10. Red Warning Sign
"Selamat pagi Doro—whoa!"
Izuku melompat mundur melihat wajah kawannya yang tampak sedikit pucat. Ada kantung mata di mukanya. Dorothea menguap.
"Pagi, Izuku-kun."
"Uh, apa semalam kau bergadang? Jangan bilang kau berburu sendirian."
"Tidak, tentu tidak." Dorothea menutupi mulutnya untuk menguap yang kedua. "Semalam aku mendengarkan cerita. Dan itu malah membuatku lebih mengantuk daripada berburu."
"Cerita?"
"Mhmm," gumam Dorothea sembari mengangguk dan mengucek mata. Berusaha mengusir kantuk.
"Ayo berangkat sekarang. Nanti kita terlambat."
***
"Itu mata panda yang impresif," goda Shinsou ketika Dorothea duduk di mejanya.
Gadis itu memberinya lirikan kesal.
"That's rich coming from you," tandasnya. Sebelum membenarkan gulungan rambut acak-acakannya yang mirip sarang burung.
Izuku dan Shinsou meringis geli. Sementara Dorothea meracau kecil di sela napas.
Dia benar-benar tidak merapikan diri karena bangun terlambat. Dia bahkan hanya sempat memakan separuh roti sebelum Izuku sudah sampai depan rumah.
Dan dia masih sangat mengantuk.
Aneh, padahal biasanya tidak ada masalah kalau dia dan Izuku bergadang berburu demon. Namun, sekalinya dia bergadang untuk hal lain, tubuhnya langsung protes.
"Memangnya kau semalam melakukan apa?" tanya Shinsou.
Gerakan tangan Dorothea berhenti. Perempuan itu berdehum pelan. Netra emas melirik ke sudut kelas.
Rambut Putih melayang di sana.
Pikirannya otomatis memutar kejadian kemarin.
"Aku... mendengarkan cerita."
***
Flashback
"Jadi," bisik Dorothea "U.A. akan diserang?"
"Bukan U.A. juga," ralat Rambut Putih. "Hanya satu kelas. Dan itu akan dilakukan di USJ."
"Universal Stu—"
"Unforeseen Simulation Joint," sela si hantu. Nadanya tidak sabar. "Semacam tempat untuk latihan penyelamatan."
"Latihan penyelamatan, huh?" gumam Dorothea sembari mengelus dagunya. "Pasti Prodi Pahlawan."
Si Rambut Putih mengangguk-angguk. "Jadi, kau harus—"
"Tunggu dulu, darimana kau tahu informasi ini?"
"Saat kau adalah hantu, menggali informasi tanpa terdeteksi bukan hal yang sulit."
"Heh, kau benar," gumam si gadis. Dia menyenderkan tubuh di bantal. Menatap ke langit-langit.
"Dan mereka mau membunuh All Might? Nekat sekali," kata Dorothea.
"Jangan salah, aku bukan penggemar All Might. Aku bahkan bergurau ingin membunuhnya. Tetapi, aku tidak cukup bodoh untuk melakukan itu."
"Kau... bergurau... ingin membunuh Pahlawan No. 1?"
"Aku punya alasan." Dorothea mengangkat bahu.
"Tetapi, memangnya harus khawatir? Ini All Might. Dia Pahlawan nomor 1. Membunuhnya pasti sulit, kan?"
Rambut Putih tampak ragu. "Dia sudah... tidak sebugar dulu."
"Dan mereka punya makhluk ini, Nomu, kekuatannya menyaingi All Might."
Dorothea terkesiap mendengar itu.
Makhluk dengang kekuatan menyaingi Pro Hero nomor satu? Batin Dorothea. Dan ada di tangan penjahat. Ini bukan main-main.
"Well, aku bilang sulit. Bukan mustahil."
"Itu sebabnya kau harus menolong mereka!"
"Dengan apa? Memang apa yang bisa kulakukan?" tanya Dorothea ragu.
"Kau bisa memperingatkan mereka! Katakan apa yang akan terjadi!"
"Apa yang harus kukatakan? Menurutmu guru-guru akan percaya begitu saja?"
Rambut Putih termenung. Sepertinya dia belum memperhitungkan hal ini. Dorothea mendesah pelan.
"Tapi kita tidak bisa hanya diam!"
"Hei! Ini rencanamu! Jangan tarik aku sebelum aku setuju!"
"Kau tidak mau membantu?"
"Tidak ada relawan lain?"
"Kau satu-satunya yang bisa mendengarkanku!"
"Sudah berapa lama kau mati?"
Pertanyaan itu membuat Rambut Putih melayang mundur. Mata dinginnya membulat.
"Cukup lama, tetapi aku tidak tahu kenapa itu relevan—"
"Hantu semakin kuat semakin berjalannya waktu," ucap Dorothea. Telunjuk menempel di bibir.
"Jika kau sudah mati cukup lama, kau bisa belajar untuk berbicara ke orang hidup—"
Selain diriku.
"—Atau menjadi Poltergeist. Apa kau bisa menggerakkan benda? Tidak bisakah kau menulis pesan atau semacamnya?"
"Aku sudah mencoba! Tapi tanganku tidak bisa memegang pensil selama itu!"
"Bagaimana jika aku menolak?"
"Bagaimana kalau sesuatu yang buruk terjadi? Tidak kah kau mau menjadi Pahla—"
"Tidak."
Jawaban Dorothea itu terlalu cepat. Nadanya tenang dan ekspresi mukanya datar. Terlalu datar.
Terlalu mantap.
Sosok di depannya terkejut mendengar itu. Rambut Putih bahkan melayang mundur secara tidak sadar. Mata kanannya terlihat dari sela-sela poni putih. Mengerjap bingung.
"Aku tidak mau menjadi Pahlawan," ulang Dorothea. Volumenya menurun.
"Setidaknya, tidak dalam definisi yang kau tahu."
Hantu di depannya menelengkan kepala dengan bingung. Mata mati memperhatikan tajam. Dorothea memandang balik. Tidak goyah.
"Baiklah," desah Rambut Putih. "Tapi, bagaimana jika salah satu dari murid terluka, mereka seumuranmu, kan?"
Napas Dorothea tersekat.
Dia menggigit bibir bawahnya. Jujur saja, dia tidak ingin membayangkan skenario itu. Anak-anak Prodi Pahlawan masih tetap—yah, anak-anak. Mereka punya keluarga. Pasti sedih jika sesuatu terjadi pada mereka.
Lagipula, kau calon Children of Earth.
Suara di otaknya berbisik.
Bukankah tugasmu untuk melindungi?
Dari demon, suara dari sisi yang lain membantah. Bukan dari manusia lain.
Apa bedanya?
Benar.
Apa bedanya?
Gadis itu keluar setiap malam untuk melindungi mereka yang tidak tahu dari monster dalam bayang. Itu jauh lebih sulit dari memberi peringatan.
Lagipula, siapa bilang manusia tidak bisa menjadi monster dalam bayang?
"Baiklah," bisik Dorothea. "Aku—aku akan coba lakukan sesuatu."
Rambut Putih tersenyum. Hampir tidak terlihat. Sudut bibirnya terangkat sedikit sekali.
"Akan kukatakan apa yang kutahu."
Flashback End
***
Pada jam pelajaran sastra Jepang, Cementoss hanya memberi perintah untuk mengerjakan latihan sebelum keluar kelas. Izuku menyelesaikannya dengan cepat. Begitu juga dengan siswa yang lain.
Bahkan Dorothea menyelesaikannya dengan cepat.
Sekarang, sembari menunggu sang guru kembali, banyak anak berbisik dan mengobrol. Bahkan beberapa saling bertukar jawaban. Izuku meregangkan tubuh dengan bosan.
"Hey, Izuku-kun."
Suara Dorothea membuat anak itu menoleh. Sahabatnya tampak agak melamun. Seakan tidak sepenuhnya di sini.
"Pernah dengar soal USJ?"
Izuku mengangkat alis.
"Universal Studio Japan?"
"Bukan." Dorothea menggeleng. "Unforeseen Simulation Joint?"
"Eh?" Izuku menggaruk rambut. "Apa itu?"
"Huh, kupikir kau tahu..." Dorothea bergumam. Kali ini tersenyum tipis. "Mengingat kau dulu hero nerd."
Izuku mendengus. "Dulu aku hero nerd. Sekarang tidak terlalu."
Jika kau harus membagi kegiatan belajar dan berlatih memburu monster dalam mimpi buruk, kau tidak akan punya waktu untuk untuk mengejar pertarungan Pahlawan lagi.
"Jadi... Unforeseen Simulation Joint, apa itu?"
Gadis disampingnya berdehum lagi. Mencorat-coret bukunya dengan pola abstrak. "Itu semacam... tempat latihan penyelamatan."
"Dan kau bertanya soal itu karena...?"
Pensil Dorothea berhenti. Suara goresan menjadi sunyi.
"Err, lupakan saja."
Kening Izuku mengerut mendengar itu. Sayangnya, sebelum dia sempat bertanya lagi, Cementoss kembali ke kelas.
Pelajaran berlalu dengar buyar setelah itu. Otak Izuku malah menanyakan pertanyaan lain.
Ada apa dengan Dorothea-chan?
***
Bel pulang akhirnya berbunyi setelah hari yang panjang. Anak-anak menghembuskan napas lega. Mengobrol dan mulai merencanakan apa rencana pulang sekolah mereka.
Izuku sendiri mengolet di tempat duduknya. Kemudian melirik ke Dorothea yang masih tampak setengah sadar.
"Dorothea-chan, bagaimana kalau kita mampir ke minimarket nanti? Aku mau roti isi telur."
Tidak ada jawaban.
Dorothea menggumamkan sesuatu dengan pelan. Tetapi, Izuku yakin itu bukan respon untuk pertanyaannya.
"Halo? Earth to Dorothea-chan?"
Kepala gadis itu terangkat. Menoleh ke arah Izuku. Mata emas membulat.
"Uh? Kau mengatakan sesuatu?"
Izuku mengangguk. "Bagaimana kalau nanti kita mampir minimarket?"
Wajah gadis itu melembut. Izuku memperhatikan ketika bibir tipis Dorothea membentuk satu garis datar.
"Maaf, tapi... sepertinya hari ini kau harus pulang sendiri."
Itu—
Itu tidak disangka.
"Eh?! Kenapa?"
"Maaf Izuku-kun, aku ada... urusan," ucap Dorothea. Mukanya berjengit. Dia menyampirkan tas selempangnya dan berdiri dari kursi.
"Maaf sekali. Kau duluan saja. Tidak usah menungguku, oke?"
Dorothea berusaha menampilkan senyuman meyakinkan. Sayangnya, Izuku tidak membeli hal itu.
"Sampai jumpa besok!" pamit Dorothea. Nadanya terlalu ceria.
Gadis berambut merah itu berjalan cepat keluar. Tangan terlambai. Meninggalkan Izuku yang masih tidak berkutik di mejanya.
Apa-apaan?
"Yo, Midoriya?"
Anak itu terlonjak. Kepala menoleh. Melihat ke Shinsou yang entah sejak kapan berdiri di samping mejanya.
"Ya? Shinsou-kun?"
"Hari ini... Dorothea bersikap aneh ya?"
Ah, jadi bukan dia saja yang merasa seperti itu.
"Iya, agak aneh," gumam Izuku. "Mungkin dia hanya kelelahan...?"
Izuku meringis mendengar kalimatnya. Terdengar ragu. Dia tidak tahu apa dia meyakinkan Shinsou atau dirinya sendiri.
Shinsou sepertinya juga bisa membaca maksud Izuku. Dia melirik ke pintu. Tempat Dorothea keluar tadi.
"Dari gerak-geriknya... dia seperti menyembunyikan sesuatu."
Mata hijau mengerjap. Izuku harus menunduk untuk menyembunyikan senyuman. Dia nyaris saja tertawa.
Oh Shinsou-kun.
Dorothea itu ahlinya menyembunyikan sesuatu.
Pemikiran itu membuat Izuku tersentak. Benar, Dorothea pandai dalam berdalih.
Itu yang membuat sifatnya hari ini sangat aneh.
Dia bukan menyembunyikan sesuatu. Dia menghabiskan seharian dengan melamun. Hilang dalam angan-angan. Terkadang berbisik sendiri. Daripada menutupi rahasia—
Dorothea tampak sedang membuat rencana.
Dia bisa mencoret jika rencana itu soal The Children. Dorothea selalu memberitahunya hal-hal tentang perburuan. Jadi, itu pasti soal hal lain. Hal apa? Izuku tidak tahu.
Itu sebabnya dia akan mencari tahu.
"Hei, Midoriya, kau tidak apa—"
Izuku berdiri. Segera memakai tas dan berjalan ke pintu. Shinsou tampak tersentak.
"Hei, kau mau pulang sekarang?"
Bocah hijau itu berbalik. Manik emerald berkilat.
"Aku mau mencari Dorothea-chan."
***
Entah kenapa, Shinsou memutuskan untuk ikut dalam petualangan kecil Izuku ini.
Tidak bisa dibilang petualangan juga, mereka hanya mengikuti Dorothea yang tampak berjalan linglung dari koridor ke koridor.
"Bukankah ini namanya stalking?" bisik Shinsou ke Izuku sembari mengintip dari ujung lorong.
"Aku lebih suka menyebutnya... pengumpulan informasi."
Shinsou terkekeh kecil. Mereka berdua kembali fokus pada Dorothea. Yang tampak berbisik kecil pada dirinya sendiri.
Atau pada hantu, pikir Izuku. Matanya melebar. Benar juga.
Dorothea besikap sangat biasa di depan umum. Kadang Izuku lupa dia Sang Mata.
"Hei, ada yang datang!"
Dari ujung lorong yang berseberangan dari mereka, tampak dua orang muncul. Izuku dan Shinsou langsung mengenali rambut eksentrik wali kelas mereka. Dan figur kedua—
"Eraserhead," bisik Shinsou.
Izuku langsung menoleh ke anak berambut ungu itu.
"Wow, kau mengenalnya juga, huh? Dia underground, kan?"
"Yeah, hei, kau juga mengenalnya?"
"Yep, aku dulu hero nerd, kau sendiri?"
"Dia selalu jadi Pro Hero favoritku," bisik Shinsou. "Quirknya tidak flashy."
Sama sepertiku.
Izuku bisa menebak itu yang akan dikatakan Shinsou. Namun, ketika anak itu tidak melanjutkan, Izuku hanya menggeleng dan kembali mengalihkan pandangan pada Dorothea.
Posisi mereka berdua cukup tersembunyi dan tidak terlalu jauh dari ketiga orang itu. Jadi, Izuku dan Shinsou bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.
Dan apa yang mereka bicarakan benar-benar membuat terkejut.
***
Dorothea sudah berkeliling beberapa menit diikuti Rambut Putih. Bukan salahnya belum menemukan guru. U.A. itu besar. Kata gargantuan bisa dipakai untuk mendeskripsikannya. Dan Dorothea bukan merpati. Bukan salahnya kalau dia tersesat.
Akhirnya, saat gadis itu berjalan di lorong yang dia yakin sudah dia lewati, Present Mic muncul bersama seorang... gembel? Itu tidak penting sekarang.
"Akhirnya! Seorang guru!" sorak Rambut Putih. Dorothea mendesah kecil. Semakin cepat ini selesai, semakin cepat dia bisa angkat tangan dari masalah ini.
Ini dia.
"Yamada-sensei!" panggil Dorothea. Rasanya masih agak aneh memanggil wali kelasnya itu dengan nama asli.
"Oh, little listener!" ucap Present Mic saat Dorothea sudah mendekat. "Kau masih di sini?"
"Kenapa kau belum pulang, nak?" tanya si gembel. Present Mic menyikutnya.
"Shouta, kau menakutinya!"
Si gembel—Shouta—mendengus. Dorothea mengamati interaksi mereka berdua. Mereka saling kenal. Apa Shouta ini guru juga?
"Uh, itu," Dorothea menggaruk lehernya. "Apa aku bisa bertemu Kepala Sekolah? Ini penting."
Present Mic memandang simpati. "Maaf, Dorothea. Nezu sangat sibuk. Tapi kau bisa mengatakannya pada kami. Aku dan Aizawa-sensei disini bisa membantu!"
Aizawa-sensei, huh?
"Jangan tarik aku dalam masalahmu," gerutu guru yang satunya.
Dorothea menggigit bibir. Dalam pikiran memutar sekali lagi urutan kalimat yang sudah dia rehearsalkan di otaknya.
Matanya melirik Rambut Putih yang melayang di belakang kedua guru di depannya.
Dia memberi anggukan.
Baiklah.
"Penjahat akan menyerang USJ."
Diam.
Present Mic dan Aizawa sama-sama mengedipkan mata.
"Hei, nak, apa-apaan—"
"Kalian akan melakukan latihan penyelamatan, kan? Dilakukan di Unforeseen Simulation Joint. All Might akan ada di sana, benar?"
Aizawa terdiam. "Dan kalau itu benar, apa tujuan penjahat itu?"
"Membunuh All Might."
Diam lagi.
Dorothea memainkan jarinya.
"Mereka punya, uh, makhluk ini, Nomu. Kekuatannya setara dengan All Might."
Masih diam.
Dorothea angkat bicara lagi.
"Dan—dan penjahat ini, uh, mereka bagian dari organisasi. Ketuanya memiliki quirk disintregrasi. Lalu—"
"Sebentar," sela Aizawa. Matanya memicing.
"Dari mana kau tahu semua ini?"
Ah.
Baiklah, Ini adalah pertanyaan yang dia takutkan.
Karena dia tidak punya jawaban apapun.
"Aku punya... sumber," jawabnya ragu.
"Kau tahu itu tidak—"
"Dengar, aku tahu aku terdengar gila sekarang. Tetapi kumohon, kumohon, apapun yang kalian lakukan besok, tolong hati-hati."
Suara Dorothea memelas. Dia tidak bisa berkata sumbernya hantu. Guru-guru itu pasti tidak percaya. Dan menganggap ucapannya sebagai angin lalu.
Sebelum dia sempat diinterogasi lebih jauh, Dorothea memutuskan menarik diri keluar dari pembicaraan.
"Maaf ini semua terdengar sangat... ominous—aku tidak tahu apa bahasa jepang kata itu," gumam Dorothea.
"Terima kasih banyak, Sensei. Tolong sekali, berhati-hatilah."
Dan Dorothea berlari meninggalkan koridor.
***
Akhirnya Dorothea sampai di depan gerbang. Tubuhnya terasa lemas. Jantung masih berdetak keras.
"Bah, aku benci bicara dengan guru," gumamnya. Dia berdiri dan menepuk debu dari bajunya.
"Nah, karena itu sudah selesai, ayo pulang—"
"DOROTHEA-CHAN!"
"...Eh?"
Violet dan hijau masuk dalam pandangan gadis itu. Dorothea memiringkan kepala dengan bingung.
"Lho, Izuku-kun? Bukankah aku bilang tidak usah menunggu? Shinsou juga, kenapa disini?"
"Jadi, kapan kamu mau bilang kalau U.A. akan diserang?"
Huh?
Apa-apaan?!
"Kalian mengupingku?!" bentak Dorothea.
Untung saja, kedua pria di depannya masih punya harga diri. Setidaknya mereka memasang muka bersalah.
"Y-yah! Habisnya kau aneh sekali hari ini!" protes Izuku.
Shinsou—mengejutkan Dorothea—juga angkat bicara. "Dia benar. Kami khawatir."
"Kalian..." gumam Dorothea. "Aku tidak tahu harus berpikir ini manis atau menyebalkan."
Muka kedua pria di depannya memerah. Tampak salah tingkah sementara Dorothea hanya menggelengkan kepala.
"Tapi, kau aman, kan?" tanya Shinsou. "Tadi kau bilang kau punya 'sumber' apa dia orang baik? Kau tidak terlibat hal buruk, kan?"
Ah! soal itu...
Dorothea melirik ke kanan dan ke kiri. Rambut Putih tidak terlihat. Sang gadis mendengus. Dasar hantu. Dia bahkan belum berterima kasih.
"Sumberku tidak begitu... terlihat," ucapnya. Melirik ke Izuku. Mata hijau membulat. Sepertinya dia paham dengan penekanan kata itu. Syukurlah.
"Mungkin dia akan muncul lagi nanti," gumam gadis itu. Melihat wajah tidak yakin Shinsou, Dorothea langsung menambahkan.
"Tenang, dia tidak akan melukaiku," katanya diiringi senyum kecil.
"Yah, sebaiknya aku pulang sekarang, sampai jumpa besok, Izuku-kun, Shinsou!"
Setelah kalimat itu terlontar, Dorothea langsung berjalan pergi meninggalkan kedua laki-laki. Izuku mendesah.
"Yah, sepertinya hari ini aku pulang sendiri..."
Shinsou melirik ke anak berambut hijau itu. Mengangkat alisnya.
"Apa dia... benar-benar tidak apa-apa?"
"Maksudmu?"
"Dorothea tahu soal semua hal tadi, bukankah itu hal yang penting? Siapa sumbernya ini?"
Izuku tersenyum kecil.
"Dorothea-chan itu... punya cara. Dia punya banyak... kegiatan pribadi."
Berburu demon. Belajar beladiri dan menggunakan senjata. Belajar soal sihir. Mempersiapkan diri untuk masuk organisasi rahasia...
Sepertinya sekarang ditambah mengumpulkan informasi dari hantu.
"Percayalah, dia sibuk."
Shinsou hanya berdehum.
"Yah, kalau begitu, aku mau ke minimarket dekat sini dulu, mau ikut Shinsou-kun?"
Izuku menunjuk ke satu jalan. Ke arah lain menuju minimarket. Sementara itu, mata ungu Shinsou malah fokus melihat rambut merah yang semakin mengecil di kejauhan.
"Terima kasih, tetapi sepertinya aku akan lewat sini saja."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro