Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[Serpih] 20

Kami benar-benar makan malam dengan obrolan santai. Walau tak bisa kuanggap santai lantaran karena baru kali ini, aku benar-benar duduk berdua; satu meja dengan aneka santap malam, tanpa ada satu berkas untuk dibahas apalagi dijadikan argumen. Aku berusaha dengan amat untuk mengimbanginya yang memang hobi bicara.

Hingga kepulangan kami ke rumah besarnya, tak ada sedikit pun bersinggungan dengan laporan yang tadi kubaca penuh teliti. Kuikuti mau Andrew padahal banyak hal yang ingin kulayangkan seputar laporan tadi. Terutama satu nama yang sejak digaung, sudah memenuhiku dengan aneka tanya.

Darren Sonu.

"Kamu belum tidur?" Aku cukup terkejut mendapati Andrew tak ada di sisi ranjangnya. Entah kenapa, aku mendadak terjaga. Mungkin karena belum terbiasa tidur di ranjang serta ruang yang berbeda. Dan saat aku mencari, sosoknya duduk di sofa sembari menekuri laptop.

"Ah, saya ganggu kamu, ya?" tanyanya dengan tatapan bersalah.

Kusibak selimut yang tadi menutup sebagian tubuhku, duduk di tepi ranjang dan mulai berpikir apa aku harus duduk di depannya sekadar menemani?

"Masih dengan laporan tadi?" Aku berjalan mendekat pada akhirnya. Memilih duduk dengan jarak.

"Begitu lah," katanya. Kembali netra cokelat terang itu menatap layar datar di depannya. Aku tak ingin menganggunya kali ini. Kulirik jarum jam di dinding menunjuk angka satu. Kami baru tertidur beberapa jam dan kini Andrew sudah kembali memaksakan diri?

"Saya kebetulan haus. Mau saya buatkan sesuatu?"

Matanya terangkat dan mengerjap pelan sebelum membalas tatapanku. "Enggak usah. Membangunkan kamu saja, saya sudah merasa bersalah."

Mata kami bertemu walau sepersekian detik.

"Setelah ini, saya kembali tidur, kok. Inggrid tidur duluan saja."

Aku hanya menjawab dengan anggukan dan membiarkannya kembali larut.

"Buat kamu," kataku sembari mengangsur segelas susu hangat. Sengaja aku keluar kamar saat dirinya sibuk tenggelam menatap layar kerjanya.

Aku tahu, dirinya kaget. Pun aku atas tindakan ini. Entah dorongan dari mana aku dengan suka rela membuatkannya susu. Padahal jelas tadi ia menolak. Juga beberapa camilan manis yang tersedia di rak dapur. Tak mungkin kubuatkan kopi, kan? Bisa tidur jam berapa dirinya nanti?

"Istri saya manis sekali malam ini." Andrew mengerling jahil yang kutanggapi dengan cibiran. Aku mengambil duduk di depannya. Menyamankan diri sembari menikmati teh melati yang entah sejak kapan aku gandrungi.

"Duduk sini, Inggrid." Kali ini, Andrew memintaku tanpa ada tatapan usil, nada jahil, juga seringai menyebalkan yang ia miliki itu. Benar-benar seperti seseorang yang butuh beberapa pertimbangan. Kuputuskan untuk mendekat sembari menghitung kemungkinan aku meloloskan diri kalau sewaktu-waktu, Andrew memerangkapku.

Biarpun tak masalah, tapi tetap saja aku masih belum ingin menurunkan batas yang kubuat.

"Menurut kamu, perluasan ini harus dengan klien yang sama atau buka tender baru?" Andrew menggeser dengan perlahan layar kerjanya sesaat setelah aku duduk tak jauh dari sisinya.

"Plus minus?"

"Klien yang sama, harga tinggi tapi tetap belum ada jaminan akan adanya pungli lainnya. Tender baru, selain makan waktu saya enggak tau bakalan ada drama lanjutan atau enggak."

"Apa keterlibatan Darren di balik ini semua?"

Andrew sedikit terperangah dengan apa yang barusan meluncur dari bibirku. Berdeham sekilas sembari mengusap ujung dagunya seperti kebiasaannya yang sudah-sudah, ia menghela napas pelan sebelum berkata, "Lebih dari ini sebenarnya."

Aku mengangguk singkat mencoba memahami. Mataku sibuk turun naik menatap serta sesekali menggeser layar dengan menghitung secara kalkulasi kasar. "Pendapat saya, buka tender baru."

Andrew terlihat mengangguk pelan. "Saya sudah menduga kamu akan menjawab seperti ini."

Kusesap pelan teh melati pun dirinya dengan gelas susunya Membiarkan hening melengkapi kami. Hematku, tender baru artinya kerja sama dengan orang baru. Risiko jelas ada. Dalam bisnis, keuntungan dengan risiko berbanding lurus. Kalau tak mau terjun, jangan berbisnis atau melebarkan sayap. Itu prinsipku.

"Dengan risiko?" tanyanya yang seperti meminta pertimbangan lebih.

Aku mengangguk yakin. "Dengan risiko."

"By the way, makasih banget susunya." Andrew tersenyum yang kurasa tulus mengarah padaku. Membuatku agak gugup sebenarnya tapi kututup dengan anggukan kecil.

"Inggrid tidur lebih dulu saja. Saya selesaikan ini dulu."

Sekali lagi aku mengangguk sebagai respon. Menghabiskan sisa teh yang ada lalu beranjak ke ranjang besar tempat beberapa hari ke depan aku terlelap sebelum resmi pindah ke rumah baru. Mengingat hal itu, mendadak aku dilanda resah yang makin menguasai hati.

Walau aku yakin nantinya akan ada orang-orang yang bekerja di bawah kami, tetap saja hal itu berbeda dengan situasi saat ini. Akan ada di mana waktu tercipta hanya ada kami berdua. Dengan aku yang ... aku mesti berkata apa yang tepat? Belum bisa teralih?

Memikirkan hal itu tanpa sadar ternyata menghabiskan banyak waktu hingga aku merasakan gerak pertanda Andrew menaiki ranjang. Pun selimut yang sedikit tersingkap. Aku menahan napas sejenak sembari memastikan tanpa melihat kalau Andrew sudah mengambil posisi tidurnya.

Yang tak pernah aku persiapkan, saat tangannya merengkuhku. Embus napasnya langsung menyapa ceruk leherku tanpa aba-aba. Tubuhku kaku mendadak. Antara mimpi atau kenyataan tapi saat netraku turun ke arah perut, tangan kekar itu nyata melingkar.

"Malam ini saja saya peluk Inggrid, ya. Kepala saya pusing banget. Dan terima kasih sudah ditemani dan dibuatkan susu. Saya suka."

****

Karena tindakannya semalam, tidurku mana ada lelapnya. Sebentar bangun memeriksa apa tangannya melingkariku. Sebentar kemudian, terpejam saking kantuknya. Tak ayal ini membuat kepalaku mendadak pening. Suara alarm yang memekak membuat pusingku makin jadi. Tapi aku tak mungkin untuk tak bangun.

Pelan, aku menggeser tubuh agar terlepas dari pelukannya. Pertama kali yang kulihat adalah jam di dinding. Menunjuk pada pukul setengah enam pagi. Aku mendesah pelan. Ini sama saja aku kesiangan.

"Ndrew," panggilku sembari sedikit mengguncang bahunya.

Tak ada respon.

"Ndrew." Sekali lagi aku melakukannya. Tapi tanpa persiapan apa-apa yang membuatku memekik karena tiba-tiba ia menarikku. Hingga sebagian tubuhku menyapa bagian dadanya dengan sempurna. "ANDREW!"

"Jangan teriak-teriak. Nanti Bi Sum dengar."

Wajahku sudah memanas karena semua tingkahnya. Susah payah juga bagiku untuk sekadar bangkit karena Andrew dengan begitu menyebalkannya, menahanku. Tapi kupikir-pikir, kamar Andrew ada di lantai dua. Lalu ... bagaimana bisa Bi Sum mendengar teriakanku? Andrew luar biasa sekali mencari alasan!

"Selama kita menikah, belum pernah benar-benar honeymoon, kan, ya?"

Apa dia bilang? Mataku jelas menyorotkan keterkejutan.

"Pacaran sama saya hari ini, yuk. Nonton. Makan. Ngobrol di kafe. Seperti itu, lah. Mau? Oh ... harus mau. Nolak suami itu perkaranya dosa."

"Saya banyak urusan," geramku lengkap dengan pelototan.

"Sehari ini saja."

Mata kami memang saling mengunci. Jikalau aku menghendaki gertakan ini membuatnya melepaskanku, aku yakin seribu persen, Andrew justeru melakukan hal yang sebaliknya. Ia sedang merayuku habis-habisnya.

"Saya serius, lho."

"Nope."

Segera cekalan tanganku terlepas begitu saja. Aku terkesiap dan beruntung tak kembali jatuh menimpa dadanya. Sebagai hadiah aku mencibir. Menyebalkan!

Hingga kami masuk dalam kursi penumpang, Andrew diam saja. Bahkan saat sarapan pun, ia hanya memuji sajian dariku. Selebihnya tak ada yang ia utarakan. Ini kali kedua aku menyiapkan sarapan untuknya. Kalau di hari sebelumnya, selain pujian ia banyak bertanya ini dan itu di meja makan—berakibat ibu mertuaku yang anggun itu, memberi banyak tatapan sinis. Tapi hari ini tidak.

Andrew mengunci bibirnya. Apa dia merajuk? Aku menghadapi pria berusia berapa, sih? Ditolak ajakannya saja malah membuat hatiku mendadak jadi kesal begini.

"Kamu marah?" tanyaku setelah duduk dengan nyaman di kursi penumpang. Kulirik Andrew sudah memangku wajahnya dengan tangan pada sandaran jok.

"Buat apa marah."

"Oke. Hanya memastikan." Aku memilih sibuk dengan ponselku. Mengecek email masuk yang kemarin belum sempat aku baca juga perhatikan isinya.

"Pak, arahkan ke Ancol."

Aku menoleh dengan segera, mengerutkan kening sembari memberi tatapan tanya. Sementara pria itu? Malah terkekeh dan duduk dengan posisi lebih santai ketimbang tadi.

"Kenapa?"

"Saya mau bekerja, Andrew."

Dia cuma mengangguk.

"Pak, ke SCBD." Gantian aku yang bersuara meminta agar arah mobil tidak mengikuti ingin Andrew yang seenaknya.

"Inggrid, please." Kini Andrew bergerak mendekat ke arahku. Aku sudah bersikap waspada namun tak ingin beranjak. Kalau aku bergeser barang seinchi, aku yakin dirinya akan semakin menekanku.

"Saya punya tanggung jawab, Andrew, kalau kamu lupa."

"Iya, saya tau. Saya juga punya. Tapi setelah kita menikah, kita belum pernah benar-benar berduaan, lho."

Aku diam. Pandanganku lurus ke depan memperhatikan jalan walau sudut mataku mengawasi tingkah lakunya.

"Cuma tiga hari, kok."

Aku masih enggan menanggapi.

"Kan santai, kerja di depan laptop dengan banyak tanggung jawab sembari menikmati debur ombak. Oh ... jangan lupa, es kelapa atau lobster panggang? Inggrid suka lobster?"

"Memang kamu enggak kerja?" tukasku cepat. Andrew hanya menatapku sekilas dan bahunya kembali luruh.

"Kerja."

"Terus? Kenapa seenaknya bilang mau jalan ke sana kemari?"

Kulihat ia memejamkan mata. "I need refreshing, Inggrid. Saya pikir, bersama kamu bisa meredakan stress."

Aku tak acuh dengan perkataannya.

"Ya sudah kalau Inggrid menolak. Enggak apa." Andrew sedikit menegakkan tubuhnya. "Pak, ke SCBD, ya. Antar Ibu."

Sisanya, kami kembali membisu.

"Kamu bilang pacarannya nonton, nongkrong di kafe, atau makan bersama." Aku bicara tanpa perlu menoleh ke arahnya. Kuyakin dirinya mendengar suaraku karena tubuhnya bergerak merespon.

"Betul. Saya bilang begitu tadi."

"Biarpun kita bisa bersenang-senang, tanggung jawab itu tetap harus berjalan, Drew. Banyak yang bergantung sama kamu, pun saya."

Sudut mataku menangkap jelas anggukan kepalanya. "Saya paham."

See? Aku seperti sedang mengasuh adik kecil. Rendra masih bisa dikendalikan asal ada upah. Kalau ingat mengenai upah, yakin lah untuk informasi yang sedang ia gali ini, dirinya akan banyak menguras kantongku. Sementara menghadapi Andrew? Yah ... baiklah. Aku mengalah.

"Kalau pulang kerja tawarannya masih berlaku?" Aku menoleh cepat. Dirinya sama sekali tak mempersiapkan arah ucapanku sepertinya. Buktinya ia mengerjap kebingungan.

"Oh, oke! Pulang kerja. On time, ya, saya jemput."

Aku mengangguk pelan sebagai jawaban. Andrew mungkin tipe pria yang tak perlu menutupi apa yang ia rasa. Jikalau tadi sorot matanya ada sendu, jangan tanya untuk kali ini. Bahkan dengan tak tau malunya ia berkata cukup keras, "YES! Bisa kencan juga sama istri."

Itu belum seberapa kurasa. Saat tanpa sengaja mataku menatap kaca spion tengah, Pak Soleh, supir Andrew, sudah terkekeh karena tingkah majikannya itu.

Subhanallah. Ada tambahan memalukan lagi yang harus kuhadapi?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro