Keluar Kelas Lagi
"Fay, keluar kamu!" Perintah itu sangat keras setelah suara buku tebal digebrakkan di atas meja.
Yang dipanggil kaget. Dia sampai membeku di tempat. Tangannya yang tadi akan dia gunakan untuk merapikan kertas-kertas di mejanya pun terhenti. Begitu pula dengan semua pergerakan di kelas. Semua murid terdiam dan tidak ada yang berani mengeluarkan suara sedikit pun bahkan untuk bernapas saja tak ada yang berani.
"Kamu dengar tidak? Keluar dari kelas saya sekarang! Bawa keluar itu semua kertas yang ada di meja kamu dan pergi ke perpustakaan. Saya tidak suka ada murid yang tidak siap menerima pelajaran dari saya apalagi berpotensi tidak memperhatikan seperti kamu." Bu Aya meninggikan suaranya.
Fay masih membeku. Apa salahnya? Dia hanya ingin menyimpan kertas-kertas yang didapatnya dari Eren tersebut dan akan mendengarkan pelajaran. Butuh waktu bukan untuk proses menyimpan? Terlebih lagi gurunya itu masuk kelas tepat setelah bel berbunyi. Dia yakin seisi kelasnya juga belum semuanya siap, tidak hanya dirinya. Namun kenapa Bu Aya hanya meneriakinya?
"Kamu tidak dengar? KELUAR DARI KELAS SAYA DAN PERGI KE PERPUSTAKAAN. Tata buku yang di atas meja seperti kemarin." Bu Aya semakin menekankan perintahnya.
Eliana yang duduk di samping Fay pun juga ikut tercengang. Dia bisa melihat sorot mata teman sebangkunya penuh dengan keterkejutan, juga kebingungan. "Bu, Fay enggak ngapa-ngapain, loh."
"Diam, Eliana! Kalau kamu enggak terima dengan keputusan saya, sini kamu maju dan menerangkan pelajaran. Nilai kalian berdua juga akan saya kurangi."
Fay memejamkan mata dan menarik rok Eliana, isyarat supaya gadis itu diam. Dia mengatur emosinya supaya tidak menangis di kelas. Mendengar Bu Aya menyinggung tentang pemotongan nilai membuatnya berpikir dua kali untuk protes. Nilai sangat berharga baginya. Itu satu-satunya hal yang bisa dia hadiahkan kepada Martin.
Gadis itu menghela napas dalam dan mengeluarkannya pelan. Dia berdiri. "Baik, Bu. Saya akan melaksanakan hukuman. Maaf, saya telah membuat Ibu tidak nyaman untuk mengajar."
Fay melangkah, meninggalkan tempatnya dengan membawa kertas-kertas yang ada di mejanya, daftar buku yang diberikan oleh Eren tadi. Sampai di depan kelas, dia berhenti sejenak dan menghadap ke teman-temannya. "Maaf, karena mengganggu ketenangan kalian."
Eliana hendak protes lagi, namun tatapan mata Fay mengurungkannya. Dia mengerti Fay meminta dirinya untuk tidak ikut campur. Dengan berat hati, dia pun tetap diam di tempat duduknya. Dia yakin meskipun terlihat tegar, sebenarnya temannya itu sedang tidak baik-baik saja.
"Kalau kamu mau ikut-ikutan dia, Eliana, Ibu akan pastikan daftar hadir dia kosong sama sekali."
Ancaman Bu Aya membuat nyali dua gadis itu ciut. Mereka berdua saling menatap, seakan memberi ucapan 'sampai nanti'. Daftar hadir Fay lebih penting. Biarlah dia keluar kelas lagi dan menata buku yang ada di perpustakaan sebelum jam pelajaran selanjutnya. Toh, hanya sebentar.
"Nanti di pelajaran Pak Toni, saya yang mengisi. Jadi, kamu tetap di perpustakaan sampai saya keluar dari kelas ini." Bu Aya masih menatap tajam ke arah Fay yang berdiri di depan kelas.
Gadis itu mulai berkaca-kaca. Ini keterlaluan. Akan tetapi, dia tidak bisa apa-apa. Mau melapor ke pihak sekolah pun percuma. Kepada siapa? Kepala sekolah? Siapapun tahu bahwa Bu Aya-lah yang memegang 'kendali' di sekolah ini. Badannya melemas. Pundaknya sedikit melorot.
"Baik, Bu." Bibir Fay bergetar. Genggamannya pada kertas itu menguat. Dia berusaha untuk tidak menangis di hadapan banyak orang. Dia segera melangkah keluar, diiringi air mata yang menetes, tidak terima dengan perlakuan semena-mena ini. Namun, dia bisa apa?
***
Sesenggukan itu belum reda. Bahkan sedari tadi mengisi kesunyian setiap sudut ruang perpustakaan. Fay duduk di balik rak buku ekonomi. Tempat itu jarang sekali dikunjungi oleh para murid karena terkesan suram. Tempat itu sangat cocok dengan suasana hatinya sekarang. Biarkan mereka menyatu hingga gadis itu puas dengan tangisannya.
Jemari itu menghapus bekas air mata yang melewati pipinya. Dia menatap kosong lantai di bawah rak depannya. Entah mendapatkan ilham apa dari sana, dia bisa menghentikan tangisnya.
Berkali-kali helaan napas itu terdengar berat ditarik dan dikeluarkan oleh gadis malang yang tak tahu letak kesalahannya itu. Pikirannya masih berputar dengan keresahan. Bukan pelajaran yang dia khawatirkan, toh, dia bisa belajar sendiri nantinya. Akan tetapi, Martin. Hanya satu nama itu yang sedari tadi menghantui pikirannya. Apa yang harus dia katakan kepada kakaknya nanti? Dia tidak ingin berbohong lagi. Itu membuatnya semakin merasa bersalah.
Tanpa sadar, dia menggigit bibir bawahnya terlalu keras hingga dia terjingkat sendiri saat merasakan sakit yang seakan menyetrum tubuhnya itu. Tak lama kemudian, dia bisa mengecap rasa khas darah. Astaga, dia malah menambah masalah. Martin pasti akan mempertanyakan bekas luka di bibirnya nanti. Semoga kakaknya tidak berpikir dia telah melakukan sesuatu yang aneh. Berkelahi, misalnya.
"Fay." Terdengar seseorang memanggil namanya.
Tubuhnya menengang. Siapa itu? Di jam segini, siapa yang akan pergi ke perpustakaan? Dia pun mengedarkan pandangannya ke sana dan kemari. Siapa, sih? Lagi pula siapa yang tahu bahwa dia ada di sini di tengah pelajaran sedang berlangsung.
"Fay!" Suara itu lagi. Kali ini lebih keras.
Gadis itu berpikir sejenak. Tunggu, sepertinya dia tahu itu suara siapa. "Aku di sini. Belakang lemari ekonomi." Dia jadi penasaran apa tebakannya benar.
"Astaga. Kenapa kamu duduk di bawah kayak gitu, sih. Itu ada bangku kenapa enggak pakai?"
Fay mengangkat wajahnya untuk melihat siapa yang sedang berdiri di depannya. "Eren?" Tebakannya benar, berarti.
"Iya. Ini aku. Berdiri, sini."
Fay masih melongo saat Eren memanjangkan tangannya untuk membantunya berdiri. Hingga tangan itu melambai di depan matanya. Dia tersadar lalu menyambar tangan Eren.
"Kenapa kamu duduk di sini, sih, Fay?" tanya Eren masih heran sampai mengulanginya lagi.
"Ih, harusnya aku yang tanya ke kamu, Ren. Ngapain kamu ke sini? Enggak takut dimarahin dan dipotong nilainya sama Bu Aya?"
Eren tersenyum dengan sedikit sombong. Kedua ujung bibirnya menurun. "Itu, kan, berlaku buat kamu sama Eliana."
Fay terpaku sejenak, memandang Eren. "Benar juga. Kok kamu pinter?"
Mereka malah tertawa kecil.
"Kalau aku enggak pinter kayak gini, kenapa aku jadi ketua kelas?"
"Sok banget, sih?" cibir Fay.
Mereka pun tertawa lagi. Helaan napas dari keduanya menghentikan acara tawa bersama tersebut.
"Udah puas nangisnya?" tanya Eren perhatian sebagai ketua kelas yang peduli. "Maaf aku enggak bisa bantu apa-apa di depan Bu Aya."
Fay hanya mengangguk. "Enggak papa. Aku kelihatan kayak anak bodoh, ya, tadi? Sok banget berani di depan anak-anak. Aslinya di belakang mewek kayak gini."
Eren tersenyum menanggapi kejujuran gadis di hadapannya ini. "Perlu, sih, kayak gitu biar enggak diremehin."
Ucapan Eren mengingatkan Fay pada Martin. Kakaknya kurang lebih begitu juga. Martin adalah lelaki yang sangat mandiri dan disegani karena keputusan dan perilakunya kalau di depan umum. Padahal Martin kalau di rumah suka sekali memeluknya sambil curhat banyak tentang apa yang dia alami seharian. Ternyata tanpa sadar kebiasaan itu tertransfer kepadanya.
"Duduk, yuk. Capek aku berdiri terus." Eren menarik tangan Fay dan mengajaknya duduk di bangku belakang Fay.
"Kamu kenapa ke sini? Eh, enggak. Kalau kayak gitu terdengar aku ge-er banget. Kamu kenapa bisa keluar dari kelas?" Pertanyaan Fay tadi belum terjawab. Sungguh, tidak ada lagi air mata di wajahnya.
"Izin ke kamar mandi, sih, awalnya. Tapi setelah aku pikir, kayaknya aku juga perlu memantau anggota kelasku yang sedang dihukum ini."
"Ngejek, ya?"
Eren tersenyum, tak terima. "Aku enggak ngejek, Fay? Beneran ini aku samperin kamu ke sini biar tahu keadaan kamu. Maaf, kemarin aku enggak ngecek." Dia lega saat melihat Fay tersenyum sambil mengangguk. Eren menganggapnya dengan 'tidak apa-apa'. "Setelah aku pikir lagi, enggak lucu kalau aku ditanya tentang kamu terus aku bilangnya enggak tahu. Bukan maksud ikut campur, ya. Tapi, aku ini ketua kelas."
Fay memajukan bibir bawahnya. "Pret. Kalau kayak gitu, kenapa kamu enggak bela aku pas Bu Aya tiba-tiba keluarin aku dari kelas sejak kemarin?"
Eren menegakkan punggungnya. Lirikannya dia buat seakan ingin mencekik Fay secara main-main. "Aku, kan, belum tahu keadaan kamu di sini kayak gimana. Ini aku lagi survei. Ternyata kamu nangis sesenggukan. Tapi, kenapa langsung bisa mampet?"
Fay hanya tersenyum. Entah, tangisannya tadi itu menguap begitu saja jika ada orang. Dia juga tidak mengerti kenapa bisa begitu.
"Tuh, kan. Kayak punya kepribadian multiplayer."
"Kamu pikir aku game?" Fay menyahuti dengan cepat, tidak terima.
"Loh, kamu pikir dunia ini bukan permainan?" Eren juga menyahuti dengan secepat kilat.
Tatapan mereka bertemu disertai senyuman. Lantas mereka terkekeh seraya berbarengan mengucapkan, "Asyeeekkk."
Tawa mereka pecah dan memenuhi ruang sepi itu, menggantikan isakan tangis Fay yang sempat mengisinya beberapa menit yang lalu.
Eren masih menyisakan senyuman di bibir. "Kalau kayak gini, kan, lebih baik. Aku juga bisa bantu kamu kalau misalnya ini terjadi lagi."
"Bantu di depan Bu Aya?" tanya Fay sedikit menantang. Terdengar berani sekali ketua kelasnya yang terkenal kalem dan teladan ini.
"Enggak, palingan bantu balikin mood kamu dengan banyol di sini. Siapa tahu kapan-kapan kamu bisa ikutan stand up comedy."
Fay tertawa garing. "Astaga random banget." Dia pun mengusap wajahnya yang mungkin masih menyisakan jejak tangisannya.
"Jangan nangis lagi, ya. Kalau bisa, di lain waktu aku bakalan bantu kamu buat beresin buku-buku itu."
Awalnya, Fay sedikit terpana dengan sikap Eren yang sudah seperti pangeran penyelamat. Namun, sedetik kemudian dia menyadari sesuatu. "Heh, enggak mempan, ya, gombalannya. Bilang aja kalau kamu mau aku dihukum lagi."
"Hahaha. Ternyata kamu bener-bener pinter, ya? Nilai rapor kamu ternyata enggak gimmick. Tapi, aku beneran bakalan bantu kamu kalau dibolehin."
Fay pun menatap Eren nyalang dan lelaki itu segera kabur, menyelamatkan diri. Bisa-bisa dia diterkam oleh gadis yang sedang dihukum itu.
"Jangan nangis lagi. Kalau kamu gabut, baca aja buku yang ada. Mumpung gratis. Cewek kayak kamu pasti suka baca." Lalu Eren pun menghilang ditelan pintu keluar perpustakaan, meninggalkan Fay yang kembali dengan kesendirian.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro