Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lelaki Penolong

Dengan air mata yang bercucuran karena panik, Fay berlarian menuju kamar kecil perpustakaan. Dia harus meminta bantuan Haikal untuk menolong Eren. Akan tetapi nihil, tidak ada Haikal di sana. Lelaki itu sudah keluar.

Fay kembali dan melihat Eren masih tergeletak di atas lantai dengan buku yang berserakan. Di saat pelajaran seperti ini, tidak mungkin ada orang yang berada di luar kelas. Gadis itu pun keluar perpustakaan meski dengan segenggam putus asa di tangannya. Namun, kakinya terus berjalan demi mendapatkan pertolongan untuk ketua kelasnya.

Gadis itu hampir berteriak saat melihat seorang lelaki keluar dari kamar kecil khusus lelaki yang ada di pojok lorong. Dia berlarian ke arah lelaki itu dan segera menarik tangannya. "Tolong. Ada yang pingsan di perpustakaan." Dia tidak peduli, mau tidak mau lelaki itu harus dia bawa ke sana.

Lelaki tersebut terbengong sambil terus mengikuti langkah Fay. Dia membiarkan tangannya digeret begitu saja. Dia bingung mau bertindak bagaimana. Gadis di depannya ini terlihat sangat panik. Bahkan wajah gadis itu sangat merah. 

Setiba mereka di perpustakaan, Fay menunjuk Eren yang masih tergeletak tak sadarkan diri di sana. Mereka segera menghampiri lelaki tersebut.

"Eren, bangun!" Fay menepuk pipi Eren lembut. Akan tetapi, tidak ada respons dari ketua kelasnya itu. Darah di hidung Eren masih keluar, membuat Fay semakin gemetar.

Lelaki yang digeret oleh Fay langsung mengambil alih Eren. "Kita bawa ke UKS, ya." Badan lelaki itu lebih besar dibandingkan dengan Eren. Dengan gampang, dia bisa membopong Eren dan segera membawa lelaki itu ke UKS.

Isakan Fay masih terdengar keras saat Eren diperiksa oleh tim medis yang selalu stand by di UKS. Mereka adalah tim ahli yang sengaja disediakan oleh pihak sekolah untuk berjaga-jaga jika ada kejadian seperti ini datang. Dokter UKS memeriksa detak jantung Eren dengan stetoskop. Lalu mengarahkan sinar senter ke kedua mata lelaki itu. Ada perawat yang membersihkan darahnya.

"Teman saya bagaimana, Dok?" tanya Fay yang masih gemetar. Dia mengepalkan kedua tangannya, harap-harap cemas. "Dia enggak papa, kan, Dok?"

"Untungnya dia enggak kenapa-napa." Dokter itu melepaskan stetoskop dari telinganya. Dia berisyarat kepada perawat agar memberikan infus kepada Eren. "Dia kecapekan."

Fay menghela napas lega. Dia bersandar memegang pembatas besi di kasur Eren. "Terima kasih, Dokter," ucapnya sambil menunduk. Air matanya masih saja mengalir. Dia tidak tega melihat Eren yang biasanya tersenyum manis, terkapar lemah di atas kasur ruang UKS.

"Ini ketua kelas 10-A, kan?" tanya sang dokter yang langsung diangguki oleh Fay. "Saya kenal dia. Beberapa kali dia mengantarkan teman sekelasnya kemari. Ternyata sekarang dia yang dibawa kemari."

Fay menegakkan badannya. Dia menghapus air mata yang membasahi wajahnya. "Iya. Dia biasanya yang mengurus anak-anak di kelas."

"Baik banget anaknya. Saya sampai enggak percaya kalau ini tadi dia."

Isakan masih tersisa di dada Fay. Dia mengatur napas untuk meredakannya. 

"Kalian berdua juga. Makasih banyak sudah membawa dia kemari. Kalian kembali ke kelas, ya. Nanti pas istirahat, kalau walinya dia belum datang, kalian bisa kemari lagi." Sang dokter mengusap lengan atas Fay untuk menenangkan gadis itu. "Kalian sekelas?"

Fay dan lelaki yang menolong Eren itu bertatap sejenak. Mereka menggeleng. Kenal saja tidak, apalagi sekelas.

"Kami tadi dari perpustakaan."

Sang dokter mengangguk maklum. "Ya udah. Kembali belajar, ya."

Mereka berdua pun berpamitan. 

"Kamu kelas 10-A juga?" tanya lelaki penolong itu, membuka percakapan di tengah keheningan lorong. Hanya terdengar langkah mereka yang sama lirih seakan tidak berani untuk mendahului tegur sapa di antara keduanya.

Fay mengangguk. "Iya. Kalau kamu?" Meskipun jarang berinteraksi dengan orang, setidaknya dia harus mengimbangi sedikit percakapan ini. Akan sangat tidak etis jika dia hanya diam dan tidak membangun percakapan basa-basi dengan lelaki yang sudah dia mintai tolong tadi.

"Aku 10-C."

Tak ada percakapan setelahnya. Mereka hanya mengisi ruang kosong di udara dengan decitan sepatu yang mereka gunakan. Bahkan mereka berusaha untuk mengangkat dan mendaratkan kaki dengan benar, mengisi lorong kosong tersebut dengan mereka berdua yang tetap diam.

Hingga, mereka tiba di persimpangan, kanan menuju ruang kelas, kiri menuju perpustakaan.

"Aku ...." Fay tidak menyelesaikan ucapannya dan menggantinya dengan ibu jari yang mengarah ke kiri.

"Perpustakaan lagi?"

Gadis itu mengangguk. Entah mengapa, tiba-tiba saja dia disergap oleh rasa malu yang luar biasa. Dia yakin bahwa wajahnya pasti terlihat acak-acakan, terlebih lagi dia habis menangis heboh tadi. Masalahnya, lelaki yang bersamanya ini sedang menatap lurus ke arahnya. Dia jadi bingung mau bersikap bagaimana.

Lelaki itu mengedip beberapa kali, sebelum akhirnya berkata, "Boleh aku ikut ke sana? Kayaknya tadi berantakan banget."

Fay menelan ludah. Kedipan mata lelaki itu membuatnya terpaku sejenak. Bulu mata panjang dan lentik milik lelaki itu menyita perhatiannya sejenak. 

"Boleh?" tanya lelaki itu lembut.

"Ah?" Fay malah melebarkan mata sambil mengangkat alisnya. Dia mengangguk patah-patah. "I-iya. Boleh."

Lelaki itu tersenyum. Mereka berjalan beriringan kembali, menuju perpustakaan.

"Nama kamu siapa?" tanya lelaki itu, lagi-lagi memulai percakapan.

"Fay Rose. Biasanya dipanggil Fay aja," jawab gadis itu dengan cepat. 

Lelaki tersebut terkekeh pelan. Senyumannya sangat lebar. "Aku Jaerish. Biasanya dipanggil Jae aja." Dia sengaja menirukan cara bicara gadis tersebut.

Fay merutuki dirinya sendiri. Kalau diingat, jawabannya tadi pasti sangat memalukan. Ketahuan sekali kalau dia tidak terbiasa bergaul dengan orang baru. Dia tersenyum canggung untuk mengimbangi lelaki tersebut.

"Kalau boleh tahu, kamu ke perpustakaan tadi, ada apa?" Jaerish membukakan pintu perpustakaan dan mempersilakan Fay masuk terlebih dahulu.

Pertanyaan itu membuat Fay terdiam sejenak. Dia berpikir sejenak sebab akibat untuk menjawab pertanyaan Jaerish dengan sejujur-jujurnya. "Hmm, tugas menata buku dari Bu Aya." Dia sengaja menyebut Bu Aya karena dia tahu, perintah gurunya itu tidak akan dipertanyakan. Mayoritas murid di sekolah ini tahu bagaimana Bu Aya.

Jaerish mengangguk. Dia melihat ke arah meja penjaga yang ditumpuki beberapa buku di sana. "Semua buku ini?"

"Iya."

"Oke. Aku bakalan bantu kamu sampai selesai."

"Hmm?"

Jaerish yang hendak mengambil satu tumpuk buku, mengurungkan niatnya. Dia menghadap Fay. "Kenapa? Enggak boleh, ya?"

"Bu-bukan. Bukan begitu. Tapi, kamu enggak masuk kelas? Kalau dicari guru kelasmu bagaimana?"

Lelaki itu tersenyum. "Aku bosan di kelas. Makanya aku memilih untuk temani kamu aja di sini."

"Oh."

Fay segera mengalihkan pandangannya dari lelaki itu. Gawat, dia kira senyuman manis Eren itu adalah senyuman yang paling ramah. Dia salah. Ternyata senyuman lelaki yang bernama Jaerish ini ternyata lebih manis, lebih lebar, dan lebih ramah. Dia bahkan mulai merasakan desiran aneh yang berpusat dari dadanya.

"Mau ke mana? Ayo kerjakan ini bareng." 

Masalah. Ini namanya menambah masalah. Fay berniat untuk mengambili buku yang berserakan di lantai karena Eren pingsan tadi. Dia butuh pengalihan agar tidak melihat wajah lelaki yang baru dia temui itu. Terlalu manis, bahkan suara pun juga. Baru berbalik badan saja, dia sudah terngiang dengan senyuman manis dan bulu mata lentik lelaki itu.

"Bukan di situ letaknya. Ini ada di buku ensiklopedia yang sebelah sana." Fay menunjukkan ke rak yang dimaksud. Dia sedang berada di rak astronomi. Buku yang ada di tangan lelaki itu bergambar ruang angkasa.

"Oh, begitu. Oke."

Ini benar-benar masalah. Jarang-jarang Fay temui lelaki seusianya yang bernada ceria seperti Jaerish. Haikal memang penuh energi, akan tetapi lelaki itu menyebalkan. Kalau Jaerish ... terasa menyenangkan.

Fay pun menjadi pengarah Jaerish untuk meletakkan buku-buku perpustakaan pada tempatnya. Dia mendapatkan decakan, pujian, dan tepuk tangan kagum dari lelaki itu setiap kali memberikan arahan letak rak buku yang benar.

Jaerish jadi heboh sendiri. Fay tersenyum saja melihat tingkah lelaki itu. Dia jadi merasa terhibur karenanya.

"Akhirnya aku bisa lihat senyum kamu." Jaerish menghadap Fay yang telah meletakkan buku terakhir pada tempatnya. "Kamu manis kalau senyum."

Fay menunduk malu. "Terima kasih."

Bel pergantian jam berbunyi. 

Dua anak manusia itu terdiam dalam kecanggungan. Fay memikirkan cara untuk segera bisa kembali ke kelas. Dia tidak ingin tertinggal pelajaran.

"Aku mau ambil barangku dulu, ya. Udah ganti pelajaran." Dia pun langsung menuju meja persembunyiannya. Untung saja alat tulisnya benar-benar ada di sana. Dia juga membawa milik Eren.

"Ke kelas sekarang?" tanya Jaerish memastikan.

Gadis itu mengangkat alat tulisnya. "Hehehe. Iya."

"Hoh?" Jaerish menunjuk ke arah tempat pensil yang dibawa oleh Fay. 

Gadis itu terlihat kebingungan dengan kelakuan lelaki tersebut.

"Ternyata kamu yang kapan hari aku jatuhin tempat pensilnya?"

Mata Fay melebar.

"Iya. Yang waktu itu di kantin."

Fay baru teringat. Ya, saat itu juga headset-nya tidak berfungsi.

"Wah. Sekarang aku percaya takdir, sih."

Ucapan Jaerish barusan memberikan efek magis di telinga Fay. Daun telinga gadis itu memerah. Begitu juga dengan pipinya. Dia tidak kuasa menahan senyumannya.

"Semoga benar-benar menjadi takdir, ya," imbuh lelaki itu.

Seseorang tolong Fay. Sepertinya dia harus segera ke kelas agar efek magis ucapan Jaerish tidak membuatnya melayang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro