[Serpih] 14
Sudah berlalu tiga hari Kakek dimakamkan. Rasa kehilangan yang menderaku masih ada. Walau aku sering sibuk dengan pekerjaan kantor, sesekali aku sering menghubunginya lewat sambungan video call. Sekarang? Rasanya pasti agak aneh nantinya.
Aku berjanji tak menangis selama pemakamana dan yah ... aku berhasil. Mungkin karena aku menyadari, Kakek memang sudah menuntaskan—dan sungguh aku bersyukur masih diberi satu kesempatan walau ada yang mesti kupertaruhkan untuk Kakek. Aku tak menyesalinya. Semoga—apa inginnya.
Melihatku menikah.
Begitu tenang dan damai saat Kakek mengembuskan napas terakhirnya. Kami sekeluarga ada di sana, mengiringnya menuju keabadian. Menyusul Nenek yang pasti tersenyum bahagia menyambutnya. Aku yakin itu.
"Capek?"
Aku terkesiap mendapati Andrew memberiku botol minum. Suasana rumah masih ramai dengan pengajian yang diselenggarakan untuk Kakek. Walau sudah selesai, tamu masih banyak yang datang. Kebanyakan kolega serta rekan bisnis keluarga kami yang berada di luar kota.
"Lumayan." Aku tersenyum sembari menerima pemberiannya. Bahkan tutup kemasannya saja sudah ia bukakan agar aku tak perlu repot memutarkan. "Makasih," imbuhku.
Andrew duduk tepat di depanku tampak gelisah. Padahal saat tadi menyerahkan botol minum, ia terlihat santai. Ada apa? Ke mana kepercayaan diri nan tengil miliknya pergi?
"Ehm ... hari ini ... kita harus tidur di sini lagi atau pulang?"
Mendadak aku teringat, jemariku yang sudah tak lagi kosong. Ada cincin yang mengisyaratkan kalau aku sudah berubah status. Pertanyaan Andrew ini mengandung banyak makna. Rasanya akan aneh kalau kami terlalu lama—walau aku yakin seratus persen Ibu dan Papa tak pernah keberatan ada tambahan keluarga—menginap di sini.
Kami tidak satu kamar, ngomong-ngomong. Aku masih belum mau mengizinkan dan entah kapan izin itu akan kuberikan untuk Andrew. Ada satu waktu di mana dalam kamarku lah, sumber kekuatanku ada. Kenanganku bersama seorang Nelson Abra Nugraha. Andrew kuminta untuk tidur di salah satu kamar tamu yang ada.
"Kita pulang," putusku.
"Oke."
Aku tak tahu apa jawabanku sudah tepat atau belum. Sejak menjadi istri Andrew, aku memang belum pernah dalam satu frame yang sama. Bahkan aku masih merasa ini hanya mimpi. Nanti saat bangun di pagi hari, aku kembali menjalani aktifitas menjadi Inggrid yang bebas.
Suara rengek bayi menginterupsi kami. Aku sontak berdiri dan menyongsong Rendra yang menggendong Zain. Bocah itu menangis hingga matanya memerah.
"Dari tadi enggak mau diam. Pegel banget ngegendong Zain," keluh Rendra yang segera aku layangkan jewer kecil di telinganya.
"Risiko punya anak," kataku tanpa ampun.
Rendra meringis. "Iya, tau. Tapi ini bener, deh. Zain rewel banget. Enggak berhenti nangis dari tadi."
Saat Zain berpindah ke dekapku, tangisnya mulai mereda. Mata bening dengan bulu mata lentik itu menatapku. Kuusap pipi gembilnya yang basah air mata. Mengecupnya gemas. "Sama Bubu, ya. Zain rewel karena banyak orang, Ayah." Rendra memilih dipanggil Ayah ketimbang Papa bagi Zain, jadi aku mengikutinya. Agar Zain terbiasa dengan panggilannya itu.
"Di sini sama Bubu tenang, ya," kataku sambil mencium kepalanya yang ditumbuhi rambut ikal tebal.
Ajaib. Tangisnya benar-benar berhenti. Malah memelukku dengan erat mencari kenyamanan. Melihat hal itu, Rendra menghela napas lega. "Tau gitu aku kasih Kak Inggrid aja dari tadi."
Aku tertawa. "Pulang sama Bubu, yuk. Ayah enggak mau gendong Zain lagi. Kalau Bubu mau-mau aja."
Rendra mencebik. "Kakak mau pulang?"
Aku mengangguk tanpa menoleh pada Rendra. Asyik memainkan tangan gemuk milik Zain yang membuat senyumnya mulai hadir. "Aku bawa, ya, Ndra."
"Jangan! Wah ... bisa habis aku sama Nana."
"Segitunya," cibirku. "Lagian dia anteng sama aku, Ndra. Biar aku punya teman."
"Lupa sama Mas Andrew?"
Otomatis aku mendongak dan menatap mata pria yang terkekeh di depanku. Aku memang lupa kalau sudah bersama Zain. Papa dan Ibu saja suka aku abaikan apalagi ini.
"Biar aja, Ndra. Lagi asyik gitu sama Zain," katanya tanpa menghilangkan kekeh di bibir.
"Bikin sendiri sana."
Kalau saja aku bisa menimpuk Rendra dengan sandal yang kukenakan, sudah pasti akan kulakukan. Bisa-bisanya Rendra meledekku seperti itu! Tapi karena Zain kembali menyurukkan diri padaku, aku mencibir saja pada Rendra.
"Zain sekutu Bubu, kan, ya? Bikin ayah kamu tidur di sofa, Nak. Mama kamu monopoli. Atau kalau perlu, bikin Ayah tidur di luar kamar. Gimana?"
"Eh ... jangan racuni Zain macam-macam, Bubu!"
Kami tertawa. Kulihat Andrew hanya tersenyum sembari menggeleng.
****
Perjalanan pulang kali ini canggung yang mendera tak pernah main-main.
Aku tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana dan apa. Sepertinya Andrew juga begitu. Buktinya, sejak masuk ke dalam sedan mewahnya ia memilih fokus pada setir. Jadi aku pun memilih menikmati jalan Jakarta yang sudah lenggang sembari ditemani musik yang Andrew putar.
"Sementara ini saya bawa kamu pulang ke rumah orang tua saya dulu, ya."
Aku refleks menoleh dan memberi tatapan sangsi. "Saya pikir ke apartement."
Dia tertawa. "Saya masih tinggal bersama Papa dan Mami."
Aku mengedikkan bahu samar. Tapi cukup tergelitik juga diri ini. Kupikir seorang Andrew lebih memilih tinggal di apartement karena biasanya pria lajang dengan segudang aktifitas, lebih menyukai kehidupan simple. Mungkin saja pengecualian buat Andrew.
Mau bagaimana lagi. Katanya langkah suami itu adalah jalan ridho untuk istri. Kalau aku diajak pulangnya ke rumah orang tuanya, aku bisa membantah apa.
"Seminggu aja, kok. Inggrid bawa baju cukup?"
"Enggak kayaknya. Nanti gampang lah saya ambil di apartement."
"Seharusnya saya bawa Inggrid ke rumah pribadi saya tapi di sana belum layak huni. Masih kosong."
"Iya, saya paham," tukasku cepat.
"Mungkin bagi Inggrid ini terkesan lucu, ya?"
Keningku berkerut.
"Yah ... enggak sangka kalau saya masih tinggal di rumah orang tua."
"Oh, itu." Aku menyelipkan helai rambut yang menyentuh pipi. "Yah ... begitu lah."
"Papa selalu sibuk. Dan ... yah, saya enggak bisa meninggalkan begitu saja rumah utama."
Apa ini berkaitan dengan ibunya? Saat akan mendaratkan tanya, suara klakson Andrew mengurungkan niatku pun ucapannya yang membuat aku berpikir sejenak.
"Saya harap, Inggrid bisa kerasan."
Arah pandangku saat ini diisi dengan pagar tinggi berwarna hitam yang kokoh. Kuyakin di baliknya berdiri rumah yang Andrew tak kalah megah. Tak berbeda jauh dari rumah Papa yang besar juga cukup mentereng tapi aku selalu bisa menyebut rumah mereka sebagai tempat pulang.
Hangat dan sarat keakraban satu sama lain. Aku berharap, hal yang sama kurasa di sini walau hanya seminggu. Seperti kata-kata Andrew barusan.
"Ayo." Kini pria itu sudah berdiri di dekatku. Membukakan pintu mobil dan tangan yang terulur padaku. Bolak balik aku menatapnya, menimbang senejak sebelum akhirnya menyerahkan tanganku agar ia genggam.
Saat kami bersentuhan, aku merasa genggaman tangannya diperketat. Seolah memberitahu kalau aku akan baik-baik saja. Iring langkahku tak di sampingnya. Terjeda satu atau dua langkah di belakangnya. Menikmati satu pemandangan dengan hati penuh ragu pada punggungnya yang tegap, apa pilihanku tepat?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro