuti.

"Memang kenapa kau harus ke sana, Izuku-kun? Ada perlu apa?" tanya si gadis penasaran.

Izuku kembali tertawa kecil. "Oh, bukankah sudah jelas, Dorothea-chan?"

Senyuman yang dipasang Izuku sekarang membuatnya merinding.

"I am going to level my playing field."

***

Seorang perempuan bertudung duduk di sebuah bar sempit di tengah kebisingan Kamino. Kuku tajam mencatuk pelan meja bar dengan irama yang terus diulang.

Tap. Tap. Tap.

Suara berdesing terdengar lembut. Wanita Bertudung memperhatikan laki-laki berambut biru muda yang duduk tak jauh darinya. Sibuk menggaruk leher yang sudah penuh luka.

Tap. Tap. Tap.

Laki-laki itu berdecih. Menggaruk semakin cepat.

Tap. Tap. Tap.

Semakin cepat. Bunyi 'sruk sruk' dari kuku yang menggores kulit terdengar memuakkan.

Tap. Tap. Tap.

"HENTIKAN ITU!"

Tap.

Sang wanita menyembunyikan senyum. Si pria memandang dengan kilatan marah di manik rubinya.

"Kenapa? Aku mengganggumu, Shigaraki Tomura?"

"Tentu saja!" Laki-laki itu—Shigaraki—menggeram. Tangannya sudah berhenti menggaruk. Kini terkepal di meja.

"Lagipula kenapa kau masih di sini?! Dasar NPC bajinga—"

"Jaga mulutmu, Shigaraki-kun~"

Suara wanita itu bernada main-main. Namun, ada intonasi lain di bawah kalimatnya.

Ancaman.

Shigaraki langsung diam. Ekspresi kesal masih di muka. Namun, dia tahu wanita ini bukan seseorang yang bisa dia serang begitu saja. Dia tidak yakin bagaimana Sensei-nya bisa berutang pada orang seperti ini.

"Ingat, dearie. Aku ini bukan penjahat bawahanmu yang bisa kau perintah." Si wanita tersenyum. "Kita memang punya tujuan yang berbeda, namun kita ekual di sini, no?"

"Selagi kau menepati janji bagianmu, tentu saja."

Senyum si wanita berubah menjadi seringaian. Dia menoleh ke layar dengan tulisan 'SOUND ONLY' yang barusan bersuara.

Shigaraki berusaha memprotes. "Sensei—"

"Tentu saja, dear!" Wanita Bertudung menyela sembari terkekeh. Dia kembali fokus ke Shigaraki.

"Jadi, sudah tidak sabar untuk melihat Festival Olahraga U.A.?"

Penjahat berambut putih itu tidak menjawab. Hanya meracau di balik napasnya. Kemudian kembali sibuk menggaruk leher.

Si wanita berdehum. Ketua League of Villain ini pasti masih kesal soal USJ. Yah, dia tidak terlalu peduli. Dia hanya kesana untuk mencari satu orang. Sayang, ternyata anak itu bukan Prodi Pahlawan.

Tangan si wanita mengangkat gelas yang baru diisi oleh Kurogiri. Whiskey. On the rock. Seperti yang dia suka.

"Aku penasaran. Apa kali ini kau akan muncul—"

Dia menggoyangkan gelas kaca. Membuat es di dalamnya terayun.

"—Dorothea Tuning?"

***
.
.
.
.
.
.
.
.

A.N. :
Prodi Umum : kita Prodi paling normal di U.A!
Dorothea+Izuku : allow us to introduce ourselves.

Anyway, maaf membuat menunggu lama! Terima kasih sudah membaca chapter ini! Komentar dan saran selalu diapresiasi!

Thank you for reading! :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro