Ingatan
Selamat membaca ^^
*****
Di sebuah taman yang memiliki ayunan, Lula duduk sendirian, menatap kosong hamparan rumput dan bunga yang ditanam beraturan. Perlahan air mata mengalir.
"Kakak kenapa?" tanya seorang gadis berkaus oblong dengan celana jeans. Usianya satu tahun di bawah Lula.
"Enggak papa," jawab Lula sembari menghapus kasar air matanya. "Kamu ngapain di sini?"
"Aku takut. Tadi Mami lempar-lempar barang," adu si gadis.
Lula memeluk erat gadis itu. Air mata yang baru saja mengering, kembali turun lebih deras. Ia juga merasakan apa yang dirasakan gadis di dekapannya ini.
"Ini untuk Kakak," kata sang gadis sambil melerai pelukan. Ia memasangkan sebuah gelang perak berbandul bunga mawar.
"Kenapa kamu kasih ini?"
"Aku takut kalau kita berpisah, nanti nggak bisa ketemu. Makanya aku kasih itu buat Kakak supaya bisa kenalin Kakak nantinya," terangnya. Tampak sekali kabut bening menyelimuti bola mata gadis itu. Bibirnya menyunggingkan senyum miris.
"Lalu gimana Kakak bisa nemuin kamu?"
Gadis berambut sebatas bawah telinga itu menunjukkan kalung yang melingkar di lehernya. "Bandulnya sama cuma jenis aksesorisnya beda."
Lula menumpukan kedua sikunya ke paha sementara telapak tangannya menutup penuh wajahnya, ia menangis. Bahunya bergetar mengingat kemungkinan ini hari terakhir semua masih bersama.
"Lula!"
"Lula bangun!"
Suara menginterupsi itu menarik Lula dari alam bawah sadarnya. Napasnya memburu. Ia juga tidak sadar bahwa dirinya menangis. Matanya mengerjap menatap ke sekitar. Ternyata dia di kelas, bukan sebuah taman. Tidak ada gadis kecil, hanya ada teman-temannya.
"Lo kenapa, Lul? Lo nangis waktu tidur. Lo mimpi buruk?" Arga memandang Lula menyiratkan kekhawatiran. Jam istirahat ini sahabatnya memilih tidur di kelas, katanya pusing. Arga memaklumi, mungkin Lula juga merasa tertekan karena surat misterius yang diterimanya belakangan ini. Namun, begitu dari kantin, ia mendapati Lula tidur dengan buliran-buliran keringat turun dan isakan lirih.
"Arga ... gue inget dia," isak Lula. Bulu mata lentik yang menaungi matanya terus mengerjap dan membuat tangisnya hadir lagi.
Arga segera merengkuh tubuh Lula dengan perlahan seolah gadis ini barang yang mudah pacah jika dirinya kasar. Jemarinya menelusup di antara rambut Lula yang hari ini dibiarkan tergerai. Arga tidak peduli jika seragamnya basah oleh tangisan Lula. Menjadi sandaran untuk sahabatnya saat ini lebih penting.
"Lul, ini apa?" tanya Arga saat menyadari di atas meja Lula ada sebuah amplop putih. Ia terlalu khawatir hingga tidak melihat amplop itu tadinya.
Lula menarik kepalanya dari dada Arga lantas menatap sebuah amplop yang dipegang cowok di hadapannya. Tangannya bergerak pelan seakan-akan tenaganya benar-benar terkuras habis karena mimpi tadi.
Ketika awan terpaksa melepasmu, angin berembus kencang--masih berusaha menghalangimu menemuiku. Ini menyebalkan. Aku ingin bertemu denganmu, tetapi mereka menghalangiku.
Gambar mawar di pojok kanan surat membuat hati Lula sesak. Ia ingin tahu siapa pengirim surat ini. Lebih ingin tahu di mana gadis itu berada. Lula benar-benar tidak bisa mengingat ke mana perginya atau bahkan namanya. Semakin Lula berusaha mengingat, kepalanya terasa nyeri. "Argh," erangnya kesakitan. Tangannya memegangi kepala berusaha meredam sakit yang menjalar seketika.
"Lul, lo kenapa? Lo baik-baik aja?" tanya Arga panik melihat kondisi Lula yang membuatnya ikut kesakitan. Tanpa persetujuan, Arga merampas surat dari tangan Lula kemudian membacanya. Rahangnya mengeras. Wajahnya merah padam menyiratkan emosi yang bergumul di dadanya. "WOY! SIAPA YANG NARUH INI SURAH DI SINI?"
Pertanyaan Arga dengan nada tinggi itu sukses mengalihkan seluruh penghuni kelas yang saat ini kebanyakan sudah memasuki kelas karena lima menit lagi bel berbunyi.
Seorang cewek berambut kecokelatan dan iris mata biru--Agnes namanya--mengangkat tangan. "Gue, Ga. Tadi ada adik kelas yang nitip, katanya buat Lula. Tapi gue nggak tau namanya siapa," terangnya.
"Kenapa lo terima? Lo nggak mikir kalo isinya surat ancaman atau suatu hal lainnya yang merugikan? Ck, gimana, sih, lo?" omel Arga. Ada nada keputusasaan dalam suaranya. Ia benar-benar tidak tega melihat kondisi Lula seperti ini. Dia lebih senang mendengar ocehan sahabatnya meskipun tidak berfaedah daripada melihat Lula menangis layaknya hari ini.
"Gu-gue nggak berpikir ke sana, Ga," timpal Agnes dengan nada ketakutan karena Arga benar-benar tampak murka.
"Makanya mik--"
"Arga udah!" seru Lula memotong ucapan Arga. Tangannya menggenggam tangan Arga, menyalurkan segala rasa yang tengah dilanda. Berharap Arga mengerti bahwa saat ini Lula tidak ingin ada keributan, hanya butuh jalan keluar dari masalah yang dialaminya.
Seluruh kelas menghela napas lega ketika Arga sudah menetralkan ekspresinya. Mereka yang telah mengenal cowok itu di kelas sepuluh kaget mengetahui jika Arga bisa semarah ini. Ternyata benar, orang pendiam sekalinya marah akan menyebabkan ketakutan mendalam. Ya, walaupun Arga tidak tergolong pendiam, cuma cuek saja.
"Kenapa gue nggak bisa inget, Ga?" tanya Lula sambil menatap surat yang kini berada di tangannya. Ia ingin menjerit, berteriak, mengungkapkan segala tekanan yang dirasakan. Insiden kecelakaan beberapa tahun lalu membuatnya melupakan sebagian memori masa kecilnya. Andaikan papi dan maminya tidak bercerai dulu....
Lula menggeleng. Tidak ada yang bisa disesali. Tidak akan mengembalikan keadaan. Hidup harus terus berjalan sebanyak apa pun tekanan yang datang.
"Jangan dipaksa, Lul. Nggak baik buat kesehatan lo." Arga mengusap-usap punggung Lula. Dalam hatinya terus mengutuk si pengirim surat kurang ajar itu. Lula tidak akan seperti ini--membuka masa lalu dan memaksa mengingat--jika surat itu tidak dikirimkan.
"Gue harus tanya Mami, Ga, pasti dia bisa jelasin sesuatu," putus Lula.
Arga mendesah gusar. Tidak yakin jika ini merupakan solusi terbaik. Sorot matanya sudah menunjukkan ketidaksetujuan, tetapi mata Lula memancarkan pengharapan membuat Arga tak punya pilihan.
Melihat Arga mengangguk, sekalipun terpaksa, Lula menyunggingkan senyum. Di saat seperti ini, Arga selalu bisa diandalkan.
"Sebelum itu, kita harus cari tau siapa pengirim surat ini," tegas Arga.
*****
Hai~
Gimana part kali ini? Udah ada tebakan kira-kira siapa pengirim suratnya? Yuklah nebak-nebak bareng 😅
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri dan tunggu part selanjutnya, ya~
Terima kasih❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro