13. Seketika Nyaman
Tidak setiap hari Dipta mengalami momen seperti ini. Padahal dirinya sedang di tempat yang biasa saja, melakukan kegiatan yang biasa saja. Hanya karena ditemani seseorang yang berbeda dari biasa, jantungnya tak berhenti berdetak dengan kuat. Bahkan, hal menjemukan seperti makan sambil bekerja saja terasa menyegarkan.
Sesekali Dipta melirik Alyssa yang tengah memakan nasi goreng pesanannya. Meskipun Alyssa makan dengan cukup cepat, tapi cara makannya terlihat amat anggun. Setidaknya begitu di mata Dipta.
"Enak nasgornya?" tanya Dipta sebelum menyuap nasi goreng ke mulutnya. Sengaja, supaya tidak ketahuan bahwa dia memperhatikan perempuan yang ia tanya.
Alyssa mengangguk tanpa menengok karena sibuk menelan sesuap nasi goreng yang baru dikunyahnya. Ia lalu minum sedikit es tehnya sebelum menjawab, "Enak banget."
"Karena saya pesenin, kan?" Dipta memasang cengirannya, berharap dirinya tampak menggemaskan. Baru sedetik kemudian dia sadar bahwa seharusnya dia memasang pencitraan pria mapan yang bisa diandalkan. Bukankah dia sudah paham bahwa sosok idaman Alyssa adalah yang seperti ditemuinya di restoran mahal waktu itu?
Untung saja tingkahnya membuat Alyssa tertawa kecil. "Saya laper, belum makan dari siang," ungkap Alyssa dengan nada suara yang berbeda. Lebih cair dan bersahabat.
Merasa sering mengalami hal serupa, Dipta berkomentar, "Kebiasaan warga urban. Skip waktu makan. Kalau nggak karena kerjaan, pasti karena ketiduran."
Alyssa kembali tertawa sementara Dipta hanya bisa meringis dalam hati. Sejak tadi, pria itu berinteraksi sambil menatap layar laptop. Padahal ingin sekali ia melihat wajah senang Alyssa ketika mengobrol bersamanya, tapi proyek menyebalkan ini tengah menuntut waktunya.
"Emang bisa ya, kerja sambil ngobrol? Nggak kedistraksi?" tanya Alyssa tiba-tiba. Dipta menatap perempuan itu. Niatnya hanya sekilas, tapi binar penasaran di mata Alyssa menciptakan jeda antara ketikan Dipta demi bisa memberi senyum dan perhatiannya.
"Kalau nggak ngobrol, saya bosen. Kalau bosen, kerjaan saya mandek," balas Dipta sambil meminum minumannya.
Alyssa mengerutkan dahi karena tak habis pikir. Baginya, diajak mengobrol saat sedang bekerja malah menjadi hal yang menjengkelkan. Lebih baik perempuan itu menyendiri hingga pekerjaannya selesai.
"Lagi ngerjain apa?" tanya Alyssa.
Dengan sedikit melirik ke layar laptopnya, Dipta menjawab, "Proyek baru."
"By the way, kamu kerja di mana?" tanya Alyssa.
"Tebak," balas Dipta yang tengah mengulur waktu karena kini ia sedang membuka email dan mengirim revisi terbarunya kepada Bu Rita.
"Saya bisa tebak?" Terkejut, Alyssa mengkonfirmasi.
"Harusnya." Dipta menekan tombol kirim dan menunggu pesan dan lampirannya terkirim semua.
Alyssa memutar otaknya. Jika ia bisa menebak tempat kerja Dipta, berarti secara tidak langsung Alyssa pernah melihat Dipta bekerja di tempat kerjanya.
"Perusahaan EO?" tebak Alyssa, mengingat hari ini mereka bertemu di acara resepsi dan sebelumnya di acara festival. Meksipun dalam hati ia sedikit ragu karena Dipta sempat berkata bahwa dirinya bukan panitia.
"Salah. Tebak lagi," balas Dipta. Emailnya sudah terkirim, membuatnya menutup laptop dengan perasaan lega. Kini, ia bisa menikmati mengobrol berdua dengan Alyssa -- yang meskipun tengah serius berpikir tapi tetap terlihat menyegarkan.
Alyssa terkikik, mulai merasa tertantang dengan tebak-tebakan ini. Aneh rasanya. Kalau laki-laki lain, Alyssa pasti sudah merasa malas karena tidak jelas. Namun, ada sesuatu di diri Dipta yang membuatnya tetap penasaran.
Perempuan itu lalu mengingat kali pertama bertemu Dipta. Di sebuah festival halloween. Dipta membuka stan tarot di sana.
Alyssa nyaris menebak bahwa Dipta adalah pekerja lepas spesialis pembaca kartu tarot ketika teringat cerita Winda dan Putri tentang Festival SeramSegartea. Kata mereka, karyawan di PT. Teh Segar Indojaya membuka dan memasarkan stan mereka secara gencar di festival yang Alyssa datangi itu.
"Di TSI bukan?" tanya Alyssa.
"HUAAA!" Dipta menjerit, membuat Alyssa terkejut dan memelotot ke arahnya. "Bener! Sampai kaget saya," ujar Dipta sambil menatap Alyssa tak percaya.
"Kenapa kamu yang kaget? Padahal kamu sendiri yang teriak." Alyssa menutupi wajahnya karena malu pada sekitar, tapi senyumnya malah makin lebar. Ia tak menyangka Dipta bisa bereaksi sekonyol tadi.
"Saya teriak saking kagetnya. Kok bisa bener tebakannya?" Wajah takjub Dipta bersinar, tak peduli tatapan orang. Amat berbeda dengan Alyssa yang tengah menahan malu karenanya.
"Pernah dengar soal acara segartea kemarin. Stan yang ada tuh dari orang-orang internal perusahaan semua, kan?" jawab Alyssa. Ia tak lagi menutupi wajahnya ketika pengunjung kafe lain sudah mengalihkan pandangan ke kesibukan masing-masing.
"Iya, seru-seruan lomba stan untuk tiap divisi."
"Kamu menang?"
"Menang dong. Lihat sendiri, kan, stan saya kemarin?"
Alyssa mengangguk-angguk, membiarkan Dipta menikmati rasa bangganya. Ia mengambil minumnya perlahan dan mendaratkan rasa ingin tahunya tak kalah pelan, "Jadi, TSI sekarang mau ada proyek baru, nih, ceritanya?"
"Yoi," jawab Dipta ringan.
"Santai banget jawabnya," timpal Alyssa sambil mengerutkan dahi.
"Kenapa? Kamu kompetitor?" tanya Dipta balik.
"Klien saya kompetitor kamu."
"Klien? Muji Alam bukan? Cuma dia yang sering pakai outsource."
"Hebat, bener juga tebakannya." Kini Alyssa merasakan keterkejutan yang tadi Dipta ungkapkan.
"Ini bukan proyek buat Segartea, jadi nggak head to head juga sama Muji Alam."
"Duh, jadi penasaran."
"Hm ... kasih tahu nggak, ya?"
Keduanya tertawa, entah karena ucapan receh Dipta atau suasana di antara keduanya yang makin menghangat. Tidak biasanya Alyssa akrab dengan orang lain, apalagi yang baru dua kali ditemui. Namun Dipta punya kemampuan untuk membuat orang lain merasa aman ketika mengobrol dengannya. Itulah yang Alyssa rasakan saat ini. Ia merasa bisa bicara tentang apa pun tanpa harus dinilai sombong dan sok tahu.
"Well, terserah kamu mau percaya atau nggak. Saya cuma bersedia sharing aja, siapa tahu bisa bantu kamu," pancing Alyssa.
"Kenapa kamu mau bantu saya?" tanya Dipta penasaran.
"Karena malam ini kamu udah banyak bantu saya."
Tatapan Alyssa mengungkapkan kesungguhan yang mampu membuat Dipta berdebar. Meskipun ragu, tapi Dipta ingin berbagi cerita dengan Alyssa.
Mungkin tidak apa-apa. Lagipula, belum tentu ide Dipta diterima oleh atasannya. Toh, saat ini saja ia masih harus bolak-balik merevisi konsepnya sebelum dipresentasikan.
"Janji ini cuma sharing warkop aja?" tanya Dipta memastikan.
"Janji," jawab Alyssa dengan pasti.
Dipta mengangguk, lalu menggeser tubuhnya agar duduk lebih dekat dengan Alyssa. Ia merasa setidaknya ide ini harus didiskusikan pelan-pelan, maka ia memastikan tak ada orang yang bisa dengar selain Alyssa.
"Salah satu produk kami mau rebrand. Mau targetting younger audience. Saya pitching ide untuk bikin vending machine yang di-install di kampus-kampus dan sekolah-sekolah," jelas Dipta dengan volum suara rendah.
"Hm, lumayan idenya." Alyssa berdeham. Antara suara Dipta yang menenangkan dan jarak di antara mereka yang terpangkas, Alyssa merasa sulit bernapas. Mendadak ia merasa gugup. Mungkin malam ini, kekonyolan Dipta telah menular kepadanya.
"Tapi?" Dipta memancing pendapat Alyssa lebih jauh, membuat lawan bicaranya tersebut kembali berdeham dan tampak serius.
"Ini aku bicara opiniku, friend to friend, ya. Bukan pendapat profesional. Jadi tolong jangan ditelan mentah-mentah," ujar Alyssa.
"O- oke. Aku juga nggak akan ngomong ke siapa-siapa juga. Kamu nggak lagi mau ngebocorin rahasia perusahaan kamu, kan?"
"Nggak, lah! Gila kamu!"
"Habis serius banget." Dipta tertawa.
"Kan, ngomongin kerjaan."
"Fine. Apa pendapat kamu?"
"Kebetulan aku itu kerja untuk meng-handle CSR klien dan secara pribadi aku sering gemas sama kebiasaan yang rata-rata ada di perusahaan besar."
"... Yaitu?"
"Mereka selalu all out untuk marketing, sales, promosi, tapi nggak punya budget ataupun dedikasi yang cukup untuk membangun sustainability development."
"Sustainability?"
"Vending machine is probably good. It ticks all the objectives. Semua target perusahaan achieved. Tapi itu juga berarti lebih banyak energi yang terbuang, sampah plastik yang menggunung, I don't know. I don't think it's brilliant idea."
"Menarik ...."
Perlahan tapi pasti, otak Dipta menyerap seluruh penjelasan Alyssa. Jantungnya berdebar karena memikirkan sebuah ide baru yang bisa memenuhi kekurangan idenya saat ini. Bu Rita bisa saja marah karena ada modifikasi dari apa yang telah mereka diskusikan, tapi Dipta rasa Pak Baim akan mengapresiasi ide ini.
"Anyways, menurutku kalau kamu bisa penuhi semua target sambil building a movement, aku rasa masa depan kamu di perusahaan bisa cerah banget." Alyssa mencoba menutup pemaparannya karena Dipta tidak memberikan reaksi apa-apa selain ucapan, "Menarik," tadi.
Perlahan Dipta menatap Alyssa dengan senyum lebar. "Aku nggak nyangka," ucapnya.
"Nggak nyangka apa? tanya Alyssa yang sudah berprasangka bahwa Dipta menganggapnya tak cukup cerdas.
"Nggak nyangka bisa dapat jasa konsultasi cuma dengan bayaran nasi goreng."
Selama tiga detik Alyssa melongo. Namun, akhirnya ia tertawa mendengar komentar Dipta. Sudah lama ia tidak merasa keseruan seperti malam ini. Sekilas ia tatap layar ponselnya. Malam makin larut, nasi gorengnya juga sudah habis. Namun, ia masih ingin menikmati malam ini lebih lama lagi.
"Kamu dijemput?" tanya Dipta, memecah perhatian Alyssa.
"Eh?"
"Mau aku anter?" tanya Dipta lagi.
"Nanti harus dibayar pakai konsultasi lagi?" Alyssa bertanya balik.
Dipta menyodorkan ponselnya kepada Alyssa seraya berkata, "Pakai nomor kamu juga bisa."
Alyssa melebarkan matanya sambil termangu. Sejenak, ia tak menyangka percakapan mereka akan bermuara pada pertukaran kontak. Namun kini di sinilah dia, memasukkan nomornya ke dalam daftar kontak Dipta dan menyimpan nomor Dipta ke dalam daftar kontak ponselnya.
"Nanti, kalau ada progress, aku kabarin, ya," ucap Dipta sambil mengetik sesuatu. Tak lama, ponsel Alyssa bergetar.
Dipta: Lewat sini.
Tak terasa senyum Alyssa melebar. Selalu berada di lingkungan ambisius dan serius membuat Alyssa merasa segar berada di sekitar pemuda itu. Maka ia pun menikmati waktu bersama Dipta lebih lama lagi dengan pulang bersama.
Angin malam menerpa tubuh Alyssa, tapi percakapannya dengan Dipta yang sering diselingi salah dengar dan tawa membuatnya tetap hangat. Keduanya begitu asyik berkendara dengan motor hingga tak terasa tiba di depan pagar kost Alyssa.
"Jadi, di sini kost-an kamu?" tanya Dipta sambil melihat rumah di hadapannya. Alyssa mengangguk.
"Udah malam, aku nggak bisa ajak kamu ke dalam," balas Alyssa tanpa basa-basi.
"Aku juga mau pulang. Ngantuk." Dipta menimpali.
"Perasaan tadi udah minum kopi, kok ngantuk?"
"Loh, kamu nggak tahu? Kopi itu emang bikin ngantuk."
"Ah, masa?"
"Iya. Menurut aku."
Alyssa terkekeh sebelum menepuk bahu Dipta, "Dasar. Hati-hati jalannya kalau gitu."
"Tenang, udah biasa," jawab Dipta.
Sinar lampu tiba-tiba menyilaukan mata mereka. Alyssa memperhatikan mobil yang berada di depannya. Itu adalah mobilnya. Laura ternyata baru pulang.
"Temen kamu mau masuk, tuh. Aku balik, ya," pamit Dipta yang langsung diiyakan oleh Alyssa. Setelah Dipta pergi, Alyssa membuka pagar agar Laura bisa memasukkan mobil. Ia juga menutup pagar ketika Laura menghampirinya.
"Tadi itu si tukang tarot, kan?" tanya Laura yang terlihat tak bisa menahan rasa penasarannya.
"Iya," jawab Alyssa.
"Akrab, tuh."
"Biasa aja."
"Bintangnya apa?"
Alyssa menarik napas panjang, lalu mengembuskannya sambil tersenyum geli. Lucu. Untuk beberapa waktu Alyssa tidak mengingat prinsipnya tentang zodiak dan kecocokan.
***
Ya ampun terharu banget masih bisa update, huhu .....
Semoga suka yaa. See you next week~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro