Berjalan Ke Timur
"Aku udah selesai. Ada yang mau dibeli lagi, gak?" Eliana mengambil tisu dan mengusap sisa makanan yang menempel di bibir.
Fay menggeleng. "Enggak. Kalau mau duluan, silakan. Aku bisa balik sama Eren."
"Eren, kamu?" Eliana menawarkan kepada lelaki yang masih sibuk dengan makanannya.
Eren menggeleng. "Enggak. Ini aja udah cukup." Dia melambaikan tangan ringan.
"Okelah. Aku duluan kalau gitu. Ada yang mau aku urus."
"Emang mau ngurus apaan?" tanya Eren ingin tahu.
Elia mengelus perutnya pelan dan tersenyum centil. Tak lupa dia menutupnya dengan kedipan mata sebelah sebelum melangkah pergi. Eren si anak kalem yang suka menolong pun jadi bergidik. Fay yang menyaksikan itu tertawa sampai dia melepaskan gigitannya pada tulang lunak ayam gorengnya.
"Tanggung sendiri akibat kepo."
Wajah Eren merah padam. Dia malu sekali. "Siapa yang tahu kalau dia bisa kayak gitu," sesalnya.
"Katanya kamu ketua kelas yang bersahaja, baik hati dan tidak sombong. Eliana centil enggak ketulungan aja enggak tahu." Sindiran Fay hanya untuk candaan. Akan tetapi, hal itu malah membuat wajah Eren berubah jadi murung.
"Iya, ya. Percuma aja kayaknya selama ini aku jadi ketua kelas. Aku kira udah tahu dengan baik bagaimana kalian. Ternyata, sama aja. Aku bahkan baru tahu kalau kamu cerawakan juga."
"Aku bercanda, Ren. Lagian, kamu udah berusaha jadi ketua kelas yang baik. Selalu ngurusi kebutuhan kelas dan bantu kita-kita yang kesulitan. Kamu itu ketua kelas, bukan psikolog pribadi."
Eren tersenyum meskipun sebagian dalam dirinya merasakan ada yang sia-sia. "Makasih hiburannya."
Fay menarik kepalanya ke belakang. "Hiburan apaan? Aku enggak lagi jadi badut."
Eren melebarkan senyumannya. Ternyata gadis pintar sekelas ini tidak kaku. "Kamu emang bukan badut, Fay. Tapi omongan kamu bikin aku sedikit lega."
Gadis itu malah mengernyitkan dahinya. "Omongan yang mana? Perasaan omonganku biasa aja."
Eren meletakkan sendoknya dan melipat kedua tangan di atas meja. Dia menatap Fay lurus. "Mungkin buat kamu itu omongan biasa. Tapi, buat aku itu hiburan yang luar biasa."
***
Semua siswa sudah duduk di kelas dan tempat masing-masing. Eren kembali ke kelas bersama Fay. Lelaki itu duduk terlebih dahulu. Dia menahan Fay. "Kartu kantin aku?" Tangannya memegang lengan gadis itu.
Fay memejamkan mata sambil terkekeh ringan. "Sampai lupa." Dia meletakkan kartu kantin ketua kelasnya di atas meja. Dia langsung menutupi kartu tersebut dengan telapak tangan dan tersenyum jahil. "Jangan lupa kamu punya utang ke aku dan Eliana, ya."
Eren yang tertipu akan mengambil kartunya pun mengangguk. Dia tersenyum lebar, membentuk wajahnya seperti roti tawar. "Oke. Aku akan ingat."
Fay meninggalkan tempat Eren. "Bercanda doang, Ketua Kelas." Dia duduk di kursinya.
Eren menatap punggung Fay cukup lama. Dia teringat dengan perkataan gadis itu di kantin tadi yang menyadarkannya bahwa tidak semua yang ada di kelas dan terjadi pada setiap anggota adalah tanggungannya. Selama setengah tahun ini dia sudah berusaha untuk menjadi ketua kelas yang baik. Dia sudah berusaha dikenal baik juga oleh teman-teman.
Satu senyuman terbit di wajah lelaki 172 cm itu. Maka dia bertekad untuk ke depannya, dia akan berusaha lebih baik lagi di paruh tahun yang tersisa. Dia akan berusaha untuk lebih mengenal teman-teman sekelasnya. Selama ini dia hanya fokus kepada memberikan bantuan dan mengurus keperluan kelas. Dia akan mencoba untuk lebih mengerti setiap karakter para anggotanya sama seperti dia ingin lebih mengenal tentang Fay dan Eliana yang ternyata sangat berbeda dari tampak mereka berdua biasanya.
Bel masuk berbunyi.
Eren segera mengeluarkan buku pelajaran jam ini. Pandangannya tidak lepas dari Eliana yang ngos-ngosan setelah berlari. Gadis itu hampir telat. Dia tersenyum, lebih lagi saat melihat Fay yang menertawakan Eliana. Tawa gadis itu tidak tampak seperti yang dia lihat tadi, kalem sekali. Berbeda dengan yang tadi dia saksikan di kantin dan perpustakaan.
Ada, ya, gadis yang mirip bunglon seperti itu?
***
Pulang sekolah adalah waktu yang paling ditunggu oleh siapa pun yang berangkat untuk menuntut ilmu. Fenomena biasa, memang, tapi kalau diamati cukup aneh juga. Seharusnya manusia suka kalau ilmunya bertambah, tapi kenapa sekolah seakan menjadi tempat yang ingin dihindari para pemuda kecuali untuk formalitas kebutuhan hidup.
Suasana kelas Fay sangat lenggang. Tak ada rebutan keluar kelas atau murid yang berlari sembarangan. Semua itu berkat sang ketua kelas yang selalu memantau ketertiban mereka meskipun akan berpisah seperti ini.
Eren berdiri di pintu keluar, memastikan anggota kelasnya tidak ada yang saling serobot atau terluka. Memang sepeduli itu Eren terhadap para anggota kelasnya. Apalagi anggota kelas yang cowok. Semua tahu kalau mereka suka sekali urakan. Hebatnya, berkat kekuatan Eren, mereka mau tertib.
"Dadah Eren." Beberapa kali teman gadisnya menyapa. Eren membalas dengan senyuman ramah.
"Ren, mabar, kuy." Jelas yang mengajak seperti itu adalah temannya yang lelaki. Namanya Rama.
"Jam delapan malam. Belajar dulu nanti."
"Enggak ada les malam?"
Eren menggeleng. "Aman."
"Siplah." Rama menyerahkan kepalan tangannya untuk tos.
Eren membalas. Dia pun kembali memantau kelasnya. Terlihat dua orang yang masih ada di atas tempat duduk mereka. Dua orang yang tadi sudah membuatnya syok berat. "Kalian berdua enggak pulang?" tanyanya dengan nada lembut dan ramah, seperti biasa.
Fay dan Eliana menoleh. Padahal mereka sedang sibuk membahas akhir pekan ini mau apa. Serempak mereka berpangku tangan di atas meja dan menaikkan alis. "Hmm?" Bahkan mereka sama-sama berdehem.
Eren tertawa kecil melihat kelakuan dua gadis itu. "Kalian enggak pulang? Udah tinggal kita bertiga, nih."
Baik Fay maupun Eliana langsung menebarkan pandangan ke kelas. Benar juga. Tinggal mereka bertiga. "Bentaran, sih. Kalau mau pulang, pulang aja. Aku sama Eliana mau belajar dulu sebentar."
"Mau ikutan?" tawar Eliana baik hati.
Eren terdiam sejenak, terlihat sedang menimbang. Setelah ini dia hanya ada jadwal les piano. Setelah itu ada acara makan malam keluarga. Dia pun mengangguk. Mungkin telat les sekali tidak apa-apa. Toh, ini buat belajar juga. "Boleh. Mau belajar apa?" Dengan cekatan, dia mengambil tas yang ada di bangkunya dan segera bergabung dengan dua gadis tersebut. Dua gadis yang baru dia sadari kalau berbicara dengan mereka seru sekali.
Mereka bertiga mengulangi pelajaran hari ini, sekaligus mengerjakan PR yang diberikan oleh guru. Eren bisa merasakan ketekunan dua gadis di depannya ini. Dia saja sampai segan mau angkat bicara. Tidak salah dia menyebut mereka berdua seperti bunglon.
"Eren selesai?" tanya Fay yang baru saja selesai mengerjakan soal Bahasa Indonesia.
"Sudah."
Fay bertepuk tangan heboh. "Emang ketua kelas kita ini beda dari yang lain."
"Jangan pulang dulu. Tungguin aku." Eliana menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Dia mempercepat tulisannya.
"Santai, El." Eren merapikan alat tulisnya. Fay mengikuti.
"Iya, santai aja."
Mereka berdua sudah menutup buku dan hendak memasukkannya ke tas.
"Santai apaan? Kalian aja udah mau cabut."
Eren dan Fay bertos. Mereka tidak jadi memasukkan buku ke tas dan malah tertawa karena Eliana yang mulai uring-uringan.
"Enggak ke mana-mana, Eliana. Emangnya kamu pulang sendiri?" tanya Eren sambil melipat kedua tangan di atas meja.
"Ya, ada sopir. Tapi, kalau kalian udah kemas-kemas rasanya enggak setia kawan aja." Eliana menekan ujung penanya untuk membuat titik di akhir kalimat. "Selesai." Dia menghela napas panjang setelah sempat menahannya beberapa saat.
"Kamu enggak ada acara, Ren? Biasanya udah cabut aja setelah temen-temen pulang semua." Fay merapikan alat tulisnya di dalam tas. Dia melihat ke arah ketua kelasnya.
Eren tertegun sejenak. Sekilas, dia merasa diperhatikan. Kemudian, dia menggeleng kecil dengan senyuman ringan di bibir. "Enggak. Lagi kosong. Makanya aku duduk di sini sama kalian."
Eliana memasang wajah haru nan centilnya. Dia menautkan jemari. "Ya ampuuun. Merasa terhormat bisa belajar sama Ketua Kelas."
Satu-satunya lelaki yang ada di sana itu pun terkekeh kecil. Dia menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya yang manis dengan senyuman. "Biasa aja. Enggak usah lebay."
Mereka merapikan bangku dan meja yang habis mereka pakai baru keluar dari kelas. Mereka berjalan beriringan dengan Eliana yang ada di tengah. Koridor dan teras depan kelas sudah kosong dari manusia. Hanya tersisa kesunyian yang mengundang suasana merinding setiap melewati ruang kelas yang sudah ditinggalkan.
"Kamu pulang pakai apa, Ren?" tanya Eliana di sela langkah mereka menuju gerbang depan sekolah. Dia mau bersama kedua temannya itu terlebih dahulu sebelum kembali ke parkiran untuk mendatangi sopirnya yang telah menunggu dari tadi.
"Aku jalan kaki ke timur. Mau ke les-lesan deket sini."
"Ayo jalan sama aku. Rumahku juga deket dari sini, ke timur." Fay melebarkan matanya sangat bersemangat menemukan teman untuk berjalan pulang.
Eren tersenyum. Dia mengangguk antusias.
Mereka berdua berpisah dari Eliana. Langkah mereka santai dan hampir serentak si atas trotoar. Tak ada banyak kendaraan yang berlalu-lalang di jalan raya sebelah mereka. Udara terasa sangat lenggang dari polusi. Tidak seperti di jalan raya utama kota.
"Kamu mau les apa, Ren?" tanya Fay membuka pembicaraan.
"Piano. Sebenarnya udah dari tadi. Hehehe." Eren menampakkan giginya.
Fay terdiam. Ketua kelasnya memang manis. Tidak hanya perilakunya, tapi juga sikap naturalnya. Benar saja teman-teman sekelasnya sangat respek dengan ketua kelas mereka ini. Dia juga demikian. Eren sangat baik dan suka menolong. Maka dari itu kelasnya terasa sangat nyaman.
"Lalu kenapa masih ke sana? Enggak papa telat?" Gadis itu masih penasaran.
"Enggak papa. Yang penting aku hadir meskipun telat. Kehadiranku di les akan dipantau oleh orang tuaku."
"Ah, maaf. Karena aku dan Eliana tadi, ya?"
Eren tersenyum. "Itu juga mauku ikut kalian belajar. Biar pernah."
"Orang tuamu ketat?" Fay bertanya dengan hati-hati.
Bibir lelaki itu terlipat seraya kepalanya mengangguk. "He em."
Fay tersenyum hambar. "Sama. Aku juga begitu. Makanya aku menangis waktu dikeluarkan."
Eren mengangguk. Prasangkanya memang tidak meleset. Mereka mengkhawatirkan hal yang sama. Pantauan ketat dari orang tua.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro