[serpih] 1
Suara ketuk heels yang beradu di lantai sudah seharusnya sebagai pertanda, kalau kedatanganku adalah intimidasi. Terlihat dari beberapa sorot mata yang langsung tersenyum canggung saat bersemuka denganku. Mengucap penuh buru-buru sapaan selamat pagi, agar mungkin aku mau membalas walau sekilas. Namun hanya anggukan singkat yang kuberi demi nama sopan santun.
"Morning, Bu," sapa Anna, asisten juniorku yang cukup cakap menggantikan Yaya. Aku tak meragukan sejak awal, hanya Yaya yang kurasa agak terganggu dengan keberadaannya pertama kali. Aku sadar hal itu namun, pilihanku tak salah. Anna bisa mengimbangi kekuranganku; terlalu ingin sempurna.
Itu bukan kelebihan tapi kekurangan yang tak bisa terhindari ada dalam diriku.
"Morning, An." Aku meletakkan satu paper bag berisi roti manis untuknya. Hanya orang-orang dalam circle-ku, yang mendapat perhatian penuh dari mata ini mengenai kebiasaan. Seperti Anna. Dia tak luput dari pengamatanku sejak awal. Termasuk kesukaannya terhadap roti manis.
Kulirik meja Yaya, sudah ada tas tentengnya. Artinya adik iparku sudah datang. Kurasa pagi ini jadwal pumping-nya.
"Wah ... Anna dapat sarapan lagi." Wajahnya langsung semringah. Membuatku menarik sudut bibir tipis. "Makasih, Bu," tambahnya lagi.
Aku mengangguk saja dan kembali melanjutkan langkah masuk dalam ruang kerjaku. Belum genap kaki ini masuk, suara Anna sudah menghentikanku.
"Bu, Anna sudah siapkan teh melati di meja. Biar Ibu rileks. Hari ini agenda kita banyak banget."
Keningku sedikit berkerut. Sudah sering kularang gadis ini membuatkanku teh, tapi nyatanya hal itu tetap ia lakukan. Melihat senyum di bibirnya masih setia, aku menggeleng saja. "Terima kasih, An."
Kuakui, tehnya lebih enak daripada buatan Rendra. Oh ... juga Budi.
Kuresapi dalam-dalam aroma mawar yang selalu memenuhi ruang kerjaku. Selama Yaya hamil, aku singkirkan demi agar dirinya bisa menyesuaikan diri. Aku memahami, berat rasanya seorang ibu hamil yang sensitif dengan wewangian.
Berhubung di meja sudah ada cangkir teh yang tadi Anna bilang, kusingkirkan sejenak Americano bawaanku tadi. Kusesap perlahan aroma serta sedikit manis yang pas di ujung lidah. Benar yang Anna bilang, aku harus rileks hingga sore nanti. Agendaku sepagian ini padat dan menguras jiwa, ketika berhadapan dengan petinggi Lazade.
Ck!
Kapan orang itu berkelakuan waras, sih?
Mengingatnya membuat manis teh serta aroma gurih roti keju sebagai sarapanku, jadi hambar. Sudah tak terhitung banyaknya waktuku terbuang percuma begitu saja karena pria menyebalkan ini. Padahal ia hanya tinggal beri approval terakhir terkait komisi tarif yang kutawarkan. Dengan kalkulasi yang sangat jauh dari E-commerce lain yang pernah kuajak kerja sama.
Hanya dengan pihak Lazade aku mau menurunkan banyak margin. Karena aku sadar, perusahaan itu berkembang demikian pesat dalam kurun waktu yang sangat singkat. Artinya selain berani spekulasi dalam promosi, pria ini tahu, bagaimana mengolah paradigma masyarakat milenial kebanyakan. Kalau saja aku tak ingat besarnya nilai omset, sudah pasti kutinggal sejak awal dia merecokiku.
Terbiasa sarapan bersama benyak lembar laporan, membuatku tak sadar kalau waktu sudah menunjuk angka sepuluh. Tiga puluh menit lagi, jadwalku meeting dengan bagian keuangan. Setelah kejadian Sarman, aku lebih hati-hati dan berulang kali mengucap maaf pada Papa. Ini akibat kelalaianku juga. Walau sudah bisa kuduga, tapi sungguh tahun lalu aku benar-benar ekspansi besar-besaran.
Kurelakan Porsche Cayenne hitam kesayanganku pada Rendra sebagai hadiah. Adikku bekerja cukup keras menyelesaikan dengan caranya. Seharusnya yang kugenggam adalah miliknya tapi justeru aku yang dimahkotai. Mau menolak mana sanggup saat Papa memohon dengan amat ketika usiaku dua-delapan.
Suara pintu diketuk membuatku teralih barang sejenak. "Masuk."
Anna berjalan pelan dengan pandangan agak ragu menuju padaku. Beda dengan Yaya yang selalu percaya diri dalam langkahnya. Rendra beruntung mendapati gadis cantik itu biarpun dengan cara yang salah.
"Bu, ini materi meeting-nya. Bagian keuangan juga sudah saya info."
Aku mengangguk pelan sembari memperhatikan lembar yang baru saja Anna beri. "An, tadi saya ada revisi jadwal seminggu ke depan. Beri tahu yang berkaitan dengan jadwal, ya."
Bisa kusaksikan jelas pias wajah Anna. "Baik, Bu," katanya lemah.
Sebagai respon aku mengangguk pelan. Tidak melarang Anna untuk keluar ruangan sementara aku memeriksa kembali lembaran yang ia beri. Seminggu ke depan memang aku menghindari meeting di luar. Ingin pulang lebih awal, bermain dengan Zain. Bocah itu membuat sedikit duniaku teralih. Juga ada yang harus kami diskusinya bersama Papa dan Rendra.
Dua orang itu benar-benar membuat aku harus bolak balik ke rumah saking tak mau lagi menginjak kantor. Selalu aku yang dijadikan pion sementara mereka bergerak di balik layar. Tak masalah. Toh aku melakukannya demi keluarga serta hasil yang dibangun Papa.
Kembali pintu ruanganku diketuk. Kali ini samar kudengar suara langkah kaki yang berbeda dari biasanya. Daniel, manager keuangan yang baru,masuk bersama Anna. Juga manager IT, Hady, turut serta.
"Pagi, Bu," sapa mereka hampir kompak.
Aku hanya tersenyum sekilas.
****
"Kalau Pak Andrew tidak ada lagi yang harus dibicarakan, saya undur diri," kataku sembari mengusap pelan sudut bibir dengan tisu. Walau aku yakin tak ada sisa makanan tercecer di sana, atas nama sopan santun tetap kulakukan.
"Bu Inggrid ini selalu buru-buru. Santai sedikit, lah."
Aku benci jika tingkah pria ini makin konyol. Sudah datang ke kantorku tanpa permisi. Belum lagi dirinya sukses membuatku jengah setengah mati—dia membawa satu kuntum mawar merah. Yang langsung kutaruh tempat sampah di sudut meja kerjaku sebagai balasan.
"Waktu adalah uang, Pak Andrew, kalau boleh sekadar mengingatkan." Kusesap jus jeruk pesananku dengan gerak lambat. Sorot mataku mengarah tajam padanya pertanda aku tak suka diusik seperti ini.
"Saya jelas paham artinya, Bu. Hanya saja ..." Ia meletakkan cangkir kopi pesanannya. Mimik wajahnya sedikit mengkerut. "Kurang gula sedikit lagi."
Padahal dirinya sendiri yang memesan jangan terlalu manis. Ucapannya sukses membuatku memutar bola mata bosan.
"Tapi kebetulan di depan saya ... ada yang manis."
"Bisa on point pembicaraannya?" Aku menunjuk Michael Kors di lengan kanan. "Wasting time."
Seringai kecil ditampilkan seolah untuk membuatku terpesona. Juga tatapannya yang berubah makin tajam mengarah padaku. Memberi intimidasi lain yang mungkin baginya agar aku sedikit takut. Iya kah? Nyatanya tidak. Kubalas semua gestur yang ia miliki dengan tenang tanpa mengurangi sikap waspada.
Aku berada di salah satu restoran mewah yang dibooking privasi oleh seorang Andrew Mahreem. Ajakan berupa meeting di luar jam kerja tadinya kutolak mentah-mentah. Tapi approval yang aku butuh, dibawa olehnya sebagai pemikat. Sialnya, aku butuh apa yang ia tawarkan.
"Saya sudah tanda tangani dan setujui semua perjanjian kerja sama yang selama ini kita diskusikan."
Hamdalah.
"Tapi saya ajukan proposal yang lain."
Bukannya menurunkan intensitas waspada, justeru aku menatap bolak balik lembaran yang ia sodorkan dengan wajahnya yang masih setia dengan seringainya itu. Seolah memberitahu, kalau dirinya punya satu kuasa lebih atasku.
Tiba-tiba ia meletakkan satu kotak kecil berlapis beludru merah. Lengkap dengan hiasan pita perak di sudutnya.
"Menikah dengan saya, Bu Inggrid."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro