Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[Serpih] 12

Genap seminggu aku menjadi istri Andrew. Tak ada yang berubah karena aku pun masih fokus pada pemulihan Kakek. Aku bahkan belum ada keinginan untuk pulang ke rumah Andrew—dia bilang, sudah memiliki rumah sendiri. Kukatakan alasanku kenapa, ia mengerti dan memaklumi. Tak ada acara bulan madu. Tak ada acara tidur di kamar pengantin lengkap dengan kelopak bunga. Pun tak ada acara membuka banyak bingkisan kado dari tamu undangan.

Setiap wanita kurasa menginginkan itu di hari bahagia mereka. Pun aku. Dulu.

Sekarang? Keinginan itu sama sekali tak ada. Cukup lah untukku sekarang, bicara banyak hal dengan Kakek dan Papa yang seakan menemukan energi baru. Dan rasanya akan kurang ajar kalau senyumku tak tampak di depan mereka. Akibat yang kuterima, katanya pengantin baru aura bahagianya kentara sekali. Indikator bahagia yang mereka maksud ini skalanya apa? Bertemu Andrew saja paling lama hanya satu jam, itu pun setelah dirinya pulang kerja.

Mau mendengkus tak suka, aku masih menghormati mereka.

Cengkerama akrab kami terinterupsi oleh hadirnya Om Gu dan Andrew. Keduanya masih rapi mengenakan setelan kantor. Kurasa memang mereka menyempatkan diri ke mari tapi ... ada apa?

"Gimana kabarnya, Pak?" tanya Om Gu dengan raut wajah yang cukup santai kali ini. Saat menjenguk Kakek pertama kali, aku bisa melihat kekhawatiran melandanya. Aku bersyukur banyak yang menyayangi Kakek.

"Sudah lebih baik, Gu. Menantumu merawat aku enggak tanggung-tanggung."

Aku mencebik sementara mereka tertawa.

"Tujuan saya ke sini, mau bicarakan masalah resepsi."

Tunggu ... kenapa hanya aku yang mengerutkan kening sementara yang lain terlihat santai?

"Enggak etis rasanya kalau menikahi putri Wijaya tanpa ada resepsi. Sebulan lagi menurut Pak Willy gimana?"

Kakek malah tertawa. "Silakan-silakan. Saya setuju saja. Kurang apa, kalian bilang. Pasti Harris siap bantu. Ya, kan, Ris?"

Papa terkekeh menanggapi dengan anggukan semangat.

"Nah, Andrew bisa bicara dengan Inggrid masalah resepsi kalian. Terserah kalian mau konsep seperti apa. Dibicarakan berdua lebih enak, kan?" Papa menepuk bahuku pelan. Seolah mempersilakan aku dan Andrew untuk menyingkir atau sepertinya kami sedang ingin disingkirkan?

Mataku mengerjap pelan. Jadi di sini ... hanya aku yang belum tau mau diadakan resepsi?

"Ayo," ajak Andrew sembari mengulurkan tangan. Rasanya kalau aku tolak, pasti membuat mereka punya pikiran aneh.

"Ndrew, kalau ngajak istri tuh yang romantis jangan kayak orang ngajak teman main."

Kata-kata Om Gu disambut tawa oleh semuanya. Membuat Andrew tersenyum canggung tapi masih setia menunggu aku menyambutnya. Ketimbang kami menjadi bahan ledekan kembali, segera kuberi tangan ini agar ia genggam. Gegas melangkah keluar ruang rawat Kakek.

"Sudah makan?" Hal pertama yang Andrew tanyakan padaku adalah perkara makan. Selalu. Setiap kali kunjungan setelah kerjanya ke rumah sakit pun sama.

"Belum. Kamu?"

Dia terkekeh. "Sama. Mau makan apa? Steak? Sop? Sate?"

"Enggak nawarin saya nasi padang?"

Tawanya berderai. "Serius?"

Aku hanya mengangguk.

"Saya pikir, seorang Inggrid ini sukanya makan di resto yang high class."

Aku mengulum senyum kecil. "Anda salah menilai berarti."

"Oke. Saya catat dalam memori, istri saya ini suka makan nasi padang."

Tadinya ingin kulayangkan protes tapi mana sanggup. Yang ia katakan sebuah kenyataan. Mau dipungkiri sejauh apa, tak mungkin bisa aku sangkal. Kurasa dayaku untuk berperang dengannya, terkikis karena Kakek. Aku butuh istirahat lebih.

"Minggu ini ada acara? Semoga, sih, enggak. Saya mau ajak kamu melihat rumah yang mau kita ditempati, ya. Masih kosong, sih, belum diisi apa-apa. Niat saya memang beli furniture-nya bareng sama istri. Saya jemput jam sembilan pagi, bisa?"

Selain menyebalkan, Andrew ini kalau bicara tak dikaji ulang, ya?

"Saya cek jadwal dulu. Enggak bisa langsung memutuskan," tukasku.

Masih kudengar sisa tawanya setelah mengatakan, "Saya lupa dengan siapa saya berhubungan."

***

"Kamu mau resepsi seperti apa?"

Kilas memoriku justeru membawa pada kejadian saat pertanyaan yang sama dihadapkan padaku. Binar wajahnya cerah sekali sementara aku menikmatinya dengan bertopang dagu. Semangat sekali kala itu bertanya ini dan itu mengenai persiapan pernikahan kami. Hal yang berseberangan dengannya masalah tema.

Aku ingin red gold yang mentereng sementara seorang Nelson Abra menyukai putih. Katanya suci dan menyiratkan sakral yang nyata. Aku cemberut saat mengetahui konsep itu disetujui keluarga besar kami.

"Ya sudah, kalau Inggrid maunya red gold. Abang ngalah."

Senyumku terkembang lebar. Priaku paling gampang luluh dengan wajahku yang pura-pura merana.

Dan obrolan kami saat itu, benar-benar aku yang menguasai. Neil hanya sesekali memberi masukan atas apa yang kupilih. Sungguh ... itu sangat menyenangkan dan rasanya ingin segera terwujud. Di mana aku dengan dress cantik berwarna merah dengan gelung rambut tiara gold. Entah kenapa, setiap kali warna merah disanding dengan kulitku, kepercayaan diri ini naik ribuan persen.

Neil bilang, merah dan aku adalah seksi yang nyata. Kalau sudah membahas masalah seksi, mukaku merah padam. Bisa-bisanya pria itu menggodaku.

"Inggrid?"

Aku ditarik paksa kembali berada di mana sekarang di hadapanku Andrew duduk menatapku bingung. Aku mengerjap pelan. Mengusir bayang masa lalu yang ternyata masih nyata sering terproyeksi.

Sejak hari di mana statusku berubah, panggilan 'Ibu' dan 'Bapak' tanggal begitu saja. Biarpun canggung selalu menyapa bibir serta telingaku, aku mencoba membiasakan diri. Namun tak lebih dari itu. Kami masih setia menggunakan bahasa formal.

"Kamu pasti capek banget, ya, jagain Kakek Willy." Nada bicara Andrew berubah sendu.

Bibirku mengatup erat. Jelas bukan karena itu aku melamun.

"Kalau saya minta sesuatu boleh?"

"Apa?" tanyaku pelan sembari menormalkan diri dari bayang kenangan manis masa lalu.

"Saya mau kamu istirahat malam ini. Mau buka room di hotel dekat sini atau kembali ke apartement, terserah. Yang penting hari ini kamu full istirahat."

Aku mengerjap pelan.

"Saya enggak mau kamu sakit. Biar bagaimanapun, kamu istri saya. Ada khawatir yang saya punya untuk kamu."



*** 

Pengin punya suami macam Andrew. Huuuuu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro