Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Tuan Impulsif

Alyssa menyunggingkan senyum setelah duduk di satu sisi meja untuk dua orang. Meskipun senyuman di wajahnya itu terhitung cukup lebar, Alyssa yakin dirinya tidak tampak terlalu menggebu-gebu di hadapan pria sejuta pesona idaman seluruh perempuan di kantor.

Mati-matian Alyssa menahan diri, menekan hasrat untuk terlalu bersemangat. Ia tahu bahwa Wisnu, account manager andalan kantor, tidak terlalu suka pada perempuan yang bersikap berlebihan. Bahkan, Alyssa yakin bahwa alasan Wisnu mengajaknya berkencan adalah karena ketenangannya ketika dikejar deadline.

"Kamu mau pesan apa?" tanya Wisnu setelah mengutarakan pesanannya terhadap pelayan restoran.

Alyssa menjawab, "Samain sama kamu aja."

"Yakin disamain sama aku? Aku pesan makanan yang cukup otentik, nanti kamu nggak suka." Wisnu memastikan. Suaranya pelan dan wajahnya tampak tulus, sehingga Alyssa tahu bahwa pria itu tidak sedang meremehkannya. Tetap saja Alyssa merasa perlu membuktikan diri.

Maka Alyssa pun menatap pelayan yang menunggu pesanannya dan mengembalikan menu yang tadi ia baca sambil berkata, "Pesanan saya sama seperti dia, ditambah salad dengan wasabi dressing untuk side dish-nya."

Pelayan restoran berterima kasih atas pesanan mereka, lalu mengatakan pesanan akan dihidangkan dalam 15 menit. Setelah itu ia berlalu, meninggalkan Wisnu dan Alyssa yang saling tatap dan tertawa kompak tanpa aba-aba. Hanya dengan begitu saja keduanya saling mengerti apa yang baru saja terjadi. Tak ada satupun dari mereka yang merasa perlu untuk meminta dan memberikan maaf karena menganggap kejadian barusan adalah sebuah dansa yang cukup menarik.

Setelah itu mereka bicara tentang banyak hal. Tentang karir dan pekerjaan, keluarga, masa sekolah, hingga kisah cinta. Tak banyak yang Wisnu ceritakan tentang kisah cintanya karena ia benar-benar nyaris tak pernah memiliki kisah tersebut. Sementara Alyssa, meskipun sudah beberapa kali berpacaran, ia memilih untuk tak banyak mengumbar pengalamannya. Perempuan itu lebih tertarik untuk kembali membicarakan keluarga dan masa kecilnya. Sebagai anak rantau dari kota lain, topik tentang keluarga cukup mengobati rindunya pada rumah.

Datangnya makanan tak menghentikan diskusi seru mereka. Wisnu menyambut pertanyaan Alyssa tentang keluarga dan masa kecil dengan senang hati. Ia bersyukur karena lawan bicaranya tidak terlalu kaku seperti dirinya. Alyssa begitu luwes dalam mengatur ritme percakapan sehingga bahan  obrolan seolah tak habis.

Tepat setelah percakapan mengalir begitu seru dan kisah-kisah masa kecil makin terkuak, Alyssa bertanya, "Kenapa kamu badannya paling kecil pas TK? Ada masalah pertumbuhan?"

"Bukan, aku paling muda di kelas. Derita lahir di bulan-bulan tanggung, bingung masuk sekolahnya dan akhirnya masuk duluan dari yang seumuran."

"Emang kamu lahir tanggal berapa?"

"Tanggal 27 Desember."

Alyssa berhenti makan. Hanya satu hal yang terpikirkan setelah tahu tanggal lahir Wisnu. Pria itu bukan seorang Taurus. Lebih buruk, dia ternyata adalah seorang Capricorn.

Kenyataan tentang zodiak Wisnu amat mengganggu pikiran Alyssa. Tidak mudah untuk menemukan pria sehebat Wisnu. Meskipun sehari-hari terkesan berjarak karena kesibukannya, Wisnu bisa menjadi teman yang sangat menyenangkan di celah-celah waktu luang seperti sekarang. Namun, mengetahui bahwa Wisnu adalah seorang Capricorn, Alyssa khawatir bahwa hanya itulah yang akan mereka miliki. Celah-celah waktu luang yang mungkin makin mengecil seiring waktu. 

Capricorn yang ambisius dan workaholic dan Virgo yang perfeksionis dan detail-oriented seperti dirinya akan larut dalam kesibukan masing-masing. Tinggal tunggu waktu hingga mereka lupa kalau mereka punya hubungan ....

"Al? Are you okay?" tanya Wisnu, membuyarkan lamunan Alyssa. Mendadak perempuan itu berhenti menanggapi, membuatnya merasa ada yang tidak beres.

Alyssa mencoba menepis pikiran kacaunya dan mengabaikan ganjalan tentang Wisnu. Ia menginginkan kesempatan ini. Kesempatan dengan pria baik dan pekerja keras. Namun, ganjalan itu tak mau hilang.

"Maaf, ya, Nu," ucap Alyssa lirih. Bibirnya melengkungkan senyum demi membuat dirinya tak terlihat berhati dingin. Tatapan, senyum, dan permintaan maaf Alyssa yang terlalu serius untuk saat itu membuat Wisnu paham.

"It's okay. Kita juga sudah sepakat untuk menjadikan dinner ini trial aja. Thanks anyway, udah kasih aku secuil social life," ujar Wisnu dengan wajah tenang. Pria itu benar-benar dewasa. Bahkan untuk urusan kencan saja ia bisa terlihat bisa diandalkan meskipun telah menghadapi situasi yang tak diinginkan. Hal ini membuat Alyssa merasa bersalah. Perempuan itu menunduk dan menggeleng kesal.

"Ugh, nggak seharusnya aku kayak gini. I wish it could works out. Aku harap aku udah siap untuk berhubungan lagi sama cowok saat ini," keluh Alyssa.

"It's okay, Al. Mungkin timing kita nggak tepat untuk jadi pasangan, tapi kita masih bisa temenan, kok. I can tell that you're a good friend. Nggak semua orang kuat dengar cerita boring aku." Dengan tenang, Wisnu menghibur Alyssa yang ampuh membuat perempuan itu merasa lebih baik.

"Nggaklah, cerita kamu nggak boring. Seru, kok! I feel like I'm sabotaging myself right now," balas Alyssa cepat. Sikap ringan Wisnu membuat Alyssa kagum. Perempuan itu merasa lebih baik, meskipun hatinya mengutuk otak sendiri karena tak bisa menerima Wisnu. Dengan chemistry yang mereka miliki, seharusnya Alyssa bisa lebih berani membuka hati. Namun, membuka hati ternyata tak semudah memberi instruksi pada otak untuk membuka pintu. Semua terasa jauh lebih berat dan penuh keraguan.

"I'm sorry I can't make you feel better after your break up," ucap Wisnu dengan nada yang lebih serius.

"But you do make me feel better. Lembur nggak pernah seseru waktu kamu yang jadi PIC," balas Alyssa cepat. Niatnya memuji Wisnu, tapi ucapannya malah membuat Wisnu tertawa geli. 

"Kamu benar-benar bisa membuat hal yang buruk terdengar lebih baik, ya? Harusnya aku tersinggung, nih, dikatai jagonya lembur," celetuk Wisnu.

Mereka tertawa. Anehnya, suasana menjadi lebih cair setelah mereka sepakat untuk tak melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius. Teman, mungkin hanya itu yang mereka butuhkan.

Sayangnya bukan pertemanan yang dilihat dari luar meja. Dipta berjalan menuju toilet dengan mata yang lekat menatap meja Alyssa dan Wisnu. Sesampainya di toilet, pemuda itu masuk ke satu bilik, lalu menutup toilet dan duduk di atasnya.

Penjelasan tentang proyek baru perusahaan membuatnya pusing dan ia tak berpikir panjang untuk kabur ke toilet ketika diminta keikutsertaan dalam pemilihan kepala proyek tersebut. Namun, setelah melihat perempuan yang tak asing tampak mesra berbincang hangat dengan seorang pria, rasa pusing berganti panas di dada.

"Gila, creepy abis gue." Dipta menggosok wajahnya, kuat dan berkali-kali. Ia berharap akal sehat bisa kembali setelahnya. Tapi tidak. Kepalanya tetap terobsesi pada senyum Alyssa. Senyum yang tidak pernah ditujukan kepadanya.

Ada apa dengan perempuan itu? Mengapa Dipta bisa begitu terobsesi pada sosok yang terlihat tangguh dan rapuh dalam satu tubuh tersebut? 

Sejak membaca kartu Alyssa, pikiran Dipta tak pernah benar-benar lepas dari perempuan itu. Seolah dirinya memberitahu bahwa perempuan itu penting bagi dirinya, terlepas apakah mereka saling kenal atau tidak. Seolah Dipta tahu mereka terhubung, terlepas dari kenyataan bahwa ia dan perempuan itu adalah dua orang asing dari dua dunia yang berbeda.

Dipta segera keluar bilik dan menuju wastafel. Ada dua wastafel di toilet pria restoran itu. Dipta memilih sebelah kiri karena posisinya paling jauh dengan pintu keluar yang terbuka. Ia segera membasuh wajah dengan air di sana, mencoba mendinginkan kepala. 

Mungkin dirinya butuh bergaul lebih banyak. Namun dirinya sudah sering menongkrong dengan teman-temannya, khususnya saat akhir pekan. Uangnya akan makin terkuras dan tak ada sisa untuk menabung jika ia lebih sering bergaul di luar. Atau mungkin dirinya perlu kesibukan. Sebuah rutinitas yang amat padat sampai-sampai tak akan sempat memikirkan hal lain yang tak perlu. 

 Seseorang datang dari arah pintu dan Dipta memanfaatkan sedikit waktunya untuk memasang wajah normal. Seolah dirinya waras dan tidak berusaha mengontrol dirinya untuk berpikir lebih jernih. Pria yang datang langsung menuju ke sebelah Dipta dan mencuci tangan, membuat Dipta melirik sekilas. Ternyata orang itu adalah pasangan kencan Alyssa. 

Dipta menunduk, tapi matanya melirik sekilas pria di sebelahnya. Tinggi, rapi, dan amat tampan. Pria itu tampak cukup percaya diri saat berlalu usai mencuci tangan. 

Desahan panjang tak mampu ditahan bibir Dipta. Ia melihat penampilannya di cermin wastafel. Rambut bergelombang yang terkesan berantakan bertabrakan dengan kemeja kerut polos berwarna hijau lumut. Kini Dipta menatap bagian bawah dirinya yang tengah memakai celana slimfit dengan pola garis-garis tipis berwarna cokelat. 

Meskipun Dipta merasa keren, tapi ia paham jika perempuan seperti Alyssa tidak mau meliriknya.

Dengan menahan lesu, Dipta mengeluarkan desahan panjang sebelum keluar toilet dan menuju mejanya. Mengapa penampilan Dipta selalu terkesan serampangan, sedangkan pria yang terlihat rapi selalu mengintimidasi dengan karisma mereka? Padahal seharusnya tak ada hubungannya antara penampilan dengan kemampuan. Dipta juga yakin dirinya sanggup mengerjakan apa pun yang pria itu kerjakan meskipun tanpa jas dan rambut crew cut ala pria yang bersama Alyssa itu.

Dipta kembali ke meja tempat divisinya makan bersama tanpa sedikitpun menghilangkan pikiran tentang pria yang tadi di sebelahnya. Ia yakin bahwa pria itu tidak perlu mengkhawatirkan uang ketika ingin bepergian dan menongkrong di manapun. Mungkin dia bukan tipe orang yang suka menongkrong, tapi orang lain pasti suka menongkrong dengannya. Seperti Alyssa yang tertawa senang tadi.

"Lo gimana, Ham?"

"Aduh, gue belum siap, Bu. Sorry, ya."

"Ah, payah banget nih divisi kita. Asal kalian tahu, ya, ini tuh kesempatan besar buat karir kalian. Nothing to lose juga. Kalo gagal it's okay, kalau berhasil lo dapet kesempatan naik jabatan."

Samar-samar percakapan Ilham dan Bu Rita terdengar. Dipta masih membandingkan teman kencan Alyssa dengan dirinya. Ia yakin pasti pria itu tak perlu berpikir panjang untuk mengajak Alyssa ke restoran ini. Sementara dirinya? Harus menang kompetisi dulu baru bisa ke sini. 

"Justru berhasilnya itu yang kita belum siap, Bu."

"Kalo berhasil, gue, Bapak, sama anak-anak divisi juga bantuin kali. Lo nggak ditinggal sendiri. Jadi, mau maju nggak, Rin?"

"Hahaha, belum, Bu."

"Udah-udah. Anak-anaknya nggak mau ya nggak usah dipaksa. Mereka belum matang, biar gali pengalaman lagi aja sampai siap." Pak Baim akhirnya bicara untuk menghentikan bujukan Bu Rita pada para anak buahnya. Saat itu, Pikiran Dipta kosong. Ucapan Pak Baim membuat reaksi aneh yang tak bisa ia tahan.

"Gue mau, deh," kata Dipta saat suasana sudah agak sepi.

"Mau apa?" tanya Bu Rita.

"Gue mau coba nge-lead project T-Fresh," jawab Dipta lagi.

"Jangan bercanda," tantang Bu Rita.

"Serius. Gue udah kepikiran idenya, kalau mau besok gue present ke Ibu dan Bapak." Tanpa ragu, Dipta menjawab dan bicara sekaligus pada Bu Rita dan Pak Baim. 

"Boleh." Pak Baim tersenyum. Tatapannya tegas lurus menuju mata Dipta.

Tergagap, Bu Rita pun berkata sambil menatap bos dan karyawannya bolak balik, "Be- bener ya? Serius ya? Gue tunggu lo besok di ruangan Pak Baim jam satu siang!"

Ilham dan Garin spontan bertepuk tangan. Selain lega karena tidak akan didesak Bu Rita lagi, mereka kagum melihat Dipta yang biasanya minim inisiatif menyalip seluruh divisi di acara makan malam ini. Rekan satu itu memang tidak boleh dianggap remeh.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro