Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27 November; 15:32

Dulu, Agnes tidak pernah kepikiran jalan-jalan ke tempat seperti akuarium, atau bahkan taman sebelumnya, bukan karena dewasa ini tidak banyak lahan terbuka hijau atau opsi wisata lokal selain mall dan tempat makan. Hanya tidak pernah terpikirkan, plus bagaimana orang lebih gampang memilih mall ketimbang mencoba tempat lainnya.

Agnes memilih akuarium atau menentukan waktu bukanlah tanpa berpikir panjang dan buru-buru, dia memang sudah merencanakan untuk meluangkan waktu saat dia sudah tenang dan sudah mempertimbangan apa yang hendak ia utarakan dan bagikan.

Grace menawarkan kalau Agnes ingin dijemput, tapi Agnes menolak. Mereka akan bertemu di akuarium Sabtu ini di jam setelah makan siang. Grace bertanya kalau mereka akan makan bareng dulu atau nggak, Agnes bilang tidak, mereka akan langsung bertemu di akuarium saja. Bukan berarti Agnes tidak ingin basa-basi atau tidak ingin menghabiskan waktu lama-lama.

Ia takut kalau dia terlalu bertele-tele, apa yang sudah ia siapkan di benaknya akan buyar dan ia akan mencari celah untuk 'kabur', padahal ia sudah merasa siap untuk bercerita.

Grace pantas mengetahui apa yang terjadi, dan selain ini adalah balasan bagi Agnes yang sudah sempat mendengarkan cerita kehidupan Grace, Agnes ingin Grace tahu mengapa malam itu terjadi—dan kenapa dia begitu plin-plan.

Mengakui dan menyadari kesalahan yang dibuat oleh diri sendiri tidaklah mudah, lagi Agnes ingin mencoba.

Ia tidak akan kabur lagi dari rasa ini. Apa pun yang terjadi.



Agnes tidak pernah tahu kota punya akuarium yang cukup bagus.

Memang, mungkin tidak sebesar akuarium-akuarium yang ada di luar sana, tapi suasana, juga banyaknya fauna laut yang ditampilkan dalam wilayah akuarium besar yang sudah dikondisikan mirip dengan aslinya terlihat sangat indah. Selain bisa menyewa guide khusus untuk tur edukasi rombongan, ada juga museum laut tepat di sebelah akuarium. Toko suvenirnya pun tidak kalah lengkap menjual berbagai pernak-pernik dari yang kecil hingga boneka-boneka besar nan lucu.

Sabtu penghujung bulan itu bisa terbilang sepi saat mereka berdua datang setelah jam makan siang. Grace sudah terlebih dulu mengambil pamflet dan mereka mengikuti alur ruangan untuk berpindah dari satu display ke display lainnya. Tidak banyak dekorasi tematis di kala itu karena sedang off-season, tapi melihat berbagai macam kehidupan laut sudah sangat menyenangkan dan memanjakan mata.

Sekeliling akuarium itu gelap dan dingin, cahaya terang yang berasal dari kolam besar akuarium-lah yang menyinari ruangan itu temaram. Ikan dalam berbagai bentuk dan warna, juga satwa laut yang namanya bahkan tidak pernah dikenali Agnes sebelumnya, mewarnai tiap-tiap langkah dengan nuansa yang berbeda. Tropis. Elegan. Atau sekedar memandang kekayaan alam yang tersembunyi jauh dari darat.

"Ibu kelihatan on element ya." sahut Agnes setelah melihat Bu Grace merapikan pamflet lagi.

"Kebiasaan, kayaknya, yang mesti saya kurangi," dia berdeham. "Nggak perlu baca informasi, toh bukan tour guide, tapi saya juga keterusan aja pas ada yang nyeletuk."

Agnes tersenyum, "Nggak apa-apa, kok. Saya senang dengar Ibu."

Grace terkekeh, "Masa'? Saya pernah dengar dari Nora kalau kamu sempat takut sama saya?"

Pipi Agnes merah padam, "I—Itu dulu! Saya kira Ibu tipe yang gampang marah."

Wanita berambut hitam legam itu berkacak pinggang, "Saya bisa kok marah."

"Ampun, Bu." Agnes menyeringai.

Agnes yang seperti biasa memilih berpakaian modis, cardigan tebal hijau pucat dan baju terusan bunga-bunga. Grace yang terbiasa tampil plain tapi semi formal dengan kemeja blus dan celana high-waist. Mereka berdua berjalan bersama menikmati akuarium dan dialog antar masing-masing, seakan segalanya memang biasa saja.

Mereka adalah teman, dan Agnes pun merasa sangat rileks.

Ini mungkin yang Agnes inginkan, lagi ia juga mau lebih. Dan itu pun adalah bagian yang akan diutarakannya hari ini.

Mereka menepi ke sebuah sofa panjang tak bertepi melihat lorong yang dikelilingi pemandangan kolam dengan biota laut yang luas, sekedar duduk bersantai sambil memandang ubur-ubur yang melintas di atas kepala mereka, atau segerombolan ikan yang 'menari' dalam kelompok.

Agnes mengerling melihat Grace di sampingnya, kepalanya menengadah dengan kacamatanya memantulkan refleksi penuh warna dari terumbu karang.

"Kenapa, Nes?"

Agnes tak pelak tersenyum, hatinya hangat. Seperti biasa, Grace selalu saja 'sadar', walau Agnes mencoba tidak meliriknya terlalu lama.

"Saya ... bilang 'kan, kalau saya mau ngomong soal," Agnes menangkup kedua tangannya di pangkuan. "Soal hari itu, yang Ibu menyelamatkan saya."

Grace menelengkan kepala, menatap Agnes penuh perhatian. Dia tidak menjeda, dia membiarkan Agnes membuka, dan perlahan memanfaatkan waktu dan ruang yang ada, walau ia terus merasa ragu, walau ia terbata-bata.

"Saya malam itu diajak makan di luar sama Pak Bara," dia memerhatikan mata Grace membulat. "Pak Bara saya yakin nggak maksud apa-apa kok, Bu. Seperti yang Ibu pernah bilang, beliau itu cukup SKSD, ya? Lalu tiba-tiba saya merasa sangat tidak nyaman."

Agnes menggenggam tangannya sendiri erat.

"Saya merasa takut. Saya ingat kerap kali saya mencoba membuka diri dan berterus terang ke orang lain, atau merasa nyaman, di situ saya akan perlahan dihindari dan dikhianati," ia tertunduk. "Saat itu saya mungkin merasa kalau saya bilang ke Pak Bara sejujurnya kalau saya memang nggak suka, Pak Bara akan marah."

"Kamu bilang apa sama Bara?" tanya Grace pelan.

"Saya berusaha menolak halus saja, dan untungnya Pak Bara nggak sampai penasaran dan memaksa, lalu ..." Agnes melirik Grace. "Saat itu saya panik dan mungkin mencoba menelpon kakak saya dan... saya salah panggil."

Grace menatap Agnes nanar, bukan karena prihatin. Empatik. Menyayangkan apa yang sudah terjadi, namun tidak ada yang bisa mereka lakukan bagi sebuah peristiwa yang sudah berlalu.

Agnes meremas kerah bajunya, "Saya orangnya plin-plan, Bu. Saya sering nggak enakan sama orang, tapi juga ketika saya punya pengalaman dikecewakan, saya memilih mengingat kalau saya ... saya pernah punya rasa sayang sama orang itu, ketika teman dan kakak bilang kalau saya korban."

Grace tidak berkomentar, sekedar menepuk bahu Agnes sejenak dan melepasnya tanpa berlama-lama, seakan menunjukkan bahwa dia ada untuk Agnes, dan dia senantiasa mendengar.

"Setelah mendengar cerita Ibu soal Harald, saya bisa sedikit mengerti sekarang," Agnes menghela napas panjang. "Memang, mungkin apa yang saya risaukan dan apa yang menjadi contoh dari Ibu bukan hal yang sama, tapi proses untuk menerima apa yang telah terjadi itu bukan sekedar melupakan atau berandai-andai ada hal baik terjadi, atau ... meromantisasi kehilangan."

Agnes menundukkan kepalanya lebih dalam, sebelum dia turut menengadah, menatap langit-langit yang berisi bentangan kehidupan laut dalam selayang pandang.

Ia lalu memandang kembali Grace, yang tidak pernah berhenti menatapnya baik dalam jenak, menjadi sosok yang diam laksana saksi, tapi juga sebagai penggerak.

Dia yang berhasil menggerakkan hatinya.

"Di saat yang sama, saya juga ... sadar," Agnes mengulum bibir, dadanya berdebar hebat. Antara yakin dan tidak yakin. Ragu atau terburu. Dia sendiri tidak tahu—tapi ia ingin menyampaikannya.

Agnes membiarkan dirinya merengkuh sosok itu. Grace terkesiap, tapi dia tidak kaget atau menolak pelukan Agnes, sekedar menempatkan kedua lengannya di sisi tubuh Agnes seraya Agnes memeluk Grace erat.

"Saya ... ingin jadi sosok yang lebih sekedar teman untuk Ibu," suaranya setengah berbisik. "Sejujurnya juga saya ... saya harus bilang kalau saya masih bingung apa ini pilihan yang tepat, atau saya terlalu sembrono, tapi saya ingin Ibu tahu kalau saya—"

"Agnes."

Panggilan yang tegas itu sontak membuat Agnes menarik kepalanya. Pelukannya tidak lepas ketika kedua pasang mata mareka bertemu lurus.

Grace menangkup separuh pipi Agnes, seakan memintanya untuk diam sejenak, sekedar mengarahkan agar Agnes melihatnya lamat dan dekat.

"Kamu pasti sudah memikirkan ini matang-matang, saya bisa lihat dan rasakan dari cara kamu bicara," jelasnya. "Saya ingin mengingatkan kalau tidak ada dari kita berdua yang memaksa atau terburu-buru."

"... Iya. Saya nggak memaksakan diri, kok, Bu. Atau—atau saya merasa 'kasihan'." Agnes mengangguk pelan. Grace pun membalas dengan anggukan mantap. "Kalau ... Ibu?"

"Saya senang mendengar kamu terus terang," senyum Grace manis. "Kalau begitu, saya mau bilang ini."

Grace mendesah pelan saat dia mengusap pipi Agnes. Posisi mereka yang semula Agnes memeluk Grace, kini Grace menempelkan dahi mereka bersama, dan Grace memegang kedua tangan Agnes. Sebelah tangan Agnes lalu Grace arahkan tepat di tengah dadanya.

"Walaupun kita memang tengah 'mencoba', jangan pernah main-main sama hati saya," ucap Grace, senyumnya lengking saat ia menggenggam erat tangan Agnes. "Saya juga perempuan. Sama-sama mengerti bagaimana rasanya ditinggal sendiri dan bagaimana rasanya rapuh, patah malah."

Ya, Agnes mengerti, mereka mungkin tidak akan seperti bagaimana cerita lain bersua, mengenai mereka yang langsung saja berhubungan dengan segala embel dan tetek-bengeknya. Mereka juga bisa saja berselisih pendapat, tapi mereka ingin terbuka. Ingin mencari jalan tengah. Ingin mencari kemungkinan.

Bukan berarti ada celah untuk main-main—apalagi mengecewakan 'partner' mereka.

"Apa ini kurang menunjukkan keseriusan saya, Bu?" Agnes tak pelak tersenyum juga, dan tertawa geli ketika Grace terkekeh pelan. Rasa lega yang menjalar di dalam hatinya kini menjelma laksana api yang terpercik, membuatnya hangat dan juga menggelora besar, seakan hendak menelannya bulat-bulat bila dia tidak berhati-hati.

Lagi, Agnes tahu Grace ada di sana untuk membantu mengendalikannya.

"Serius itu relatif," tukasnya. "Saya bisa paham kamu itu lebih physical dari saya dan mungkin saya tidak seperti yang kamu bisa lakukan. Tapi kalau kamu mau mulai dari soal serius atau nggak ..."

Grace memundurkan kepalanya, koneksi di antara mereka mengendur sejenak saat Grace melepas Agnes. Agnes mengerjap, bingung merebak kalbunya sesaat sebelum Grace kembali untuk menangkup kedua pipinya lagi dalam ciuman singkat.

Mulut Agnes terbuka, sesaat hangat yang memantik bibirnya itu pergi meninggalkannya, lagi hangat itu tidaklah pergi begitu saja. Grace memandang Agnes sambil tersipu, sorot matanya turun menunjukkan sisi Grace yang tidak pernah dilihat Agnes sebelumnya, seorang yang selalu percaya diri kini merona merah dan menatap Agnes malu-malu.

Agnes merasa dia hampir lupa bagaimana cara menarik napas dengan benar.

"... Saya juga harus serius."

"Bu—"

"Grace." pintanya, setengah lirih, setengah memaksa. Jari telunjuknya menyapu bibir Agnes. "Grace, Agnes."

Tidak lama kemudian, pemberitahuan berkumandang dari interkom akuarium yang menyuarakan informasi jam tutup lokasi tersebut. Mereka berdua terkesiap, saling pandang lalu juga saling membuang pandang, berbagai emosi yang membuncah berikut juga perasaan malu bercampur senang, bahagia, dan lainnya dapat terlihat di antara mereka.

Grace lalu menarik lengan Agnes.

"Gimana kalau kita ... langsung pulang?" usul Grace. "Atau ... kamu lebih memilih untuk tetap di luar sebentar, sedikit lebih lama lagi?"

Agnes menggigit bibir bawahnya, lidahnya kelu.

"Boleh, jalan sebentar? Di dekat sini aja." Agnes menambahkan. "Ka-Kalau Ibu juga mau."

Senyum Grace, pipinya yang merona, dan bagaimana cahaya koral berdansa di matanya, adalah pemandangan yang khusus ada untuk Agnes saat ini. "Mhm, boleh," dia menjeda. "Hayo, tadi saya bilang panggilnya apa?"

"Kayaknya, saya belum, mampu, Bu." Agnes terbata. Punggung tangannya masih sibuk mengusap bibirnya, tidak karuan karena sentuhan sederhana tadi.

Grace pun tertawa lepas. Ia kembali membentangkan tangannya terbuka untuk Agnes ambil, dan mereka berdua berjalan keluar akuarium dengan langkah-langkah pelan.

.

Tidak dikiranya, dia akan mengambil langkah yang sangat, sangat besar. Membuka pintu yang tadinya mungkin akan ia hindari dan tidak pernah ia singgahi, hanya dalam 'sekian jenak' yang tidak pernah terlintas di benaknya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro