Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

° 21. One Fine Day °

Aroma asin yang diembuskan oleh angin dari laut lepas menyapa penciuman pemuda dengan kemeja lengan pendek itu begitu langkahnya mendekati bibir pantai. Aroma yang kuat dan khas, membawa sensasi segar yang langsung memenuhi paru-parunya. Udara di sekitar pun terasa berbeda—lebih lembap, bercampur dengan wangi. Setiap tarikan napas membawa jejak halus garam dan mineral, seolah udara itu sendiri berasal dari kedalaman samudra.

Hansa berdiri di tepi pantai, memejamkan mata sejenak sembari meresapi belaian angin yang sejuk menyapu wajahnya. Kaki telanjangnya tenggelam sedikit di dalam pasir yang hangat, terasa lembut dan menggelitik kulit. Ombak kecil menyentuh pergelangan kakinya, dingin dan menyegarkan, seolah mengundang Hansa untuk bermain lebih dekat dengan air.

Matanya terbuka perlahan, lantas menelisik hamparan laut biru yang seolah tak berujung. Sinar matahari memantul di permukaan air, menciptakan kilauan indah yang menari-nari bersama ombak. Di kejauhan, garis cakrawala membentang tak berujung, memisahkan birunya laut dan langit yang cerah tanpa awan. Burung-burung camar melayang rendah, sesekali menyelam ke air untuk mencari buruan.

“Abang, sini! Ayo bikin istana!”

Teriakan melengking berasal dari bocah yang berdiri tak jauh di belakang Hansa. Dengan sebuah ember yang berisi perlengkapan untuk membuat istana dari pasir, bocah enam tahun itu sibuk menata semua peralatannya. Dengan sekop bermacam ukuran dan bentuk, ia telah siap membangun istana impiannya.

Selesai dengan kegiatan menghirup udara segar, Hansa berbalik dan melangkah mendekati si bungsu. Ia berjongkok di depan Hasan, kemudian mengambil salah satu sekop dengan ukuran paling besar serta sebuah cetakan berbentuk kastil.

“Oke. Jadi kita mau bikin istana model apa?” tanyanya tak kalah antusias.

“Yang pas buat kita tinggal,” sahut anak itu tanpa menoleh.

“Emang harus segede apa biar kita bisa tinggal?”

“Ya, pokoknya nggak usah besar-besar. Yang penting Ayah, Bunda, Abang, Kakak, dan aku bisa tinggal di situ. Bu Guru bilang, rumahku istanaku. Jadi aku mau bikin istana buat kita semua,” balasnya lagi.

Terkekeh pelan, Hansa selalu dibuat terpana dengan kalimat-kalimat ajaib yang keluar dari bibir adik kecilnya. Mungkin tak banyak yang menyadari, tetapi sejauh Hansa bisa mengingat, Hasan adalah anak yang memiliki pemikiran yang cukup kritis untuk bocah seusianya.

Tak jarang, anak itu selalu selangkah lebih peka daripada orang lain. Dan sifatnya yang memang banyak bicara, membuat Hasan dengan mudah mengungkapkan perasaan. Sebuah perbedaan yang begitu kentara di antara keduanya.

“Emang Abang boleh tinggal di sini?” Sebuah pertanyaan yang tiba-tiba terlintas di pikiran membuat Hansa akhirnya kembali buka suara.

Sementara Hasan yang semula fokus mengisi cetakan dengan pasir seketika menghentikan gerakannya dan menatap sang kakak dengan raut sedikit bingung.

“Kenapa enggak boleh? Abang ‘kan abang aku. Kita keluarga, Bang. Jadi harus tinggal di rumah, dong. Kalo enggak, nanti Abang mau tinggal di mana?”

“Jadi maksud kamu, keluarga itu mereka yang tinggal serumah, ya?”

Dengan mantap anak itu mengangguk. “Iya! Bu Guru bilang kalo keluarga itu tinggal satu rumah. Makanya kita bikin satu istana, buat keluarga kita. Nanti yang kecil-kecil di sebelah ini, rumah tetangga,” balasnya diiringi cengiran tengil.

Hansa kembali terdiam usai mendengar jawaban polos yang adiknya berikan dan memilih fokus pada kegiatan membangun istana pasirnya. Meski tak berniat serius tentang apa yang si bungsu ucapkan, tetapi jauh di dalam lubuk hati, Hansa berharap kehidupan berjalan sesederhana pemikiran anak ini.

~•~


Angin sepoi-sepoi menerpa wajah empat orang dewasa yang kini duduk di sebuah tenda shelter sembari sesekali menatap tiga anak yang sibuk bermain di atas putihnya pasir pantai. Imam, ayah dari tidak anak itu, tak henti-henti berkutat dengan gawainya. Dengan fitur kamera, ia terus mengabadikan setiap momen yang dilakukan anak-anaknya.

Sementara itu, di sampingnya, Lina tidak terlalu peduli dengan apa yang suaminya lakukan. Wanita bergaun biru muda itu memilih duduk di samping sang ibu sembari mengobrolkan hal-hal seputar resep masakan, atau kabar terbaru dari kerabat yang jarang ia temui.

“Ngomong-ngomong soal donat, Mama inget kalau Tama itu suka banget sama donat, ‘kan? Jadi tadi sebelum berangkat ke sini, Mama beliin donat di toko kue langganan. Nanti suruh dia coba, ya.”

Ketika pembicaraan mengarah pada Hansa, saat itu juga suasana perlahan berubah suram. Bahkan sebelum ada kalimat lain yang terlontar, Eyang Kakung telah bangkit dan berjalan keluar dari tenda. Berdalih ingin mencari udara segar, padahal terlihat jelas jika pria paruh baya itu tidak begitu menyukai topik yang akan dibicarakan oleh sang istri.

“Papamu itu, masih aja nggak suka kalau Mama bahas soal Tama.” Eyang Putri mendesah pelan.

“Kita ‘kan udah janji, jangan membeda-bedakan antara anak satu dan lainnya. Mereka nggak pernah memilih untuk lahir di situasi seperti ini. Kamu paham maksud Mama ‘kan, Lina?” tukasnya yang kini beralih menatap putrinya.

“Paham, Ma. Kita nggak pernah beda-bedain mereka, kok. Sayang kita sama rata.” Bukan Lina, melainkan Imam-lah yang lebih dulu buka suara.

Meski paham maksud sang suami berbicara demikian adalah untuk menyingkirkan kekhawatiran Eyang Putri yang bisa mengganggu kesehatannya, Lina memilih diam. Tak memberi jawaban maupun respons atas ucapan sang suami. Wanita itu justru membuang pandangan dan tanpa sengaja menangkap sosok Hansa yang telah beralih menjadi tukang foto untuk adik perempuannya.

“Mama ngerti, luka yang kamu dapat dari apa yang terjadi di masa lalu masih belum sembuh. Papa kamu juga sama, dia masih kecewa dan merasa gagal jadi seorang ayah. Tapi kita juga nggak bisa menutup mata begitu saja, ‘kan? Tama sama sekali tidak bersalah. Dia bahkan tumbuh jadi anak sebaik itu. Mama kagum sama kepribadiannya.”

Tersenyum simpul, Eyang Putri kembali mengingat bagaimana sifat Hansa yang selama ini dikenalnya sebagai anak yang begitu sopan dan selalu menghormati orang tua. Sosok anak laki-laki yang sudah pasti menjadi impian para orang tua begitu mendengar bagaimana cara ia bersikap serta bertutur kata. Namun, cukup malang baginya, sebab dia justru dibenci oleh wanita yang telah membawanya hadir ke dunia.

“Tapi kemarin waktu kamu tiba-tiba jawab pertanyaan soal Tama kelas, Mama rasa hubungan kalian lebih baik, ya? Dan kalau memang iya, semoga ke depannya jadi semakin membaik. Jangan sampai kita menyesal karena keegoisan diri sendiri, Nak,” papar wanita itu dengan lembut.

Hening cukup lama mendominasi meski tiga orang dewasa itu duduk di bawah tenda yang sama. Imam yang tak lagi berani untuk menyahut karena takut menyinggung perasaan sang ibu mertua, sedangkan Lina masih memaku pandang ke arah sosok yang sama. Mulutnya masih saja bungkam, tetapi pikirannya dipenuhi dengan perasaan yang campur aduk usai mendengar penuturan sang ibunda.

Selama ini, ada satu pertanyaan yang diam-diam mengusik benak Lina. Yaitu tentang kebencian yang selama ini selalu ia hunuskan pada Hansa. Apakah dia benar-benar membencinya? Atau kebencian itu tumbuh hanya karena wajahnya yang semakin lama terlihat mirip dengan pria brengsek itu?

Sejak awal dia sudah berusaha menerima takdir yang juga merupakan risiko dari perbuatannya. Namun, setiap kali melihat wajah Hansa, rasa sakit yang susah payah disembuhkan lagi-lagi kembali tanpa diminta. Kecewa, marah, dan penyesalan berkecamuk tiap kali dia menatap anak itu.

Hansa itu penurut, dibandingkan dengan Hasna atau si bungsu, dia adalah anak yang paling anti dengan membantah ucapan orang tua. Dia mengerjakan apa pun yang diperintahkan, melaksanakan kewajiban sebagai anak maupun kakak, dan menjadi orang yang paling mengutamakan orang lain sebelum dirinya. Tipikal yang akan bahagia dengan melihat kebahagiaan orang-orang di sekitarnya.

Dengan segala hal baik yang ada pada anak itu, tak ada satu hal pun yang membuat Lina luluh. Dia membencinya, dan selalu seperti itu. Hingga keributan malam itu dan kepergian Hansa dari rumah selama beberapa hari, akhirnya membuat jalan pikiran Lina sedikit terbuka. Dan semua berakhir dengan percakapannya dan Hansa di dapur dengan secangkir cokelat panas.

“Aku mungkin nggak bisa janji. Tapi Mama boleh bantu berdoa, semoga keputusan yang aku ambil bisa terus berjalan ke arah yang baik. Tolong bimbingannya, ya, Ma. Aku mau jadi orang tua yang baik untuk anak-anakku,” ucap Lina memecah keheningan yang cukup lama berkuasa.

Detik itu juga, senyum lebar menghiasi wajah Eyang Putri dan juga Imam. Wanita itu juga berulangkali mengucap syukur dan mengelus kepala putrinya penuh kasih. Entah apa yang telah mereka lalui, tetapi dengan mendengar penuturan Lina, Eyang Putri merasa sangat bahagia sekaligus bersyukur karena doa-doa yang selama ini ia panjatkan akhirnya mendapat secercah jawaban.


~•~


Entah perasannya saja, atau memang suasana di meja makan jauh lebih cerah dibanding kemarin, Hansa tak begitu mengerti. Yang jelas, sejak piring mulai ditata, Eyang Putri tak henti-hentinya menyunggingkan senyum. Bukan hanya sang nenek, Ayah dan Bunda juga terlihat lebih semringah. Pria berkaus polo warna krem itu bahkan ikut-ikutan menata makanan ke atas meja sembari bersenandung kecil.

“Eyang masak apa hari ini?” Bingung hendak membantu apa, akhirnya Hansa hanya mendekati sang nenek sembari melihat-lihat menu apa saja yang akan tersaji malam ini.

Sosok dengan daster bermotif bunga yang sangat mencolok itu tersenyum simpul dan berujar, “Lauknya ada ayam asam manis, tumis brokoli jamur, sup ikan, omelet telur. Terus buat penutupnya ada es buah sama puding coklat. Ini semua bundamu sama Eyang yang masak. Jadi kamu harus makan semua, ya.”

“Nggak habis, dong. Makanku dikit,” sahut remaja itu tertawa pelan.

“Loh, kenapa dikit? Anak seusia kamu itu harus makan banyak, biar cepet gede.” Wanita itu kembali menimpali.

Dari tempatnya berdiri, Ayah menyahut, “Udah mau setinggi ayahnya gini, mau tambah gede gimana lagi, Ma? Yang ada kalo Tama lebih tinggi daripada aku, nanti aku dikira anaknya. 'Kan nggak lucu.”

Jawaban itu lantas dihadiahi dengan cubitan dari sang istri. Candaan-candaan garing yang Ayah lontarkan semakin menambah meriah suasana di meja makan malam itu. Tak butuh waktu lama untuk semua orang berkumpul. Duduk di bangku masing-masing, kemudian menyantap hidangan sembari bertukar cerita.

Ini adalah pemandangan yang lumrah Hansa lihat setiap kali mereka berkunjung. Namun, setitik perbedaan yang ada kali ini ialah, dia yang dulu sering diabaikan ketika bercerita, kini entah mengapa turut mendapat perhatian penuh. Eyang Kakung yang duduk di bangku paling ujung pun tidak menghilang setelah makan malam usai. Meski tak berkomentar apa-apa, pria itu tampak memperhatikan setiap kali cucu-cucunya bercerita.

Hingga saat berkumpul selesai, dan semua orang kembali ke kamar masing-masing, Hansa memilih untuk melipir ke dapur. Berniat untuk sedikit memberi bantuan sang nenek dan bundanya membereskan peralatan memasak.

“Lho, kamu ngapain di sini? Ke kamar aja istirahat. Biar Eyang sama bundamu aja yang beresin,” celetuk Eyang Putri ketika melihat Hansa muncul dari balik pintu.n

“Aku pengen bantu-bantu Eyang. Biar cepet selesai, dan Bunda sama Eyang juga bisa cepet istirahat,” sahutnya sambil meraih gelas yang baru selesai dicuci Bunda dan berniat menatanya ke dalam rak.

Namun, belum sempat anak itu bertindak, Eyang Putri lebih dulu menyambar gelas dari tangan Hansa.

“Udah, udah. Kamu nggak usah bantu, Eyang sama bundamu bisa selesaiin berdua.”

“Tapi—“

“Nggak pakai tapi-tapian. Kamu anter aja teh ini buat Eyang Kakung, ya. Dia ada di teras depan, udah nungguin,” pungkas Eyang Putri.

Wanita itu menyerahkan nampan berisi segelas teh tubruk yang sudah diseduh sedemikian rupa hingga menguarkan aroma wangi yang khas dan sepiring biskuit sebagai camilan pendamping. Mendorong pelan bahu Hansa hingga keluar dari area dapur, dan kembali menyibukkan diri dengan pekerjaannya yang tertunda.

Jujur saja, berkutik membersihkan dapur jauh lebih baik daripada harus menyerahkan segelas teh kepada sang kakek. Karena demi apa pun, Hansa benar-benar canggung setiap kali berhadapan dengan pria itu. Dan kini ia menyesali keputusannya mendatangi dapur. Namun, meski dengan langkah berat, remaja itu akhirnya tetap melaksanakan perintah Eyang Putri untuk mengantarkan teh pada Eyang Kakung.

Setibanya di teras, Hansa mendapati sang kakek tengah duduk di kursi kayu jati sembari membaca sebuah buku tentang budidaya tanaman hias. Satu hal yang Hansa ketahui sebagai hobi yang tengah ditekuni sang kakek akhir-akhir ini.

“Tehnya, Eyang.” Perlahan, bocah itu meletakkan nampan ke atas meja.

Awalnya, Hansa ingin segera berbalik dan bertolak pergi usai menghidangkan teh serta camilan yang disiapkan sang nenek. Namun, kalimat yang terlontar dari sosok tegas itu menghentikan langkahnya.

“Duduk dulu sini, temani Eyang pilih tanaman yang cocok buat halaman depan.”

“Hah?” Ia sedikit tersentak.

“Kenapa? Enggak mau? Ya sudah, ndak apa,” tukas pria itu ketika menangkap raut bingung di wajah Hansa.

“Eh ... e–enggak, Eyang. M–mau, kok! Emang Eyang mau tanaman yang gimana?” sahutnya tergagap.

Bukan tanpa sebab Hansa begitu gugup ketika berbicara dengan Eyang Kakung. Sebab sejauh ingatannya merangkum, momen Eyang Kakung mengajaknya berbicara lebih dulu itu adalah hal yang langka. Seperti yang dikatakan di awal, Eyang Kakung lebih suka menghindar dan memilih tak peduli setiap kali Hansa hadir. Jadi, mendapat kesempatan untuk diajak berbicara dengan Eyang Kakung lebih dulu seperti ini jelas membuatnya canggung setengah mati.

“Ada beberapa yang menarik, tapi Eyang bingung mana yang cocok buat halaman depan.” Pria itu memperlihatkan beberapa halaman yang berisi gambar tanaman pada Hansa.

Menempati sisi kosong dari bangku panjang yang diduduki Eyang Kakung, Hansa mengintip tanaman apa saja yang sudah menarik perhatian sang kakek. Dari beberapa yang sudah dipilih, pandangan pemuda itu tertuju pada satu tanaman dengan bunga berwarna putih yang mekar begitu indah.

“Yang ini too much nggak, sih, Eyang? Kalau ditanem di depan bareng sama lily yang ini kayaknya bagus,” ujarnya menunjuk pada sebuah gambar bunga lili berwarna merah muda.

Tak segera memberi jawaban, Eyang Kakung melihat dua bunga yang direkomendasikan oleh sang cucu. Dahi pria itu mengernyit halus, dan setelahnya ia mengangguk pelan.





“Lumayan. Eyang Putri juga suka dua warna ini,” balasnya singkat. Pria itu melipat kedua halama yang berisi dua bunga yang Hansa pilih kemudian menutupnya. Sebagai pertanda jika dia telah menemukan jenis tanaman yang diinginkan.

Dalam hati, Hansa bersorak kegirangan. Ini adalah percakapan terpanjang yang pernah dia punya dengan sang kakek. Dan untuk pertama kalinya, Eyang Kakung lebih dulu mengajaknya berbicara. Selama ini, selalu saja Hansa yang harus putar otak demi bisa berbincang sepatah dua patah kata dengan kakeknya. Karena jika tidak, maka mereka hanya akan terus-menerus saling membisu.

“Nanti setelah lulus mau ambil jurusan apa?” Sebuah pertanyaan lagi-lagi terlontar pada Hansa setelah hening beberapa saat sempat mengambil alih.

Menggaruk tengkuknya, Hansa menyahut setengah gagap, “Aku masih belum yakin, sih, Eyang. Tapi insyaallah pengen banget ambil PGSD.”

Ada sekilas kejut yang muncul di wajah Eyang Kakung usai Hansa mengutarakan jawabannya. Namun, sesaat kemudian pria itu berdeham dan kembali memasang raut datar.

“Kenapa pilih itu?”

“Hmm ... karena aku suka anak kecil(?)” Hansa tampak berpikir sejenak , sebelum kembali berucap, “Maksudnya, tuh, suka lihat mereka yang lucu-lucu dan polos. Contohnya Hasan. Aku suka tiap nemenin dia belajar. Karena rasa ingin tahu dia tinggi, bikin aku juga makin semangat ngajarin dia. Dan ada rasa seneng sekaligus bangga kalo Hasan akhirnya ngerti apa yang udah aku ajarin. Akhirnya sedikit ilmu yang aku tahu ada manfaatnya juga buat orang lain.”

Eyang Kakung manggut-manggut dengan jawaban Hansa. Sejenak, ia memandang  wajah Hansa dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia mengamati setiap garis di wajah sang cucu, seolah mencari sesuatu yang tak pernah ditemukan sebelumnya. Hansa yang duduk di sampingnya terlihat tenang, tetapi Eyang Kakung tahu, ada sesuatu yang berat dipikul anak muda itu.

“Jurusan yang mau kamu itu, dulunya juga jurusan yang bundamu cita-citakan,” celetuk Eyang Kakung, dan sukses mengalihkan pandangan Hansa sepenuhnya.

Seolah ingin tahu, remaja itu menatap sang kakek. Menanti kalimat selanjutnya yang akan dilontarkan pria itu dengan hati berdebar aneh.

“Dia juga mirip seperti kamu, suka anak-anak. Jadi guru TK atau SD mungkin cocok buatnya. Tapi ....” Hela napas pelan terlontar dari bibir Eyang tanpa disadari.

“Karena lain dan satu hal, dia menyerah untuk meraih cita-citanya,” pungkasnya.

Hansa meremas ujung bajunya usai mendengar penuturan sang kakek. Bahkan tanpa harus ditanya pun dia tahu apa dan siapa penyebab Bunda mengubur cita-citanya. Namun, hatinya selalu tercubit setiap kali hal ini dibahas.

“Rencana mau kuliah di mana?” Eyang Kakung kembali melempar pertanyaan, membuat Hansa terkesiap dan terlepas dari pikiran yang menyakitinya.

“Aku masih belum tahu juga, Eyang. Belum diskusi sama Ayah dan Bunda, takut salah pilih kalau cuma aku aja yang memutuskan. Pilihan mereka pasti lebih baik daripada aku yang ngikutin arus temen-temen aja,” sahutnya usai beberapa saat terdiam.

Anak itu melempar pandangan ke arah halaman depan yang disinari cahaya lampu temaram. Hujan sore tadi menyisakan aroma segar dan basah pada rerumputan yang terhampar di halaman hijau itu. Menjadi alasan masuk akal mengapa kakeknya suka berdiam lama di sini. Ketenangan yang dihasilkan tak pernah bisa Hansa dapat selama tinggal di ibu kota.

“Kalau mau cari suasana baru, bisa coba kampus di daerah sini. Untuk tempat tinggal, bisa pakai kamar bundamu atau kakak-kakaknya yang kosong daripada repot-repot ngekos,” lontar pria paruh baya itu dan sukses mengalihkan perhatian Hansa sepenuhnya.

Remaja itu menatap sang kakek keheranan. “Boleh, Eyang? Semisal aku kuliah di Jogja, boleh tinggal di sini? Bareng Eyang Kakung sama Putri?”

Dahi pria itu berkerut samar. “Tentu boleh. Justru aneh kalau Eyang melarang cucunya tinggal bersama,” timpalnya enteng.

“Oke. Kalo gitu nanti aku bilang ke Ayah, deh.”

Senyum merekah di bibir Hansa hingga membuat kedua mata sipitnya nyaris terpejam. Entahlah, dia hanya merasa sangat bahagia hari ini, semua hal berjalan begitu lancar dan menyenangkan. Sebuah sensasi yang nyaris tidak pernah dirasakan oleh dirinya yang selalu diliputi gelisah.

Jika saja waktu bisa dihentikan, Hansa ingin waktu itu terus berhenti di sini. Baginya yang haus akan perhatian, kali ini dia merasa puas. Bersama keluarga yang disayangi, hangat, dan bahagia. Sesederhana itu saja hal yang selalu Hansa damba.

Hampir 3000 kata, kebangetan sih kalo kalian cuma siders. Minimal vote-lah😞🫵🏻

Anyway, enjoy yaaa. Dan ayok join ke channel-ku, supaya bisa dapet info semisal notif WP eror kek kemarin 🥹

Aku juga bikin satu AU yang cuma aku upload di sana, jangan sampe ketinggalan 😆

Kamu bisa join pake link di bio Wattpad ini, atau link di Instagram aku im__vha 😗

Sekian and see you next part~

Salam

Vha
(09-02-2025)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro