Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

° 18. Fakta dan Luka °

Di penghujung senja yang menyisakan bias merah pada ujung cakrawala, remaja itu mendorong gerbang bercat hitam di depannya perlahan. Derit pelan yang dihasilkan menjadi bunyi khas dari karat roda gerbang yang mulai rapuh tergerus usia. Dengan mesin yang sudah dimatikan, Hansa mendorong pelan motornya memasuki garasi. Memarkirkan kendaraan itu di samping mobil sang ayah, lantas berbalik dan menutup gerbang.

Dari arah belakang, suara langkah kaki bersamaan dengan teriak kegirangan dari bocah dengan kaus gambar Doraemon menyambut kedatangan pemuda itu.

"Abaaaangg!" Suara cemprengnya menggema. Anak itu berlari dan langsung memeluk sosok yang memberi senyuman hangat seperti biasa.

"Jangan lari-lari, Dek. Nanti jatuh," ucap Hansa sembari mengusap pelan pucuk kepala si bungsu.

Bocah itu mengerucutkan bibir. "Aku kangen sama Abang."

"Abang ke mana aja, sih? Kenapa nggak pulang lama banget? Bunda bilang Abang pergi. Emang pergi ke mana? Kenapa nggak ajak aku?" cerocosnya yang dihadiahi kekeh pelan dari si lawan bicara.

Memilih untuk tidak menjawab, Hansa justru mengangkat sang adik ke dalam gendongan dan melangkahkan kaki ke dalam rumah. Tepat seperti dugaan, sang ayah sedang bersantai di depan televisi dengan secangkir tehnya sembari sesekali memeriksa layar gawai di genggaman. Masih sibuk memantau pekerjaan meski sudah berada di kediaman. Namun, begitu menyadari kehadiran Hansa, sosok itu mengabaikan ponselnya dan bangkit.

"Assalamu'alaikum." Hansa menurunkan sang adik dari gendongan dan menyalami Ayah.

Menjawab salam lirih, pria itu lantas menarik Hansa ke pelukannya. Cukup lama hingga terkecoh oleh si bungsu yang mengeluh haus. Anak itu pun segera berlari menjauh ketika sang ayah memberikan instruksi agar meninggalkan mereka untuk berbicara.

"Kamu nggak papa, 'kan? Nggak ada yang sakit atau apa gitu?" Pria itu membolak-balik tubuh Hansa, berusaha menemukan hal yang mungkin janggal di tubuh sang putra.

"Enggak. Alhamdulillah sehat."

Setelah mendapat jawaban itu, barulah Ayah berhenti kemudian membuang napas lega.

"Syukurlah kalau begitu." Ia menepuk pundak Hansa pelan dan kembali memeluknya.

"Ngomong-ngomong, Bunda di mana, Yah?"

Pertanyaan itu terlontar tepat setelah dia terlepas dari dekapan sang ayah. Membuat sosok yang semula tenang kini kembali diterpa gelisah. Namun, meski begitu, Ayah tetap memberikan jawaban atas pertanyaan itu.

"Bunda ada di dapur, lagi mau nyiapin makan malem."

"Kira-kira kalo aku bicara sama Bunda sekarang, Bunda masih marah nggak, ya, Yah?" Hansa menggaruk tengkuknya dengan sedikit resah.

"Aku pengen bisa ngobrol sama Bunda dan bicarain semua baik-baik. Siapa tahu Bunda bisa sedikit kasih ruang buat aku," lanjutnya lirih.

Mendengar hal itu, Ayah terdiam untuk sekian detik. Hatinya ngilu saat Hansa secara tak langsung mengungkapkan bahwa dia merasa dibenci oleh sang bunda. Bukan hal yang dibenarkan ketika sang anak harus menanggung akibat dari kesalahan yang sama sekali tidak ia perbuat.

Namun, sebagai orang yang berdiri di antara keduanya, Ayah berusaha untuk tidak berat sebelah. Dia harus pandai memposisikan diri agar dua orang yang dicintainya tak terluka atas langkah yang diambil.

"Boleh, kok, tapi nanti habis makan aja. Biar Ayah dulu yang bicara sama Bunda. Kamu siap-siap dulu, deh, mandi atau sholat. Biar nanti pas bicara sama Bunda jadi lebih rileks," tukas Ayah pada akhirnya.

"Oke, sip!"

Tak ada penolakan ataupun rasa ingin tahu tentang apa yang akan sang ayah bicarakan dengan bundanya. Hansa memilih untuk patuh dan bertolak menuju kamar. Berharap dengan percakapan nanti, segalanya akan jadi lebih baik.

~•~

Jarum pada jam dinding menunjukkan angka delapan lebih tiga puluh. Waktu di mana makan malam telah usai lebih dari setengah jam lalu. Di dapur berukuran tak lebih dari 3x4 meter itu hanya menyisakan Hansa dengan sang ibunda yang kini sama-sama sibuk membersihkan peralatan makan.

Tak ada satu pun di antaranya yang buka suara hingga kesibukannya usai, dan keduanya duduk saling berhadapan di bangku dapur. Sebelum itu, Lina menyiapkan dua cangkir yang masing-masing berisi teh serta cokelat panas untuk pendamping percakapan yang mungkin akan berlangsung sedikit lama.

Hansa menerima cangkir yang disodorkan oleh sang bunda. Namun, hingga detik perlahan merangkak menuju menit, bocah itu sama sekali tidak mengucap sepatah kata pun. Hanya diam sembari sesekali mengusap cangkir kaca yang terasa hangat di telapak tangan.

Sial memang. Padahal selama di kamar, dia sudah menyusun kalimat untuk berbicara. Akan tetapi, ketika sudah berhadapan dengan Bunda, Hansa buyar. Tak ada sepatah kalimat pun yang terlintas di ingatannya. Layaknya orang bodoh, ia hanya bisa terdiam sembari memandangi cangkir putih di genggaman.

Hingga kalimat yang meluncur dari bibir wanita cantik di depannya membuat remaja itu mendongak.

"Waktu itu, Bunda cuma anak SMA seumuranmu. Remaja yang dimabuk cinta dan berpikir asal ada cinta, seberat apa pun masalah yang ada, kita bisa melewatinya." Lina menyesap teh perlahan kemudian membalas tatapan Hansa dengan raut datar.

"Tapi ternyata cinta memang nggak semanis yang terukir di bait puisi. Semua itu terbukti ketika laki-laki yang Bunda cinta bilang menyesal setelah mengambil hal yang paling berharga dari Bunda."

"Dia bilang, 'Aku cinta sama kamu, tapi aku belum siap kalau jadi ayah. Ada cita-cita yang harus kukejar.' Padahal sebelumnya, dia yang ngotot ajak Bunda buat melakukan hal yang melanggar norma itu. Lucu, 'kan?" ucap Lina dengan kekeh pelan. Seolah apa yang ia katakan adalah hal yang bisa ditertawakan.

Sedangkan di depannya, Hansa terduduk kaku dengan rona wajah yang perlahan pudar. Melalui kedua manik hitamnya, dia dapat menangkap kemarahan serta kebencian yang terpancar dari kedua mata sang ibu. Begitu berkebalikan dengan senyuman yang terpatri di kedua sudut bibir merah mudanya.

"Bun ...." Lirih, ia berusaha untuk memastikan kondisi sosok itu.

Namun, begitu lengannya terulur untuk menggenggam jemari si lawan bicara, secepat itu pula Lina menepisnya. Menorehkan sedikit luka di sudut hati Hansa meski tak seberapa.

"Akhirnya kakek sama nenekmu tahu kalau Bunda hamil kamu." Lina terdiam sejenak. Ingatannya kembali ke masa yang paling ingin dilupakan.

"Melihat satu-satunya putri di keluarga itu hamil tanpa suami, jelas menjadi hal yang mengecewakan sekaligus memalukan. Tapi saat itu kami juga nggak bisa berbuat banyak. Orang tua laki-laki itu punya kekuasaan yang cukup untuk membuat kami berhenti meminta lebih. Hanya permintaan maaf dan sejumlah uang yang bahkan nggak sudi Bunda sentuh."

Degup tak beraturan menyambangi dada Hansa. Rentetan fakta yang dibeberkan membuatnya mual dan pening secara bersamaan. Bahkan cokelat panas yang tadinya akan ia minum saat sudah dingin sama sekali tak tersentuh.

"Ayahmu datang sewaktu kehamilan Bunda memasuki usia lima bulan. Waktu itu dia cuma karyawan biasa yang baru dapat kerja setelah lulus kuliah. Dengan kepercayaan diri penuh, dia melamar Bunda. Alasannya karena memang udah suka sama Bunda sejak pertama ketemu. Padahal kita ketemu cuma beberapa kali aja. Karena kebetulan orang tua kita punya hubungan bisnis dan sesekali makan bersama."

Kali ini ada rona merah yang samar menghiasi kedua pipi tirus Lina. Dari apa yang terlihat saja, Hansa bisa mengetahui jika Bunda tak menyesali pernikahannya dengan sang ayah. Dan entah mengapa ada sejumput lega ketika secara tidak langsung dia tahu jika kedua orang tuanya saling mencintai.

"Kami menikah satu bulan setelah kamu lahir. Acaranya cukup sederhana, nggak semeriah pesta pernikahan kakak-kakak Bunda yang lain. Itu pun masih jadi bahan omongan tetangga sampai berbulan-bulan."

Alih-alih merasa sedih, cibiran para tetangga kala itu justru membuat amarahnya membuncah. Mengapa manusia suka seenaknya menilai orang lain hanya dari sekelumit kisah yang bahkan belum jelas kebenarannya? Tidak tahukah mereka jika dia sudah cukup terluka dengan kemalangan yang menimpa? Bersikap layaknya makhluk suci ketika seseorang melakukan kesalahan, padahal dirinya pun penuh noda.

"Nggak ada sedikit pun rasa bahagia setiap melihat kamu nangis atau ketawa. Cuma ada ingatan tentang kebodohan Bunda yang menghancurkan masa depan juga harapan orang tua. Dan perasaan itu masih ada sampai sekarang, Tam. Belum berubah," pungkasnya yang kini menatap tepat ke manik hitam putranya.

Hingga detik ini, Hansa masih membeku dan bisu. Air yang sudah menggenang di kedua pelupuk matanya siap tumpah kapan saja. Seperti tertusuk puluhan mata pisau, hatinya begitu sakit setiap mendengar penyesalan sang ibunda tentang kelahirannya.

Seolah memperjelas kenyataan bahwa dia memang tak seharusnya ada. Dia hanya bencana yang menghancurkan masa depan seorang gadis yang dipenuhi impian. Dia juga wujud kekecewaan yang dibiarkan tumbuh dalam lingkup kasih sayang.

"A–aku ...."

Maaf, adalah kata yang ingin Hansa ucapkan sekarang. Namun, ia tahu jika Bunda selalu benci dengan maaf yang terlontar dari mulutnya. Sebab tak ada hal yang akan berubah meski dia mengucap maaf. Segalanya masih sama, luka itu juga masih tetap ada.

"Kamu nggak salah, Bunda tahu, kok." Lina kembali angkat bicara ketika Hansa tercekat oleh kalimatnya.

"Tapi Bunda memilih jadi orang dungu yang tetep limpahkan semua rasa benci ke kamu. Karena rasanya benar-benar sulit untuk ikhlas dan menerima setelah semua yang terjadi."

Helaan napas pelan terlontar dari perempuan cantik itu. Dipandangnya wajah Hansa yang kini tertunduk sembari sesekali mengusap air di sudut mata, seolah sedang berusaha untuk menyembunyikan tangisan.

"Terkadang, beberapa luka nggak bisa sembuh meski sudah banyak waktu berlalu, Tam. Kemungkinan rasa sakitnya sudah hilang, tapi bekasnya bisa jadi abadi. Mungkin itu gambaran yang sedang Bunda alami sekarang."

Melihat Hansa masih diam tertunduk, wanita itu bangkit dan meletakkan cangkir yang sudah tandas ke wastafel dan mencucinya. Membiarkan keheningan lagi-lagi berkuasa untuk sementara. Dan ketika jam menunjukkan pukul sembilan tepat, Lina melangkah mendekati Hansa.

Berdiri dengan jarak tak lebih dari satu langkah, ia berkata, "Mungkin ini kedengaran egois dan kekanakan. Tapi kamu mau kasih Bunda waktu sedikit lebih lama lagi buat belajar ikhlas dan menerima? Bunda juga minta maaf buat kejadian tempo hari. Bunda terlalu emosi waktu itu."

Detik ini juga, Hansa akhirnya mendongak. Menatap lamat sang bunda yang kini tampak lebih lembut dari sebelumnya. Raut tidak percaya tergambar jelas di wajah pemuda itu.

Dengan suara bergetar, Hansa menyahut, "Beneran? Bunda nggak benci aku?"

Sosok itu mengangguk pelan. "Bunda berusaha," sahutnya.

Walau keraguan masih lebih berkuasa, setidaknya saat ini Lina berusaha untuk memantapkan hati. Mungkin ini adalah langkah pertamanya keluar dari jerat masa lalu yang senantiasa menghantui.

"Makasih, Bun!"

Terlalu senang hingga tanpa sadar bocah yang masih di posisi duduk itu tiba-tiba memeluk pinggang ramping sang bunda. Menyebabkan efek kejut yang tak diduga oleh keduanya. Hingga beberapa detik kemudian, Hansa buru-buru melepaskan pelukannya dan mengucap maaf berulang kali.

"A–aku terlalu kesenengan. Maaf, Bun." Ia terduduk kikuk sembari mengusap tengkuknya.

'Bego banget, sih, Han. Baru juga mulai baikan, malah kurang ajar,' rutuknya dalam hati.

"Nggak papa. Obrolan kita sampai sini aja. Bunda mau balik ke kamar, udah ngantuk," balas Lina tak acuh.

Setelahnya, wanita itu berbalik dan melangkah pergi. Meninggalkan Hansa dengan secangkir cokelat yang kini telah sepenuhnya dingin.

Di posisi Bunda itu sulit, tapi jadi Hansa juga nggak mudah tau 😞

Yang udah mampir jangan lupa juga ramaikan kolom komentar 🫵🏻

Terus masuk ke channelku biar bisa lebih banyak dapet asupan 👁️🫦👁️

Link join ada di Bio depan yaww.. kutunggu kalian di sana 😗❤️

Sekian, and see you next part ~

Salam

Vha
(19-0-2025)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro