Sungguh Hukuman Konyol
Laporan bulanan siswa sudah keluar. Dengan cepat, Fay menekan link yang diberikan oleh guru pembimbingnya di ruang obrolan daring. Napas panjang nan lega itu terdengar dari gadis tersebut. Laporannya aman. Bu Aya menepati janjinya untuk tidak mencatat hukuman yang diberikan kepadanya.
Eliana yang duduk di samping Fay, melongok, ikut penasaran dengan laporan teman sebangkunya ini. "Ternyata enggak cuma omong kosong doang, ya, si Bu Aya."
Fay mengangguk. Kalau begini, dia bisa tenang. Dia mengirimkan link tersebut kepada Martin. Semuanya tampak baik-baik saja. Tidak ada catatan digital soal dia dikeluarkan dari kelas. Lagi pula, Haikal yang sudah mengetahui hal itu juga tidak mengatakan apa-apa kepada Martin. Jadi, dia aman. Dia tidak mengecewakan Martin dalam akademik.
"Nanti aku enggak bisa ngerjain soal bareng, El. Hari ini ada acara yang harus aku hadiri sama kakakku." Fay menyimpan gawainya dan melipat tangan di atas meja.
Eliana mengangguk. "Aku juga ada janji."
"Eren?"
Eliana mengedikkan bahu. Mereka berdua serempak menoleh ke tempat duduk lelaki itu. Eren tidak ada di tempatnya. Mereka mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Tidak ada tanda-tanda keberadaan lelaki tersebut.
"Eh, lihat Eren enggak?" tanya Fay kepada teman sebangku sang ketua kelas.
"Enggak tahu. Heran. Biasanya jam segini dia sudah datang." Teman mereka itu mengedikkan bahu.
Fay dan Eliana saling bertatapan. Tidak ada kabar juga dari lelaki itu. Sesaat setelah itu, tepat sebelum bel berbunyi, Eren datang dengan mengenakan jaket kedodorannya. Dia tersenyum kepada teman-temannya yang menyapa. Melihat Eren datang terlambat adalah hal yang langka di kelas ini.
Eliana segera menyimpan gawainya, tidak jadi menghubungi ketua kelasnya itu. Fay duduk rapi dan menghadap ke papan. Pelajaran pertama adalah pelajaran Bu Aya. Dia sudah menyiapkan semuanya dan menata rapi alat tulisnya. Kali ini dia tidak akan kecolongan lagi meskipun hanya membuka tempat pensil atau mengambil stabilo dari Eliana. Dia tidak akan membuat celah sama sekali.
Bu Aya masuk dengan tepat. Dia melihat seisi kelas yang sudah rapi dan melirik sejenak ke arah Fay. "Fay Rose! Halaman berapa yang akan kita bahas sekarang?" tanyanya sambil berjalan ke meja guru setelah memberi salam.
Fay sudah belajar bersama Eren kemarin. Dia tidak akan salah menjawab. "Halaman 205, Bu."
Seisi kelas hendak memberikan tepuk tangan kepada Fay yang tahu halaman pelajaran mereka dengan tepat. Akan tetapi, itu tidak mungkin mereka lakukan mengingat yang sedang mengajar mereka adalah Bu Aya.
Wanita itu mengangguk. "Oke. Sekarang kamu keluar! Tata buku yang ada di perpustakaan. Sekalian bersihkan ruangannya."
Semuanya hanya bisa melongo. Namun, tak ada yang bisa menentang.
"Boleh saya membantu Fay Rose?" Eren langsung mengangkat tangan. Dia belum melepas jaketnya.
Bu Aya diam sejenak. Kemudian, dia menggangguk.
***
"Enggak masuk akal!" Fay membanting pintu perpustakaan. "Ini semua enggak masuk akal!"
Eren hanya bisa mendengarkan gadis itu mengomel. Dia bisa melihat air mata yang sudah menyembul di pelupuk mata Fay.
"Apa maunya, sih? Memang aku pembantu di sekolah ini?" Gadis itu benar-benar tidak terima dengan perlakuan semena-mena gurunya tersebut. Akan tetapi, dia juga tidak bisa melakukan apa-apa selain menurut. Pun, kalau dia protes ke sekolah atau ke kepala sekolah, semua itu akan jadi percuma.
Tangisan Fay pecah. Eren bingung harus bagaimana. Gadis itu jongkok sambil memeluk lututnya. Tangisannya terdengar sangat pilu. Eren tidak tega mendengarnya.
"Fay," panggil Eren sambil menyamakan posisi dengan gadis tersebut.
Gadis itu tidak menjawab. Dia hanya menangis.
Eren hendak menyentuh pundak gadis itu, tapi dia urungkan saat Fay mendongak sambil menghapus air matanya. Dia menggenggam telapak tangannya kembali.
"Percuma aku nangis, ih. Nyebelin banget Bu Aya." Omelannya keluar lagi. "Aku ke kamar kecil dulu. Kita rapikan semuanya, lalu belajar bareng, ya, Ren."
Lelaki itu mengangguk.
Fay beranjak dan pergi ke kamar kecil yang ada di perpustakaan. Sebenarnya dia malu sama Eren. Baru kali ini tangisannya pecah di depan lelaki selain keluarganya. Dia harus menunda tangisnya dulu.
Tangan gadis itu ditarik. Dia hendak berteriak namun sebuah tangan membekap mulutnya. Perlahan dia mendongak.
"Bu Aya lagi?" tanya orang itu yang tak lain dan tak bukan adalah sepupunya, Haikal.
Keran kamar kecil itu dinyalakan penuh, membuat suara cukup keras untuk menyamarkan percakapan mereka.
Air mata Fay keluar kembali. Dia mendekap Haikal dan menenggelamkan wajahnya di sana. Haikal tidak menolak. Dia membalas pelukan sepupunya sambil mengelus-elus punggung gadis itu.
"Enggak papa. Nangis dulu aja. Aku bakalan di sini temenin kamu," bisik lelaki itu lembut. Dia meletakkan dagu di atas kepala sepupunya.
"Jangan bilang ke Martin." Fay merengek seperti anak kecil.
"Enggak akan. Rahasia kamu aman sama aku."
Di antara rak buku perpustakaan, Eren menanti Fay keluar. Sudah lima belas menit dan gadis itu belum kembali juga. Dia jadi khawatir kalau terjadi apa-apa dengan gadis tersebut. Dia memberanikan diri untuk menuju kamar kecil perpustakaan. Pintu itu masih tertutup rapat. Dia mengetuknya.
"Fay? Masih lama?" tanyanya dengan suara berbisik.
Yang di dalam, sedang menata napasnya. Fay mengusap pipinya.
"Eren si ketua kelas baik itu?" tanya Haikal berbisik lirih.
Fay mengangguk. "Kamu keluar dari mana?"
Haikal menunjuk ke ventilasi atas kamar mandi, membuat mata sepupunya terbelalak.
"Ngapain lewat situ?" Fay memberikan tepukan di dada Haikal.
"Fay! Kamu enggak papa?" Eren sedikit berteriak dari luar.
Haikal meletakkan telunjuknya di atas bibir Fay. "Diam aja. Aku sembunyi di balik pintu. Kamu alihin Eren dan bawa ke tempat yang agak jauhan biar enggak denger."
Fay mengangguk. Dia mencuci wajahnya dan mengambil tisu dari saku untuk menyeka bekas air. "Makasih."
Haikal tersenyum. "Sama-sama." Dia mengecup kening sepupunya. Di saat seperti ini memang Fay sedang jinak-jinaknya, kesempatan bagus untuk mencuri ciuman. Dia mengusap puncak kepala sepupunya.
"Kamu enggak papa?" Pertanyaan itu langsung keluar dari bibir Eren. Wajahnya tampak khawatir.
Fay memaksakan senyuman. Dia mengangguk kecil. "Enggak papa. Lagian aku juga lama soalnya BAB."
"Oh—" Eren tidak tahu harus berkata apa. Dia jadi malu sendiri sudah bertanya.
Haikal yang masih di dalam ingin tertawa. Ada saja sepupunya itu kalau cari alasan. Seharusnya kalau hal ini diceritakan ke Martin, pasti akan seru. Dia mempunyai teman untuk menggoda Fay. Akan tetapi, dia terlanjur berjanji untuk tidak menceritakan tentang hukuman konyol dari Bu Aya ini kepada lelaki super sibuk itu. Saat mendengar suara Fay dan Eren menjauh, dia segera melancarkan aksinya untuk keluar dari ventilasi kamar kecil perpustakaan. Wakil ketua OSIS ini memang minta diciduk kok. Ada-ada aja.
Sementara itu, Eren dan Fay mulai menata buku-buku yang ada di meja penjaga perpustakaan. Ada enam tumpukan buku. Lumayan juga untuk olah raga pagi mereka.
"Kamu kenapa telat, Ren?" tanya Fay yang menjajari lelaki itu di hadapan rak astronomi setelah dari rak bahasa.
"Aku telat bangun. Jadi ke sini harus jalan kaki." Eren mengatakan apa adanya.
"Rumah kamu di mana emang? Jangan bilang di Perum Delta Abadi juga. Kita satu perumahan, Ren?" Fay terlihat bersemangat sekali.
Eren menggeleng. "Mana ada keluargaku tinggal di perumahan elite kayak gitu."
"Hmm?" Fay memiringkan kepalanya. "Enggak ada apa-apanya, sih, kalau sama Delta Mandara."
Tawa Eren terdengar renyah meskipun ringan. "Jangan bandingkan. Aku enggak di keduanya, kok. Aku tinggal di Perum Javana Hijau."
"Bukannya itu jauh dari sini, ya?"
Eren hanya tersenyum.
"Dan kamu jalan kaki?"
Lelaki itu mengangguk.
"Ya ampun. Enggak pakai sopir? Orang tua kamu enggak nganter?"
"Mereka udah berangkat kerja duluan."
"Enggak nunggu kamu gitu? Masa iya ditinggal gitu aja?"
Eren tersenyum tipis tapi terasa pahit sekali. Dia tertunduk sambil menikmati denyutan nyeri di dadanya. Dia teringat bentakan sang mama yang menyeretnya bangun dari kasur. Padahal sebenarnya dia merasa tidak enak badan hari ini.
"Udahlah. Aku jadi sedih digituin." Eren mencoba untuk mengalihkan suasana pembicaraan mereka.
"Ah, maaf. Aku enggak bermaksud untuk—"
Perkataan Fay terputus karena Eren mengangguk. "Enggak papa. Bukan salah kamu juga, kok. Lagian, udah aku jalani juga. Enggak akan mengubah apa pun."
Gadis itu melihat kegetiran yang sedang ditahan oleh ketua kelasnya itu. Dia tidak pernah melihat Eren sesendu ini. Lelaki manis bagai gula pasir putih ini selalu tersenyum ramah dan banyak memberikan kata-kata pendukung. Akan tetapi, sekarang yang sedang dia lihat, lelaki itu yang sepertinya butuh dukungan.
Mata Fay membulat lebar saat melihat ada darah yang keluar dari hidung Eren. "Eren! Kamu mimisan!" Dia segera mengeluarkan tisu dari sakunya dan memberikannya ke Eren.
Lelaki itu mendongak, berusaha menghentikan darah yang keluar. Matanya terpejam. Dia harus kuat menahan pening di kepalanya. Dia saja kemari mau membantu Fay. Tidak lucu kalau yang terjadi sebaliknya.
Namun, tubuh yang sedang rapuh itu memang sudah berada di ambang batas.
Eren roboh.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro