Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Bad Thing Happens

Dorothea berjalan setengah melamun menuju ke rumah. Sekali-kali menendang kerikil kecil yang dekat dengan kakinya. Jalanan sudah sepi. Gadis itu merasa terbantu dengan ketenangan yang ada. Pikiran masih melayang ke percakapan tadi. Juga kemana si Rambu Putih pergi.

"Ugh, semoga Yamada-sensei tidak membahasnya lagi besok," gumam gadis itu.

Dia menghela napas dan mengusap wajahnya. Hanya bisa berdoa agar tidak dicap bergaul dengan pengedar informasi di gang gelap atau semacamnya.

"Sungguh hari yang buruk."

"Oh, ini baru akan jadi lebih buruk."

Langkah Dorothea berhenti.

Dia berbalik. Tampak seseorang berdiri di sana. Wajahnya separuh tertutup tudung hitam dari jubah. Ada seringaian besar di wajahnya. Memamerkan gigi-gigi kuning yang tak rata.

"Dorothea Tuning!"

Suaranya berat. Dia laki-laki.

Dan darimana dia tahu namaku?

Si pria merentangkan tangan ke samping. Lengan jubah hitam panjang tertarik. Mata emas Dorothea membulat. Langkahnya tersentak mundur.

Lambang di pergelangan pria itu jelas di bawah cahaya senja. Ular yang menggigit ekornya sendiri.

Ouroboros.

"Mistress sangat ingin bertemu denganmu!!"

Dan dia menerjang.

Detik terakhir, Dorothea berkelit. Menghindari serangan pria itu. Mata menangkap kilatan bilah dalam genggamannya.

Belati.

Gagangnya berbentuk ular, terbesit di benak. Gigi gadis itu meringis.

Orang ini The Silent Hands.

Dorothea menarik pisau lempar dari saku. Tangannya terangkat. Tetapi berhenti di udara.

Tunggu, ini manusia, bukan demon. Apa aku bisa

Pria Bertudung menyerang lagi. Belati terhunus. Menyerempet ujung jas Dorothea saat gadis itu menghindar ke belakan si pria.

Sialan! Lupakan dulu soal moral!

Tangan Dorothea terayun. Pisau melesat di udara. Menancap pada bahu penyerangnya. Pria Bertudung meraung.

"KAU—!"

Pria itu berbalik. Bibir menggeram marah. Darah mengalir dari pisau. Membuat lengan jubah hitam semakin gelap. Dorothea menarik dua pisau lagi dari samping tasnya.

The Silent Hands itu memindah belatinya. Tampak mata hitam berkilat dari balik tudung. Dia marah. Dan frustasi. Entah pada diri sendiri atau pada gadis incarannya.

Tidak menyangka akan ada perlawanan, huh?

"JALANG KECIL—!"

"HEI!"

Langkah pria itu berhenti. Dia dan Dorothea sama-sama menengok ke sumber suara yang menyela mereka. Tampak orang lain di jalan.

Rambut ungunya terkibar angin.

Netra emas terbelalak.

Shinsou?!

"Apa yang kau lakukan?!"

"JANGAN IKUT CAMPUR BOCAH—"

Lalu diam.

Mulut pria bertudung terkatup. Hanya membeku di tempat. Dorothea memandang dengan bingung. Tidak sekalipun mengendurkan pegangan di pisaunya. Sampai dia teringat—

Quirk Shinsou.

Brainwashing.

"T-tetap di sana dan jangan bergerak!"

Setelah mengucapkan perintah itu, Shinsou berlari. Menerjang dan menyambar lengan Dorothea. Menggeretnya menjauh.

"Shinsou! Apa yang—!"

"Kita lari dulu!"

Dorothea terkesiap. Namun menurut. Shinsou menggandeng tangannya sembari menjauh. Telapaknya berkeringat dingin. Dorothea mengeratkan genggamannya.

Dia... pasti sangat gugup tadi.

Dua murid itu berlari menjauh, namun baru sampai beberapa meter—

BRUK!

"Agh!!"

Mereka menabrak sesuatu.

Tetapi tidak ada apapun disana.

Dorothea menarik tangan dari genggaman Shinsou. Meraba dinding tak kasat mata. Seakan udara mengeras di depan mereka. Dia bergeser. Tembok itu masih di sana.

Sepertinya mengulur sampai menutup jalan kecil itu. Membuat ujung buntu.

Mereka terperangkap.

"Ini quirk!" desis Shinsou.

Tepat saat itu, suara berat tertawa dari belakang mereka.

"Menurutmu kau bisa lari, Sang Mata?!" Pria Bertudung tersenyum mencemooh. "Tapi tak kusangka! Kau punya kesatria yang pemberani juga!"

"Apa yang kau mau?!" seru Shinsou.

Namun, si pria tidak menjawab. Hanya tersenyum semakin lebar.

Dia sudah tahu cara quirk Shinsou bekerja.

Dorothea menggigit bibir. Otak berputar. Pria Bertudung semakin mendekat. Belati ular di tangannya berkilat kejam.

Mustahil memenggalnya dengan benangku.

Dengan lisensi pun, aku akan dapat masalah kalau membunuh orang.

Aku mungkin bisa mengikat

BRAAAK!

Ternyata Dorothea tidak perlu melakukan apapun.

Pria Bertudung jatuh.

Ditimpuk oleh bata melayang.

Mungkin begitu yang dilihat orang lain. Namun, tidak untuk Dorothea.

Karena dia bisa melihat siapa yang melemparnya.

Rambut Putih!

"A-apa-apaan...?"

Dorothea menoleh. Melihat Shinsou bergetar di sampingnya. Mata ungu melebar dengan shock.

Kemudian, si gadis melirik ke pria yang tergolek di tanah. Dengan hantaman keras begitu, mungkin bisa ada gegar ringan.

"Shinsou," bisik Dorothea.

Dia menggoyangkan pundak kawannya ketika tidak mendapat jawaban. Anak itu akhirnya menoleh. Mata violet bersirobok dengan emas.

"Kau lihat tadi—? Batu batanya—"

"Ya." Gadis itu menangkupkan pipi Shinsou ke tangannya. Berusaha menenangkan. Walaupun dia sendiri juga bergetar hebat.

"T-tapi kita harus mengurus orang ini dulu, oke? Ayo."

Gadis itu menarik lengan jas abu-abu Shinsou. Tatapannya memelas.

"Tolong bantu aku."

***

Pada akhirnya, Shinsou luluh. Walaupun dia harus memaksa tubuhnya untuk bergerak mendekati pria aneh di tanah. Seluruh sarafnya masih menjeritkan 'bahaya'.

Dan sepertinya Dorothea juga sama. Berjengit dan tampak sangat gugup ketika memindahkan dan mengikat Pria Bertudung ke tiang lampu. Sebelum memanggil polisi.

Mereka menunggu beberapa menit. Sampai akhirnya mobil bersirene datang. Shinsou memperhatikan Dorothea yang menggeser diri mendekat padanya.

"Tenang," bisik Shinsou. "Kita akan baik-baik saja."

Beberapa polisi membekuk si pria, sementara yang lain menjauhkan Dorothea dan Shinsou dari tempat kejadian perkara. Sebelum salah satu petugas datang untuk mewawancarai mereka.

Petugas itu—Tamakawa Sansa—memiliki mutasi kucing. Rasanya agak canggung ketika pertama kali berbicara. Namun, dengan sifat profesional dan nada yang lembut, akhirnya wawancara itu mengalir dengan lancar.

Tamakawa menuliskan semua cerita Shinsou dan Dorothea di buku catatan kecil. Sebelum melirik ke pria yang di dorong masuk ke mobil polisi.

"Namanya Kuba Hisao," gumam si opsir. "Dia sudah lama menjadi buron. Karena upaya pembunuhan. Sepertinya dia punya gangguan mental. Dan bergabung dalam suatu kultus."

"P-pembunuhan?" Suara Dorothea terbata ketika membeo kata itu. Sepertinya masih terguncang.

Opsir Tamakawa sepertinya tersadar. Dia menepuk pundak Dorothea. "Tenang, nak. Kau baik-baik saja sekarang. Kami juga sudah menghubungi orang tua kalian."

Shinsou dan Dorothea mengangguk bersamaan. Masih tampak agak mengambang.

"Apa—apa kami akan dapat masalah karena menggunakan quirk?" tanya Shinsou.

"Tidak," jawab Opsir Tamakawa. "Yang kalian lakukan termasuk membela diri. Begitu juga dengan pisaunya."

Dorothea tampak menengang di samping Shinsou. Kemudian menghembuskan napas lega.

"Ngomong-ngomong, beruntung sekali kau membawa senjata, ya?" ucap Tamakawa. Berusaha meringankan suasana.

"Ya," gumam Dorothea pelan. "Itu penting untuk melindungi diri."

Polisi itu mengangguk. Kemudian menoleh ketika namanya dipanggil. Dia undur diri dari Shinsou dan Dorothea. Mengucapkan terima kasih sekali lagi. Dua anak itu membalas dengan 'sama-sama' yang canggung.

Setelah Tamakawa menjauh, Shinsou melirik ke Dorothea yang berdiri di sampingnya. Menatap kosong ke depan. Tidak bergeming.

"Dorothea, apa kau baik—?"

Kata-kata Shinsou terputus. Dia merasakan tubuh hangat terdorong ke tubuhnya sendiri.

Dorothea memeluknya.

"Terima kasih," gumam si gadis. Agak teredam karena wajahnya ada di baju Shinsou.

"Terima kasih banyak, Shinsou-kun."

Anak violet itu mengerjap. Tangannya terangkat di udara. Tidak tahu apa yang dia lakukan. Merasa canggung. Sampai akhirnya dia memeluk balik dengan lembut.

"Jangan dipikirkan. Kau baik-baik saja sekarang."

Dorothea mengangguk kecil. Sebelum sadar dan segera menarik mundur tubuhnya.

"Ah! Uh—maaf! Itu, uh—"

Wajah Dorothea memerah. Hampir sewarna dengan rambut yang sedang dia rapikan ke belakang telinganya. Shinsou tersenyum kecil.

Imut.

"Aku—uh, tidak bermaksud memeluk. Hanya—adrenalin. Maaf."

"Tidak apa-apa," ucap Shinsou cepat. Dia memutuskan mengganti topik. Sebelum pembicaraan ini mengarah ke hal yang lebih canggung.

"Ngomong-ngomong, soal batu bata tadi, kau melihatnya juga, kan?"

Gadis di depannya tersentak. Kepala langsung terangkat. Kemudian, mata emas langsung menyisir ke sekitar. Mengernyit dengan bingung. Seakan mencari sesuatu.

"Ya, aku juga melihatnya."

"Aneh," gumam Shinsou. "Aku tidak gila, kan? Batu bata itu terbang sendiri."

"Iya kau benar," gumam Dorothea. Alis Shinsou terangkat.

"Apa kau tahu sesuatu?"

"Eh?!" Dorothea terlonjak. "Aku—!"

"Kau tahu sesuatu, kan? Sebenarnya apa yang terjadi di sini? Orang yang tadi, dia juga jelas menyebut namamu."

Wajah Dorothea memucat. Sebelum berubah menjadi heran.

"Shinsou-kun, apa kau menguntitku?"

Kali ini, giliran wajah Shinsou yang memerah.

"Y-yah! Aku khawatir! Kupikir kau akan bertemu dengan informanmu atau semacamnya. Jadi, aku mengikutimu. Dan kau malah terlibat masalah lain," jelasnya.

Dorothea mendengus. "Ini bukannya aku mau terlibat masalah. Oh, dan—"

Mata emas Dorothea mengerling. Menatap ke manik ungu Shinsou dengan gembira.

"Hari ini quirkmu menyelamatkanku, terima kasih, ya."

Shinsou mengedipkan mata. Mulut agak terperangah. Dia menggaruk leher dan mengalihkan pandangan.

"T-tidak juga," gumam Shinsou. "Secara teknis, batu bata tadi yang menyelamatkan kita."

"Mungkin," kata Dorothea. "Tetapi, quirkmu menyelamatkanku lebih dulu. Memberi waktu untuk lari."

Gadis itu tertawa kecil. Kemudian menggamit tangan Shinsou dengan lembut.

"Lihat? Quirkmu bukan 'quirk penjahat'. Sebaliknya, malah." Dorothea tersenyum lebar. "Quirkmu quirk Pahlawan."

Mulut Shinsou menganga. Dia butuh beberapa detik untuk menata dirinya. Ya, dia tahu Dorothea sudah memberi pendapat soal quirknya di awal.

Tetapi hari ini, dia sendiri yang melakukan bukti nyatanya.

"Menurutmu begitu?"

"Ya," ucap gadis di depannya mantap. "Kau sudah menjadi Pahlawanku hari ini, Shinsou-kun."

Shinsou merona. Senyuman yang diberikan Dorothea sama seperti cahaya senja.

Cantik.

***

Pada akhirnya, orang tua mereka datang dan menjemput mereka masing-masing. Avery dan Akira memeluk Dorothea dengan erat. Sebelum berterima kasih ke Shinsou dan keluarganya. Shinsou dan Dorothea bertukar nomor telepon sebelum mengucapkan sampai jumpa.

Di perjalanan, gadis itu tidak membuang waktu untuk menceritakan apa yang terjadi ke Avery dan Akira.

Begitu mendengar The Silent Hands, mata keduanya langsung membulat.

Perjalanan setelah itu tenang. Mereka membahas dan mendiskusikan apa yang mereka bisa lakukan. Dan kemungkinan akan The Silent Hands yang muncul kembali.

Setelah sampai rumah, barulah Dorothea bisa merasa rileks. Tubuhnya langsung melemas di tempat yang familiar.

"Mau Mom buatkan teh? Atau kau mau makan malam? Mom bisa buat—"

"Uh, aku boleh istirahat sebentar di kamar?"

Mata cokelat Avery melembut memandang putrinya. Dia mengelus rambut Dorothea dengan sayang. "Tentu saja. Tidurlah sebentar. Nanti Mom bangunkan saat makan malam siap."

Anak sematawayangnya itu mengangguk. Menggumamkan terima kasih pelan sebelum mendaki tangga ke kamar.

Dia melemparkan tas ke dinding. Dan langsung merebahkan diri tengkurap di kasur. Wajah terbenam di bantal. Seluruh tubuhnya terasa lelah.

Jujur, dia tidak terkejut akan pertarungan tadi. Dia sudah biasa dengan yang lebih parah. Lagipula, melawan demon sudah jadi makanannya sehari-hari.

Masalahnya, yang tadi manusia.

Rasanya jauh lebih berat melawan orang lain daripada demon.

"Ugh, sudahlah," guman Dorothea. Mengenakkan posisi tidurnya.

Dia masih memakai seragam dan dia tidak peduli. Dia hanya ingin tidur sebentar sampai—

Ada hawa dingin familiar di dekatnya.

Netra emas langsung menjeblak terbuka. Dia mengangkat tubuh dari kasur ke posisi duduk. Mata menyisir ruangan.

"Hei," gumam Dorothea. "Apa kau di sini?"

Hanya ada diam beberapa saat.

Sampai sosok Rambut Putih perlahan menembus lemari di depannya. Tampak ragu dan memainkan jari.

"Ya," ucapnya. "Apa kau baik-baik saja?"

"Uh-huh." Dorothea mengangguk. "Semua itu berkat kau, terima kasih."

Rambut Putih menggeleng. "Itu yang paling bisa aku lakukan, dan—uh, maaf."

"Untuk apa?"

"Saat di U.A. kau tampak tidak nyaman dengan pembicaraan itu. Dan—kau mungkin dilabeli anak aneh oleh guru..."

Dorothea terkekeh kecil. "Bukan pertama kalinya. Lagipula, aku yang setuju."

Si Rambut Putih menelengkan kepala dengan penasaran.

"Uh, Dorothea, aku punya pertanyaan."

"Ya?"

"Orang yang menyerangmu—apa kau mengenalnya? Kau tampak kaget sekali tadi."

Dorothea mendesah.

"Tidak. Aku tidak mengenalnya. Tetapi aku tahu kultus yang dia ikuti."

Gadis itu terdiam. Sebelum menambahkan.

"Mereka mengincarku."

Mata dingin hantu didepannya membulat. Dia bisa melihat kekagetan di wajah pucat.

"Tunggu, bukankah hal seperti itu harus dilapor—"

"Tidak," ucap Dorothea sembari menggeleng. "Percayalah, sudah ada yang mengurus masalah seperti itu."

"Selain kepolisian? Siapa?"

Dorothea memiringkan kepala dengan berdehem. Agak tidak percaya hantu ini tidak pernah melihat Children of Earth berkejaran dengan demon di malam hari.

Beritahu? Tidak beritahu?

Dia hantu, kan? Memangnya bisa bocor kemana informasi ini?

"Baiklah." Gadis itu mendesah. Rambut Putih melayang mendekat. Wajah penasarannya semakin kentara.

"Yang akan aku ceritakan ini sangat panjang dan aneh. Jadi, jangan menyela."

***

Setelah kalimat penutup keluar dari bibirnya, Dorothea ingin memberi tepukan kerja bagus ke dirinya sendiri. Melihat wajah terkejut Rambut Putih juga membuatnya semakin bangga.

"Itu—wow. Itu sangat—wow."

Dorothea tertawa. "Hampir seaneh anak yang bisa melihat hantu, huh—um, ah benar."

Gadis itu menjentikkan jari. Memberi senyuman kecil ke Rambut Putih.

"Apa kau punya nama? Aku tidak bisa terus-terusan memanggilmu Rambut Putih di kepalaku."

Si hantu terlonjak. Kemudian menunduk. Dorothea tidak bisa melihat ekspresinya di balik surai putih. Namun, dia bisa merasakan keengganan si hantu untuk memberitahunya.

"Baiklah," ujarnya. "Bagaimana kalau aku memberimu satu? Apa kau punya preferensi?"

Kali ini, Rambut Putih tampak berpikir. Sebelum dia berbisik lirih. Pelan sekali. Jika Dorothea tidak memperhatikan, dia mungkin melewatkannya.

"Mereka memanggilku Pengguna Pertama..."

Alis Dorothea terangkat. "Pengguna apa? Mereka siapa?"

Rambut Putih menunduk dan tetap diam. Sepertinya itu rahasia lain yang tidak ingin dia bagi sekarang. Dorothea mendesah.

"Baiklah..." gumamnya. "Pertama ya..."

"Bagaimana dengan Eins?"

Kepala si hantu terangkat. Mata kanannya terlihat dari poni yang tersibak. Dorothea tersenyum.

"Eins berarti 'satu' dalam bahasa Jerman. Seperti 'nomor satu'. Pertama," terang gadis itu. "Yah, mungkin aku bisa memanggilmu Ichi, tapi ini Jepang, pasti banyak anak pertama dengan nama Ichi. Eins terdengar... unik, kau tahu? Spesial."

Rambut Putih tampak mempertimbangkan. Kemudian dia tersenyum. Lebih lebar dari yang Dorothea lihat sebelumnya.

"Eins nama yang bagus, aku suka itu."

Dorothea dan Rambut Putih—Eins—bertukar senyum. Sama-sama tulus. Sepertinya mereka bisa dekat.

Sepertinya punya satu teman hantu bukan ide yang buruk.

"Jadi... Eins." Dorothea menggulirkan nama baru itu di lidahnya.

"Menurutmu mereka percaya pada peringatan kita?"

Eins terdiam. Berdehum dan menimbang jawaban kalimat itu.

"Entahlah," gumamnya. "Tetapi setidaknya kita sudah mencoba."

Dorothea mendesah. Kemudian tersenyum lembut ke si hantu. Entah untuk menenangkannya atau meyakinkan diri sendiri.

"Semoga semuanya akan baik-baik saja."

***

Hari ini, untuk pertama kalinya, Dorothea masuk ke kelas sendirian. Tidak bersama dengan anak berambut hijau layaknya semak.

Tentu saja hal ini langsung disadari oleh Shinsou.

"Kau masuk hari ini. Setelah kemarin, kupikir—?"

"Heh, kau masuk juga hari ini, kan? Aku baik, kok. Tenang saja."

"Dan Midoriya? Kemana dia?"

"Ah?" Dorothea mengetuk mejanya. "Dia... ada urusan. Ingat desain yang dia sering bawa? Dia ke bengkel untuk mengecek kelanjutannya."

"Woah," gumam Shinsou. "Kau yakin dia tidak lebih cocok di Prodi Support?"

Dorothea menggeleng. Seringaian kecil ada di bibir.

Tentu tidak. Yang dia buat bukan alat biasa.

Tetapi technomagic.

"Oh, dan Shinsou." Dorothea berbalik. Menunjuk anak itu dengan ujung pensilnya.

"Yang kemarin, jangan ceritakan ke siapapun. Termasuk Izuku-kun."

"Huh? Kenapa?"

"Hanya tidak mau membuat orang-orang khawatir."

Gadis itu berbalik lagi. Kembali menghadap ke papan tulis. Memutar-mutar pensil di tangan dengan bosan menunggu pelajaran dimulai.

Eins melayang rendah di samping tempat duduk Dorothea. Ada aura dingin menyelubunginya.

"Sekarang, hanya bisa menunggu, ya?"

Dorothea mengangguk. Kecil dan singkat. Agar tidak menarik perhatian yang lain.

Manik emas melirik ke tempat duduk kosong di sebelahnya.

Perasaanku tidak enak.

***

Izuku tidak ingat kenapa dia ada di sini.

Sedetik yang lalu, dia masih berada di bengkel kerja Saiki Kazuhiko, salah seorang Artificer—orang yang membuat alat sihir khusus—dari Children of Earth.

Sekarang, Izuku berada di—

Atas kapal?

Bermain-main dengan technomagic setengah jadi itu ide buruk.

Anak berambut hijau itu mendesah. Dia hanya punya diri sendiri untuk disalahkan.

"Apa-apaan ini?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro