Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27 November; 23:02

Bagi Grace, hidupnya tidak jauh dari keluarga—Harald, terutama.

Mungkin bagi orang lain, Grace menganggap menjaga Harald adalah kewajibannya sebagai seorang kakak, apalagi ketika Harald divonis tidak akan hidup lama.

Keluarganya baik-baik saja, itu yang Grace syukuri sepanjang kehidupannya, dan ia peduli pada Harald karena memang dia sayang dengan adiknya itu, entah orang mau berkata apa tentang Grace ketika dia selalu mementingkan keluarganya.

Harald adalah seorang yang periang dan antusias. Sebagai kakak-adik yang terpaut sembilan tahun, mereka bisa akur saja seperti sebuah keajaiban. Biasanya, menurut yang bisa Grace perhatikan dari orang-orang di sekitarnya, kalau sudah bekerja, hubungan keluarga asli akan terasa renggang. Tapi dia dan Harald selalu saja punya waktu bersama untuk ngobrol, menghabiskan waktu bersama. Mereka bahkan menabung bersama untuk membeli motor sport Harald yang akhirnya Grace gunakan setelah Harald berpulang.

Grace tidak banyak memikirkan kehidupan di luar keluarganya, menganggap segalanya sudah pada seharusnya dan dia berfokus pada Harald saja setelah Harald sakit, hingga beberapa bulan sebelum Harald meninggal dunia.

Setiap hari sepulang kantor, Grace selalu akan mampir ke rumah sakit tempat Harald dirawat. Baru beberapa bulan pulang, kondisinya sudah drop lagi dan Harald harus tinggal di rumah sakit selama waktu yang belum ditentukan. Grace seperti biasa akan mengobrol dengan staf rumah sakit yang sudah hafal namanya, lalu menemani Harald untuk terapi atau makan.

"Apa kakak bahagia?"

Pertanyaan Harald hari itu membuat Grace tertegun.

"Maksudmu?" Grace pun bertanya.

Harald kala itu sudah semakin kurus saja, walau senyumnya dan semangatnya tidak pernah pudar.

"Aku sering bilang buat kakak lebih banyak menikmati hidup, 'kan, nggak nemenin aku terus."

"Kakak juga bilang kakak senang begini."

Harald tersenyum simpul, "Nanti kalau aku nggak ada, kakak bakal gimana?"

Mungkin, mungkin kalau orang lain mendengarkan sesosok terdekat atau terkasihnya berbicara seperti itu, mereka akan menghardik dan bilang kalau Harald tidak boleh berujar seperti itu. Lagi, Grace menganggap bahwa itu seperti 'menceramahi' mereka yang sudah susah payah berjuang melawan penyakit mereka. Bagaimanapun juga, mereka-lah yang sakit yang lebih paham tubuh mereka sendiri. Menyuarakan kalau orang terdekat akan sedih bila mereka berbicara seperti itu mungkin masih diperbolehkan, tetapi jangan sampai kamu mengecilkan usaha mereka.

Mendengar ucapan Harald, barulah Grace terdiam. Sejenak, adik kecilnya sepertinya lebih paham tentangnya dibanding dirinya sendiri.

Harald memegang tangan Grace. "Aku paham kok, kakak selalu di sini karena sayang dan peduli sama aku," ucapnya. "Tapi aku juga nggak mau melihat kakak merasa hilang arah misal nanti aku udah nggak di sini lagi."

"... Harald." bibir Grace bergetar, namun dia tidak mampu menyanggah pernyataan adiknya itu.

Grace memang menganggap dirinya yang merawat Harald adalah bagian dari hidupnya dan dia tidak memikirkan hal lain di luar itu, menganggap kebahagiaan Harald adalah apa yang membuatnya turut senang.

Walau demikian, Harald ternyata khawatir Grace sudah menempatkan Harald di atas segalanya.

Dan adiknya itu benar.

"Yaudah, definisi bahagia kamu apa deh, coba kakak denger." Grace menopang dagunya.

"Kakak jarang bawa teman selain beberapa orang kantor," Grace menyesalkan sudah menantang persepsi adiknya itu. Mendengarnya ternyata sakit juga. "Kakak juga tahunya cuma soal kerjaan. Ketemu orang baru kek. Sayang-sayangan sama pacar. Main-main di jalan. Nongkrong kek. Nonton kek. Pake motor aku buat jalan-jalan kek ..."

"Kamu ya, emang kritis banget." Grace tertawa saja, Harald nyengir lebar.

"Eh tapi aku bener, 'kan, kakak nggak pernah mikir kesana?"

Wanita berambut hitam itu hanya bisa mencubit lengan adiknya dengan gemas.


. . .


Benar saja ketika Harald akhirnya dipanggil Tuhan, apa yang dirasakan Grace adalah hampa tidak berujung. Namun demikian, karena dia tahu Harald pun tidak akan senang Grace selalu berduka, merasakan hidupnya tidak lagi berarti, itulah yang membuat Grace mulai 'mencari' apa yang bisa dia lakukan.

Awalnya, ia tahu itu hanya sekedar untuk mencari pengalihan karena dia yang terpukul dan sedih. Proses yang sama sekali tidak ingin diingatnya, namun kini sudah menjadi memori baginya.

Lima tahun setelah kematian Harald pun, Grace masih merasa sedih tiap kali dia pulang ke rumah bersama motor yang seharusnya dikendarai Harald. Pulang ke rumah yang memang dia dan Harald tinggali, rumah tempat mereka lahir dan besar, yang telah ibu mereka tinggalkan untuk mereka setelah beliau memutuskan untuk menikah lagi.


. . .


Tiga puluh menit sudah lewat dari pukul setengah sebelas setelah dia kembali ke rumah. Agnes tidak menolak saat Grace menawarkan untuk mengantarnya pulang setelah mereka menghabiskan waktu berjalan-jalan di dekat akuarium dan makan malam di dekat sana.

Grace menarik ponselnya, tersenyum melihat pesan Agnes yang sudah dibalasnya tadi, lima belas menit yang lalu.

Makasih, Bu.

Iya, Nes. Sana istirahat.

Grace menaruh ponsel di samping bantal sofa, kemudian dia menyandarkan kepalanya di pucuk sandaran, menatap langit-langit rumahnya. Ia masih membayangkan Agnes, wanita muda berambut kecoklatan itu, dan bagaimana hubungan mereka berubah dalam waktu yang bisa dibilang singkat.

Mereka berdua memang setuju untuk tidak terburu-buru, juga berjanji untuk tidak saling 'menipu' diri sendiri dan masing-masing. Mereka juga tidak ingin memberi label pada hubungan mereka, sekedar tahu mereka lebih dari teman.

Grace tak pelak tertawa mengingat ekspresi Agnes saat dia memberanikan diri untuk mengecup Agnes, mengetahui perasaan wanita itu padanya berbalas.

"... Agnes."

Orang yang tidak sengaja dikenalnya lebih dekat di luar kantor, dipertemukan dengan jalur yang juga non-konvensional.

Grace yang selalu mencoba hal-hal baru setelah Harald pergi, terkadang menemukan dirinya mencoba mengenal orang di luar sirkel kantornya dengan media aplikasi perjodohan daring. Tentu, kebanyakan orang lebih senang lebih dari sekedar menjadi teman kencan, atau bahkan sudah menawarkan diri untuk main lebih jauh, sehingga Grace bisa dibilang lebih ke 'mencari' dan 'penasaran' ketimbang melakukan hubungan yang umurnya cuma sekali semalam.

Grace melihat akun Ingrid, yang sepertinya cukup aktif di media perjodohan dan pertemanan, dan menghubunginya.

"Oh, saya cari teman buat adik saya, apa kamu masih berminat?"

Adik? Grace pun bertanya-tanya. Sikap Ingrid ini mengingatkannya pada dia yang dahulu terlalu berkutat dengan Harald sampai Harald sendiri menyuarakan keraguannya seputar Grace.

"Adik saya orang baik-baik, kok. Cuma kadang dia suka ... gimana ya, awkward? Ada masalah sama hidup dia dulu, jadi dia kurang mau ketemu orang baru."

Grace pun mengiyakan Ingrid untuk dia bertemu, paling tidak Grace ingin melihat bagaimana 'adik' yang dimaksud Ingrid, atau mengenal sosok Ingrid.

Siapa sangka ternyata dunia ini begitu sempit, karena Agnes, junior salah satu koleganya yang menempati lantai yang sama dengannya, adalah sang 'adik' tersebut?


. . .


Agnes itu 'kuat', adalah kesan pertama yang Grace simpulkan saat melihat Agnes dari dekat di luar urusan kantor.

Dari bagaimana dia bercengkerama dengan Ingrid, kakaknya yang terpaut usia dekat, sepertinya si kakak cukup pemaksa, walau Agnes berusaha untuk tidak membuat kakaknya khawatir.

Yang tidak disangka Grace awalnya adalah Agnes dan Ingrid jelas menunjukkan bahwa mereka tertarik dengan sesama wanita, berbeda dengannya yang masih tahap mencari dan tidak berpikir sampai ke sana. 'Partner hidup' bukanlah istilah yang buruk untuk menggambarkan apa yang Grace inginkan, baik itu dalam tahap romansa atau tidak. Walau ... mungkin dia termasuk orang yang canggung, apalagi dia yang sudah terlalu lama 'sendiri'.

Saat Agnes bilang tidak terlalu 'tertarik' untuk berteman atau sekedar melanjutkan pembicaraan dari pertemuan yang sepertinya mendadak untuknya, Grace tidak memaksa Agnes atau Ingrid. Dia senang menemukan kedai kopi yang nyaman dan enak, juga tahu kalau ada orang seperti Agnes dekat dengannya.

Apa yang selama ini dianggapnya jauh sekali mengenai kehidupan di luar keluarga intinya, mengenai apa yang disukainya dan apa yang bisa dia resapi, ternyata begitu dekat.


. . .


Grace membuka matanya lagi setelah sejenak menutup. Ketika dirinya sendirian, waktu terasa lebih lambat, walau apa yang ada di benaknya mengalir begitu cepat.

Ia mengenal Agnes bulan lalu masih sebagai 'anak asuhan' Cliff, manajer divisi Planning. Grace, Cliff, dan Melissa bisa dibilang mereka berempat sebagai manajer divisi cukup sering bersama karena urusan mereka berkesinambungan di satu lantai itu. Bara yang merupakan sebagian dari Purchasing dan teman lama Cliff pun turut semisalkan mereka ada acara bersama atau mengarahkan ketika ada acara kantor.

Agnes yang menyuarakan pendapatnya di salah satu rapat pun Grace sadari menarik perhatian banyak kalangan, Cliff dan Bara terutama.

Saat berpikir demikian, Grace akan langsung ingat soal Harald yang ngoceh kalau Grace melihat sesuatu dari sisi profesional saja.

Tidak lama setelahnya, ia dan Agnes sempat bersinggungan dekat lagi karena dia membantu Melissa mengantar anak-anak yang mabuk saat acara kerja. Grace tidak menyangka Agnes akan mencoba mencari tahu kontaknya dari Melissa dan mencoba membayar 'utang budi'-nya dengan mengajak Grace makan bersama.

Barulah Grace lebih banyak menyadari hal-hal kecil soal Agnes saat mereka berdua memutuskan menjadi 'teman'.

Agnes memang 'kuat'--tapi di balik sosoknya yang selalu mencoba membaur, dia selalu bimbang. Mengingat bagaimana kakaknya mencoba untuk memberikan 'yang terbaik' untuknya dan dia bersikeras menolak, atau bagaimana Agnes tidak ingin merepotkan siapa-siapa, Grace hanya melihat sesosok yang ingin dimengerti - dimengerti karena dia punya ritme sendiri.

Yang menjadi puncaknya adalah ketika malam pertengahan November itu Grace menerima telepon mendadak dari Agnes.


. . .


Bukan pertama kali Grace membawa orang dengan motor karena keadaan darurat. Agnes masih sadar, namun dia tidak dalam kondisi untuk berbicara atau berlaku sendiri.

Grace pun melingkarkan lengan Agnes di pinggangnya erat-erat. Agnes masih responsif secara fisik, tapi dia tidak akan menjawab kalau Grace mencoba bertanya. Menunggu kendaraan di jam-jam itu sepertinya akan hanya makan waktu, jadi dia pun nekat membawa Agnes dengan motornya, mirip dengan ketika dia panik dan membawa Harald sekian tahun yang lalu.

Ketika dia kembali ke rumah dengan Agnes, dia baru menyadari kalau dia tidak seharusnya nekat atau melakukan sesuatu yang dapat membahayakan Agnes.

Agnes terkadang memanggil kakaknya, Grace berusaha menenangkannya sambil membopongnya ke dalam rumah.

Ia melirik kamar Harald, sebelum membaringkan Agnes di kasur dalam kamarnya.

Apa yang sudah terjadi? Agnes tidak mabuk. Dia mencoba menghidu bau alkohol atau sejenis. Tidak ada apa-apa.

Grace membiarkan Agnes menggunakan kamarnya untuk istirahat, sementara dia kembali ke ruang tengah, dipenuhi tanya dan juga menyalahkan dirinya sendiri yang sudah nekat.


. . .


"Apa Ibu melihat saya seperti sosok adik, seperti Harald?"

Pertanyaan itu menggelitik kalbu Grace, juga seperti sebuah tamparan pengingat. Dia paham perbedaan umurnya dengan Agnes membuatnya cenderung menganggapnya sebagai sosok yang harus diayomi, dan dia kembali ke bagaimana dia melihat Agnes saat pertama kali mereka bertemu di saat itu.

Grace tidak pernah membandingkan Agnes dengan Harald. Grace melihat Agnes sebagai—

"Saya melihat kamu sebagai sesama wanita, Nes." sebagai sesama wanita yang patut dihargai oleh orang yang tepat, dan diberi tempat yang tepat.

Itu adalah jawaban yang mantap keluar dari mulutnya setelah sekian lama, ia rasa.

Hatinya tidak pernah salah.


. . .


Grace melepas kacamata yang telah lama melekat pada wajahnya, kembali tersenyum sendiri mengenang hari ini. Hari yang tidak pernah terbayangkan akan jadi seperti itu.

"Harald," bisik Grace. "Jadi ini ya, rasanya punya orang yang kamu sayang, tapi bukan keluarga?"


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro