1. A Green Child's Blues
Manusia tidak dilahirkan sama.
Walaupun seluruh dunia mengatakan sebaliknya. Mengkoarkan tentang kesetaraan dan kesempatan yang ekual untuk setiap orang.
Hal itu salah.
Setidaknya, untuk masa sekarang ini.
Masa dimana quirk—kekuatan super—dimiliki oleh masyarakat luas. Membuat mereka bisa melakukan banyak hal yang dulunya hanya dalam khayalan. Quirk yang tepat membuat manusia dapat melakukan hal-hal besar. Seperti menjadi Pahlawan dalam kisah-kisah fiksi. Dan itu cukup literal dalam dunia ini sekarang.
Mereka menjadi Pahlawan. Sama seperti dalam lembar buku komik penuh warna.
Akan tetapi, ada alasan kenapa harus 'quirk yang tepat'.
Quirk yang tepat adalah quirk yang teatrikal. Yang flashy. Yang bisa menangkap penjahat sekaligus membuat orang-orang awam terkesima.
Manusia dengan quirk itulah yang lahir dengan start di awal.
Sayangnya, tidak semua orang seberuntung itu.
Banyak yang lahir dengan start di tengah. Atau bahkan paling belakang. Ada pula yang harus mencakar jalan mereka keluar dari neraka hanya untuk kehidupan layak yang diwanti-wanti bisa dimiliki oleh semua.
Orang-orang dengan quirk 'penjahat', quirk lemah. Kehidupan tidak memberi mereka perlakuan yang sama dengan orang lain yang memiliki quirk 'baik'.
Manusia tidak dilahirkan sama.
Midoriya Izuku paham betul soal kalimat itu.
***
Hidup Izuku berubah saat umurnya empat tahun.
Rincinya, saat dia pergi ke dokter. Bertanya soal quirk yang tidak kunjung datang. Bahkan setelah lewat beberapa waktu. Setelah semua teman-temannya mendapatkan quirk satu persatu.
"Saya sarankan menyerah saja."
Kata kata si dokter akan diingat oleh anak itu selama-lamanya.
Kalimat yang menghancurkan mimpi Izuku.
Dan saat mereka pulang. Ketika Izuku duduk di depan komputer. Melihat video All Might, Pahlawan Nomor 1 yang dia idolakan, entah untuk keberapa ribu kalinya. Tangannya menunjuk ke layar. Dengan mata berkaca-kaca dan suara yang serak, dia berkata.
"Apa... aku bisa seperti dia?"
Tangis Midoriya Inko pecah. Sang Ibu langsung menghambur dan memeluk putranya itu.
"Maafkan Ibu, Izuku!"
Maaf.
Izuku sendiri tidak tahu siapa yang harus disalahkan di sini. Air matanya turut mengalir. Sementara dekapan Inko menjadi lebih erat.
Pada umurnya yang empat tahun, hidup seorang Midoriya Izuku berubah.
Sayangnya, tidak untuk ke arah yang lebih baik.
***
Izuku tidak ingat kapan dia dan Katsuki bertemu.
Yang pasti, Inko dan Mitsuki yang memperkenalkan mereka. Tentu saja, mereka teman. Mereka pasti ingin anak mereka menjadi dekat juga.
Akan tetapi, Izuku tidak pernah benar-benar yakin kapan dia dan Katsuki berteman. Dia tahu sejak kecil dia selalu mengekor Katsuki. Dia juga ada di sana saat anak itu mendapat quirknya. Sejauh yang dia tahu, dia dan Katsuki selalu bersama. Walaupun anak itu tidak ingat sejak kapan.
Akan tetapi, Izuku ingat ketika Katsuki menjauh.
Tentu saja. Ketika anak itu tahu Izuku tidak mempunyai quirk. Bahkan salah satu orang yang bisa dia bilang dekat dalam hidupnya mulai berpaling hanya karena itu.
Namun, Izuku bukan Izuku kalau tidak sedikit keras kepala. Dia masih berusaha mengikuti temannya itu. Walaupun Katsuki hanya menanggapnya sebagai lalat kecil pengganggu.
"Deku, kau benar-benar tidak berguna, ya?!"
Kata-kata itu menyakitkan, tetapi Izuku berusaha menepisnya.
Kacchan pasti hanya bercanda! Namaku memang bisa dibaca Deku!
Quirk Katsuki sangat kuat. Ledakan bisa keluar dari tangannya. Izuku pikir itu keren. Namun, ketika terkena kulit Izuku, rasanya juga sakit.
Kacchan hanya main-main! Lagipula, laki-laki akan menjadi laki-laki!
Lalu, Katsuki mulai sering meninggalkannya. Lebih memilih pergi bersama 'teman' yang lain. Yang mengikuti Katsuki juga. Karena quirknya.
Kacchan mungkin sibuk! Jadi dia tidak mengajakku!
Mantra seperti itu yang selalu Izuku ulang di kepalanya. Untuk meyakinkan dirinya sendiri. Atau hanya sekedar memberi harapan kecil.
Akan tetapi, lama kelaman, mantra juga bisa tidak efektif.
Lama kelamaan, Izuku yang berumur tujuh tahun mulai memikirkan tempatnya di dunia. Mungkin tamparan realita masih terlalu dini untuk anak sekecil dia, tetapi apa boleh buat.
Siang itu dia pulang dengan tubuh penuh tanah dan lebam. Setidaknya Katsuki tidak menggunakan quirknya hari ini. Hanya memukulnya. Mungkin itu juga salahnya. Dia—
Dia menghentikan Katsuki merundung seseorang. Katsuki memukulnya karena melindungi seseorang.
Apa itu benar salahnya?
Setidaknya, anak hijau itu bisa merasa lega tidak harus memikirkan kebohongan rumit. Tinggal berkata dia jatuh atau terpeleset. Ketidak sengajaan kecil. Lagipula, lebam masih lebih mudah disembunyikan daripada luka bakar.
Tidak apa-apa, Kacchan tidak bermaksud.
Kalimat itu terulang lagi di otaknya. Ketika dia sudah sampai di pintu depan.
Lagipula, Kacchan dan aku berteman.
Izuku berusaha tersenyum. Namun, sisi lain hatinya menjerit protes.
Teman tidak melakukan kekerasan seperti itu!
Anak itu menggeleng. Tidak. Dia tidak ingin memikirkan hal itu sekarang. Dia punya hal lain yang lebih yang harus dipikirkan.
"Okaa-san, aku pulang!" ucap Izuku sembari mendorong pintu terbuka.
Dia bisa mendengar suara samar-samar Inko. Tetapi itu bukan suara menjawabnya seperti biasa. Nadanya rendah. Terlalu pelan untuk menyambutnya.
Alis Izuku naik. Dia segera melepas sepatu dan menaruhnya dengan rapi. Sebelum berjalan masuk dan mencari sang Ibu.
Rupanya Inko sedang duduk di sofa. Berbincang di telepon. Izuku memperhatikan mata sang Ibu yang berkaca-kaca. Tangan yang tidak memegang ponsel menutupi mulutnya.
Sekarang, Izuku tahu bahwa Inko kadang tidak menangis karena sedih. Wanita itu bisa menangis karena apa saja.
Akan tetapi, melihat bendungan air mata Ibunya yang hampir pecah, selalu cukup untuk membuat Izuku khawatir.
Anak itu mendekat. Menarik pelan ujung rok Inko dengan jari-jari mungil.
"Okaa-san?"
"Oh! Izuku!" Inko terlonjak. Dia mengatakan sesuatu pada seseorang di ponsel. Sebelum menutup panggilannya. Tangan mengusap mata untuk menghapus air di yang hampir menetes.
"Kau sudah kembali!" Inko tersenyum. Kemudian, keningnya mengerut. "Kenapa bajumu kotor begitu?"
"Ah—uh—" Izuku menunduk. "Uhm, aku jatuh."
Mata Inko melebar sejenak. Tangan mengusap pipi putranya dengan lembut.
"Kau baik-baik saja? Ada yang sakit?"
"Uh, aku boleh minta salep?"
Inko mengangguk. Dia membantu Izuku naik ke sofa. Mencium pipinya, sebelum beranjak ke lemari tempat mereka menyimpan obat-obatan.
"Kau harus lebih hati-hati, ya?" ucap Inko. Tangannya meraih satu tub salep dalam lemari sebelum kembali ke samping putranya.
Inko membantu Izuku mengoleskan obat. Anak itu sendiri meringis merasakan dingin yang seperti menusuk lengannya. Namun, dingin itu lama-lama mereda. Dan memarnya tidak terlalu sakit lagi.
"Okaa-san, tadi siapa yang menelpon?"
Secercah senyum muncul di wajah wanita itu. Dia mengacak-acak rambut hijau putranya dengan sayang.
"Yah, seharusnya ini kejutan, tapi..."
Izuku memiringkan kepalanya dengan tatapan bingung. Senyuman di bibir Inko semakin melebar.
"Besok, Otou-sanmu akan pulang!"
Mata hijau anak tujuh tahun itu melebar. Sudut mulutnya mulai tertarik naik.
"Sungguh?! Akhirnya! Aku sangat rindu Otou-san! Kapan dia sampai? Pagi? Siang? Okaa-san, kita harus menyambutnya! Ohakutidaksabar—"
Inko tertawa mendengar gumaman Izuku yang semakin cepat.
Dalam hati dia memanjatkan syukur. Senang bisa kembali melihat senyuman sang anak yang menyaingi matahari.
***
Hisashi tidak keberatan dengan pekerjaannya.
Sungguh. Dia bahkan bisa bilang dia menyukai apa yang dia lakukan dengan sepenuh hati. Akan tetapi, kadang ada juga hal-hal yang membuat dia membenci pekerjaannya.
Harus pergi bertugas di luar negeri selama tiga tahun, misalnya.
"Kami sangat berterima kasih atas bantuanmu, Mr. Midoriya."
"Oh, Pam, sudahlah. Kau tahu aku tidak keberatan."
Midoriya Hisashi melemparkan senyum. Secara teknis, wanita yang saling tatap dengan pria itu adalah atasannya. Jadi, walaupun insting Hisashi terus menjerit agar dia segera pergi ke bandara, dia tidak bisa lari begitu saja. Hisashi paham. Kadang formalitas itu perlu.
"Maaf membuatmu harus jauh dengan keluargamu selama ini," ucap wanita itu lagi.
"Yeah," Hisashi menggaruk leher. "Mau bagaimana lagi. Bohong kalau aku tidak sedikit menyalahkan kalian."
Perempuan di depannya tertawa. "Ya, ya. Aku senang semua itu sudah... selesai."
Ada intonasi berbeda pada kata 'selesai'.
Hisashi menghela napas. Tangannya terkepal. Senyumannya berubah menjadi getir.
"Kita masih jauh, Pam," ucapnya. "Tapi aku senang setidaknya satu masalah sudah selesai."
"Itu yang aku harapkan." Wanita yang dipanggil Pam itu tersenyum. Dia mengulurkan tangan. Yang langsung dijabat oleh Hisashi.
"Kau serahkan Jepang pada kami oke?" ucapnya. "Uruslah regionmu sendiri baik-baik."
Pam terkekeh. Hanya menggelengkan kepala mendengar kata-kata itu.
"Dan sampaikan salamku untuk istri dan anakmu," tambahnya. "Believe and carry on, Mr. Midoriya."
Hisashi mengangguk.
"Godspeed."
Ketika melangkah keluar dari gedung, langkahnya terasa lebih ringan. Hisashi segera memasuki mobil yang sudah menunggu. Yang akan mengantarkannya ke bandara.
Dia tidak sabar kembali ke rumah. Kembali melihat istri dan anaknya. Kembali ke pelukan Inko. Kembali bisa mendengar suara Izuku langsung tanpa melalui telepon. Kembali ada bersama keluarganya.
Inko, Izuku...
Aku akan segera pulang.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro