23 November
Agnes paham, yang namanya rasa simpati dan rasa mengasihani itu mirip namun tidak sama. Orang akan bilang mereka bersimpati, tapi belum tentu mereka mengasihani, begitu sebaliknya. Ada juga yang menggunakan istilah ini sebagai satu kesatuan, padahal simpati belum tentu ada dengan aksi, begitu juga mengasihani.
Ia ingat saat pertama kali bertemu dengan Bu Grace di luar kantor sebagai masing-masing pribadi yang tidak terikat profesionalitas, di kala itu, Agnes bisa dengan tegas menolak karena dia tahu kak Ingrid selalu saja memaksanya untuk 'keluar dari zona nyaman'.
Agnes kerap menyatakan kalau dia tidak ingin mengenal orang baru, atau mencoba 'pulih', semua karena dia masih terkurung di masa lalu.
Namun, saat hubungan interpersonal itu sedikit menyinggung ranah kantor, seperti perlakuan Pak Bara, Agnes lebih banyak bimbang dan sulit mengutarakan penolakan. Itu adalah salahnya sendiri, terkungkung dalam spiral dan kepanikan, hingga akhirnya dia sadar kalau dia benar-benar masih terikat dengan memori dan juga ketakutan karena Riena.
Ia takut terluka. Ia takut ditolak karena cuma sekedar pilihan kedua. Ia takut sekedar menjadi sosok pengganti. Ia pun juga takut terlihat tidak sopan atau tidak menuruti titah 'atasan'.
Segala emosi dan pemikiran, atau bisa dibilang 'prinsip' yang dia bangun goyah, dan yang menantinya adalah proses breakdown.
Sampai dari Bu Grace-lah dia mengetahui, bukan dia saja yang 'terkurung' di imaji masa lalu, tapi ada mereka yang memilih untuk mencoba berjalan keluar dari kegelapan itu walau tertatih, walau sedikit demi sedikit prosesnya.
Bukan untuk kembali ke memori itu dan menganggapnya itu adalah sebuah 'hal yang patut dikenang' tanpa mengetahui hikmah dibaliknya.
Agnes sendiri tidak menyangka, sebulan sudah berlalu sejak saat itu—saat pertama kali ia membuka pintu untuk Grace, menutupnya lagi, dan karena mereka ada di orbit yang sama, mereka pun bertemu, bercengkerama, seakan ada sesuatu yang menarik mereka berdua dekat, lebih lekat dari gravitasi.
Agnes berkesempatan mengenal Grace lebih dari sisi profesionalnya, dan juga Agnes bisa melihat bagaimana disiplin beliau di sisi personal-lah yang membuat sikapnya sangat tertata.
Dan sekarang, kembali ke pertanyaan yang terus-menerus diulangnya selama seminggu ini, terutama setelah dia berbicara dengan Nora.
Ini bukan karena simpati. Ini bukan karena kasihan.
Agnes baru saja selesai memeriksa seluruh file yang diberikan oleh Pak Cliff dan menaruh folder rekap yang dipinjam Agnes di atas meja beliau. Hari itu karena Bu Melissa mengajak rapat dengan owner, Planning/Marketing sepi terkecuali mereka yang memang bertugas di ruangan. Nora bolak-balik kayak setrikaan karena jadi asisten Bu Melissa di rapat dengan owner, lalu Agnes sibuk sendiri mengerjakan tugas dari Pak Cliff dan kembali memeriksa kembali direktori user sesuai anjuran Pak Cliff.
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore, sebentar lagi sudah jam pulang, dan rapat dengan owner belum menunjukkan tanda usai.
Ia melempar pandangnya ke dinding kaca partisi antara bagian Purchasing dan Marketing, bagian di sana pun sedikit melompong, mungkin mereka juga turut untuk rapat, terutama Pak Bara.
Mata Agnes bergulir mengamati sosok dengan kacamata dan rambut hitam yang senantiasa hilir-mudik di ruangan ketika junior Purchasing tengah bertanya atau berdiskusi.
Agnes tertunduk, melihat ke arah tangannya di atas papan ketik.
Berbeda dengan Pak Bara yang benar-benar sudah dia coba 'hentikan' sikapnya sehingga pesan dari beliau tidak intens lagi, Bu Grace berlaku layaknya biasa. Mereka memang 'teman', lagi Grace bukan tipe yang melulu menelpon atau mengirim pesan. Grace hanya sekedar bertanya saja dari waktu ke waktu, tidak kurang dan tidak lebih, walau sekarang mungkin pembicaraan mereka lebih luwes.
Agnes masih ingat sekali kalau dia belum sempat bercerita ke Bu Grace soal hari itu, kenapa dia didera serangan panik, dan kenapa dia sampai tidak mengenali Bu Grace yang tidak sengaja dia panggil.
Agnes sudah merencanakan sesuatu. Tidak enak membicarakan hal itu via telepon atau pesan. Dia akan berbicara langsung dengan Bu Grace soal ini, dan Agnes sudah merasa lebih tenang dan siap sekarang.
Sesaat pintu pembatas dua sekat ruangan terbuka, Agnes menaikkan kepala refleks. Bu Grace datang membawa beberapa ordner yang merupakan milik Planning.
"Agnes? Boleh titip ini untuk Cliff?" Grace menaruh tumpukan itu di meja Cliff. "Tadi Melissa yang bawa buat referensi, Bara cuma sempat tumpuk di mejanya dia, terus dia belom balik."
Agnes segera berdiri, kembali menuju meja Pak Cliff, merapikan beberapa tumpukan yang sudah ada di meja atasannya itu. Dia mengambil sticky notes dari mejanya dan mulai menulis penanda sambil menata ordner dan file.
Grace berulas senyum, senyum yang mungkin sebulan yang lalu hanya akan membuat Agnes keheranan karena dia tidak sangka Bu Grace yang terkenal galak bisa tersenyum. Kini, senyum itu membuat Agnes diam. Diam bukan karena mematung. Diam karena dia ingin senyum itu ada lebih lama. "Makasih, ya."
Grace menaikkan kacamatanya, mengedarkan pandang ke wilayah Planning/Marketing yang kosong. "Semua sibuk rapat, ya? Kamu nggak apa-apa kerja sendiri?"
"Duh, Bu, saya bukan bocil." kekeh Agnes. Dahi Grace berkerut, tapi senyum beliau tetap kalis.
"Bukan itu maksud saya," ia geleng-geleng. "Yah, tapi kalau dari Cliff sendiri percaya sama kamu dan kamu nggak kebingungan, nggak masalah. Misal kamu butuh bantuan, bisa kok ketuk kaca. Ada senior Purchasing yang mungkin bisa bantu jawab."
Grace menunduk santun. Agnes lebih paham juga sekarang kenapa mereka di Purchasing terlihat 'serius' namun tidak terlihat terpaksa—itu karena Bu Grace sendiri juga-lah yang sangat peduli dengan anggota timnya. Sikap itu juga sepertinya yang menjadikan Bu Grace yang keras seperti sosok panutan.
"Oh, erm, Bu Grace?"
Agnes membesarkan suaranya, mencuri perhatian Grace yang sudah permisi, hendak kembali ke kubikel Purchasing.
"Ibu ada waktu akhir minggu ini?"
Grace mengerling, "Ada apa, Nes?"
"Gimana kalau ... Sabtu ini kita jalan ke akuarium?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro