
Chapter 4 : Raconteur
Aizawa Shouta tidak berkata bahwa dia orang paling pintar di dunia.
Namun dia bisa berkata bahwa dia cukup pintar dan memiliki cukup pengalaman untuk mengatasi masalah. Sebagai Pro Hero, dia harus cerdik agar bisa selangkah di depan musuhnya.
Tetapi, sekarang tangannya terasa sangat sakit. Seluruh tubuhnya sakit.
Dan dia tidak bisa berpikir lurus.
Dia teringat akan mata emas siswi yang tidak lama ini dia temui.
Mata emas yang tampak gugup dan ragu.
Siswi yang memperingatkannya bahwa hal ini akan terjadi.
Dan Aizawa Shouta tidak merasa cukup pintar lagi.
"Eraserhead, huh?"
Suara itu mengagetkannya. Suara wanita.
"Kau Pahlawan yang menarik, aku akui. Sayangnya aku punya agenda sendiri kali ini. Tidak bisa membuat Mistress-ku kecewa, no?"
Logat wanita ini berbeda. Apa dia orang asing? Siapa yang bicara?
Aizawa berusaha mengangkat kepalanya. Namun cengekeraman Nomu terlalu kuat.
"Kau tahu, aku mencari seorang anak," gumam si wanita misterius. "Tapi sepertinya informasi yang kudapat salah. Dia tidak ada disini. Mungkin kau mengenalnya?"
"Siapa namanya, uh, Dorothy—bukan—Dorothea Tuning?"
Dorothea Tuning.
Gadis bermata emas.
Satu hal terbesit di benaknya sebelum semua menjadi gelap.
Seharusnya aku mendengarkan gadis itu.
***
"Uhm, kenapa kau membawa itu ke sekolah?"
"Shh, tenang Eins."
Boneka flannel setengah jadi itu tergeletak di atas meja. Sementara pemiliknya baru berusaha memasukkan benang ke lubang jarum.
Sekarang semuanya tenang. Akan tetapi, pikiran Dorothea masih berkecamuk.
Bagaimana dengan USJ? Apa para penjahat benar-benar bisa mendobrak masuk? Apa Mic-sensei—Yamada-sensei, itu nama aslinya—dan Aizawa-sensei melakukan sesuatu?
Semua pikiran itu membuatnya gelisah. Dan menjahit sesuatu bisa membuatnya lebih tenang. Pikirannya bisa terfokus kepada pola kain dan benang daripada hal lain. Mungkin itu sebabnya hari ini dia secara impulsif membawa perlengkapan menjahitnya.
"Apa kau membuat benang itu dari jarimu?" tanya Eins yang melayang di dekat Dorothea yang memberi anggukan.
Ya, Eins sekarang menjadi hal yang konstan untuk Dorothea. Rasanya masih agak aneh mempunyai hantu yang memngikutimu kemana-mana. Namun, setidaknya Dorothea tidak merasa terlalu kesepian.
Dan lagi, sekarang Dorothea jarang sendirian. Dia memiliki teman.
"Wah! Dorothea-chan! Pagi!"
Hikaru melangkah masuk kelas bersama Tanaka. Shinsou mengikutinya dari belakang.
"Hehehe, kebetulan kalian datang bersamaan," ucap Dorothea.
"Yah, aku bertemu mereka di gerbang," kata Shinsou. Matanya melirik boneka flannel.
"Apa itu?"
Pembicaraan mereka kemudian beralih pada hobi kecil Dorothea dan berapa banyak boneka yang dia buat. Hikaru memuji jahitannya yang rapi. Dan obrolan mereka berhenti ketika bel hampir berbunyi.
***
Pelajaran Sastra Modern baru saja dimulai ketika pengumuman itu terdengar nyaring dari speaker.
"KEADAAN DARURAT, SEMUA STAFF DIHARAP BERKUMPUL, TERJADI SERANGAN DI USJ—"
Cementoss—Ishiyama-sensei—berusaha menenangkan murid-murid. Memerintahkan agar semuanya tetap tenang dan tetap di tempat duduk masing-masing sampai dia kembali
Napas Dorothea serasa mencekiknya.
Bagi murid lain, gadis itu seperti memalingkan muka ke arah jendela. Mungkin memandang awan, langit, atau apapun di luar sana.
Akan tetapi, sebetulnya Dorothea memandang Eins.
Eins yang memberikannya pandangan penuh horor yang sama.
Mereka tahu apa yang terjadi.
Tidak ada yang mendengar peringatannya.
Dorothea terdiam. Kepalanya terasa berada di awang-awang. Dia merasa bingung. Tidak bisa berpikir. Otaknya seperti berubah menjadi kapas.
Tangan gadis itu bergerak. Menuliskan sesuatu pada lembar buku tulis Sastra Modern-nya yang terbuka. Agar Eins bisa membacanya.
Ini salahku
"Tidak. Apa maksudmu? Kau sudah melakukan yang kau bisa."
Seharusnya aku memaksa mereka melakukan sesuatu
"Tidak, Dorothea. Kau benar. Tidak banyak yang bisa kau lakukan untuk meyakinkan mereka. Terlebih lagi, kau tidak punya bukti konkret selain informasi dariku. Dari hantu." Eins berusaha menenangkannya.
"Berhenti menyalahkan dirimu sendiri."
Aku harusnya berusaha lebih keras
Gadis itu bisa mendengar Eins membuang napas. Hantu bahkan tidak perlu bernapas.
"Dorothea."
Sebuah tangan menepuknya pundaknya dari belakang. Dorothea sontak menoleh.
Shinsou.
"Kau baik-baik saja?" Ekspresi wajahnya datar. Tetapi Dorothea menangkap nada khawatir di suaranya.
Dorothea mengangguk dan mencoba memberinya senyuman meyakinkan. Shinsou memandang tajam.
"Kau yakin? Aku mencoba memanggilmu berkali-kali tadi. Kau tidak mendengar," ujar Shinsou. Matanya memicing.
"Apa kau tahu sesuatu?"
Berani, batin Dorothea. Shinsou sepertinya tidak takut mengatakan apa yang dia pikirkan.
Mata Dorothea melirik ke udara kosong di sampingnya. Melirik ke Eins. Hantu itu menggeleng. Benar, sebaiknya dia tidak membuat kepanikan.
"Tidak. Aku tidak tahu apapun."
***
Setelah beberapa jam berlalu, Present Mic memasuki kelas. Mulut semua anak langsung terkatup. Guru yang biasanya hiperaktif itu tampak lebih serius.
"Ada insiden terjadi di USJ," ucapnya. Rasanya aneh mendengar Present Mic berbicara dengan nada yang begitu datar.
"Maka dari itu, sekolah dipulangkan lebih awal."
Mata kuning kehijauan sang guru kini teralih ke Dorothea. Gadis itu serasa ingin mengubur dirinya sendiri ke dalam tanah dan tidak pernah memunculkan wajah di muka bumi lagi.
"Dan untuk Dorothea, tolong pergi ke ruang guru nanti."
***
Jantung Dorothea berdegup kencang ketika dia masuk ke ruang guru. Dia berjalan ke tempat yang sepertinya biasa digunakan untuk perkumpulan staff. Eins melayang di belakang Dorothea dan menaruh tangan spektralnya di pundak gadis itu. Tidak ada sentuhan terasa. Namun, ada sensasi dingin di tempat Eins 'meletakkan' tangannya.
Di ruangan itu, Kepala Sekolah Nezu duduk di salah satu kursi. Ada seorang pria tinggi yang menggunakan overcoat menemaninya di sana. Mereka berdua tampak berbicara dengan serius.
"Uh," gumam Dorothea. Dua orang yang mengobrol itu langsung menoleh ke arahnya.
"Anda mencari saya, Nezu-san?"
"Ah, Miss Tuning. Duduklah!"
Dorothea berjalan dengan kikuk dan duduk di kursi. Dia menatap kedua orang di depannya dengan gugup. Nezu tersenyum kecil.
"Miss Tuning, ini Detektif Tsukauchi Naomasa. Dia memiliki beberapa pertanyaan untukmu."
"Aku tahu pria ini," bisik Eins. "Dia mempunyai quirk yang bisa mendeteksi kebohongan."
Dorothea tidak tahu darimana Eins bisa tahu—mungkin dia menghantui kantor polisi?—tetapi dia tetap memberikan anggukan kecil.
Artinya, aku tidak boleh berbohong.
Sang gadis memutar otak.
Setengah kebenaran bukan suatu kebohongan, kan?
Detektif Tsukauchi mengeluarkan notes dan memulai pertanyaannya.
"Tuning-san, apa benar beberapa hari lalu, sepulang sekolah, anda berusaha memperingatkan dua staff U.A. akan insiden yang terjadi hari ini?"
"Ya," jawab Dorothea singkat.
"Dan darimana anda mendapat informasi tentang insiden ini?"
"Dari, uh, seorang teman."
"Siapa teman ini?"
"Dia tidak memberiku nama," kata Dorothea. "Dan dia datang dan pergi kapan saja ketika dia mau. Akan tetapi, dia hanya muncul di depanku."
"Cerdas," puji Eins.
Tsukauchi tampak mencatat hal itu.
"Apakah anda tahu darimana teman anda mendapat informasi ini."
"Dia punya kemampuan mencari informasi tanpa terdeteksi."
Si detektif mengangguk. "Apakah kita bisa bertemu dengannya?"
"Tidak," jawab Dorothea.
"Kenapa tidak?"
Dorothea terdiam sebentar.
"Karena dia sudah meninggal."
Air muka Tsukauchi berubah terkejut. Kemudian berubah menjadi kasihan.
"Oh. Maafkan aku. Apa itu karena dia sering mencari informasi? Apa dia dibunuh oleh penjahat?"
"Ya, aku dibunuh oleh penjahat."
"Ya, dia dibunuh oleh penjahat."
Tsukauchi tampak mencatat semua itu. Kemudian dia mengantongi notesnya dan memberikan anggukan kepada Nezu.
Kepala sekolah itu balas mengangguk. Kemudian dia menatap Dorothea dan tersenyum.
"Terima kasih atas kerja samanya. Maaf sudah menyita waktumu. Anda boleh pulang sekarang."
Dorothea mengangguk dan bangkit dari kursi. Sebelum dia sempat melangkah keluar, Nezu memanggilnya lagi.
"Oh, satu hal lagi, Miss Tuning."
Dorothea berbalik. Tatapannya bingung.
"Apa kau mau menjadi Pahlawan?"
"Tidak."
Dorothea menjawab pertanyaan itu dengan cepat. Mungkin terlalu cepat.
Nezu berdehum. "Boleh aku tahu kenapa?"
Dorothea terdiam. Dia menarik napas dalam-dalam dan menjawab.
"Ibuku Morrigan."
Nama itu terasa pahit di lidahnya.
"Kau pasti tahu bagaimana itu berakhir untuknya," ucap Dorothea lirih.
Nezu terdiam. Dan Dorothea mengambil kesempatan itu untuk bergegas keluar ruangan.
***
"Semua yang dia katakan jujur," ungkap Tsukauchi.
Nezu menyesap tehnya. Matanya menerawang langit-langit. Hewan dengan intelligensi tinggi itu tersenyum.
"Berarti ada dua kemungkinan, Tsukauchi-san," ucapnya.
"Apakah gadis itu benar-benar jujur—"
"Atau dia pandai memutarbalikkan kebenaran."
***
Dorothea baru bisa bernapas dengan teratur setelah dia mencapai gerbang sekolah. Perasaan lega seperti mengguyur tubuhnya.
"Yep, tadi itu tidak begitu buruk."
"Untukmu. Kau bukan yang harus bicara," gerutu Dorothea.
"Hush, kau baik-baik saja. Sekarang kau pikirkan rute lain untuk pulang. Mengingat kemarin—"
"Dorothea-chaaaan!"
Jeritan namanya itu memutus perkataan Eins. Dorothea secara refleks menoleh ke arah suara yang mulai familiar di telinganya itu.
"Hikaru? Kau belum pulang? Eh, Tanaka dan Shinsou juga?"
"Yep!" Hikaru tersenyum lebar. "Kami mau pergi ke kafe kucing yang baru buka dekat sini! Kau ikut?"
"Shinsou yang menyarankan untuk menunggumu," celetuk Tanaka. Seringaian terlukis di wajahnya.
"Siapa yang tahu? Muka seram begitu, ternyata dia peduli!"
Shinsou mendengus dan memalingkan muka. "Pengkhianat kau Tanaka."
Tanaka dan Hikaru tertawa. Dorothea tersenyum kecil. Perasaan hangat menyelimuti hatinya.
Mereka peduli.
Dia tidak sendirian lagi.
Mungkin semua akan baik-baik saja.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro