Prolog
Selamat membaca ^^
*****
Mantan ada untuk pernah mengisi kehidupan atau menjadi bagian masa depan.
Bola mata pembuat kata-kata itu bergerak meneliti sebaris kalimat yang dituliskannya, akan dijadikan snap WA. Beberapa detik kemudian, tangannya memencet ikon bergambar pesawat kertas untuk mengirim.
Ini sudah status kesekian yang diunggahnya. Beranda chat-nya saja sudah penuh dengan omelan, makian, umpatan, serta pesan-pesan sejenisnya yang berasal dari teman-teman, menanggapi semua postingannya.
Udah dikasih tau mau spam, salah siapa nggak dibisuin aja. Gadis yang mengenakan kaus berwarna putih dengan tulisan "I Love Bali" di bagian tengahnya, dipadankan dengan celana jeans selutus itu mulai memosisikan duduknya di atas sofa agar lebih nyaman. Tangan kirinya sibuk membalasi berondongan pesan dari teman-temannya, sedangkan tangan kanannya sibuk memegang sebuah jambu biji yang ia jadikan teman santai.
"Heh Kebo Bucin! Ngapain lo di sini?"
Acara santainya rusak begitu seorang cowok membuka pintu rumah dan menatap tajam ke arahnya. "Enak aja! Sekata-kata ya, kalo ngomong! Nggak sopan banget lagi. Masuk rumah orang tuh, salam, bukan bentak-bentak begitu," omelnya.
"Ini rumah gue, Bahlul!"
"Nama gue Lula! Terus kenapa kalo ini rumah lo? Emangnya gue salah? Kan, lo juga orang, berarti bener rumah orang!" Lula melemparkan kulit jambu biji yang habis ia makan dagingnya pada cowok berbaju hitam polos di hadapannya.
"Ck, jorok banget sih, lo." Arga langsung menarik rambut Lula yang diikat berbentuk kuncir kuda dan mengacak poni gadis itu, gregetan tingkat kecamatan dengan kelakuan gadis yang menjabat sebagai sahabatnya dari orok ini.
"Iih, Arga ... sakiiit!" omel Lula, "kalo rambut gue rontok terus pacar gue minta putus, ini salah lo!"
"Jangan halu, Bahlul! Lo jomlo berkepanjangan, paling mentok juga dideketin nggak dikasih kepastian," ledek Arga. Dirinya ingat betul kala beberapa bulan lalu Lula merengek-rengek padanya karena sakit hati, gebetannya jalan dengan cewek lain. Salah sendiri mau aja di-HTS-in, kan nggak bisa ngapa-ngapain. Mau protes, bukan pacarnya. Nggak protes juga sakitnya kerasa. Begitu kata Arga pada cewek yang tengah merapikan kunciran dan poninya itu.
"Lul ... makan dulu sini!"
Seruan perempuan dari arah dapur itu membuat Lula tak jadi melancarkan aksi mendebat Arga. Ia hanya menatap sinis cowok itu, lantas membalas seruan tadi, "Iya, Bun. Lula ke situ."
Sementara Arga yang sudah tidak keheranan dengan pemandangan seperti ini --Lula seenaknya sendiri di rumahnya-- hanya mencibir kelakuan sahabatnya yang makin hari semakin kurang waras.
"Bun, yang dipanggil, kok, cuma Lula?" protesnya pada sang Bunda. Terkadang ia bingung, yang jadi anak itu dirinya atau si Lula? Lula itu rumahnya di sebelah, tapi kalau pagi sudah ke sini, pulangnya bisa sore atau bahkan malam nanti.
"Lho, kamu udah pulang? Bunda kira masih latihan nge-band. Soalnya dari pagi yang di sini kan, Lula," timpal Mirna, bunda Arga, sembari menyiapkan piring untuk makan siang kali ini.
"Lagian lebay banget sih, lo, Ga. Makan tinggal ke sini aja pake minta dipanggil," cibir Lula. Gadis itu membantu Bunda mengelapi piring sebelum ditata di atas meja makan.
"Dirinya sendiri aja juga lebay, pake ngatain orang lain," gumam Arga tak habis pikir.
"Gue denger ya, Ga!" Telinga Lula masih berfungsi dengan sangat baik sehingga gumaman Arga tetap terdengar.
Baru saja Arga akan membalas, tetapi Bunda menyuruhnya, "Ga, panggilin Ayah, gih. Di belakang lagi ngasih makan ikan."
Meskipun sempat mendesah kesal karena ia harus disuruh-suruh, padahal baru sampai, Arga tetap menjalankan perintah Bunda.
Suara denting sendok dan garpu beradu. Menari di atas piring-piring putih yang digunakan empat orang yang duduk melingkar mengelilingi meja makan. Masing-masing piring mereka diisi nasi dan lauk berupa ikan bumbu pedas.
Lula hendak mengambil ikan satu lagi karena di piringnya sudah habis sementara nasinya masih banyak. Bersamaan dengan itu, tangan Arga pun melakukan gerakan yang sama. Tatapan keduanya beradu, saling melemparkan pelotoan seolah mengatakan, ini punya gue!
"Arga, ikan lo masih, maruk banget sih, jadi orang!" Lula menggerakkan sendoknya menghalangi Arga, sementara tangan lainnya yang memegang garpu dipakai untuk mengambil ikan.
"Gue mau nambah nasi, Lul. Itu artinya ikannya juga harus nambah." Arga menatap kesal Lula sebab gadis itu berhasil mengambil ikan yang menjadi incarannya, lebih besar dari lainnya.
"Yaudah itu ikannya ambil aja kalo mau nambah, gitu aja repot," kata Lula, "hidup tuh jangan dibikin repot, Ga. Kalo segala hal dibikin repot, nggak bakal berjalan lancar. Kayak sebuah hubungan, nggak boleh ngebuat besar suatu masalah yang terjadi supaya tidak harus diakhiri."
"Terserah lo, bucin! Terserah!"
Mirna dan Satya, ayah Arga, terkekeh geli mendengar penuturan Lula yang setiap halnya dikaitkan dengan hubungan, cara bicaranya juga dihayati sekali semakin membuat perut tergelitik. "Lula udah punya pacar?" tanya Satya tampak tertarik dengan bahasan Lula menyangkut hubungan.
"Boro-boro pacar, Yah. Yang ada cowoknya setres ngeladenin bucin macem dia," sela Arga sebelum Lula membuka mulut untuk menjawab. Tak urung karena kelakuannya itu, satu tabokan keras mendarat di lengan kanannya.
"Lo kalo ngomong tuh, suka pedes ya! Pasti kebanyakan makan bumbu ikan ini atau gara-gara kelamaan jomlo!"
"Pastinya gara-gara Arga kelamaan jomlo, Lul," timpal Satya, mendukung asumsi Lula.
"Nah iya bener, Yah. Makanya Arga jadi nyinyirin Lula mulu." Lula semakin semangat mengejek Arga karena mendapat dukungan dari Ayah.
"Mending jomlo nggak galau mulu, daripada punya pacar malah jadi bucin, contohnya lo!"
"Arga ...!" Lula gemas sekali dengan mulut Arga. Jika bisa, ia ingin meremas mulut yang setiap terbuka membuatnya dilanda gerah bodi dan gerah hati secara bersamaan.
"Jadi udah punya pacar, Lul?" Mirna yang baru saja selesai makan pun mempertanyakan. Ia menatap gadis yang sudah dianggap sebagai anak sendiri itu.
Satu cengiran lebar terbit di wajah Lula. Kepalanya bergerak ke kanan-kiri menyebabkan pipinya yang chubby pun ikut bergerak. Kelopak mata Lula juga mengerjap beberapa kali. "Belum. Masih proses, Bun," jawabnya.
"Proses terus dari sebelum liburan sampe sekarang liburan udah mau selesai, masih aja proses," cela Arga. Entah bagaimana bibirnya ini selalu menimpali perkataan Lula dengan kalimat-kalimat menyebalkan, acapkali berkhir dengan Lula yang menabok, mencubit, ataupun menjambaknya. Namun, kali ini gadis itu tak melakukan hal tersebut, hanya menatap Arga tajam. Walaupun yang ditatap bersikap tak peduli, justru tangan Arga bergerak mengambil tisu dan mengelap bibir tipisnya yang senantiasa tampak segar agar bersih dari sisa-sisa makanan.
"Masih mending ada yang deket, Ga. Lah, kamu? Dari dulu nggak pernah tuh sekali pun Bunda lihat kamu bawa temen cewek ke rumah."
Satya mengangguk kuat. "Bener! Jadi heran, perasaan kamu udah Ayah kasih cara memikat cewek, tapi sampai sekarang masih aja belum ada yang nyantol."
"Arga males pacaran, Yah, Bun. Bikin repot, ngabisin duit juga," balas Arga seadanya. Memang ia tidak ingin pacaran. Bukan karena tidak ada gadis yang mau dengannya, bahkan ada lebih dari sepuluh siswi di sekolah yang selalu menaruh cokelat dan surat cinta di atas mejanya. Wajah Arga memang tidak bisa dikatakan jelek. Bulu matanya lentik, alisnya rapi dan cukup tebal tanpa harus memakai pensil alis, dan hidungnya juga cukup mancung. Dari semua itu, pastinya tak sulit memikat perhatian para cewek. Sayangnya, tak seorang pun dari mereka yang bisa menarik perhatiannya.
Selain itu, alasan Arga tak ingin pacaran adalah menurutnya hubungan satu itu ribet! Mendengar bagaimana ribetnya saat Lula pernah menceritakan bahwa cewek itu pacaran, membuatnya enggan menjalin hubungan saat ini. Lagipula pacaran itu tidak penting-penting banget, pikirnya.
"Bagus-bagus. Kalau begini baru anak Ayah." Arga mencibir ucapan Ayahnya itu. Kalau sudah kelihatan bagus, baru diakui anak. Memang hanya Ayahnya yang seperti ini!
"Enak ya, Ayah sama Bunda sering ada waktu buat nanya Arga ini-itu," celetuk Lula. Sejak beberapa menit lalu, ia hanya menyaksikan interaksi antara ketiga anggota keluarga ini. Binar matanya meredup. Ia meneguk air putih lantas menyunggingkan senyum tipis. Senyum yang menyiratkan kepiluan yang ia rasakan.
Hawa ruangan itu berubah sendu. Udara terasa semakin menipis, padahal pintu yang menguhubungkan dapur dan taman belakang itu terbuka lebar. Tiga orang yang semula melempar bahan obrolon itu mendadak terdiam.
Arga menggeser duduknya ke sebelah Lula hingga kursi keduanya tak berjarak lagi. Kedua tangannya mengangkat wajah Lula yang menunduk. Dapat dilihatnya ada selaput bening di manik mata sahabatnya. Jika berkedip sekali, setetes cairan itu akan lolos dari kelopak mata Lula.
Sudut bibir Arga tertarik ke atas memunculkan sabit di wajahnya. Netranya menyorot teduh tepat ke mata Lula. "Gue udah bilang, apa yang gue punya, itu juga punya lo, termasuk keluarga. Berhenti sedih, gue nggak suka lihatnya."
Mirna dan Satya yang menyaksikan itu hanya tersenyum tipis. Diam-diam dalam hati keduanya mendoakan agar Lula benar-benar menjadi putri mereka.
****
Halo~
Gimana part pertama ini? Ada yang mau disampaikan ke Arga dan Lula?
Yuk, ramein komentar~
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri dan tunggu part selanjutnya ya~
Terima kasih sudah membaca❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro