Di depan ruang guru, ponsel Dorothea berdering. Dia segera membukannya.
***
Group Chat 1-C Quartet
Hikaruwu 0w0
Dorothea-chan? Kau sudah ke sekolah?
Hikaruwu 0w0
Kita mau ke Espurresso
Hikaruwu 0w0
Kami sudah menunggumu di gerbang :D
***
"Kawan-kawanmu cepat bergerak," gumam Eins.
Dorothea tersenyum. Kepalanya terangkat ketika mendengar suara Monika tertawa.
"Pasti temanmu, kan?" tanyanya. Matanya mengerling. Dia menyikut Nikky. "Mereka mirip seperti kita dulu, eh?"
Nikky tersenyum kecil. "Yah, tapi kita lebih seperti trio daripada kuartet."
Dorothea berdehum. Gadis itu tidak ingat banyak soal pemakaman Avery. Semua terasa kabur. Hanya seperti mimpi. Dia berdiri melewati semua itu seakan mati rasa.
Namun, dia agaknya memiliki memori soal dua sosok berpakaian hitam. Berdiri lebih jauh dari tamu lain. Pikirannya kacau saat itu. Dia tidak ingat jelas. Dan mereka tidak cukup dekat untuk terlihat oleh Dorothea. Akan tetapi, ada satu hal yang pasti.
Dua sosok itu tampak sedih.
Sangat sedih.
Nikky dan Monika.
Gadis itu mengingat foto Avery. Dari senyuman terkecil sampai rambut merah yang digulung dengan tusuk rambut. Dorothea merupakan karbon kopi dari Ibunya itu. Kecuali mata emas yang diwarisi dari Ayahnya.
Sebuah pertanyaan terbesit.
Seberapa banyak Avery yang dilihat oleh Monika dan Nikky pada dirinya?
***
"Uah! Aku rindu tempat ini!" ucap Hikaru sembari merenggangkan tangan. Dorothea tersenyum melihat sifat dramatis kawannya. Seekor kucing—dia yakin namanya Creamer—menggosokkan diri di kaki gadis itu. Dorothea menggaruk telinganya sedikit.
"Kita tidak pergi selama itu," ucap Shinsou. Hikaru mendengus. Membenarkan kacamatanya.
"Jangan bilang kau tidak rindu pada Mochi," guraunya.
Seperti sadar namanya dipanggil, si kucing mengangkat kepala dari pangkuan Shinsou, mengeong, dan kembali tidur. Sang purplenette hanya memalingkan muka. Ketiga temannya tertawa.
"Rasanya peristiwa di Hosu seperti mimpi," gumam Tanaka tiba-tiba.
Hikaru mengangguk. "Dan sekali lagi, terima kasih sudah menyelamatkanku Dorothea! Aku berhutang satu padamu!"
Dorothea merona. "Aku sudah bilang itu tidak masalah."
Tanaka berdehum. Sedari tadi dia memegang ponsel. Tampak membaca sesuatu. Keningnya berkerut. Kemudian dia mendorong ponselnya ke tengah meja. Agar yang lain bisa melihat apa yang dia temukan.
"Sepertinya bukan kita saja yang sibuk malam itu."
Layar menampilkan halaman berita. Headline dengan huruf kapital terpampang di sana.
PAHLAWAN ENDEAVOR MENANGKAP HERO KILLER
"Wah," gumam Hikaru. "Akhirnya..."
"Yah, tapi beberapa orang tampaknya setuju dengan, uh, visi Hero Killer," ucap Shinsou. "Aku tidak tahu visi seorang psikopat bisa jadi seterkenal itu."
Tanaka menggeser ke bagian komentar. Benar saja. Banyak diskusi soal itu.
"Menurutku," gumam Dorothea. "Dia ada benarnya."
Ketiga pasang mata langsung terarah padanya. Dorothea menggaruk leher.
"Maksudku, tidak semua Pahlawan seperti apa yang mereka katakan," bisik Dorothea. "Mereka manusia, pasti punya salah, kan?"
Dorothea menunduk. Menatap marshmallow mini yang meleleh di permukaan cokelat panas. Menghindari pandangan teman-temannya.
"Aku tahu beberapa mereka pasti terlibat hal-hal buruk," tambahnya.
Pikirannya melayang ke kakak Iida Tenya.
Ingenium.
Iida Tensei.
Dia ingat ketika bertemu dengannya di rumah sakit.
Dia ingat ketika pemuda itu mendatanginya untuk berterima kasih.
Iida tampak hampir menangis.
Dia sangat menyayangi kakaknya.
"Namun, aku tidak yakin Stain ini punya hak untuk memilih siapa yang hidup atau mati."
"Bagaimana kalau dia salah? Bagaimana kalau Pahlawan yang dia bunuh memiliki keluarga?"
Dorothea tertawa kecil. Tangan dingin Eins 'menepuk' kepalanya. Seakan mencoba menenangkan. Yang lain masih membisu.
"Dengar, aku juga bukan fans berat Pahlawan tetapi aku tidak berkeliling membunuh mereka yang tidak sesuai 'standar'-ku, kan?"
"Heh, seakan gadis kecil sepertimu bisa membunuh siapapun..."
Gadis itu mengangguk dan terkekeh kecil. Kemudian, Hikaru tampak tersentak. "Apa Eins bicara?"
"Ah?" Dorothea tergagap. "A-ah, iya, dia bilang aku terlalu kecil untuk membunuh siapapun."
"Kalaupun dia tidak kecil, dia tetap tidak boleh membunuh siapapun, Eins," gurau Tanaka.
"Tapi setidaknya bakal lebih mudah!"
Dorothea menyampaikan balasan itu. Tanaka dan Hikaru terkekeh. Shinsou sendiri menyembunyikan senyum kecil dibalik gelas kopi.
"Kau tahu kau bisa menjawab Eins secara verbal di dekat kami, kan?" ucap Shinsou. Mochi mendengkur di pangkuannya.
"Yeah," ucap Dorothea canggung. "Aku hanya masih belum terbiasa."
Dia terkikik geli. "Lucu, dulu di London, hampir semua anak menjauhiku karena aku kadang berbicara sendiri. Aku jadi sangat pendiam," ucapnya. "Lihat sekarang! Aku belum satu tahun di sini dan aku sudah bicara jauh lebih banyak!"
Hening.
Wajah Hikaru tampak mengerut sebentar. Lalu, dia tersenyum. Itu bukan senyuman biasanya. Senyum yang mengingatkan pada matahari dan anak kucing. Senyum itu—
Dingin.
"Dorothea, siapa nama anak-anak itu? Aku mau bicara."
"Eh?? Tolong jangan—"
"Hana! Kau tidak boleh begitu!"
"Terima kasih, Tanaka."
"Lagipula, mereka tinggal di London! Kita harus cari cara untuk ke sana dulu!"
"Tanaka, not you too..."
***
Setelah semua yang terjadi, kehidupan kembali berjalan seperti biasa.
Hampir normal.
Tidak ada yang terjadi. Tidak ada lagi insiden seperti USJ atau Hosu. Tidak ada Pahlawan sekarat di gang. Atau orang-orang gila yang mengejarnya.
Mungkin Nezu benar.
Mungkin Kuba dan Seren adalah The Silent Hands yang terakhir.
All in all, semuanya baik.
Ujian akhir baru saja selesai. Dorothea sudah belajar keras untuk itu. Eins menawarkan bantuan pada beberapa subjek. Dia cukup baik dalam sejarah. Sayang sekali pengetahuan matematikanya setara dengan Dorothea. Tidak tinggi-tinggi amat.
Dengan semua yang dia alami, sungguh ajaib otaknya masih mampu dipakai mengerjakan soal. Dia hanya bisa berharap dia mendapat nilai bagus.
Untuk sekarang, setidaknya gadis itu bisa melangkah keluar kelas dengan menghela napas lega.
Dia melihat Shinsou, Hikaru, dan Tanaka yang tadi keluar duluan. Tampak mendiskusikan jawaban mereka. Yah, setidaknya Hikaru dan Tanaka berdiskusi. Shinsou hanya bersandar di tembok sembari menahan tawa melihat kepanikan temannya.
"Tunggu, nomor enam kau menjawab tujuh?"
"Yep, bagaimana dengan nomor sepuluh?"
"Aku jawab dua belas, sial, nomor enam aku dapat hasil empat belas—"
"Bagaimana dengan nomor sembilan?"
"Aku tidak ingat, err, delapan setengah?"
"Aku mengawur jawabanku nomor itu."
"Sial."
Dorothea mendekati mereka dengan senyum kecil. "Heya kalian."
"Dorothea-chan~," panggil Hikaru. Dia menyeringai. "Apa kau ingat jawabanmu?"
"Eh, prinsipku datang, kerjakan, lupakan," Dorothea mengangkat bahu. "Tapi aku yakin hanya menghitung asal separuh soalnya."
"Ah," Hikaru menaruh muka di tangan. Tanaka menepuk-nepuk bahu temannya.
"Jika kita gagal, kita gagal bersama-sama."
Shinsou mendengus dan menggelengkan kepala. Dia berdiri dari tempatnya bersandar. "Setidaknya kita hanya dapat ujian tertulis. Prodi Pahlawan masih harus melakukan praktik."
"Eh? Praktik?" tanya Hikaru. Kepalanya terangkat.
"Yep," jawab Shinsou singkat. "Mereka benar-benar sibuk."
"Tidak mengherankan," ucap Tanaka. "Keamanan orang banyak akan ada di tangan mereka suatu hari nanti. Kalau mereka tidak serius—yah."
"Aku sendiri masih berpikir kalau menggabungkan unit penegak hukum dengan entertainmen adalah ide yang—adalah sebuah ide," timpal Dorothea. Dia memijit kening.
"Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya tanpa merasa hipokrit."
Mereka berempat mulai berjalan menuju kantin. Lalu memesan makanan dan mencari tempat duduk. Selama itu, Hikaru tampak memikirkan sesuatu.
"Dorothea, maaf," bisik Hikaru. "Sebenarnya aku ingin bertanya, uhm—"
Dia tampak ragu. Memainkan ujung jas seragamnya.
"Kau tampak—uh, entahlah—kau tampak tidak antusias soal Pahlawan. Maksudku—um—kau tidak tampak membenci mereka, tapi—"
Dorothea terhenyak. Berhenti mengaduk ramennya.
"Ah! Kau tidak perlu menjawabnya kalau—"
"Ibuku seorang Pahlawan."
Kini, tiga manik berbeda menatapnya kaget.
Dorothea mendesah. Menunduk melihat mie di mangkuknya.
"Nama Pahlawannya adalah Morrigan. Dia—dia Pro Hero underground. Dan hanya bekerja di Eropa. Hanya sedikit yang tahu soal dia. Bahkan kebanyakan masyarakat tidak tahu identitas aslinya."
Pikiran Dorothea melayang. Mengingat Avery pernah bekerja untuk organisasi semacam Children of Earth—organisasi yang benar-benar tertutup—tidak heran sifat penuh rahasia itu terbawa ke pekerjaannya sebagai Pahlawan.
"Dia meninggal ketika bertugas. Itu salah satu sebab kenapa kami pindah ke Jepang."
Hikaru menutup mulutnya. Sementara Shinsou dan Tanaka tampak terbelalak. Begitu juga dengan Eins yang melayang di belakangnya.
"Dorothea, itu—"
"Oh, maafkan aku—"
"Tidak apa-apa," Dorothea menenangkan keduanya. "Aku dan Ayahku sudah lebih baik sekarang. Maksudku—luka akan tetap ada, tetapi kami akan baik-baik saja."
Hikaru mengamit tangannya yang tidak memegang sumpit. Dia yakin kalau tidak ada meja diantara mereka, Hikaru pasti sudah melompat untuk memeluknya. Yang tidak dia prediksi adalah Tanaka yang turut menaruh tangannya di atas tangan Hikaru. Dan Shinsou juga ikut menaruh tangannya.
Eins juga.
Tangan transparan ada di atas tangan lain yang menggenggam miliknya.
Dan Dorothea tersenyum.
***
Bel pulang akhirnya berbunyi. Kuartet 1-C melangkah ke gerbang dengan langkah gontai.
"Ah! Tiga hari yang melelahkan! Otakku seperti terbakar!"
"Besok ujian praktik Prodi Pahlawan, kan? Menurutmu kita dapat libur lagi?"
"Toh, kalaupun iya, kita paling hanya akan nongkrong di Espurr—"
"Dorothea."
Panggilan itu membuat perkataan Shinsou terhenti. Keempat anak—dan satu hantu—secara refleks menoleh.
Aizawa tampak berjalan mendekati mereka.
"Aizawa-sensei?" ucap Dorothea. Tanpa sadar menegapkan posisinya. "Ada yang bisa saya bantu."
"Nezu mencarimu. Ini penting."
Dorothea menengguk ludah. Kemudian berusaha melemparkan senyuman terbaik pada teman-temannya.
"Kalau begitu, kalian duluan saja—"
"Kami akan menunggumu di gerbang," potong Hikaru. "Lebih baik pulang bersama-sama."
Safety in numbers, pikir Dorothea. Masuk akal.
Dorothea mengangguk kecil. Teman-temannya mengucapkan pamit kepada sang guru dan berlalu. Kemudian, Dorothea berjalan mengikuti Pro Hero itu.
Sekolah sudah sepi.
Keheningan yang menyelimuti mereka canggung.
"Apa kita perlu bertanya ada apa?" saran Eins.
Dorothea baru mempertimbangkan untuk mengatakan sesuatu. Namun, Aizawa mendahuluinya.
"Teman-temanmu sangat peduli padamu, huh?"
Dorothea terdiam. Perlahan, senyum terlukis di bibirnya.
"Ya. Mereka yang terbaik."
***
"Ah, Miss Tuning! Masuklah!"
Suara tinggi Nezu menyapanya dari ruang guru. Dia tidak sendirian di sana. Seorang detektif yang tidak asing berdiri di sampingnya.
Detektif Tsukauchi.
"Silahkan duduk. Apa kau mau teh, Miss Tuning? Teh melati? Oolong?"
Dorothea duduk. Lalu menolak tawaran teh itu dengan lembut. Dia bergerak dengan gelisah.
"Maaf Nezu-san, bisa kita langsung ke intinya saja?" tanya Dorothea. Perasaan ini familiar. Seperti waktu pertama kali dia ditanyai soal USJ.
Aura dingin Eins ada di punggungnya. Dan Dorothea menarik napas panjang.
"Ah, memang tidak ada cara yang mudah mengatakan ini tetapi—"
"Kuba Hisao dan Seren melarikan diri dari penjara."
Dan dengan kalimat itu.
Hancur sudah harapan Dorothea tentang kedamaian.
Otaknya terasa kebas.
Suara jahat yang sudah lama tidak menghantuinya sekarang kembali. Berdengung lebih keras.
Bah? Kau? Normal?
Jangan bercanda.
Kasihan Dorothea kecil.
Selalu menjadi masalah.
Dia tidak bisa—
"Dorothea?" suara Aizawa membuat dia tersentak. "Kau baik-baik saja?"
Hawa dingin dari Eins terasa mengguyur ke kepalanya. Jari-jari spektral hantu itu 'mengelus' rambut merah. Dingin itu mengikatnya pada realita.
"Aku—" suara Dorothea tercekat. "Apa yang terjadi?"
"Mereka berdua berhasil lari menggunakan portal dari penjahat lain, Kurogiri," Detektif Tsukauchi angkat bicara.
"USJ," bisik Eins. Dorothea mengangguk kecil.
"Oh, dan—" Nezu menyela. "Detektif Tsukauchi di sini sudah tahu soal situasi-mu. Kuharap kau tidak keberatan."
Mata emas membulat. "Uh, aku tidak keberatan. Tetapi, Nikky mungkin punya satu dua kata untuk diucapkan soal itu."
"Dan aku tidak yakin kata-kata itu menyenangkan," imbuh Eins.
"Maafkan kami, Tuning-san," ucap Detektif Tsukauchi. "Kami tidak bisa mengutus polisi untuk perlindungan. Informasi ini terlalu sensitif. Aku tidak tahu siapa yang seratus persen bisa kupercaya. Aku sendiri masih tidak sepenuhnya paham."
"Kami akan segera mencari tahu keberadaan mereka," suara Aizawa terdengar keras dan mantap. "Kami juga akan menghubungi Nikky Ito dan Monika Ashling. Mereka pasti membantu."
Nezu menepukkan tangannya. "Nah, sebelum itu, kita harus mencari cara membuatmu tetap aman!"
Dorothea berkedip. Dia tidak tahu harus mengatakan apa.
"Aku belum mempunyai rencana jangka panjang. Namun, aku punya rencana untuk melindungimu setidaknya beberapa hari."
Gadis itu menatap wajah si Kepala Sekolah yang tampak tersenyum polos.
"Apa rencanamu?"
"Dorothea Tuning—"
Ada jeda. Mungkin untuk efek dramatisasi.
"Apa pendapatmu soal training camp?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro