Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

° 14. Terbuka, Kecewa, lantas Terluka °

“Abang! Ini ditaruh mana?” Dengan rumput tergenggam di kedua telapak tangannya, bocah itu menghampiri sang kakak.

“Masukin ke tong yang ada di pinggir itu, Dek. Nanti biar Abang yang angkat keluar,”  sahut sang kakak tanpa menoleh.

Sore ini, agenda Hansa adalah membersihkan rumput liar yang tumbuh di kebun belakang rumahnya. Tempat yang dipenuhi bermacam tanaman dari mulai sayur hingga bunga itu menjadi tampak lebih hijau ketika musim hujan datang. Bibit cabai yang ditanam Imam dua bulan lalu tampak mulai berbunga dan hanya butuh waktu hingga mereka bisa memanen hasilnya.

Jika di musim kemarau dia akan disibukkan dengan membantu sang ayah menyiram, maka di musim ini tugas Hansa adalah membersihkan tanaman gulma yang ikut tumbuh bersama dengan limpahan air hujan. Meski sudah dilarang karena baru beberapa hari ini kakinya sembuh dan bisa berjalan normal, tetapi rasa bosan membuat Hansa tak tahan.

Pada akhirnya, dia pergi ke kebun usai membantu Bunda mengepel dan mencuci peralatan masak yang akan digunakan untuk menyiapkan makan malam nanti. Atau bisa dibilang itu hanya inisiatifnya, sebab Bunda tak benar-benar menyuruh. Dia hanya melakukan rutinitas yang selama ini ditugaskan untuknya. Sebelum retak yang entah sejak kapan membuat ia dan Lina semakin jauh.

“Ah, aku capek,” gerutu bocah yang kini terduduk di lantai paving dengan beberapa helai rumput yang baru saja dicabut.

Seulas senyum tak bisa Hansa tahan. “Ya, udah, kamu istirahat aja. Tapi jangan duduk di situ, kotor. Duduk di bangku sana. Biar Abang selesaiin sisanya. Lagian tadi ‘kan udah dibilangin, nggak usah ikutan. Kamu, sih, ngeyel.”

Bocah itu mencebik. “Aku ‘kan mau bantuin Abang. Kalo sendiri nanti Abang capek. Kakak juga nggak mau aku ajak, pilih main sama Abdul sama Jojo,” adunya.

Hansa kembali terkekeh. Si bungsu selalu menempel padanya setiap ada kesempatan, tetapi entah mengapa bocah berpipi gembul ini justru sulit akur dengan Hasna. Padahal jika dipikir-pikir, ketika masih bayi, justru Hasna-lah yang lebih sering menemaninya bermain. Sedangkan Hansa tak bisa terlalu dekat dengan si bungsu, sebab Bunda melarangnya.

Mengulik ingatan semasa kelahiran Hasan, entah mengapa Hansa merasa nyeri menyerang dada. Masih lekat di ingatannya tentang bagaimana bahagia menyelimuti keluarga kecil ini. Semua orang mendambakan kehadirannya, dan semua pun merayakan penuh kemeriahan.

Tak terkecuali Hansa. Dia bahkan menyisakan uang saku untuk membelikan mainan, dan berharap bisa digunakan untuk menghibur sang adik yang pasti merasa bosan karena terus berbaring di kasur. Bayi tidak bisa bergerak ke mana-mana, ‘kan? Bahkan untuk buang air kecil saja harus dibantu oleh bundanya.

Namun, sejak Hasan tiba di rumah, Hansa sama sekali tak diberi kesempatan untuk mendekat. Bunda melarang, dan Ayah tak bisa berbuat apa-apa sebab khawatir dengan kondisi kesehatan Bunda pasca melahirkan. Alhasil, Hansa hanya bisa melihat adik kecilnya dari kejauhan, atau jika tidak sang ayah yang akan menggendong Hasan dan mempertemukan keduanya diam-diam. Ya, sesulit itu hanya untuk bertemu dengan adiknya sendiri.

“Bang ....”

Kemunculan Ayah dari balik pintu membuyarkan lamunan Hansa. Pun dengan si bungsu yang langsung berlari dan melompat ke gendongan pria yang mash lengkap dengan stelan kerjanya itu.

Membuang rumput yang telah dibersihkan, cowok itu berdiri dan berjalan mendekat.

“Kenapa, Yah?”

Jika Ayah langsung mendatanginya tanpa mengganti pakaian, itu artinya ada hal penting yang ingin sang ayah bicarakan. Dan Hansa merasa sedikit tak nyaman dengan bagaimana pria itu menatapnya. Entahlah, Hansa hanya merasa kali ini Ayah terlihat serius.

“Bersih-bersihnya udahan aja. Udah sore, kamu mandi sana. Habis makan malam, nanti kita ngobrol, ya,” tukasnya sembari menurunkan si bungsu dari gendongan.

“Ngobrol soal apa, Yah?” Jujur, Hansa lagi-lagi merasa tidak tenang dengan intonasi suara Imam.

Pria itu menggeleng pelan dan meraih lengan Hasan, menggandeng bocah itu untuk masuk ke dalam rumah.

“Nanti aja, kamu mandi dulu,” ucapnya sambil berlalu.

Sungguh, ini pertama kalinya dalam hidup, Hansa melihat ayahnya berbicara begitu datar. Dan satu rasa yang kini mengusiknya ialah, takut.

~•~

Makan malam berlalu begitu saja. Tak ada kalimat-kalimat hangat yang biasanya terlontar pada mereka dari si kepala keluarga.  Semua orang fokus menyelesaikan makanan di depannya tanpa banyak bersuara. Lagi-lagi menciptakan suasana tak biasa yang bisa dirasakan oleh siapa pun yang hadir di meja makan.

“Adek belajar sama Kakak dulu, ya. Ayah sama Bunda mau ngobrol dulu sama Abang.”

Begitu menyaksikan si bungsu meneguk air minumnya, Ayah langsung memberikan titah. Dan tanpa ada sedikit pun protes, Hasna mengangguk. Gadis itu menggandeng lengan yang lebih muda dan membawanya menjauh dari tempat yang sedari tadi membuatnya tak tenang tanpa sebab.

“Kita ke ruang tengah aja, Bang. Biar lebih nyaman ngobrolnya,” ajak Ayah ketika dua anak termudanya telah benar-benar meninggalkan ruang makan.

Tak banyak bicara, Hansa hanya mengangguk patuh dan mengikuti langkah sang ayah. Keduanya duduk berhadapan, tak lama kemudian Bunda datang dengan membawa nampan berisi minuman. Wanita itu mengambil tempat duduk di samping Ayah dan melayangkan tatapan dingin pada bocah di depannya. Sebuah tatapan yang kini sudah menjadi hal biasa bagi Hansa.

“Langsung ke intinya aja, ya, Bang. Ini soal rumor tentang kamu yang bulan lalu tersebar.” Netra teduh Ayah terkunci pada sosok yang kini duduk canggung di depannya sembari menautkan kedua tangan, tampak cemas.

“Ayah tahu, kamu nggak menghamili seorang siswi sewaktu SMP. Karena setelah Ayah selidiki sama pihak sekolah, sama sekali nggak ada kabar tentang siswi yang hamil atau semacamnya. Dari tahun pertama kamu masuk, sampai kamu lulus.”

Menjeda kalimatnya, pria itu membuka sebuah amplop cokelat yang telah digenggamnya sejak tadi. Isi dari amplop itu ditumpahkan ke atas meja, dan seketika wajah Hansa kehilangan rona.

“I–ini ....” Bocah itu kehilangan kata-kata untuk sekadar menyebut isi dari lembaran berisi foto-foto itu.

“Foto-foto kamu sama pacarmu di sekolah,” timpal Ayah, memperjelas isi dari lembaran foto di atas meja.

Menyambar salah satu foto yang menangkap momen ketika Hansa dan seorang gadis tengah bertukar saliva di sudut kelas, Bunda terbelalak dan menatap penuh amarah pada si sulung.

“Kamu ... astaghfirullah, Tama!”

Terlalu terkejut, Bunda bahkan tak tahu harus berkata apa usai melihat sendiri foto dan bukti yang semula dibahas oleh sang suami melalui sambungan telepon.

Ayah mengusap lengan istrinya dan berujar, “Sabar, Bun. Kita udah janji buat atasi ini tanpa emosi, ‘kan? Kita denger penjelasan dari Tama dulu. Biarkan dia bicara.”

“Gimana nggak emosi?” Dada wanita itu naik-turun akibat emosi yang menggebu. “Kamu lihat kelakuannya di sekolah, Mas! Nggak beretika sama sekali. Bisa-bisanya ngelakuin hal nggak senonoh itu di tempat menuntut ilmu, loh. Semua orang tua pasti akan bereaksi sama kayak aku,” geramnya.

Mendengar penuturan itu, Hansa tertunduk. Tak lagi berani menatap wajah dua orang dewasa yang sangat dihormatinya itu. Meski menusuk, tetapi segala ucapan yang Bunda lontarkan seratus persen benar. Dia bahkan tak memiliki sepatah kata pun untuk membela diri demi terhindar dari kesalahan.

“Iya, aku tahu.” Ayah mengangguk, berusaha untuk tetap bersikap tenang.

“Jujur, Ayah kecewa sama kamu, Bang.” Dia beralih menatap Hansa. “Padahal selama mengumpulkan bukti, Ayah benar-benar yakin kalau kamu nggak seperti yang dirumorkan. Foto yang ada di mading itu cuma editan, atau mungkin anak lain.”

“Tapi ini apa?” Ayah menunjukkan salah satu foto yang mirip dengan foto yang ada pada mading, hanya diambil dari sudut yang berbeda. “Ayah dapet dari salah satu teman kamu, yang nggak bisa Ayah sebut namanya.”

“Dia bilang, itu memang kamu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, kamu tidur sekamar sama anak cewek. Siapa dia? Dan kamu ngapain aja sama anak itu, Bang? Temenmu nggak mau sepenuhnya terbuka, dia malah suruh Ayah langsung tanya ke kamu.” Debas pelan terlontar usai pertanyaan itu keluar dari bibir Ayah, seolah menggambarkan betapa kecewanya ia saat ini.

“Jadi ... bisa kamu yang jelaskan? Kita selesaikan semua sekarang,” lanjut pria itu tegas.

Hening yang mencekam berkuasa cukup lama. Hingga detik jarum jam yang berasal di luar ruangan itu tertangkap jelas oleh rungu tiga orang itu. Ia ingin tetap bungkam dan memendam semua bersamaan dengan masa yang kelam. Namun, tatapan dua orang dewasa di depan seolah menguliti Hansa. Memaksanya berbicara meski tahu risiko terbesarnya adalah kecewa.

Hingga pada detik yang entah ke berapa, pemuda itu akhirnya bersuara. “D–dia cewek yang sama dengan foto di kelas.”

“Dan aku emang tidur sama dia, Yah. Waktu itu aku bohong soal izin nginep di rumah temen buat belajar persiapan ujian. Sebenernya kita nyewa villa buat nginep bareng, dan bikin party kecil-kecilan buat redain stress karena belajar. Kita mabuk—“

“Mabuk?” Bunda berseru sebelum Hansa menyelesaikan ucapannya, lagi-lagi dibuat tak percaya dengan apa yang barusan didengar.

Hansa mengangguk pelan. “Temenku bawa alkohol, dan aku ikut minum,” jelasnya dengan suara memelan di akhir kalimat.

“S–setelah itu aku nggak inget apa yang terjadi. Pas bangun udah di kamar sama Fanya,” lanjut anak itu terbata.

“Fanya?” Ayah mengulang nama yang baru saja Hansa sebut.

“Cewek itu namanya Fanya, pacarku waktu SMP.”

Dengkus frustrasi dan Ayah akhirnya lolos tak tertahan. Pria itu tak lagi bisa menahan gejolak kecewa di dada usai mendengar kalimat yang Hansa beberkan. Pelipisnya berdenyut nyeri, dan memaksanya bersandar pada sofa demi mendapat setetes ketenangan yang hilang entah ke mana.

“T–tapi aku yakin kita nggak ngelakuin apa-apa, Yah, Bun. Waktu—“

“Dari mana keyakinan itu kamu dapat?” Bunda kembali menyela, wajah wanita itu memerah selaras dengan amarah yang kini berkuasa di benaknya.

“Orang mabuk itu mayoritas hilang kesadaran, alcoholic black out. Kamu sendiri bilang nggak tahu kenapa bisa sampai kamar. Dari mana kamu bisa seyakin itu kalau kalian nggak melakukan apa-apa?” papar wanita itu dan berhasil mengikis sisa keyakinan Hansa.

Bibir remaja itu terkatup rapat, dan kepalanya kembali tertunduk dalam. Keraguan mulai merayapi benaknya begitu sang bunda menghujani tuduhan yang selama ini Hansa yakini tak pernah terjadi.

“Bener-bener udah nggak waras kamu, Tam,” cecar Bunda ketika si lawan bicara tak kunjung bersuara.

“Kurang apa kita ke kamu? Sampai-sampai disuruh sekolah aja malah menyimpang. Padahal semua fasilitas terpenuhi, uang jajan nggak pernah telat, seragam dan alat tulis selalu baru. Tapi apa balasanmu? Malah jadi berandal kayak nggak pernah dididik orang tua. Gila kamu. Gob—“

“Cukup, Bun! Jangan diterusin,” sentak Ayah ketika mendengar untaian kata yang terlontar dari Bunda terdengar semakin tajam.

“Kenapa? Masih mau belain dia?” Tak terima, wanita itu membalas dengan nada sedikit meninggi.

Ayah sontak menggeleng. “Enggak, aku tahu Tama salah dan dia pantas dapat teguran. Tapi bukan berarti kamu bisa ngomong sekasar itu sama anak kita.” Tangan pria itu mengusap bahu sang istri, berharap bisa sedikit meredakan emosi yang kini berkuasa.

Menepis tangan Ayah dari bahunya, wanita itu bangkit dan menatap penuh benci pada sosok yang masih setia dalam diam itu.

“Aku nggak pernah punya anak kayak gini,” tegasnya.

Sebuah kalimat singkat yang berhasil membuat Hansa mendongak. Remaja itu menatap Lina dengan tatapan yang penuh dengan kebingungan dan kejutan. Kalimat yang baru saja dilontarkan sang bunda terdengar begitu tak terduga dan menusuk tepat di ulu hati. 

Pandangan Hansa bergulir ke arah ayahnya, mencari dukungan atau kejelasan dari sosok yang duduk di samping wanita itu. Namun, wajah Ayah pun tak kalah pucat, mencerminkan betapa tak terduganya mereka berdua dengan ucapan yang baru saja dilontarkan oleh wanita anggun ini.

“Maksud Bunda apa?” Dengan suara tercekat, bocah itu memberanikan diri bertanya.

Menyadari keterkejutan yang melanda sang putra, Ayah bangkit dan mencengkram lengan Bunda cukup erat.

“Bun! Jangan ngomong sembarangan,” ujarnya memperingatkan. Sementara susut matanya menangkap raut wajah Hansa yang tampak kebingungan dengan apa yang tengah terjadi.

“Sembarangan apa?” Bunda membalas sengit. “Aku ngomong fakta, kok. Anakku cuma Hasna sama Hasan.”

Ia mengalihkan pandangan pada Hansa dan menunjuknya. “Dia ini anak bajingan yang udah ngerusak hidupku!”

Tubuh Hansa membeku begitu kalimat itu terarah padanya. Telinga yang semula berfungsi sangat baik seakan tuli dan tak lagi mampu mendengar kebencian yang masih terus Bunda lontarkan. Rasanya seperti segala sesuatu yang dia ketahui tentang dirinya dan keluarganya menjadi terbalik dalam sekejap.

Jadi, inikah alasan mengapa Bunda tak pernah senang dengan eksistensinya?

Hallow~

Bab ini dah mulai fanas, jadi selamat menikmati yaa. Udah hampir 2000 kata, panjang banget.

Jangan lupa tinggalkan jejak, dan follow aku juga yak (⁠ ⁠ꈍ⁠ᴗ⁠ꈍ⁠)

See you soon~

Salam

Vha
(09-04-2024)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro