Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

° 20. Libur Semester °

Woy! Plis banget ini mah, kalian kalo baca tuh biasakan vote. Jahat banget yang baca ada 300-an, tapi vote cuma 50 😭🫵🏻

Awas aja kalo part ini banyak siders, aku nggak ridho ya. Kalo hidupmu sial, berarti akyu sakit hati 😮‍💨

Pagi baru saja merekah, dan sinar matahari lembut menyelusup masuk melalui celah-celah jendela kamar Hansa. Namun, suasana di rumah terasa berbeda, lebih cerah dan bersemangat daripada biasanya. Semua bermula karena hari ini adalah awal liburan semester ganjil, dan ada sesuatu tak biasa yang membuat keluarga kecil itu sibuk sejak pagi menjelang.

Ketika dirasa semua persiapan telah selesai, remaja itu beranjak keluar dari kamarnya. Namun, sama seperti setengah jam lalu, semua orang masih saja sibuk dengan urusan masing-masing. Sang ayah yang biasanya santai pun kini tampak sibuk mengangkat beberapa tas untuk dimasukkan ke dalam bagasi mobil.

"Kita mau nginep berapa hari, Yah?" tanya pemuda itu sembari memasukkan ranselnya ke dalam bagasi, bersama barang lainnya.

"Satu minggu mungkin. Ayah bisa dapet cuti panjang meski nanti tetep WFH juga di sana. Emang kenapa? Kamu punya rencana lain selama liburan?"

"Ah, enggak." Cowok itu menggeleng pelan. "Cuma tumben aja liburan semester ini kita pergi ke rumah Eyang. Biasanya kan cuma tiap lebaran aja kita ke sana. Lebih sering ke rumah Opa-Oma."

Sembari memasukkan satu tas berisi bermacam camilan, Ayah menyahut, "Iya. Karena lebaran kemarin kita belum sempat ke sana, jadi bagus kalau diganti sekarang. Mumpung kalian libur panjang. Bunda juga udah kangen sama Eyang."

Tak banyak berkomentar, Hansa hanya manggut-manggut mendengar penuturan sang ayah. Memang benar jika mereka memang jarang mengunjungi rumah kakek dan neneknya yang terletak di salah satu sudut kota Yogyakarta. Selain jarak yang cukup jauh, sibuk menjadi salah satu alasan mengapa mereka jarang berkunjung. Berbeda dengan orang tua Ayah yang juga tinggal di ibu kota, Hansa bahkan sering menginap di rumah mereka bersama dengan Riri, sang sepupu.

"Udah dicek semua barangnya? Nggak ada yang ketinggalan?" lontar Ayah ketika sang istri muncul dari balik pintu dengan satu tas kecil terakhir yang masuk ke bagasi.

Wanita itu mengangguk mantap. "Udah. Tinggal tunggu punya Hasna aja, masih sibuk nyari sweater katanya."

Setelah persiapan selesai dan semua orang berkumpul, Ayah memberi titah agar mereka segera memasuki mobil. Dan sepuluh menit kemudian, kendaraan beroda empat itu akhirnya bergerak melaju meninggalkan pekarangan rumah. Dengan wajah yang berbinar, Hansa diam-diam menantikan momen libur panjang ini.

Dia tidak sabar dengan apa yang akan terjadi di liburan kali ini. Di mana semua terasa jauh lebih indah dari sebelumnya. Baik itu rencana liburan, maupun hubungan dengan Bunda yang kian hari semakin membaik.

~•~

Delapan jam perjalanan nyatanya terasa cukup melelahkan meski yang Hansa lakukan hanya duduk di bangku penumpang sembari menyantap camilan bersama dua adiknya. Hansa bahkan tidak menyadari sejak kapan ia tertidur, tetapi begitu mata terbuka, mobil yang dikendarai sang ayah telah memasuki area pelataran rumah yang cukup luas.

Rumah bergaya joglo yang begitu khas berdiri tegak dengan bermacam pohon rindang mengitari bangunan kokoh yang sebagian strukturnya dari kayu jati itu. Memberi kesan sejuk hanya dengan menatapnya saja. Di terasnya tergantung bermacam pot bunga yang sedang mekar, sedangkan pada bagian halaman ditumbuhi rumput gajah yang membentang hijau menutupi seluruh permukaan.

Hal pertama yang Hansa lakukan begitu keluar dari mobil adalah menghirup udara sebanyak-banyaknya dan mengedarkan pandangan, mengabsen setiap sudut dari halaman yang didominasi oleh warna hijau itu.

"Seger, ya?"

Ayah yang entah sejak kapan berdiri di samping Hansa menyeletuk. Tak menyahut, pemuda itu hanya mengangguk pelan dan tersenyum tipis.

"Ayo, salim sama Eyang dulu. Setelah itu lanjut aja kalo pengen lihat-lihat," tukas Ayah lagi, dan lagi-lagi dibalas anggukan oleh si lawan bicara.

Beberapa langkah di depan mereka, Bunda dan kedua adiknya sudah lebih dulu disambut oleh si tuan rumah. Seorang wanita paruh baya dengan tunik bermotif bunga tengah memeluk dan menciumi kedua pipi adiknya. Garis senyum yang hangat terukir jelas di wajah yang mulai dihiasi keriput itu. Dan begitu pandangan keduanya bertemu, senyum wanita itu semakin lebar.

"Ini Tama, 'kan? Masyaallah, udah gede banget kamu sekarang. Enyang sampai pangling. Tambah ganteng."

Elusan lembut mendarat di kepala Hansa, dan tak kalah antusias pemuda itu pun meraih tangan sang nenek dan menciumnya.

"Sekarang udah SMA, 'kan? Kelas berapa?"

"Kelas sebelas, Ma. Terakhir kali ke sini dulu dia masih SMP kelas sembilan." Bukan Hansa, melainkan Bunda-lah yang menanggapi pertanyaan yang Eyang Putri lontarkan. Wanita itu menjawab sembari melangkah memasuki rumah.

Tak hanya Hansa, Eyang Putri pun sedikit terkejut ketika Bunda menjawab pertanyaan yang sebenarnya ditujukan untuk Hansa. Wanita bermata teduh itu jelas tahu seberapa benci putrinya pada anak sulung yang kehadirannya pernah menyulut api di rumah ini. Setiap kali mereka berkunjung, tak pernah sekalipun Eyang Putri melihat Bunda menyinggung tentang Hansa.

Ketika tiba saat di mana pembicaraan mengarah pada anak, Bunda hanya akan menonjolkan Hasna atau si bungsu, Hasan. Namun, untuk pertama kalinya setelah pertemuan dua tahun lalu, sebuah perubahan besar terjadi.

"Eyang Kakung ada di mana, Yang? Aku, kok, nggak lihat beliau?" Menyingkirkan kecanggungan yang sempat mendominasi, Hansa mengubah topik pembicaraan.

"Oh, Kakung ada di belakang. Lagi ngasih makan burung. Tadi dia nungguin kalian, tapi nggak datang-datang. Jadi ditinggal ke belakang," tukas wanita itu lantas menunjuk pada pintu yang mengarah ke halaman belakang.

"Kamu ke kamar aja dulu. Istirahat-istirahat gitu. Pasti capek habis perjalanan jauh. Nanti sore aja nemuin Kakung," lanjutnya.

"Iya, Eyang. Tama masuk dulu, ya."

Seperti yang dikatakan Eyang Putri, Hansa langsung bertolak ke salah satu kamar yang memang selalu ia gunakan setiap kali berkunjung ke rumah itu. Kamar yang letaknya bersebelahan dengan taman kecil di mana beraneka macam bunga ditanam.

Usai meletakkan tas ransel yang berisi beberapa potong pakaiannya, pemuda itu lantas menjatuhkan dirinya ke kasur dengan sprei yang langsung menguarkan aroma wangi begitu berbaring. Dapat dipastikan Eyang Putri menyiapkan semuanya sebelum mereka tiba.

Padahal yang dilakukan selama perjalanan hanya makan dan bermain dengan si bungsu, tetapi entah mengapa rasa lelah yang teramat begitu melekat di tubuh Hansa. Hingga tak butuh waktu lama baginya untuk terlelap begitu mata terpejam. Dan ketika terbangun, waktu sudah di penghujung senja, dengan pendar jingga yang merayap masuk dari sela-sela tirai jendela yang terbuka setengah.

~•~

"Nyenyak tidurnya, Bang?"

Hansa baru saja keluar dari bilik kamar mandi ketika berpapasan dengan Ayah yang membawa segelas susu di tangan kanannya. Jelas itu adalah milik si bungsu yang memang masih mengonsumsi susu untuk memperlancar pertumbuhannya.

Remaja itu mengangguk pelan. "Iya, Yah. Suasananya enak banget buat tidur. Taman di samping kamar juga lagi pada mekar bunganya, udaranya seger."

"Baguslah kalo begitu. Habis ini ke masjid depan, ya. Kita salat berjamaah, terus makan malam bareng. Bunda sama Eyang tadi masak banyak banget, enak-enak semua. Kamu harus siapin perut buat mukbang," papar pria itu diiringi kekehan.

"Iya, Yah. Aku juga kangen banget masakan Eyang. Apalagi sambal goreng krecek sama gudegnya. Bikin gagal diet kalo kata Hasna."

Ayah lagi-lagi dibuat terkekeh dengan kalimat Hansa. Pria itu beranjak pergi setelah kembali mengingatkan Hansa agar segera bersiap-siap untuk ikut beribadah.

Awalnya, Hansa berniat untuk langsung menyusul Ayah di teras depan yang sudah siap untuk pergi ke masjid. Namun, tanpa sengaja sudut matanya menangkap bayangan Eyang Kakung yang masih berdiri di dekat akuarium besar di ruang tengah sembari memperhatikan ikan-ikan di dalamnya. Dan mengingat sebelumnya dia belum memberi salam, Hansa memutuskan untuk menghampiri sosok paruh baya itu lebih dulu.

"Eyang," panggilnya dan langsung membuat pandangan pria dengan rambut yang sebagian besar sudah memutih itu menoleh.

Tangan kanan anak itu terulur, bermaksud untuk menyalami sang kakek karena sebelumnya mereka belum bertegur sapa sejak kedatangan siang tadi. Akan tetapi, berbeda dengan Hansa yang tampak girang dengan pertemuan mereka, pria itu hanya menatapnya dengan raut datar. Ia bahkan masih membiarkan tangan Hansa mengambang di udara tanpa berniat untuk menyambutnya.

"Eyang mau ikut salah jamaah di masjid? Ayo berangkat bareng, kebetulan aku sama ayah juga mau ke masjid."

Menurunkan tangan yang tak kunjung mendapat sambutan, Hansa mengubah topik dan beralih menunjuk keberadaan sang ayah yang berada di teras. Bersamaan dengan itu juga, azan Maghrib berkumandang. Dan akhirnya Eyang Kakung pun mengangguk sembari melangkah melewati Hansa tanpa sedikitpun menanggapi ucapan remaja itu.

Mendapat sambutan yang sedikit tak mengenakan, sejujurnya Hansa tidak begitu terkejut. Bahkan di tahun-tahun sebelumnya, dia memang sudah merasakan bagaimana Eyang Kakung memperlakukan Hansa berbeda daripada cucu-cucu yang lain.

Perbedaannya cukup terlihat jelas, seperti memergoki Eyang Kakung memberikan uang saku pada dua adiknya sedangkan Hansa hanya mendapat bagian dari sang nenek. Atau ketika Eyang Kakung mengajak mereka memetik mangga di belakang rumah, ia akan mengupaskannya untuk mereka. Sedangkan Hansa diberi satu buah utuh, dan diminta untuk mengupaskannya sendiri dengan alasan dia sudah cukup besar untuk bisa mengupas mangga sendiri.

Dalam setiap bincang-bincang malam di mana semua berkumpul di ruang keluarga, suasana selalu terasa hangat dengan berbagai topik seputar pekerjaan atau kehidupan sehari-hari. Eyang Putri yang pada dasarnya cerewet akan menjadi orang pertama yang paling antusias untuk meminta cucunya bercerita. Dan di sampingnya, Eyang Kakung dengan secangkir kopinya akan ikut terbawa suasana. Turut tertawa ketika sang cucu menceritakan kejadian lucu yang mereka alami, dan juga tak jarang akan memberi wejangan layaknya orang tua pada anaknya.

Hansa juga sama, dia mendapat kesempatan untuk bercerita. Akan tetapi, reaksi sang kakek tak lagi seantusias ketika mendengar Hasan maupun Hasna. Pria yang sebagian besar rambutnya telah memutih itu bahkan lebih sering menghiraukan dan memilih untuk berbicara dengan Ayah daripada memperhatikan Hansa yang tengah mengurai cerita.

Jika dulu Hansa sering merasa sedih dengan bagaimana sang kakek bersikap, akhirnya kini ia tersadar. Bahwa dia memang pantas mendapatkannya. Bahkan bisa dibilang Hansa itu beruntung, sebab Eyang Kakung tidak membencinya secara terang-terangan. Mungkin apa yang dirasakan Eyang sama dengan apa yang dirasakan Bunda setiap kali berhadapan dengan Hansa. Jijik, tetapi harus menahan diri.


Fyi ini reupload yang ke-2 kalinya, ya. Dari kemaren2 nggak ada notifikasi soalnya. Maaf yang ter-PHP 😞🙏🏻

Sebelum itu, aku maksa kalian masuk channel-ku. Nih, tinggal scan aja QR-nya. Kalo masih nggak bisa, klik link di bio, wajibun 🫵🏻

Rencana aku mau bikin AU dari cerita yang pernah aku unpub. Masih belajar, tapi siapa tahu ada yang suka baca AU ya kan? 🌝

Sekian, dan see you next part~

Jangan lupa ke Karyakarsa atau Wacaku untuk baca bab duluan yaw 😙

Salam

Vha
(02-02-2025)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro