Papi Kembali?
Selamat membaca ^^
*****
Rambut Lula bergerak ke kiri dan kanan seiring kakinya yang melompat-lompat ringan menyusuri koridor. Andaipun boleh, Arga sudah memotong surai yang mirip ekor kuda itu. Baginya terlalu risih untuk dilihat, tapi anehnya Lula sama sekali tidak merasa demikian. Mungkin cewek-cewek seperti Lula menganggap rambut hitam yang panjangnya sepunggung itu indah sekali, pikirnya.
"Delvin!"
Teriakan Lula menggema mengisi koridor yang cukup lenggang pagi ini membuat Arga tersadar dari lamunan tentang rambut gadis itu. Ia bisa melihat Lula bersemangat menghampiri seorang cowok yang duduk di bangku semen depan kelas. Gadis itu tidak memedulikan tatapan dari beberapa murid yang juga berada di tempat yang sama.
"Pagi, Delvin!" sapa Lula ceria. Entah karena apa, pipinya bersemu saat mata cokelat milik Delvin menatapnya. Sudah seminggu ini Lula melancarkan aksi mendekati Delvin. Cowok itu tampak tidak masalah juga, justru merespons Lula dengan senyum menawan yang selalu membuat cewek salah tingkah.
"Pagi, Lul," balas Delvin dilengkapi dengan senyum yang biasa ia tampilkan.
"Kok, belum masuk kelas?" tanya Lula basa-basi. Gadis itu ikut duduk di sebelah Delvin, sementara Arga berlalu melewati keduanya tanpa melihat ke arah Lula.
"Nunggu lo."
Seketika itu jantung Lula menunjukkan reaksi berlebihan. Tangannya pun berkeringat lebih banyak. "Nga-ngapain nunggu gue?"
"Mau ngajakin ke kantin bareng pas istirahat nanti. Mau?"
Mata Lula terbeliak mendengar ajakan itu. Astaga, kenapa seluruh anggota tubuhnya menunjukkan reaksi tidak biasa, padahal baru diajak ke kantin bareng? Bagaimana jika dirinya diajak nikah oleh Delvin? Apakah jantungnya akan berhenti berdetak? Lula geleng-geleng menyadari pikirannya melantur kemana-mana.
Raut wajah Delvin tertekuk saat melihat Lula menggeleng beberapa kali. "Lo nggak mau?"
"Eh? Mau kok, mau!"
"Kok geleng-geleng?"
"Tadi lagi bayangin sesuatu nggak penting," jawab Lula sambil cengar-cengir. Dalam hati merutuki pikirannya yang suka berkhayal sampai jauh. Memang cewek itu mudah baper. Baru diajak makan bareng saja malah sudah mengkhayal diajak menikah segala!
"Oh iya, kok, ngajaknya di sini sampe nunggu segala? Kenapa nggak sekalian di kelas aja nanti?"
"Biar nggak banyak yang tau."
"Emang kenapa kalo banyak yang tau?"
"Nanti mereka pengen gue ajak makan bareng juga, padahal yang gue ajak cuma orang istimewa."
Baper boleh nggak, sih? batin Lula mempertanyakan. Ini Delvin memberi kode atau dirinya yang kebanyakan berharap? Apapun itu, dada Lula berdebar tak keruan karena ucapan tadi.
"Yaudah, yuk, masuk kelas," ajak Delvin sambil mengamit jemari kanan Lula. Fix, Lula semakin baper!
***
Arga mendengkus malas saat Lula terus menceritakan bagaimana dirinya tadi di sekolah makan berdua dengan Delvin. "Cuma makan berdua, Lul! Bahagia banget kayak abis dapet hadiah motor!" geramnya.
"Lo nggak tau gimana rasanya, Ga, makanya ngomong gitu! Rasanya diajak makan berdua sama orang yang kita suka itu beda, kayak ada manis-manisnya gitu."
"Lo terlalu lebay," cibir Arga. Ia mulai membuka buku-buku Fisika. Tujuannya berada di rumah Lula sore ini adalah mengerjakan tugas rumah bersama. Namun, sekonyong-konyongnya gadis itu malah menyambut kedatangan Arga dengan ocehan tentang Delvin, padahal sewaktu di motor tadi, Lula juga sudah menceritakannya. Arga menyesal belum membeli penyumbat telinga agar tidak mendengar celotehan sahabatnya itu.
"Pokoknya itu istimewa! Lo nggak pernah jatuh cinta, jadi nggak tau!"
"Ya ya ya, terserah lo," pasrah Arga.
Lula tersenyum bangga karena telah merasa menang debat. Kata "terserah" dari Arga dianggapnya sebagai pengakuan bahwa cowok itu menyerah. Karena sudah demikian, Lula mengikuti aktivitas Arga--mengerjakan tugas.
Dahi Lula terlipat heran saat mendapati sebuah kertas jatuh dari tasnya saat dia menarik buku paket. Setelah dilihat lagi, ternyata bukan kertas, lebih tepatnya sebuah foto. Ada seorang pria yang mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna biru dan perempuan ber-dress selutut dengan warna sama dengan sang pria. Ada sesuatu yang menarik perhatian Lula--seorang gadis kecil berdiri di antara kedua pasangan dewasa tadi. Anak itu memiliki poni dan rambut yang diikat bentuk ekor kuda, juga pipi tembam--itu adalah dirinya di masa kecil.
Masalahnya, Lula sama sekali tidak tahu dari mana asal foto itu. Pasalnya, dia tidak merasa meletakkan benda itu dalam tasnya.
Tangannya membolak-balikkan foto itu dan pandangannya jatuh pada tulisan di bagian belakang foto.
Apa kabar Lula, anak Papi?
Lula terperanjat. Itu tulisan tangan Papinya. "Papi," gumamnya lirih.
"Kenapa, Lul?" tanya Arga penasaran saat melihat Lula membeku di tempatnya, juga gadis itu menggumamkan sebuah kata yang kurang terdengar jelas bagi Arga.
"Papi kembali, Ga."
Bola mata Arga membulat sempurna. Ia mengira telinganya bermasalah, tapi setelah bertanya sekali lagi pada Lula dan jawabannya sama, Arga yakin telinganya baik-baik saja. Namun, yang membuat dirinya sangsi adalah kenyataam bahwa pria yang disebutkan Lula itu telah pergi.
"Gue tau, Ga. Tapi ini bener-bener tulisan Papi. Foto ini juga nggak sembarang orang punya."
"Bisa aja itu dari orang lain. Mungkin dulu Papi pernah nunjukin foto itu ke siapa gitu."
"Tapi ini tulisan persis banget sama punya Papi. Gue yakin!"
"Tulisan bisa ditiru, Lul."
"Kalaupun iya, tujuannya ngirim foto ini ke gue apa?"
Arga tak menjawab. Memang benar yang dikatakan Lula. Jika foto itu dikirim pada Lula, berarti ada tujuannya. Namun, apa tujuannya belum diketahui oleh keduanya.
"Nanti kita cari tau, Lul," ucap Arga menenangkan gadis di sampingnya yang tengah terisak. Ia paham, Lula pasti teringat masa kecilnya--saat keluarganya masih utuh.
"Gue yakin ini pengirimnya Papi!" tegas Lula.
"Papi lo udah pergi, Lul. Gimana dia bisa balik lagi?"
Lula menggeleng lemah. "Gimanapun itu, gue yakin ini dari Papi!"
Arga mendesah. Bungkam, tak ingin mendebat Lula. Jika gadis itu sedang seperti ini, yang bisa dilakukannya hanyalah mengalah.
*****
Hai~
Gimana part kali ini? Yuk, ramein komentar!
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri dan tunggu part selanjutnya, ya~
Terima kasih❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro