Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kartu Keberuntungan

Menghabiskan waktu bersama Haikal adalah kesempatan Fay untuk menjalani hidup tanpa beban atau aturan. Bahkan, dia dan Haikal memilih untuk makan lesehan di ruang televisi sambil melihat film, membuat acara makan mereka tidak selesai-selesai. Beda ceritanya jika ada Martin. Kakaknya itu akan mengomel dan menyuruh mereka untuk makan di ruang makan. Tertib, bersih, dan rapi. Namun, Fay bersama Haikal tidak begitu.

"Enggak enak?" sindir Haikal yang melihat gadis sampingnya menambah nasi dua kali. Padahal jelas-jelas tadi saat masakannya matang, dia mendapatkan kritikan tentang penampilan makanan yang disajikannya.

Fay mengedipkan sebelah matanya dan lanjut makan. Masakan Haikal memang tidak pernah gagal membuatnya makan banyak. Itulah kenapa dia selalu mengeluh jika Haikal masak. "Nyebelin. Terlalu enak."

Haikal tertawa. Dia merangkul Fay dan menempelkan kepala gadis itu di dadanya sejenak. "Makan yang banyak. Kamu pasti capek masak terus untuk Martin."

Bibir gadis itu maju. "Aku enggak capek. Itu salah satu kewajibanku."

Helaan napas panjang terdengar dari Haikal. "Bukan kewajiban. Itu hanya caramu menyampaikan rasa terima kasih karena masih ada keluargamu yang hidup."

Fay tersenyum tipis agak terpaksa. Perkataan Haikal benar-benar terlalu jujur. "Jangan mulai. Aku mau menghabiskan ini." Dia mengambil ayam goreng lengkuas yang dibikin oleh Haikal. Bahkan dia ketagihan sambal buatan lelaki itu.

"Makan. Makan. Makan yang banyak. Habisin semuanya. Kamu enggak akan gemuk cuma makan banyak kali ini aja." Haikal sudah selesai, menyandarkan punggungnya di sofa. Dia menatap gadis pecinta ayam ini. Tangannya terulur untuk menyelipkan rambut Fay yang menutupi wajahnya dari samping. "Boleh aku bertanya?"

Fay sedang menggigit daging ayam. Dia melirik ke Haikal sambil menaikkan kedua alisnya.

"Kenapa kamu ada di perpustakaan dua hari ini saat pelajaran berlangsung?"

Tubuh Fay membeku. Selera makannya hilang begitu saja.

***

Eren pulang ke rumah. Dia dijemput oleh sopir pribadi di tempat lesnya. Dia sendiri yang dulu meminta untuk dijemput saat selesai les saja, karena dia bisa berjalan kaki sepulang sekolah menuju tempat itu.

"Eren pulang."

Belum saja selesai mengganti sepatu dengan sandal rumahan, dia dikagetkan dengan kehadiran seseorang yang menyambutnya.

"Kak Erwin!" Dengan segera dia memeluk kakaknya tersebut. Dia terbalaskan.

"Habis dari mana?" tanya Erwin yang memakai setelan tuksedo hitam. Dia baru saja datang dari ibu kota dan harus berganti baju untuk acara yang akan mereka hadiri malam ini.

"Les piano," jawab Eren sambil tetap memeluk kakaknya. Dia sudah kangen sekali dengan lelaki itu.

Suara entakan sepatu hak tinggi terdengar dari arah belakang. "Les piano? Mau berbohong?" Suara wanita yang tak asing itu membuat Eren langsung melepaskan pelukannya. Dia menghadap ke mamanya.

"Dia les di Haidar, kan?" Erwin mengelus rambut sang adik dengan lembut.

Eren mengangguk.

"Tapi tidak tepat waktu." Wanita dengan gaun hitam panjang tanpa lengan itu mendekati Eren. "Jujur, ke mana kamu pergi sebelum ke Mentor Haidar?"

Eren ditatap serius oleh mamanya. Tidak ada tatapan lembut di sana. Dia pun yang tadinya merasa aman karena keterlambatannya tidak akan dipertanyakan, menelan ludah dengan susah payah.

"Jangan berbohong."

Suara Eren semakin tercekat.

Erwin yang melihat kejadian itu di depan matanya, jadi tidak tega. Dia mencoba tersenyum. "Eren pasti punya alasan, Ma." Dia memegang pundak adiknya. "Kamu memang sebelum itu ke mana?"

Pertanyaan yang dilontarkan oleh Erwin memang sama seperti mamanya. Akan tetapi, nada bicara mereka berdua sungguh berbeda. Eren yang semula membeku karena tatapan dan pertanyaan interogasi dari mamanya, kini menjadi lebih rileks karena sang kakak.

"A-aku belajar bareng temen aku dulu di kelas. Malam ini, kan, ada acara dan aku enggak bisa les ke Kak Karin. Jadi, aku belajar dulu dengan temanku di kelas, Ma." Dada Eren berdebar dengan hebatnya.

Sang mama menatap kedua mata anak bungsunya dengan lekat, mencari suatu kebohongan yang mungkin diucapkan oleh anaknya itu. Dia pun mengangguk. "Oke. Bisa diterima. Lain kali kalau kamu telat les piano, Mama tidak akan pernah lagi mau membiayai kamu. Untuk apa Mama mengeluarkan uang demi anak yang tak tahu cara bersyukur."

Wanita itu melangkah menjauh, masuk ke bagian rumah lebih dalam. "Belajar dari kakakmu sana. Kak Erwin saja sukses masa kamu masih saja standar."

Eren tertunduk. Dia menggenggam tangannya di sisi badan. Selalu saja begitu. Dia selalu dibandingkan dengan sang kakak.

"Maaf, ya." Erwin memegang kedua pundak adiknya.

Eren mendongak. Bibir bawahnya digigit sedikit. "Kakak enggak salah. Aku aja yang dari dulu bodoh." Lalu, dia menunduk lagi.

Jika sudah seperti ini Erwin tidak bisa berkata lagi. Dia membiarkan Eren ke kamar untuk mengganti pakaian dengan segera karena habis ini mereka harus berangkat langsung ke acara.

Di setiap langkah Eren, rasa sedih dan sendu bergantian mengisi aliran darahnya. Baru saja dia senang bisa mengenal dua temannya di kelas. Baru saja dia senang karena sang kakak datang dari Jakarta. Namun, semua itu harus luruh dengan perkataan sang mama yang juga tidak bisa dia sangkal.

Dia memang tidak sepintar Erwin. Di sekolah, Erwin selalu mendapatkan peringkat dan nilai yang memuaskan. Dia mempunyai banyak teman dan hampir setiap murid di sekolahnya mengenal siapa Erwin. Di usia yang masih terhitung muda pun, kakaknya sudah mulai merancang bisnisnya. Bahkan sekarang, di usia yang baru 27 tahun, sang kakak sudah mempunyai perusahaannya sendiri. Tidak main-main, perusahaan Erwin adalah perusahaan perhiasan yang sudah pasti bernilai triliyunan rupiah. Bahkan sekarang kakaknya akan terjun juga di dunia entertaiment. Seakan segala sesuatu berjalan dengan mudah di kehidupan Erwin.

Berbeda dengan Eren yang dari dulu hanya bisa memenuhi nilai standar. Dapat peringkat satu di kelas sekali dalam tiga tahun saja sudah menjadi pencapaian yang tinggi baginya. Dia tidak bisa menyamai Erwin yang selalu mendapatkan peringkat pertama paralel. Dia juga tidak mempunyai banyak teman, apalagi dikenal banyak orang.

Eren membasuh muka dan mengeringkannya dengan handuk bersih. Dia menatap wajah dan badannya yang tak memakai busana atas di cermin. Bahkan kalau dilihat lagi, dirinya juga kalah dari sang kakak dari segi fisik. Erwin tinggi ramping. Sedangkan dia pendek dan berpipi gembung.

Hal itu membuat Eren semakin murung. Kenapa mamanya harus mengingatkan tentang perbedaan dirinya dan Erwin? Bahkan tanpa diberi tahu pun, dia juga sering membandingkan dirinya dengan sang kakak. Hasilnya pun akan tetap sama, dia bukanlah orang yang bisa menandingi kakaknya.

"Eren! Cepat! Kamu ini lamban sekali! Padahal cuma ganti baju!" Teriakan sang mama membuat Eren terlonjak kaget. Cepat-cepat dia keluar dari walking closet dan memakai baju yang telah dia siapkan. Dia harus segera keluar dan rapi sebelum mendapatkan peringatan lagi dari sang mama. Atau ... dia akan mendapatkan makian yang lebih menyakitkan.

"Iya, Mama!"

Dia menuruni tangga sambil membenarkan dasi. Terlihat mama dan papanya yang sudah rapi hendak keluar dari pintu utama rumah mereka.

"Pantas saja kamu tidak seperti kakakmu. Kamu lamban." Mama Eren, sekali lagi, melirik tajam kepada si bungsu.

Langkah Eren terhenti.

"Mungkin kamu menggunakan semua kartu kebaikan saat mengandung Erwin, Sayang. Makanya Eren jadi seperti ini." Ucapan sang papa membuat Eren mematung. Meskipun pria itu berkata dengan canda, rasanya tetap saja menusuk di dada sang bungsu.

Kalau begitu, berarti Eren pembawa sial keluarga?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro