Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Prioritas

Martin menatap adiknya yang sedang sibuk mengaduk kuah sop iga sapi di depannya. Senyuman tipis terlukis di bibir. Dia sangat menyukai ketika menghabiskan waktu bersama adik tercintanya ini. Perlahan, dia mengambil gawainya dan mengabadikan momen saat Fay dengan khusyuk memajukan bibir untuk meniup sop yang masih panas.

Lelaki itu terkekeh pelan. Semakin dilihat, adiknya semakin menggemaskan. Dia harus berterima kasih kepada orang tuanya yang sudah menjadi bintang di langit sana karena telah memberinya adik semanis Fay.

"Kamu enggak mau sop, Martin?" tanya Fay yang heran dengan kakaknya yang masih sibuk dengan gawai. "Oh, lebih penting HP kamu, ya?"

Martin mengangguk sambil menahan senyum. Dia memperlihatkan hasil fotonya kepada sang adik.

"What? Hapus, Martin!"

Lelaki itu segera menarik kembali gawainya untuk disimpan di celana sebelum diraih oleh adiknya. Dia menggeleng. "Karena aku sibuk banget, aku harus rajin foto kamu yang lucu-lucu biar jadi obat kalau aku capek."

Pipi Fay menggembung. Di mata kakaknya, dia semakin lucu. "Tapi jangan dikasih lihat ke siapa-siapa."

"Iya, Princess."

Fay menikmati sop buntutnya lagi. Martin juga, sambil terus memperhatikan adiknya mengunyah daging. Pipi Fay menggembung karena penuh makanan, membuatnya tidak bisa mengalihkan pandangan. 

"Martin." Fay menatap kakaknya risi. Lelaki itu malah tertawa.

"Oke. Oke. Efek enggak pulang ke rumah selama seminggu bikin aku jadi kangen banget sama kamu." 

"Tapi, kita udah hampir tiap hari vidcall, Martin."

Martin menggeleng. "Enggak cukup. Aku pengin peluk kamu, cubit pipi kamu, sayang kamu, semuanya pokoknya."

Fay jadi bergidik sendiri. "Kamu sadar, kan, kalau aku adik kamu?"

Martin mengangguk sambil mengangkat kedua alisnya saat menyuap kuah sop. "Hmm. Karena kamu adik aku, ya, enggak salah kalau aku sayang sama kamu."

Bola mata gadis itu mengarah ke atas, menghindari tatapan mata dengan kakaknya. "Ya ... bener juga, sih."

Kekehan kecil keluar dari bibir Martin. Dia mengulurkan tangannya dan mencubit pipi Fay. "Gemes."

Gadis itu menghela napas panjang. "Kamu kayak gini ke aku, kalau nanti kamu punya pacar gimana?"

Martin menggeleng cepat. "Aku enggak akan punya pacar sebelum kamu nikah."

"What?" Fay menekuk dahi. "Apa-apaan itu? Kita beda berapa tahun dan aku bakalan nikah kapan? Kamu enggak terlalu tua?"

Dengan santai, lelaki itu menggeleng dengan mendatarkan kurva bibirnya. "Enggak. Yang penting Fay Rose bahagia dulu bersama lelaki pilihannya, baru aku mau punya pacar."

"Agak keterlaluan, sih."

"No. Tapi aku punya banyak pertimbangan untuk itu, Fay. Perbedaan umur kita empat tahun. Kalau kamu nikah di umur 24 atau 25, palingan aku nikah di umur 30 tahun. Ideal untuk seorang laki-laki yang sibuk seperti aku, kan?"

Fay memajukan bibir bawahnya. "Tapi, aku mau punya keponakan."

"Minta ke Haidar."

Mereka berdua malah tertawa, mengingat Haidar selalu saja jadi bahan godaan saat pertemuan keluarga. Sepupu mereka sudah dua puluh enam tahun tapi belum juga mau menikah. Itu yang membuat om mereka pusing menghadapi anak pertamanya. Sudah tidak mau meneruskan bisnis, tidak mau menikah muda juga. Bahkan ilmu dan pendidikan tinggi yang didapatkan hanya digunakan sebagai ilmu sendiri tanpa mau meniti karier lebih.

"Aku mau keponakan dari kamu, Martin."

"Enggak, sampai kamu menemukan lelaki yang tepat."

"Kenapa?"

Martin mengulaskan senyumannya. "Karena aku enggak mau kasih sayangku terbagi. Kamu prioritasku, Fay. Aku dengan kesibukan yang harus aku jalani sekarang, merasa kurang waktu sama kamu. Ngurusin kuliah dan belajar tentang bisnis dan perusahaan dengan Om Yanuar bikin aku jauh dari kamu. Lagi pula, aku enggak yakin bisa bertemu kedua orang tua kita di langit sana dengan tegap kalau aku mengabaikanmu."

Fay terdiam. Matanya berkaca-kaca. Segera, dia mengusap matanya. "Jangan pernah ngomongin hal sedih kalau sedang makan. Itu peraturan dari kamu, kenapa dilanggar?" protesnya sebal karena terharu maksimal.

Lelaki itu malah tertawa kecil melihat adiknya yang baper. Dia mengusap kepala sang adik dengan lembut. "Oke. Maaf. Berarti aku kena hukuman, dong?"

"Iya," jawab Fay cepat. "Kamu harus dihukum."

Martin tersenyum. Dia menyangga dagunya dengan kedua tangan. "Oke. Hukuman apa yang harus aku terima dari kamu?"

Fay terdiam dan berpikir. Dia teringat dengan sekolahnya. "Jangan marah kalau aku enggak bisa bikin kamu bangga di akademik."

"What? Hukuman macam apa itu? Agak konyol dikit, ya." Martin tertawa. "Fay, sudah berapa lama kamu berpikir begitu?" Ucapan Martin jadi serius.

Fay hanya mengedikkan bahu.

Lelaki itu melipat tangannya di atas meja. "Pertengahan semester kemarin, kamu masih juara satu paralel. Kamu pikir, aku meragukan kemampuanmu?"

"Bukan itu ...."

"Terus?"

"Pokoknya jangan marah kalau aku kecewain kamu di akademik."

Martin mendengkus lembut. "Kenapa harus kecewain aku? Kenapa enggak kecewain kamu?"

"Hoh? Maksudnya?"

"Ya ... kenapa kamu harus balikinnya ke aku? Kenapa kamu enggak jadikan kamu sendiri sebagai tolok ukur? Seperti, kamu bakalan kecewa sama diri sendiri apa enggak kalau dapat nilai jelek? Yang terpenting itu adalah kebahagiaan dan kepuasan diri kamu sendiri, Fay."

"Tapi kamu juga penting buat aku, Martin. Selama ini kamu memperlakukanku dengan baik dan kamu bilang aku adalah prioritasmu. Terus, aku enggak boleh jadikan kamu sebagai pusat hidup aku gitu? Enggak adil."

"Apa ini?" Martin sedikit mencondongkan badannya ke depan. "Sejak kapan Fay Rose bisa berkata clingy seperti ini? Kamu ketularan aku?"

Fay berdecak. Kakaknya ini malah mengalihkan pembahasan. "Ya, karena aku juga sayang kamu, Martin. Aku enggak mau jadi beban."

Bibir lelaki itu membentuk huruf O sembari kepalanya mengangguk. Dia menahan senyuman.

"Kenapa? Mau mengejek?"

"Enggak. Siapa yang mau mengejek."

"Lalu kenapa kamu mau tertawa seperti itu?"

Martin akhirnya tertawa juga. Dia menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. "Aku tersentuh karena kamu sayang sama aku. Baru kali ini aku dengar, soalnya."

"Masa?"

"Selalu aku yang bilang kalau aku sayang kamu. Kamu hanya akan memelukku dan mendusal kalau aku bilang itu."

Fay tidak mengeluarkan kata-kata lagi. Sungguh dia jadi salah tingkah sendiri kalau begini. 

Martin malah menangkup kedua pipinya. "Makan. Kita habisin ini dan jalan-jalan lagi."

Fay manis, merahlah pipinya.

***

"Kenapa kalian berdua enggak ngajak aku?" Haikal langsung melayangkan protes saat mendengar pintu rumah dibuka. Dia bersedekap dan memasang wajah galak.

Martin berjalan dengan merangkul Fay. "Bodoh amat. Fay bilang enggak mau ajak kamu, jadi enggak aku ajak."

"Lagian aku udah lama banget enggak jalan-jalan sama Martin. Kalau ada kamu, aku bosen. Kamu udah numpang semingguan di sini selama Martin enggak pulang."

"Pilih kasih!" Haikal menatap tajam kedua sepupunya yang sedari kecil hidup satu lingkungan dengannya.

Martin dan Fay serempak menjulurkan lidah. Saudara yang lebih tua itu mencium pipi Fay dengan gemas. Fay juga memperlihatkan kebahagiaannya diperlakukan demikian oleh sang kakak.

"Aku?" Haikal cemburu.

"Martin cium kamu? Kalian udah bukan anak kecil lagi." Fay jadi bergidik sendiri melihat Haikal yang manja kepada kakaknya. Memang dulu mereka sering juga saling cium pipi, bahkan mereka juga punya video saat mereka masih kecil. Kalau dulu terlihat lucu, sih. Kalau dilakukan sekarang, rasanya ingin sekali tangannya menonjok Haikal.

"Gak peduli!" Haikal malah tantrum dan mengentakkan kakinya.

Martin menghela napas panjang. "Kal, enggak lucu."

"Kata siapa?" Lelaki itu malah berpose imut.

"Haikal!" Martin meninggikan suaranya. Akan tetapi Haikal tetap saja meneruskan kelakuan randomnya itu. "Oke. Oke. Diam dulu."

Haikal tersenyum lebar. Dia menyuguhkan pipinya kepada Martin. Dengan terpaksa, Martin harus menuruti kemauan Haikal. Fay menutup matanya setengah. Tidak kuat dengan adegan di depannya.

"AAAAAAARRRGGGHHH!!!!!" Mereka bertiga berteriak bersama. Sama-sama geli.

Tawa mereka pecah. Fay merasa hidupnya sempurna saat seperti ini. Dia memiliki kakak yang sayang kepadanya, juga sepupu yang menjadi mood booster di setiap waktu. Semua kekhawatirannya tentang laporan bulanan yang akan diberikan di tanggal lima, bulan ini, hilang seketika. Dikeluarkan dari kelas lagi di pelajaran Bu Aya tadi pagi serasa tidak berbekas sama sekali.

Dia mengerti, ini yang dia butuhkan saat merasa hidupnya terbebani. Dia butuh orang-orang yang dia sayangi untuk menghilangkan semua itu, bukan malah tambah kepikiran. Itulah kenapa Martin akan selalu bilang bahwa dia sedang mengisi ulang energi saat memeluknya. Karena dia adalah prioritas Martin, dan prioritas selalu memberikan semangat dan energi baru untuk menghadapi rintangan hidup yang dijalani.

Fay mendekati Martin dan Haikal, lalu memeluk mereka berdua. Dia memberikan ciuman di pipi kedua lelaki itu, seperti yang sering dia lakukan dulu. "Aku sayang kalian."

Martin dan Haikal melongo.

Fay tidak sedang sakit parah, kan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro