28 November; 12:22
Biasanya, Agnes tidak ingin pergi ke luar lagi di hari Minggu kalau Sabtu dia sudah pergi, tapi saat Grace mengidekan mereka ketemu untuk makan siang dan menyambung obrolan kemarin, rasanya Agnes tidak bisa menolak.
Atau lebih tepatnya, dia memang ingin bertemu dengan Grace.
Perkembangan hubungan mereka juga menjadi faktor Agnes ingin bersua, walau dia tahu mereka berdua masing-masing ingin menyikapi hubungan mereka berdua dengan sabar dan hati-hati.
Mereka berdua pun memutuskan untuk bertemu di Affogato siang itu atas usul Agnes, dan Agnes baru sadar kalau yang kali ini mereka ke resto-kafe itu, kini mereka sudah lebih dari teman. Lebih dari 'sahabat'. Mereka adalah pasangan yang hendak mengambil langkah baru, tapi masing-masing mereka tidak akan menggunakan label pacar atau partner. Belum saatnya.
Agnes kebetulan sampai di Affogato lebih dahulu, ada temannya Irene tengah bekerja shift siang itu menyapanya dengan berbinar.
"Eh, tumben~ udah gajian kah?" Irene mesem menangkap Agnes yang sudah duduk di konter bar menghadap Irene. Temannya itu pun sigap membukakan buku menu saat Agnes bertopang dagu.
Agnes melonggarkan kerah blusnya, "Erm, hari ini, agak spesial."
Irene baru sempat menaikkan alis ketika satu orang lagi datang, segera duduk di samping Agnes. Grace menyapa Irene dengan santun, sementara Irene seperti terkesima. Wanita itu tampil necis layaknya biasa, namun kasual, kemeja bergarisnya rapi dimasukkan ke dalam celana hitam, sementara Agnes mengenakan blus berbahan katun berwarna biru benhur dipadu dengan rok panjang.
"Wah, wah," ucap Irene. Matanya mengerling tajam di antara mereka berdua. "Kayaknya ada yang beda nih?"
Agnes melirik ke arah Grace yang tersipu, dia memberi anggukan pelan. Agnes pun angkat bicara menjawab Irene. "Iya, kami ... beda sekarang."
Giliran Irene yang kaget. "Hah? Beneran? Aku cuma bercanda padahal ..." dia seperti jingkrak-jingkrak kegirangan. "Beneran, Nes?"
Grace berdeham, "Tapi kami nggak, ada label. Bukan HTS juga."
"Oh, oh! Gapapa, sangat gapapa!" Irene menyahut dengan antusias. "Artinya kalian sedang ingin mencoba, selamat kalau gitu!"
Irene segera menatap Agnes lagi. Agnes mulai merona merah ketika Irene senyum mesem. "Kita punya couple set juga, kok!"
Grace terkekeh, "Teman kamu hardselling-nya bagus banget, Nes."
"Ah Ibu mah, kenapa nyambungnya ke kerjaan!?"
Baik Irene dan Grace pun tertawa lepas, sementara Agnes salah tingkah. Mereka berdua pun memesan lunch set, dan kemudian Irene menawarkan untuk mereka pindah saja ke meja biar ngobrolnya lebih nyaman sambil mereka posisinya lebih santai.
Irene menjadi orang yang pertama tahu tentang mereka, tapi Irene sepertinya paham tanpa perlu dijelaskan kalau mereka tidak terlalu senang mengumbar hubungan. Irene sekedar senyum-senyum senang kalau lewat dekat meja mereka, atau saat mengantar makanan dan minuman.
"Baik-baik sama Agnes ya, Bu. Agnes nggak gigit."
"Irene, apaan sih!"
Grace menanggapi Irene dengan senyum, dia tampak senang mengenal teman-teman Agnes juga.
Siang itu, Agnes merasa Affogato berbeda, seperti tempat favorit yang dibaginya dengan orang favorit. Ia memandang Grace malu-malu, dan Grace membalasnya dengan senyum kecil.
"Lunch date," ucap Grace. "Padahal kita nggak ada ngomong date."
"A-Apa ini kecepetan, Bu?"
"Nggak, kok." Grace menatap Agnes lurus. "Saya juga ingin ketemu kamu lagi."
Pipi Agnes serasa panas, padahal itu sekedar pengakuan yang sederhana. "Maaf misal saya, canggung."
"Kita sama-sama, kok." ucap Grace. "Omong-omong karena kita sedang di topiknya, apa kamu mau ngobrol soal ... kita?"
Sebelum ini, Agnes mungkin merasa ini topik yang 'berat' untuknya. Dia yang merasa trauma menjalani hubungan menghindari untuk membicarakan mengenai hubungan itu sendiri. Sekarang, mereka berkesempatan menyamakan persepsi, menyebutkan apa yang mereka sukai, apa yang mereka tidak sukai, juga Grace kembali menyebutkan kalau di antara mereka merasa tidak nyaman, mereka boleh menyebutkannya.
"Dan ... misal kamu, atau saya, memang merasa kita berdua kurang cocok," Grace menambahkan. "Kita tidak perlu memaksa."
Memang, terasa 'mubazir' bila hubungan itu tidak terus berusaha dilanjutkan, tapi tidak ada gunanya bila mereka berdua memaksa, dan Agnes paham akan implikasi itu.
"Oh, apa kamu merasa saya terlalu formal?"
"Ngg, nggak sih, Bu. Saya nggak masalah. Saya juga bukan orang yang pakai 'lo-gue'," sambut Agnes, menyesap kopi decafnya. Grace mengetuk sisi piring dengan garpu, berpikir.
"Yah, mungkin lama-lama kita bisa ke level aku-kamu, kalau kamu mau," Grace tersenyum.
"Tapi saya nyaman juga begini kok, Bu."
"Kamu juga belum berani panggil saya pakai nama saja." Grace terkekeh puas.
Agnes menggembungkan pipi, "Bu Grace."
"Saya paham sekarang kenapa Nora atau Cliff sering ngegoda kamu, ekspresi kamu lucu."
"Ibu ah!"
Makanan dan minuman mereka datang, mereka masih terus membicarakan tentang masing-masing, topik yang tidak dikira Agnes akan menyenangkan. Lebih terbuka, mencoba saling percaya, ini rasanya pertama kali Agnes melakukannya. Dia sendiri tidak menyangka akan bertemu seseorang seperti Bu Grace yang sangat menghormati batas-batas mereka, dan dia tidak malu untuk menyuarakan keinginannya.
"Kamu orangnya lebih ke physical, itu mungkin saya yang masih perlu belajar."
Agnes mengangkat kedua alisnya, lalu dia ingat saat dia mencium Grace di akuarium. Sontak dia pun merona merah jambu.
"Gapapa kok, Nes, misal kamu mau pegangan tangan ..."
Grace melirik ke arah tangan Agnes di atas meja. Ia lalu mencoba mendorong tangannya mendekat, menjalin jari mereka berdua di sana. Tangan Grace lebih kasar dibanding tangan Agnes, namun pegangan itu hangat.
"Hmm." Grace mengelus punggung tangan Agnes. "B-Begini?"
"Ibu malu-malu saya jadi ikutan malu," Agnes mengecilkan suaranya.
"Ah, maaf, saya ... paling biasa pegang tangannya Harald," Grace tersipu. "Kamu nggak keberatan begini?"
Agnes menatap jemari mereka yang bertaut, dan bagaimana Grace menggenggam tangan Agnes erat. Agnes mengulum bibir, mencuri pandang ke arah Grace yang turut memalingkan wajah. Ibu jari Grace membelai pergelangan tangan Agnes, lalu naik ke arah kelingking.
Wajahnya merona merah padam, Agnes menelan ludah.
"Ibu keberatan nggak, misal kadang saya bakal ... peluk Ibu?" tanyanya. "Atau mungkin ... lebih?"
Grace menopang dagunya, "Lebih?"
"... Lebih." Agnes memutar bola matanya. Grace pastinya paham apa maksudnya.
"Tentu kalau saya merasa nggak nyaman, saya akan bilang," ucap Grace kemudian. "Tenang aja, Nes, saya nggak keberatan, kok."
Agnes merajuk, "Beneran?"
Grace berseri-seri sambil dia menyentuh pergelangan tangan dalam Agnes, "Mhm. Seperti yang saya sudah bilang, kita masing-masing mencoba mengerti apa yang disukai, apa yang kurang nyaman."
"Kalau begitu ..." Agnes menarik tangan Grace sekarang, mengecup punggung tangan itu sebelum menaruhnya kembali ke atas meja. Giliran Grace yang merona merah sekarang, dan Agnes nyengir lebar. "Hehe, muka Ibu lucu."
"Kamu memang berani banget, Nes."
Mereka berdua pun tertawa geli. Siapa sangka ternyata hal seperti ini, yang mungkin sepele, atau mungkin tidak banyak yang akan sampai repot duduk berdua, bicara, menyamakan persepsi, akan menjadi sangat, sangat Agnes nantikan?
Dia memang tidak sabar mengenal Grace lebih dalam lagi selepas ini, tapi dia juga ingin menikmati tiap momen kecil di antara mereka berdua. Sekedar memegang tangan. Sekedar berbicara santai dan lepas.
"Habis ini mau jalan-jalan lagi?" tanya Grace. Makanan mereka sudah tandas sembari mereka menghabiskan waktu bersama.
"Hmm, mungkin lain kali, Bu, kita jalan lagi. Hari ini saya mau rileks—besok kerja."
"Oh, iya juga," Grace mengangguk-angguk. "Berarti lain kali biar enak, apa saya ke rumah kamu? Atau kalau kamu mau ke rumah saya lagi, boleh banget."
Agnes terdiam, sekedar menggaruk pipinya, "Oh, nggak apa-apa, Bu?"
Grace mengecilkan suaranya ketika dia berbisik, "Kalau kamu nggak mau PDA depan orang banyak, bukannya itu kesempatan?"
"I-Ibu!"
Agnes tak pelak refleks mencubit tangan Bu Grace. Grace pun tertawa saja.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro