27 Oktober, 18:22
Walau rapat sudah berakhir kurang lebih empat jam yang lalu, Agnes merasa nafsu makannya tidak kunjung kembali. Tentu, ia merasa tidak enak menolak ajakan Nora untuk mentraktir makan malam sembari menagih janji untuk membicarakan tentang apa yang terjadi pekan lalu. Agnes memilih untuk makan ringan, sehingga ia mengidekan kebab atau burger atau nasi kucing angkringan pada Nora yang menawarkan. Setelah cukup lama berdebat ringan di dalam mobil, pilihan mereka jatuh ke nasi kucing.
"Mulus, 'kan, rapatnya~" tanya Nora sesaat mereka turun dari mobil ke belantara food court yang terletak satu kilometer dari kantor. Ia memastikan mobil terkunci rapat dan spion sudah ditekuk sebelum mengikuti irama jalan Agnes di setapak jalur berbatu. "Dengar-dengar kayaknya Bu Melissa salut banget sama kata-kata kamu tadi."
"Biasa saja ah. Aku malah takut terdengar naif." Agnes memutar bola matanya. Ia segera teringat bagaimana Bu Grace menyunggingkan senyum, dengan cepat Agnes mencoba mengalihkan perhatian. "Bagus deh kalau nggak ada cibiran."
Nora menepuk pundaknya berulang kali, antusias. "Bangga sedikit dong! Aku aja bangga!"
"Semangat banget sih, Ra."
Mereka menepi ketika mencapai tenda biru angkringan, mengambil tempat duduk di pojok kanan, jauh dari kerumunan yang tengah asyik makan dan mengobrol sambil minum-minum jahe. Agnes menyuruh Nora mengambilkan apa saja untuknya, sementara dia segera mengambil gelas untuk teh pahit hangat gratisan.
Seakan sudah menebak alur nafsu makannya, Nora mengambilkan porsi sedikit dengan lauk yang mudah digigit (baca: telur dadar dan bihun), tapi ia sudah menggenggam puntung rokok terlebih dahulu dibanding sendok.
"Jadi: siapa orang yang beruntung?"
Nora membuang asap rokok ke arah luar tenda, tidak mengganggu makanan maupun Agnes yang tengah mengulum bibir.
"Kita mulai dari abstrak dulu, oke?" Agnes mengambil nafas berat. "Ini mungkin pertama kalinya aku merasa salah sudah menolak seseorang."
Membelalakkan mata, Nora nyaris kehilangan rokoknya ke bibir gelas teh pahit. "Wow." ungkapnya, kembali ia mencecap ujung si kretek filter. "Tapi itu memang pilihanmu, 'kan, kamu nggak mau dipaksa?"
"Ya, cuma ... rasanya aneh."
Bayangan hari itu terpampang jelas di benak Agnes. Ketika saat itu ia yakin akan menolak ajakan untuk menjejakkan kaki ke pilihan lanjut: mungkin mencoba bertukar sapa dengan media percakapan pribadi, atau mencoba bertemu di lain tempat dan lain waktu. Agnes telah menolak dengan alasan yang jelas. Bu Grace sudah menerima dan tidak lagi memaksa. Bahkan, kakaknya yang biasanya mulai melancarkan ide-ide untuk memperpanjang diskusi yang sudah alot, menarik diri dan meninggalkan titik tersebut.
Lalu, memori setelah Agnes berpisah dengan Ingrid dan kembali bertemu Bu Grace di luar Affogato berputar pelan, sangat pelan. Sebersit rasa hampa ada di sana, ketika Bu Grace menarik diri dan pergi, seperti malam itu tidak pernah terjadi. Biasanya, Agnes yang ada di sana: menganggap perilaku kakaknya untuk menjadi Mak Comblang adalah angin malam, berjalan sebentar dan tak berarti. Lagi, ia masih memikirkan bagaimana Bu Grace menghadapinya dengan tegar, alih-alih mengetahui penolakan itu akan terjadi.
Apakah Agnes merasa tak tega? Atau malah ia merasa lega? Tapi, kenapa ia tidak bisa menyingkirkan variabel bernama 'Bu Grace' dari benaknya?
"Terus, kamu mau ulang dari awal lagi?" pertanyaan Nora datang menghujam telinganya.
Agnes menggeleng pasti, "Mungkin aku baru sadar kalau aku ini kejam, menutup kesempatan orang lain."
"Kenapa harus disesali kalau kamu nggak mau? Kamu nggak bisa membuat semua orang bahagia, Nes."
Pemilik surai abu-abu perak itu menghela nafas panjang lagi. Mulutnya terasa hambar walau ia belum minum lebih dari segelas air teh. Tentu, sebuah aksi akan menimbulkan reaksi - di saat ada yang berlaku secara tidak langsung pasti ada juga yang merespon negatif; ada saja yang terlukai. Itu hanyalah kejadian yang lumrah.
"Toh, kamu nggak bakal ketemu orangnya lagi."
Agnes merengut, "Oh, kata siapa?"
"Eh? Kakakmu lebih agresif sekarang, nyuruh kamu buat ketemu orang ini rutin, begitu?"
"Bukan," gigi Agnes bergemeletuk. "Orangnya sekantor sama kita."
Nora segera mematikan rokoknya, terbatuk. "Demi apa?"
"Kayaknya kamu bakal batuk lebih lama lagi deh kalau tahu orangnya siapa."
Dan sesuai prediksi, Nora terbatuk cukup lama, hingga seluruh penghuni angkringan saat itu saling menoleh, sementara Agnes memalingkan muka, menyembunyikan semburat merah tanda malu - bukan karena Nora yang salah tingkah, tapi karena pengakuannya yang mungkin dirasa ... revolusioner.
Malam itu, Nora masih terus mengirim pesan LINE seputar isi curhatannya di hari itu. Agnes tak pelak tertawa mengingat Nora yang diam, minum air hangat beberapa gelas, makan beberapa suap nasi, dan akhirnya mulai nyerocos untuk menginterogasi.
Tidak, mereka tidak mengomentari Bu Agnes yang menggunakan media perjodohan daring. Ada banyak jalan menuju Roma - tentu ada juga banyak cara untuk mencari pasangan.
'Kalian beda divisi ini. Ya, paling ketemu pas rapat gabungan aja. Santai lah.' - kalimat pelipur lara dari Nora terus membekas. Memang mereka sekantor, tapi mereka tidak bersinggungan terlalu banyak. Mereka tidak akan banyak bertemu. Mereka tidak akan sering bertatap muka. Segalanya akan mengalir lancar kembali dengan sendirinya.
Mungkin akan butuh waktu lama untuk Agnes lupa bagaimana rasanya menolak. Mungkin ini akan jadi pelajaran baginya di kemudian hari untuk ingat untuk memilih kata-kata yang tepat sebelum menjatuhkan penolakan.
Jemarinya berhenti sejenak dari mengetik balasan untuk Nora. Kepingan-kepingan ingatan yang membuat Agnes begitu memilih dalam memintal tali hubungan terasa hadir, seperti debu di sisi kamar. Kenangan pahit tidaklah semudah itu hilang walau waktu sudah senantiasa menelan, bersama juga kenangan manis yang ada bersamanya.
Agnes sudah memutuskan untuk tidur lebih cepat dan membalas pesan Nora di pagi hari, ketika satu pesan masuk di laman percakapan gabungan milik tim Marketing dan Planning.
Breaking news gengs. Mulailah Bu Melissa memaparkan pesannya. Diskusi awal Tim Purchasing dengan vendor dipuji oleh atasan. Mereka dengan cepat dapat oke untuk nego selanjutnya.
Jam belum menunjukkan pukul sepuluh malam, jadi balasan pesan datang dengan cukup cepat. Ada yang memberi stiker tepuk tangan, ada yang memasukkan GIF berisi orang yang terlihat kaget dengan dramatisasi zoom in-zoom out layaknya film-film tanah Boliwud.
Jadi, kayaknya Bara mau adain acara makan-makan bareng sama kita gengs. Besok di kantor pas sore. Pada hadir semua yaa... gratis kok!
Agnes mengerjap. Ia membaca ulang pesan tersebut berulang kali, bahkan ketika layar pesan sudah dipenuhi ungkapan-ungkapan penuh suka cita dari banyak orang yang sudah mengharapkan makan gratis di saat tanggung bulan.
Jelas Dewi Fortuna sama sekali tidak berpihak pada dirinya, untuk saat ini. []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro