12 November; 19:39
Petang sudah lewat ketika Agnes menyudahi pekerjaannya hari itu, dia pun segera bergegas karena kantor sudah mulai sepi.
Dia akan jalan bersama Pak Bara malam ini, sesuatu yang cukup baru bagi Agnes, dan juga tidak terduga. Agnes terlalu fokus menyelesaikan tugas untuk memikirkan terlalu banyak soal ajakan Pak Bara, dan sekedar melakukan saja karena obligasi.
Walau tidak bisa disamakan dengan dia dan Bu Grace.
Agnes tertegun sejenak, tangannya terhenti setelah memencet tombol tetikus untuk mematikan komputer. Ia teringat pembicaraannya dengan Irene beberapa waktu silam ketika Agnes sempat bercerita soal dia dan Bu Grace. Agnes tidak mengajak Bu Grace makan bersama atau berteman sekedar karena merasa tidak enakan sudah menolak Bu Grace. Dia bukan orang yang tegaan, tapi dia juga tidak akan segan memutus sesuatu bila dia tidak menginginkannya, seperti apa yang terjadi pada Riena. Agnes mengaku masih sayang pada Riena dan masih mengenang masa-masa ketika segalanya indah, tapi dia tidak ingin bertemu dengan Riena lagi setelah tahu kebenarannya.
Mungkin, mungkin yang ada di benaknya ketika menghadapi Bu Grace adalah perasaan yang mirip dengan itu, tidak ingin segalanya berakhir ketika sebuah keputusan dilakukan. Agnes merasa Bu Grace bukan seorang yang buruk, atau tipikal yang terlalu kaku yang akan bersikap eksklusif.
Akan tetapi, masih butuh waktu untuk Agnes menganggap Bu Grace sebagai seorang 'teman' selayaknya dia pada Nora.
Agnes mengerling ketika gawai di mejanya bergetar. Pesan masuk dari Pak Bara datang tidak lama setelah Agnes selesai beberes, dia bilang dia sudah menunggu di lobi. Barulah Agnes menggerakkan tubuhnya lagi, membuyarkan diri dari lamunan.
Nora mengetuk sisi mejanya. Dia tampak capek habis kesana-kemari dengan Bu Melissa, tapi senyumnya santai seperti biasa. Tidak ada lagi tanda-tanda Agnes sangsi dengan Nora atau Nora hendak membicarakan topik yang sama berulang-ulang.
"Mau nongkrong nggak, Nes?" Nora menawarkan. "Capek banget abis dibudakin Bu Mel, mau yang seger-seger."
"Ini aku ada janji sama orang."
Alis Nora naik, dia mulai menoleh sedikit ke arah pembatas kaca, "... Bu Grace?"
"Bukan kok." geleng Agnes cepat.
"Wah!" Nora tampak girang. "Siapa nih, teman baru?"
"Nanti aku cerita." Agnes menarik tas tangannya dan melambai sambil lalu. "Sampai ketemu minggu depan, Ra."
Nora mengangguk, masih memberi Agnes ruang untuk bergerak, dan tidak terlalu menceramahinya.
⧓
Pak Bara sesuai bayangan Agnes, bahkan sampai ke mobilnya.
SUV berwarna hitam legam elegan itu meluncur di belantara kota, membawa mereka ke uptown yang jauh dari jalur kereta utama, umumnya menjadi tempat hiburan kelas menengah atas dengan keberadaan mall-mall yang menjual barang branded dan apartemen kalangan elit. Pak Bara serapi bagaimana mobilnya dijaga nyaris tanpa jeda, tidak ada puntung rokok di asbak, bahkan bahan kursi kulitnya tampak mengilap.
"Ini mobil turunan, sih. Asal dirawat, masih keliatan mulus, 'kan?" ucap beliau ketika menceritakan mobil keluaran lima belas tahun lalu itu dan bagaimana dia sering jalan sama Cliff ketika masih bujangan. Agnes sekedar mendengarkan.
"Kamu sering ke uptown?"
"Rumah saya di arah berlawanan sih, Pak, bisa dibilang kalau cuma pengin jalan-jalan aja."
Pak Bara tersenyum, "Oke, kalau gitu saya ajak ke restoran favorit saya."
Mobil itu sampai ke sebuah gedung lima lantai yang sepertinya mixed-use. Ada plang berupa restoran, bar, kafe & biliar, juga ada binatu di lantai paling bawah. Tujuan mereka adalah restoran di lantai atas yang gemerlap dan tampak mahal, terutama dengan keberadaan server yang langsung datang menjamu mereka di pintu masuk.
Restoran itu jauh dari apa yang Agnes bayangkan. Dengan citranya yang menghadap gemerlap hingar-bingar kehidupan mahal uptown, Agnes mengira kalau itu adalah restoran berkelas, tapi sepertinya Pak Bara sudah membawa Agnes ke tempat yang bisa dibilang 'biasa' di lingkungan elit. Restoran itu menyajikan masakan ala Eropa dan kudapan laut, dan nuansa dekorasinya menggambarkan mereka tengah berada di sebuah dek kapal dengan lantai kayu berderit dan hiasan-hiasan berupa jangkar, tali tambang, dan ban pelampung.
Menu makanan yang tergolong tidak terlalu murah itu juga merupakan salah satu dari cerminan uptown, tapi Agnes tidak terlalu keberatan berada di sana karena citra restoran itu agak mirip dengan Affogato yang selalu dikenalinya, terutama di pilihan musiknya.
Agnes sesekali membalas tatapan Pak Bara yang sepertinya mencoba sangat dekat dengannya, dari bagaimana beliau memosisikan diri, memilih lokasi tempat duduk, atau dia yang akan kembali memuji Agnes.
"Hee, kamu penggemar swing jazz? Sama dong." kekehnya. Beliau menyilangkan jarinya di bawah dagu, senyumnya seperti biasa menawan. "Nggak nyangka ternyata emang kita punya banyak kesamaan."
"Bapak bisa aja," tutur Agnes, menyesap air yang dipesannya. Pak Bara yang memesankan makanan untuk mereka berdua, dan pria itu tampak asyik saja berbicara dengan Agnes.
"Lain kali berarti bisa, dong, kita jalan begini lagi?" ucapnya. "Mungkin ke tempat yang agak jauh, yang lebih autentik. Atau mungkin kita bisa nongkrong di rooftop bar."
Agnes menelengkan kepalanya, "Bapak mau ajak saya lagi?"
"Kenapa nggak?" Bara menyunggingkan senyum. "Saya udah bilang, saya nyaman sama kamu, dan ketika tahu kita ternyata banyak kesamaan, rasanya seperti udah pas bagi saya."
Agnes merasa lidahnya kelu, "Pas?"
Bara terdiam sejenak, lalu kemudian ia terkekeh puas. Tangannya yang semula memangku dahinya kini berada dekat dengan tangan Agnes di atas meja, pandangannya lurus saat dia menyuarakan isi pikirannya dengan lugas.
"Saya tertarik sama kamu, Agnes," ungkapnya. "Jadi pas kalau ternyata kita punya banyak kesamaan. Kita bisa saling berbagi lebih banyak."
"Tertarik?" Agnes mengulang kata-kata itu, seakan asing.
Tangan Pak Bara menangkup punggung tangan Agnes. Mata hitamnya mengerling, dan Agnes merasa seperti tersihir, terpaku di tempat. "Kamu sendiri paham, 'kan?"
Mendadak, Agnes merasa getir. Dia ingat benar kejadian seperti ini, namun yang ada di hadapannya adalah sesosok Rien. Sesosok Rien yang pernah dia curahkan isi hatinya. Rien yang pernah dia persilakan masuk ke relung ekspresi dan emosinya. Rien yang sama juga telah mengkhianati perasaannya. Rien yang sama juga-lah yang mengakhiri ini semua seakan mereka tidak pernah bersama—tidak pernah merasakan apa-apa.
Agnes merasa tidak nyaman. Dia kesulitan untuk sekedar berkata-kata, tapi dia berusaha menarik tangannya terlebih dahulu dari sisi Pak Bara. Bara pun terkesiap, tapi ekspresinya melunak saat Agnes tertunduk.
Bara bukan orang yang diminta oleh kakaknya untuk mendekati Agnes. Bara adalah seorang asing yang mendadak datang. Seseorang yang mungkin akan menguasainya. Ia merasa tangannya mendingin. Dia merasa takut.
(Kamu harus bisa bilang 'nggak'.)
"Maaf, Pak. Saya—saya nggak ..." Agnes memegang tangannya yang bergetar di bawah meja. "Saya nggak, nggak ada maksud apa-apa sama Bapak."
Tentu, dia tidak akan bisa menyuarakan kalau dia 'tidak tertarik' karena dia menyukai wanita. Tidak mungkin dia mengakui itu ke seseorang asing. Agnes pun tetap tertunduk, berharap kalau itu alasan yang cukup untuk Bara mundur, atau mengerti, atau berhenti untuk mencoba ingin tahu.
"Ah, maaf, saya ... kecepetan, ya." suara Bara terdengar gamang. "Atau kamu mau kita jadi teman dulu?"
"Bukan begitu, Pak." ucap Agnes cepat, dia mencoba menaikkan kepalanya, paling tidak membalas tatapan Pak Bara yang melihatnya tegar dan tegas. "Saya, nggak mau apa-apa dari Bapak."
Bara terdiam. Makanan mereka datang tidak lama kemudian, dan Agnes masih tertunduk. Tidak ada sirat kemarahan dari wajah beliau, walau jelas ada rasa kecewa di sana, lagi dia seperti tidak mengarahkan itu pada Agnes.
Waktu berselang lama setelahnya, dan Bara angkat bicara lagi.
"Saya ... minta maaf." ucapnya, suaranya sedikit bergetar, tapi nadanya tulus. "Maaf sudah membuat kamu nggak nyaman. Saya nggak akan ungkit-ungkit itu lagi."
Agnes memberanikan dirinya untuk bersikap normal, setidaknya menghadapi Pak Bara yang tidak memaksakan kehendaknya dengan respek.
⧓
Sepanjang jam makan itu, mereka berdua lebih banyak diam, bahkan hingga akhir. Agnes pun segera menolak saat Pak Bara bilang dia akan mengantar Agnes pulang sebagai permintaan maaf, dan Pak Bara tidak lagi menawarkan apa-apa setelahnya dan segera bertolak.
Barulah ketika mobil Pak Bara sudah menghilang di pelataran gedung itu, jauh dari sisi pandang Agnes, Agnes merasa kakinya sangat lemas. Dia pun terduduk begitu saja di pelataran jalan menghadap sunyinya gang. Tidak ada orang berlalu-lalang di lingkungan elit itu di pertengahan malam, tidak ada yang memerhatikan Agnes yang berusaha memeluk dirinya sendiri karena merasa kalut, takut.
Agnes berusaha menjangkau ponselnya walau tangannya bergetar, matanya memburam oleh tangis, dan perasaan penuh ketakutan itu masih menguasainya ketika dia mencoba memanggil bantuan. Dia tidak bisa bergerak. Dia tidak mampu berdiri.
"Kak? Kakak ... tolong. Tolong jemput aku. Aku takut, Kak." Agnes terisak ketika teleponnya tersambung, napasnya menderu dan dia mulai kesusahan untuk sekedar bersuara.
"Kamu di mana sekarang?"
"Up...town. Nama gedungnya, Kamelia Selatan IV."
"Oke, kamu tetap di situ. Nanti kakak jemput."
Agnes menggenggam ponselnya erat di tangan, membenamkan wajahnya ke pangkuan, menutup dirinya dari dunia, ketika di benaknya hanya ada masa lalu dan penyesalan, dan dia yang selalu menyalahkan dirinya untuk mudah sekali percaya.
. . .
Agnes terduduk, mematung. Menangis dan memeluk dirinya yang tidak bisa melakukan apa-apa. Menunggu. Ketakutan. Tidak mampu melakukan hal selain tersedu.
Ada suara kendaraan mendekat, ketika segalanya terasa terlalu bising baginya dan dia tidak mengindahkan apa-apa lagi.
Riena, apa aku yang salah? Nora, apa aku yang naif? Kak Ingrid, apa aku nggak berhak percaya—
"Agnes?"
Agnes menaikkan kepalanya ketika ada suara lembut memanggil namanya. Dia mencoba menaikkan kepala, mencari asal suara, tapi dia tidak mampu melihat dengan jelas. Rasanya kepalanya berat, dan tubuhnya masih belum berhenti untuk menggigil padahal di sekelilingnya itu tidak dingin.
Tangan itu mendekat, seperti memeriksanya. Hangat, mungkin itu kakaknya.
"Kakak?"
"Iya, ini kakak." ucap suara itu, dan Agnes pun segera melempar tubuhnya untuk merengkuh sosok itu.
"Kakak." desisnya. "Tolong aku. Aku mau pulang."
Kakaknya seperti biasa tidak banyak bertanya, Agnes sudah dibawa kakaknya itu untuk berdiri, dan lalu ia dipapah untuk ikut bersamanya tanpa banyak menunggu lagi. Agnes menggenggam sosok itu erat, seakan mencari mercusuar di tengah gelap lautan, dan kepalanya pun kosong lagi, sesempurna hatinya yang tidak pernah terisi.
Ia hanya bisa bersyukur hangat dari kakaknya itu nyata.
⧓
Sosok di peluknya itu ringkih, pikirnya, seketika dia mencoba membopong Agnes naik, Agnes sepertinya lemas dan tidak mampu melakukan apa-apa lagi.
Dia lalu mencoba melepas genggaman tangan Agnes dari ponselnya, sementara dia mengedarkan pandang ke pelataran gedung yang tidak terlalu banyak pengunjung. Uptown yang umumnya dipenuhi oleh mereka yang berkendara kemana saja membuat tidak banyak pejalan kaki yang hilir-mudik sehingga dia memanfaatkan waktu untuk menenangkan Agnes.
Cengkraman tangan Agnes cukup kuat di sisinya, juga di ponselnya. Serangan panik menguasainya dan butuh beberapa saat sampai akhirnya Agnes bisa duduk normal - walau dia tidak lagi merespon.
Hanya beberapa kata, kakak, pulang, takut, dia tidak tahu apa yang sudah dilalui Agnes.
Ia memandang layar ponsel Agnes. Agnes bahkan tidak mematikan telepon yang mungkin dipencetnya asal dalam panik untuk mencari bantuan.
Grace.
Wanita berambut hitam itu menghela napas panjang mendapati keadaan Agnes, menutup sambungan telepon yang dia biarkan menyala sembari dia ngebut mencari Agnes.
Dia menatap motor—motor besar yang lebih untuk berkelana—yang dibawanya, dua helm, dan lalu sosok Agnes yang seperti patung pualam.
Grace berlutut di hadapan Agnes, mencoba memegang kedua tangannya.
"Maaf saya cuma bisa bawa motor kemari karena buru-buru. Nanti kamu pegangan yang kencang, ya. Ayo kita pulang."
Agnes mengangguk. Grace lalu menuntun Agnes untuk naik ke motornya.
Apa yang sudah terjadi pada Agnes?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro