Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 11 : Arcane

Diam.

Keheningan yang menyelimuti mereka berdua hampir tidak tertahankan.

Namun tidak satupun dari mereka angkat bicara.

Hanya saling menatap kosong.

Memproses.

Untuk Nikky, ini seperti membuka luka lama.

Untuk Dorothea—

—dia tidak tahu harus berkata apa.

"Aku—" kalimat Dorothea berhenti di tenggorokannya. Namun dia berusaha melanjutkan.

"Aku masih tidak paham, apa hubungannya semua ini dengan quirk?"

Denganku?

Pertanyaan itu tidak keluar. Belum.

Kenapa mereka mencariku?

Nikky mendengus-entah untuk keberapa kalinya sekarang-dan menatap bayangannya di teh yang tinggal setengah. Pandangannya nanar. Seperti enggan untuk melanjutkan.

"Jadi—mungkin kau sudah menebak ini—sebagian The Children yang membenci quirk, mereka mendirikan The Silent Hands." Tangan Nikky melepas rambutnya. Membiarkan helaian hitam jatuh di pundak.

"Mereka tahu bahwa mereka tidak bisa menghapus quirk dengan tangan mereka sendiri," gumamnya pelan.

"Jadi mereka berencana 'memulai semua dari awal'. Mereka pikir 'jika tidak bisa menghapuskan satu hal, hancurkan saja semuanya!'. Atau sesuatu dalam kategori itu."

Mata Nikky tampak suram. "Itu sebabnya mereka menggunakan lambang ouroboros. Yang sering diintrepretasikan sebagai lingkaran pembaruan. Hidup, mati, dan kelahiran kembali."

"Mereka kehilangan akal, kit. Mereka pikir cara menyelamatkan dunia adalah dengan menghancurkannya."

"Dan setelah dunia lama hangus. Yang baru akan terlahir dari abunya. Tatanan dunia yang baru. Dan mereka tahu ada satu hal yang bisa menghancurkannya dengan mudah."

Oh, tidak. Aku tidak suka ini.

Aku sama sekali tidak suka ini.

Tolong jangan katakan seperti yang kupikirkan.

"Mereka ingin menggunakan Serathephim."

Dorothea mengeluarkan suara tercekik.

"Bagaimana caranya?" tanya Dorothea singkat.

Karena, tentu saja, menggunakan kuasa penghancur yang bisa mengendalikan monster sepertinya tidak mudah.

"Yah, jauh sebelum mereka, Serathephim memiliki semacam kultus. Kebanyakan pengikutnya dicap delusional tentu saja—"

Tentu dia punya kultus, batin Dorothea. Makhluk ini selevel dengan Outer God dari mitos Lovecraftian. Tentu saja dia punya pengikut gila.

"Kultus ini punya cara untuk memanggilnya," suara Nikky sepertinya semakin pelan. Dia menggaruk kepala.

"Dan, ugh, ini sedikit rumit."

"Jadi ada sebuah residu portal, dan itu sudah terbuka setengah. Itu sebabnya demon bisa ada di dunia ini," ucap Nikky.

"Mereka berniat membuka total residu itu. Agar Serathephim bisa masuk."

Hening lagi.

Ini bukan sesuatu yang dia bayangkan saat dia pergi ke Hosu. Dia pikir dia hanya akan bertemu teman Ibunya. Mungkin berbagi sedikit kisah ketika mereka masih muda. Lalu kembali ke rumah.

Dia tidak berniat tahu soal dewa tua penghancur dan kultis gila yang berusaha membangkitkannya.

"Ini—astaga—," Dorothea kehabisan kata-kata. Dia menutup wajahnya dengan tangan. "It's a lot to take in..."

"Tenang, kit, kami sudah mengurus itu."

Sebuah senyum terselip ke bibir Nikky. Tidak selebar senyumannya saat bertemu Dorothea tadi. Tapi itu ada disana.

"Sejak saat mereka hadir, The Children berusaha menghentikan mereka. Perang kami terus diturunkan. Sama seperti tugas kami memburu demon."

"Dari generasi ke generasi. Dari pendahulu sampai ke kami. The Silent Hands dan The Children selalu berada pada ujung pedang satu sama lain. Sampai—"

Ekspresi Nikky diliputi nostalgia. "Dalam serangan besar-besaran, kami menutup portal itu. Setelahnya, tidak ada lagi demon. Dan kami memastikan semua anggota The Silent Hands teratasi."

Perempuan itu menatap Dorothea. Mata hijau biru mengerling dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca.

"Avery juga ada di sana, kau tahu? Kami masih muda waktu itu. Quirknya membuat dia seorang pejuang yang hebat," bisiknya.

Dorothea terhenyak.

Mom.

Mom bagian dari semua ini.

"Semuanya kami lakukan dengan rapi. Tanpa campur tangan pihak lain. Semuanya selesai malam itu."

"Dan, tanpa ada lagi hal yang kita buru, Children of Earth dibubarkan."

Nikky menatap Dorothea. "Tapi, Ibumu tentu saja tidak bisa tidak menolong orang. Dari balik bayangan ataupun bukan. Itu sebabnya dia menjadi Pro Hero."

Kalimat itu seperti mengiris hati Dorothea.

Wanita di depannya tersenyum simpul. Melirik foto yang tergeletak di meja. Mengelusnya dengan hati-hati.

"Foto ini diambil setelah perang selesai. Aku yakin Ibumu sudah mengencani Akira saat ini, bertepatan dengan dibukanya Hourglass," gumamnya. Dia terkikik kecil.

Nada suaranya berubah. Menjadi lebih lembut. Lebih sedih.

"Tapi sepertinya kami tidak melakukan tugas kami dengan baik—" desisnya.

"Masih ada yang tersisa. Dan mereka mengincarmu."

Ah, ya, pertanyaan itu.

Dorothea menatap Nikky bingung. Tangannya bergetar.

"K-kenapa aku?"

"Residu portal itu bukan satu-satunya cara, kit," ucapnya. "Ada cara lain untuk membuka portal yang seratus persen baru. Namun, ritual yang ini sangat spesifik dan rumit."

"Mereka harus memiliki beberapa 'bahan', kalau kau mau menyebutnya begitu."

Lalu diam. Mata Nikky jelalatan. Memandang apapun kecuali ke Dorothea. Beberapa kali mengubah posisi duduknya.

"Nikky-san?"

"Oke, baiklah, umm, yang pertama mereka butuh sebuah mantra spesifik, aku yakin seluruh anggota mereka sudah tahu mantra ini," bisiknya.

Dorothea tidak paham. Apa hubungannya dia dengan ini?

"Kemudian mereka butuh Jantung Seorang Pelayan, dan—"

Kata-kata Nikky tergantung di udara. Netra hijau biru menyiratkan ragu. Surai hitam kembali dimainkan di tangannya. "Dan yang ketiga—"

"Darah dan Kehadiran Sang Mata."

Cara Nikky mengucapkan mata berbeda. Dengan sedikit penekanan. Seakan mata di sini memiliki arti lain. Kalimat yang terlontar berikutnya membuat bulu kuduknya berdiri.

"Sang Mata, orang yang melihat ke balik tabir," ucapnya pelan. Hati-hati.

"Orang yang melihat lebih. Dia yang bisa membawa pesan mereka."

Kata-kata itu menggaung di otaknya.

Orang yang melihat ke balik tabir.

Orang yang melihat lebih.

Dia yang bisa membawa pesan mereka.

Dia yang bisa membawa pesan mereka.

Mereka.

Hantu.

Dorothea melesat bangkit. Membuat kursinya terdorong jatuh. Bunyi dentuman keras mengiringinya. Nikky menarik napas.

"Dorothea, dengarkan dulu—"

"Oh, astaga," napas gadis itu memburu. "Kau tahu...?"

"Ya, Ibumu memberitahuku."

Berarti Mom juga tahu.

Soal semua ini.

Tentang aku yang menjadi syarat.

"Tapi kau harus dengar—"

Namun Dorothea sudah pergi.

Menyambar syal dan jaketnya.

Meninggalkan teh dingin yang sama sekali tak tersentuh.

***

Tak jauh dari The Hourglass, ada sebuah kafe. Namanya Yukimura's Cafe.

Tempat itu hangat dan nyaman. Dengan perabot kuno dari kayu, di dominasi warna cokelat. Memberikan kesan old school. Tidak seperti Espurresso yang ceria dan cerah.

Tempak yang cocok untuk Dorothea menata pikirannya.

Eins menatapnya dari seberang meja dengan khawatir. Kafe itu sepi. Dan duo itu duduk di pojok kafe yang cukup tersembunyi di balik tanaman plastik. Pembicaraan mereka akan aman. Namun, Dorothea tidak mengatakan apapun.

Manik emasnya menatap kosong.

Cokelat panas yang dia pesan hanya diam di atas meja.

Eins tidak suka melihatnya begini.

"Dorothea? Kau baik-baik saja?"

Tidak ada jawaban.

"Dorothea?"

Gadis itu tersentak. Terlonjak keluar dari apapun yang ada di kepalanya. Dia menatap Eins. Membuat sang hantu berjengit. Mata emas itu tampak bingung. Sangat bingung.

"Maaf Eins," bisiknya lirih. Tangannya mengurut kening. "Aku hanya, ugh—"

"Seburuk itu, huh?" gumamnya. "Memang apa yang wanita itu ceritakan?"

"Ini—" Dorothea menggigit bibir. Tangannya memegang mug cokelat panas. Merasakan hangat merambat ke telapaknya. Dia mendesah.

"Ini akan terdengar mustahil..."

"Semustahil gadis yang bisa melihat hantu? Atau semustahil dunia penuh kekuatan super?" balas Eins. Hantu berambut putih itu menggeleng.

"Entahlah, sekarang, aku yakin semua mungkin terjadi. Kau bisa bilang akan ada invasi badut raksasa besok dan aku akan percaya."

Dorothea tertawa kecil. Dan Eins bisa sedikit tersenyum lega. Lalu, pandangan gadis itu menjadi serius.

"Itu mungkin bukan badut, tapi—"

Dan dia menceritakan semuanya.

Tentang The Silent Hands.

Tentang Children of Earth.

Tentang semua perang yang terjadi di belakang publik.

Tentang Serathephim.

Tentang dia sendiri.

Bagaimana kemampuannya menjadi kunci untuk melepaskan sesuatu yang sangat berbahaya.

Dan di akhir cerita, Eins turut diam. Mata yang dingin tampak terbelalak dari balik poni putih. Mulutnya terperangah. Kemudian dia menghela napas yang tidak dia butuhkan.

"Ketika kupikir All for One adalah satu-satunya ancaman..." desisnya. Memalingkan kepala.

"All... for One?"

Mata Eins mendelik. Dia menoleh ke arah Dorothea. Sepertinya dia tidak bermaksud mengatakan itu keras-keras.

"Oke, ini bukan soal aku sekarang," ucapnya mengalihkan pembicaraan. "Bagaimana perasaanmu?"

Kening Dorothea berkerut. "Bingung, dan... takut."

Tentu saja dia takut. Ada kultus gila yang mengincar kepalanya, for heaven's sake!

"Ugh, itu satu hal hanya mengetahui bahwa semua ini ada," bisiknya. "Tapi terlibat di dalamnya? Itu seratus persen hal lain..."

Tangan spektral Eins 'mengelus' punggung tangan Dorothea di atas meja. Yang gadis itu rasakan hanya hawa dingin. Namun gestur itu diapresiasi.

"Aku paham," ucap Eins lirih. "Aku... juga pernah terlibat dalam hal seperti itu."

"Mencoba melawan suatu ancaman besar yang orang lain bahkan tidak tahu."

Air muka Dorothea terkejut. Dia berbisik di balik syalnya. "Apa yang terjadi?"

"Yah, kau bisa menebak hasilnya," jawab Eins. "Mengingat kau bisa melihatku sekarang."

Dorothea berjengit. Dia memberikan ekspresi simpati pada Eins. Namun hantu itu menggeleng.

"Aku mungkin tidak berhasil," desahnya. "Namun, aku sudah memberikan oborku ke pejuang berikutnya. Dan aku percaya salah satu dari mereka bisa menang!"

"Apa... All for One ini...?"

Eins mendengus. Sepertinya kesal pada dirinya sendiri karena lidahnya terpeleset dan mengatakan nama itu pada Dorothea.

"Ya, tapi kita tidak akan membahasnya lebih lanjut. Kau sudah punya masalah besar. Aku tidak mau menambahnya."

Dorothea tersenyum. Eins sepertinya punya banyak keyakinan. Bahkan setelah dia meninggal, dia masih punya keyakinan itu. Dan satu hal terbesit di pikiran gadis itu. Kata-kata Eins saat mereka pertama kali berbicara. Saat dia memberi peringatan soal USJ.

'Aku tidak yakin kau bisa membantu urusanku yang belum selesai.'

Kalimat itu berputar di otaknya. Dorothea berdehum.

Apakah 'All for One' ini adalah urusanmu yang belum selesai?

Apa itu sebabnya kau belum bisa 'menyebrang'?

Mata hantu Eins tampak sayu. Lebih dari biasanya. Jadi, Dorothea memutuskan untuk menahan pertanyaan itu. Untuk sekarang.

"Sekarang aku tidak bisa banyak ikut campur dengan mereka," ucap Eins. Kemudian turut tersenyum pada Dorothea.

"Tapi aku bisa membantumu! Mungkin ini sebabnya aku merasa terikat denganmu," ucapnya.

"Paling sedikit, setidaknya aku bisa menemanimu."

Mereka berdua berbagi tawa kecil. Kemudian Dorothea meneguk cokelat panasnya.

Hangat.

Dan hatinya merasa lebih tenang.

***

Setelah menghabiskan cokelatnya, Dorothea melangkah keluar dari Yukimura's dan berjalan menjauh. Eins seperti biasa melayang mengikutinya di belakang.

"Ugh... aku butuh, uh—apa bahasa jepangnya comfort food?—yah, ayo kita cari es krim di sekitar sini, hmm?" tawar Dorothea.

Tidak ada jawaban.

Dorothea menoleh. Hanya sekumpulan orang berlalu-lalang.

Eins tidak mengikutinya.

"Eins?"

Dia menengok ke sekitar. Hantu itu tidak ada.

Oh tidak.

Tidak lagi.

Dorothea berusaha menenangkan diri. Matanya dengan panik menyisir orang dan hantu yang memenuhi jalan. Dia mengatur napas.

In, out, in, out, in

"Dorothea!"

Gadis itu terlonjak. Kemudian dia menoleh. Dia memandang hantu di depannya dengan ekspresi sebal bercampur lega. Lalu berbisik.

"Oh sialan kau Eins! Jangan menghilang begitu sa—"

"Aku—astaga—gang—di sana—"

Kening Dorothea mengernyit.

Tidak biasanya Eins kehabisan kata-kata.

Tidak biasanya hantu itu panik.

Dengan dengusan frustasi, dia memandang ke sekitar. Matanya jelalatan. Lalu menatap gadis itu.

"Ikut aku."

Dia melesat pergi. Kembali ke arah kafe. Dorothea berlari mengikutinya. Beberapa kali menyenggol pejalan kaki. Dia agak merasa bersalah. Namun dia fokus pada Eins.

Apa ini? Tidak biasanya dia seperti ini.

Eins terus bergerak. Melayang menembus orang-orang. Dorothea berusaha mengikuti kecepatannya. Agak sulit karena dia harus berzigzag di kerumunan.

Dan Eins berbelok di sebuah gang.

Dorothea merutuk.

"Eins, serius, apa yang—"

Dorothea masuk ke gang itu. Dan dia terlonjak. Kalimatnya mati di ujung lidah.

Dia melihat merah.

Darah.

Banyak sekali darah.

Dan seseorang ada di sana.

Tergeletak.

Di tengah adegan horor itu.

Pro Hero.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro