Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kita Musuhan!

Selamat membaca ^^

*****


Arga kembali mengecek jam tangan hitam miliknya. Pukul tujuh kurang dua puluh menit, tetapi Lula tak kunjung tiba di rumahnya. Di-chat pun tak ada balasan. Arga sempat berniat mendatangi rumah gadis itu, tapi urung karena ia tahu jika sudah siap cewek yang suka mengoceh tersebut pasti ke rumahnya.

"Ga, belum berangkat?" Bunda keluar rumah dengan sapu lidi di tangan, berniat membersihkan halaman depan rumah.

"Masih nunggu Lula, Bun," jawab Arga tanpa turun dari motor kesayangannya.

"O iya, Bunda lupa! Lula udah berangkat tadi pagi waktu kamu masih dandan. Katanya, dia dijemput temen cowok, namanya Delvin kalo nggak salah."

"Kok, Lula nggak ngabarin lewat pesan gitu?"

"Nggak tau. Katanya hp-nya pecah abis kebanting." Bunda mulai menyapu dari ujung dan dikumpulkan di satu tempat. "Udah sana berangkat!" suruhnya.

Arga bergeming. Ia lupa jika setelah pencarian hari itu, Lula mendapat pesan dari nomor tak dikenal yang berupa teka-teki juga. Karena frustrasi, Lula membanting ponselnya dan belum membeli yang baru. Astaga, kadang Arga sepelupa ini.

Sekarang masalahnya, bagaimana Delvin bisa menjemput Lula sementara cowok itu belum sekalipun mengetahui rumah sahabat Arga itu. Pikiran Arga semakin berkecamuk membayangkan keadaan Lula saat ini.

"Arga! Buruan berangkat, sebelum telat. Malah ngelamun!" tegur Bunda membuat Arga terkesiap dan buru-buru memacu kuda besinya menuju sekolah.

***

"Arga, kok, lo bisa dihukum bareng Syana?"

Belum usai rasa haus Arga, tapi pertanyaan bernada memaksa itu meminta cowok yang duduk di bangku kantin pada jam istirahat ini menghentikan aktivitasnya. Berhubung waktunya tadi pagi habis karena menunggu Lula dan memikirkan kejanggalan yang terjadi, Arga telat sampai di sekolah lalu dihukum.

"Gue ketemu di jalan. Dia sendirian, jadi gue tawarin bareng."

"Terus?"

"Terus apanya?" Arga memasang tampang sedingin mungkin. Ia kesal, tentu saja. Lula biasanya berangkat dengan dia, tetapi baru sekali dijemput Delvin, langsung berpaling.

"Dia pegangan sama lo? Berarti jok lo udah ternoda, dong? Udah boncengin cewek selain gue sama Bunda. Gimana, sih, lo, Ga!" cerocos Lula. Pipinya mengembung sarat kekesalannya. Kedua tangannya menyilang di depan dada, tak lupa tatapan kesal menuju pada Arga.

"Siapa suruh lo berangkat sama Delvin."

Sesaat setelah kalimat itu terucap, raut wajah Lula berubah. "Ya, itu, abisnya gu--"

"Apa? Lo kenapa? Mau bilang kalo nggak mau sia-siain kesempatan? Iya, gue tau," potong Arga. Ia meneguk lagi air mineral di tangan kanannya untuk meredam haus dan emosi yang menjalar seketika. "Dari mana dia dapet alamat rumah lo?" tanyanya, ketika perkataan sebelumnya tak mendapat tanggapan dari Lula.

"Nggak tau," cicit Lula. Jemari tangannya saling beradu untuk meredam ketakutan. Jelas ia tahu jika Arga tengah meredam emosi. Terbukti dari botol air mineral yang berubah wujud dan buku jari Aega memutih.

"Jangan ulangin," tukas Arga dingin. Cowok yang basah oleh peluh itu berlalu dari hadapan Lula tanpa sekalipun menoleh pada sahabatnya.

"Arga marah sama lo, ya?"

Sebuah suara dari arah belakang mengagetkan Lula yang tengah menatap kepergian Arga. "Eh, Delvin. Iya gitu, deh," timpalnya kikuk. Ia duduk di bangku yang semula ditemlati Arga kemudian diikuti oleh Delvin. "Lo tau rumah gue dari mana, Vin?" Lula lantas menanyakan apa yang menjadikan kebingungannya dan Arga.

"Lo yang ngirimin alamatnya, kok," kata Delvin.

"Ngirimin? Lewat mana? Lo boong, ya?"

Delvin merogoh ponselnya lalu menunjukkan sebuah pesan dari nomor yang belum ia simpan kepada Lula. Di sana tertera bahwa si pengirim mengaku sebagai Lula dan meminta dijemput, di bawahnya juga ada alamat yang merupakan rumah Lula.

"Itu bukan nomor gue," ucap Lula lirih dan sukses membuat Delvin terbelalak. Cowok itu memang belum dimasukkan grup kelas karena baru pindah beberapa waktu lalu, sehingga belum banyak yang punya nomornya. Namun, ia juga tidak menyangka akan ada kejadian seeprti ini.

"Kita harus kasih tau Arga!" Lula segera menarik Delvin agar mengikuti dirinya. Pikir Lula, barangkali pesan itu adalah petunjuk atau bagian dari terornya juga.

Karena tak tahu harus mencari kemana, Lula putuskan untuk ke kelas saja, siapa tahu Arga memang di sana. Begitu sampai di sebuah ruangan berisi kursi dan meja yang ditata rapi dan dihuni beberapa murid saja, Lula dapat dengan mudah menemukan Arga di bangkunya. Sayangnya, cowok itu tidak sendiri. Ada seorang gadis berambut sebahu duduk di sebelah Arga--bangku Lula.

"Arga! Ngapain lo sama Syana?" Pertanyaan Lula yang terlontar begitu saja--bahkan saat dirinya masih berada di dekat pintu--membuat beberapa penghuni kelas mengalihkan perhatian padanya. Gadis itu mengabaikan beberapa pasang mata yang menatapnya dengan tanda tanya. Ia berjalan cepat ke arah sahabatnya.

"Kenapa teriak-teriak, sih?" tanya Arga ketika Lula sampai di dekatnya. Di tangan cowok itu ada sebuah kotak bekal biru berisi nasi goreng, juga botol berwarna denada di atas meja.

"Lo ngapain sama Syana?" ulang Lula.

"Dia ngasih bekalnya buat gue. Katanya ucapan terima kasih karena udah mau nebengin dia."

Lula segera merampas kotak itu dari Arga dan memberikan kepada Syana dengan wajah merah padam. "Sana pergi! Gue mau ngomong penting!"

Arga terkejut dengan perubahan nada bicara Lula yang baru ia sadari. "Lo kenapa, sih? Dia baik, ngapain lo usir kayak gitu?"

"Argaaa! Dia suka sama lo!" tekan Lula. Matanya membulat membuatnya semakin terlihat marah dan lucu di saat bersamaan.

"Terus kenapa?"

"Ya lo jangan deket-deket dia. Jangan terlalu perhatian. Gimana kalo dia baper?"

"Kalo dia baper kenapa?"

"Nggak boleh! Pokoknya gue nggak mau lo deket sama dia lagi!"

"Lo cuma sahabat gue, Lul. Kenapa ngelarang gini?"

Ada jarum tak kasat mata menusuk tepat di hati Lula. Benar kata Arga, dirinya hanya sahabat. Selama ini ia kelewat baper, padahal hubungannya tidak lebih dari sepasang sahabat. Harusnya Lula tahu, ia hanya mencinta sendirian. Ia tahu, jatuh cinta sendirian merupakan jalan ampuh untuk membuat hati kesakitan sebab selalu berakhir tanpa balasan.

"Iya. Gue cuma sahabat lo. Apa nggak bisa lo jaga perasaan gue supaya nggak terlalu hancur karena berharap sama lo yang nggak ngasih kepastian ini? Lo egois, Ga!"

"Lo salah. Lo yang egois. Lo deketin Delvin, berangkat bareng, bahkan pegangan tangan." Arga melirik tangan Lula dan Delvin yang tengah berpegangan. Dengan refleks, Lula melepaskan pegangan itu seketika. "sementara gue sama Syana nggak lebih dari menolong dan ucapan terima kasih. Harusnya lo pikir, selama ini yang egois itu lo! KAPAN LO PIKIRIN PERASAAN GUE? APA LO TAU KALO GUE TADI PAGI DIHUKUM KARENA TELAT DEMI NUNGGUIN LO, TAPI LO MALAH BERANGKAT DULUAN? APA LO PERNAH MIKIR? NGGAK, KAN? LO EGOIS!" imbuh Arga dengan nada kian meninggi sampai murid di kelas itu pun ikut menahan napas karena kata-katanya amat menusuk.

Tanpa diundang, cairan bening turun membasahi pipi tembam Lula. Tatapannya menyiratkan ketidakpercayaan bahwa Arga membentaknya. Wajahnya semakin memerah. Ia bahkan lupa tujuannya datang kemari. "Iya. Gue emang egois! Nggak seharusnya gue ngelarang lo atau apa pun itu karena gue sebahat sahabat lo. Gue tau gue egois, tapi nggak seharusnya lo bentak-bentak kayak gini! Gue benci sama lo! Kita musuhan!" Gadis itu segera keluar kelas.

Arga kebingungan. Niatnya hanya menggertak Lula agar tidak seenaknya, tetapi malah berujung salah paham. Biasanya gadis itu juga akan menanggapi sewajarnya atau minta maaf, tapi hari ini lain. Teringat sesuatu, Arga mengecek tanggal di ponselnya. Lula sedang dalam masa sensi, pantas saja begitu.

"Nih, gue dapet chat ini semalem."

*****

Halo~
Gimana part kali ini? Masa emak seneng kalo Lula marah ke Arga. Siapa tau Arga bisa sama emak gitu, kan, ya :v wkwk. Yuk, ramein komentar!
Jangan lupa tunggu part selanjutnya dan pencet bintang di pojok kiri, ya~
Terima kasih❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro