[Serpih] 9
Aku pernah kehilangan. Aku pernah seputus asa ingin terjun masuk dalam liang lahat. Memeluk tubuh yang terbujur kaku agar terus bersamanya. Rasa takut itu demikian hebat menabrak hingga hilang arahku hidup.
Dan aku tak ingin itu terjadi lagi kali ini. Aku tahu, kehilangan itu nyata sekali dekatnya. Entah kapan waktuku, waktu Papa, pun waktu Ibu akan tiba. Aku tau itu dengan jelas tapi tetap saja ... hati ini tak mungkin berpaling dari sedih juga patah.
Kusaksikan dengan nyata, Kakek Willy ditancap macam-macam selang juga alat bantu lainnya. Air mataku habis. Dayaku tersisa hanya untuk menopang tubuh agar tetap terus mengawasi Kakek di sana. Di ruangan yang entah kapan bisa kudekati dan menyentuh tubuhnya yang banyak keriput itu.
Ibu mengusap bahuku seolah mentransfer ragu yang sama. Agar kami sama-sama saling menguatkan. "Kakek pasti bisa melewati ini," katanya. Aku tersenyum hampa. Kusandarkan sebagian kepala pada bahunya. Merasakan usap lembut di puncak kepalaku yang terasa berat sekali.
Ingatanku diseret paksa pada malam di mana senyum Kakek tercipta tapi penuh sedih. Aku tau, itu adalah ulahku tapi aku tak sanggup menuruti maunya. Ingin Kakek sederhana. Melihatku menikah dan merasa ... Andrew adalah orang yang cocok. Jawaban segala doanya—katanya—dengan adanya permasalahan yang menggerogoti Mahreem perlahan. Namun hatiku tak menemukan korelasi yang jelas, di mana kaitannya sementara Andrew dan aku demikian berjarak.
"Ya sudah kalau Inggrid maunya seperti itu. Kakek enggak memaksa."
Ya Allah, demi apa pun yang kumiliki aku rela tukar ucapan sarat sendu itu asal bukan akta nikah. Kakek Willy adalah sebagian hidupku, sama besar artinya dengan Papa dan Ibu. Aku rela lakukan apa pun ... apa pun ya Allah, asal jangan yang satu itu.
Kurasa ada yang menggenggam tanganku demikian erat. Saat aku menoleh, Rendra di sampingku. Matanya terpusat pada satu titik yang sama, ruang ICU. Dalam genggam yang Rendra beri padaku, aku tahu, kami ini sedang saling menguatkan. Walau Rendra tak sedekat aku dengan Kakek, tetap saja, rasa khawatir kami sama besarnya.
Papa bilang, Kakek mengeluh sakit sejak pagi tadi. Bi Inah—kepala pelayan di rumah Kakek sudah membujuknya agar mau diantar ke rumah sakit tapi aku yakin, pasti Kakek menolak. Alasannya, "Cuma butuh tidur. Kamu kerja aja sana."
Terbayang Kakek mengusir Bi Inah dengan tangan keriputnya padahal ia sedang menahan sakit yang amat.
Hingga akhirnya Kakek menyerah dengan ketidak berdayaannya. Beruntung, baik Bi Inah dan Pak Mardi—kaki kanan Kakek—sigap. Dokter bilang, terlambat sedikit saja ... aku tak bisa membayangkan lebih jauh ucapan Papa saat di telepon tadi.
"Kakak sudah makan?" tanya Rendra setengah berbisik. Aku menoleh tapi hanya sekilas. Kembali kutumpu pandangan pada pintu setengah kaca bercat biru itu.
"Nanti."
"Temani aku makan, deh. Aku belum makan."
Aku mengalah. Toh aku yakin tujuannya bukan sekadar makan.
***
"Kakak jaga Kakek aja sama Ibu. Aku dan Papa handle kantor."
Suapan terakhir yang menyapa lidah dengan hambar ini, tergantung di udara. Kutatap lekat netra hitamnya penuh ragu. "Yakin?"
"Iya. Nanti aku tanya Anna dan Nana apa yang kubutuh."
Aku belum bisa merespon apa ini yang terbaik atau bagaimana. Semua hal mengenai sisa pekerjaan hari ini, aku tinggal. Entah bagaimana keadaan kantor tadi. Tapi selama aku berada di rumah sakit, Anna hanya melaporkan hal-hal yang menjadi rutinitasnya. Yaya sendiri juga sibuk koordinasi ini dan itu dengan Anna. Aku hanya tinggal menyetujui bagian mana yang harus didahulukan, mana yang bisa aku tunda sementara waktu.
"Aku yakin, Kakek pasti mau ada Kakak di sampingnya."
Kuhela napas pelan. Tawarannya sangat menggiurkan. "Kamu serius?"
"Aku belum pernah seserius ini," katanya mantap. Matanya memang tak ada keraguan di dalamnya. Rendra yang kukenal, memang seperti itu. Selalu yakin akan pilihannya. Satu helaan napas mengiring anggukanku walau masih ada ragu.
"Kakak tenang aja. Jagain Kakek dan jangan lupa juga, Kakak mesti jaga sehat."
Aku terkekeh pada akhirnya. "Thanks, Ndra," kataku tulus.
Waktu bergulir lambat kurasa. Jarum milik Michael Kors kuperhatikan lama sekali bergerak. Kami semua dalam keadaan gamang. Banyak sekali doa kupanjat untuk Kakek, agar sejenak saja aku mampu mengucap maaf. Aku menggigil jika teringat, siapa tau saja dugaanku benar. Penyebab Kakek drop karena diriku ini. Ya Allah... ampuni hamba.
Hingga seorang dokter keluar dan sigap, Papa bergerak mendekat. Pun aku.
"Alhamdulillah, Pak Willy berhasil melewati masa kritisnya."
Tak ada kabar yang lebih melegakan daripada ucapan dokter barusan. Sungguh. Hamdalah kuucap berkali-kali dalam hati. Kurasa rona wajah kami kembali terisi aliran darah. Setitik bahagia merayap hangat masuk sanubariku. Kakek akan baik-baik saja.
"Kami sudah bisa masuk, Dok?" tanyaku tak sabar. Dokter hanya tersenyum dengan pertanyaanku yang terkesan sekali buru-buru.
"Ditunggu dulu, ya, Bu. Kondisi Pak Willy harus stabil dulu."
Ah, aku lupa. Saking inginnya aku mengecupi punggung tangannya. Rasa bersalah kian menumpuk karena pada akhirnya aku menyadari, betapa waktuku yang banyak tersita demi pekerjaan. Kadang lupa, waktuku seharusnya ada yang bisa disisip sedikit menumpuk kenangan bersama Kakek. Juga Papa dan Ibu.
Tak lama, Kakek dipindahkan dalam ruang perawatan. Wajahnya seperti tidur dalam senyum atau ... senyum sambil tertidur? Lelap sekali. Damai. Tapi menimbulkan kengerian yang nyata di hatiku.
Aku tak tahu kapan waktunya tiba, tapi yakin lah, aku tetap tak pernah menyiapkan betapa patah hati karena ditinggalkan orang yang kusayangi, lama sembuh.
Membayangkan hal itu, aku mengurungkan niat pulang sejenak mengambil pakaian. Aku mau di sini tanpa ada jeda waktu kosong, menemani Kakek hingga tersadar nanti. Jadi kubiarkan Ibu mengambil alih hal-hal yang sekiranya kami butuhkan selama menjaga Kakek. Termasuk urusan pakaian. Toh, bajuku banyak di rumah.
Pekerjaanku besok dihandle Rendra dan Papa. Kurasa aku masih bisa mengerjakan bagianku—sebagian besar—di sini. Besok akan kupinta Anna membawakan laptop serta beberapa berkas yang kubutuhkan.
"Inggrid belum mau tidur?" tanya Ibu memberi satu selimut untukku. Saat ini, aku sudah duduk di dekat Kakek. Menunggunya membuka mata. Tangan keriput itu aku genggam pelan. Mengusapnya lembut juga sesekali menciumnya.
"Sebentar lagi, Bu."
Ibu mengusap sayang puncak kepalaku. "Jangan terlalu larut."
Kutarik kecil sudut pada bibir, "Ibu tidur duluan, ya. Nanti Inggrid susul sebentar lagi."
"Kita berdoa sama-sama, semoga besok Kakek sudah sadar."
Beribu kata 'aamiin' kuucap dalam hati. Meraih tangan Ibu agar kami saling menggenggam. Menguatkan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro