01 Desember, 11:48
Agnes tidak sempat menanyakan di Minggu ini tentang sikap mereka kalau di kantor, tapi sepertinya Agnes sudah terlalu meragukan mereka berdua.
Planning/Marketing dan Purchasing tidak terlalu banyak bersama untuk operasional umum, terkecuali mereka dipanggil lagi untuk rapat gabungan atau eval. Selepas perencanaan di akhir Oktober, mereka belum ada rapat darurat untuk problem atau klien baru, jadi bisa dibilang mereka di kantor tidak banyak saling bertemu.
Mereka pun bukan tipe yang telponan atau kirim pesan terus-menerus, seakan itu memang lumrah.
Di seberang pembatas kaca itu, tim Purchasing sedang melaksanakan presentasi dengan Pak Bara sebagai moderator. Dari sayup-sayup suara yang bisa terdengar dari celah pintu, Bu Grace aktif memberikan masukan. Suara tegas dan mantap itu kini berbeda di telinga Agnes, dan sejenak dia ingin menjadi bagian dari Purchasing untuk bisa melihat Bu Grace lebih dekat—
Ah, mikir apa sih, Nes. Dia mencoba geleng-geleng kepala. Mereka pelan-pelan iya, kasmaran iya juga, tapi nggak menggebu-gebu, lagi Agnes merasa lebih nyaman seperti ini.
Tapi ya, tetap, kadang Agnes ingin lebih dekat—memandang lebih dekat, ada lebih dekat, mendengar lebih dekat.
Agnes mencoba kembali berfokus dengan kerjaan di depannya, hingga Nora datang.
"Matanya ke kaca mulu, Non." sahut Nora saat dia mampir mengambil ordner yang sudah disusun oleh Agnes.
"Nggak ah," apa iya dia nggak sengaja ngelirik ke kaca terus? Gumamnya. Dia menatap sangsi Nora. "... Eh, apa iya?"
"Hah, beneran kamu ngelirik kaca terus? Ada apa?"
Jadi itu ternyata pernyataan pancingan, atau Nora yang benar-benar khawatir mungkin Agnes kenapa-kenapa lagi sama Pak Bara jadi dia sampai bersimpuh di sebelah meja Agnes. Pak Cliff di seberang meja Agnes tidak berkata apa-apa, hanya menyunggingkan senyum dan fokus di pekerjaan beliau. Nora menatap Agnes serius.
Agnes memelankan suaranya, "Ng, nggak ada apa-apa kok. Bukan soal itu juga. Aku udah nggak ada apa-apa lagi, 'kan."
Nora menelengkan kepala, "Oke, berarti ke Bu Grace?"
Saat Nora menyebut nama itu, Agnes malah salah tingkah. Dia tidak bisa serta-merta berbohong, tapi juga dia belum kepikiran untuk bilang apa-apa ke Nora.
Agnes berpura diam, membuang muka, senyum Nora pun melengking.
"Jadi, Bu Grace?" Nora mengetuk-ngetuk meja Agnes dengan jari-jarinya. "Beneran?"
"A-Apa sih, Ra."
Agnes mengulum bibir. Hasrat antara ingin mengiyakan dan ingin menyembunyikan dulu hingga saat yang tepat bercampur aduk. Agnes sebenarnya tidak ada alasan khusus untuk menyembunyikan soal ini, juga Bu Grace sendiri tidak keberatan bila ada orang lain tahu, walau mungkin bukan yang memang sengaja diumbar-umbarkan.
Nora sepertinya sudah mendapati diamnya Agnes sebagai sebuah jawaban, dia pun mencubit gemas lengan Agnes.
"Nora!"
"Ya udah, ya udah, istirahat, yuk? Udah bentar lagi jam 12. Mau kubeliin apa, Tuan Putri?" Nora mengedip.
"Kopi." sahutnya spontan. "Kamu mau ke bawah sendiri, emangnya?"
"Iya, kamu ngamanin tempat kongkow kita aja di atas," Nora menunjuk tangga. "Kopi aja?"
"Iya~" Agnes sudah mendorong Nora menjauh, sementara Nora masih terpingkal-pingkal. "Udah sana."
"Ngusir nih ye."
Agnes memberengut. Barulah setelah Nora pergi, dia menuju tempat biasa dia dan Nora nongkrong kalau lagi istirahat siang. Tanpa sadar ternyata pipinya panas, malu-malu kucing yang nggak biasa menurut Agnes.
Kantor mereka tidak ada peraturan khusus soal pasangan atau yang lainnya, sih, selama tidak mengganggu jam kerja. Walau demikian, Agnes tahu diri kalau dia tidak ingin mengganggu Bu Grace saat-saat ini. Beliau sebagai manajer divisi Purchasing pastinya sudah memusatkan pikirannya untuk menjalankan tugas sebaik-baiknya.
Agnes terdiam ketika dia sampai di tralis besi, memandang ke arah bawah, petak parkiran dan sisi gang belakang yang ramai dengan orang berlalu-lalang di jam istirahat makan siang. Ia sejenak tertegun.
Kalau dipikir-pikir, Bu Grace adalah sosok sempurna, atau mungkin karena Agnes sudah sempat melihat 'bagian' yang tidak pernah orang lain perhatikan dari sosok galak nan disiplin yang kerap dihindari.
Agnes melipat tangannya di atas tralis, menahan dagunya. Ia menerawang, pikirannya tidak jauh-jauh dari Bu Grace. Bukan Bu Grace yang membuatnya takut dihakimi atau diceramahi. Bukan Bu Grace yang sekedar dilihat sebagai seorang 'atasan' yang 'harus ditakuti'.
Agnes membayangkan Bu Grace yang penyayang. Yang selalu bertanya dan menginginkan lawan bicaranya nyaman. Lagi bukan berarti dia merendahkan dirinya sendiri untuk membuat orang lain merasa tinggi, dia akan menyuarakan apa yang akan menjadi pokok pikirannya.
Dia pun membuka ponselnya, membuka percakapan dengan Grace yang memang tidak terlalu sporadis, atau terlalu menggebu.
Apa hari ini Agnes minta jalan bareng sebentar?
"Agnes?"
Agnes terkesiap mendengar suara datang dari sisi belakangnya. Itu bukan suara Nora. Dia segera mengantungi ponselnya dan berbalik badan, mendapati Bu Grace datang bersama dengan kopi kalengan pahit yang biasa Nora belikan untuknya.
"L-Loh, kok Bu Grace?"
Bu Grace terkekeh, "Kenapa, salah ada saya di sini?"
Ia turut berdiri di samping Agnes, menyerahkan kopi itu ke tangan Agnes yang terbuka. Grace membeli sebotol teh dingin tawar untuknya sendiri.
"Nora tadi katanya dipanggil Melissa, jadi dia minta maaf, nitip kopinya ke Agnes," jelasnya. Senyumnya masih melengking. "Apa saya ganggu istirahat kamu?"
"Hah, ngg, nggak sama sekali kok Bu!" jawab Agnes cepat. Grace santai saja, meneguk teh dan menanggapi Agnes dengan rileks. Agnes juga bukan menanggapi cepat karena takut, karena dia juga bercampur malu.
Malu karena baru saja dia sibuk memikirkan Bu Grace dan ... simsalabim, datanglah Bu Grace.
Tidak lama kemudian, ada pesan masuk ke ponsel Agnes, dari Nora. Agnes sudah bisa membayangkan dia ngomong apa.
Kamu ngutang budi sama aku, ya, Putri ;) - begitu pesan pendek Nora berbicara. Agnes pun menghela napas panjang dan kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku.
"Ada apa?"
"Nggak apa-apa, Bu!" ucapnya lagi.
Grace menatap Agnes, "Ini pertama kali kayaknya kita ngobrol begini di kantor."
Agnes mengerjap. Dia mencoba memikirkan beberapa momen yang sudah-sudah. Paling hanya berpapasan, atau ketika sedang rapat. Saat acara kantor, dia belum terlalu kenal dengan Bu Grace dan masih berkutat di rasa bersalahnya.
Sekarang, mereka lebih dari itu semua. Masih berproses, tapi mereka sama-sama mengerti.
"Iya ... juga ya." jempol Agnes bermain di atas kaleng yang dipegangnya. "Ah, maaf, Bu, bukan berarti saya nggak suka atau saya ada apa-apa sama Ibu."
Grace sekedar menopang dagunya dengan sebelah tangan, seperti menunggu. Mereka berdua bertumpu di tralis itu, berdua saja, jauh dari sisi kantor yang bisa melihat mereka berdua sebagai seorang pekerja. Agnes menghela napas pelan, membalas tatapan Grace yang lembut.
Agnes lalu menarik lengan Grace, seakan memintanya untuk mendekat, lalu Agnes melingkarkan lengannya untuk memeluk sisi tubuh Grace. Mendapati itu, Grace tidak menolak atau terkesiap, ia mendekat dan membiarkan Agnes menyandarkan kepalanya di sisi pundak Grace.
"Agnes?" panggilnya pelan. Agnes pun sedikit mencengkeram lengan itu.
"Jangan pergi dulu, Bu." ucapnya. "Saya ... kangen? Kangen kayaknya salah karena kita sekantor setiap hari, dan akhir minggu lalu kita baru ketemu, tapi ... ya ..."
Grace turut menyandarkan kepalanya pada Agnes, membuat mereka berdua lebih dekat, lebih lekat. Agnes membenamkan wajahnya di relung leher Grace, dan tetap di sana ketika ia merasakan tangan Grace mengusap pucuk rambut Agnes, tanpa kata.
Mereka diam di posisi itu di waktu yang dirasa Agnes cukup lama, hingga dia bisa menyimpan wangi tubuh Grace di memorinya. Ketika dia mengangkat kepalanya, Grace masih mencoba menautkan lengan mereka bersama, seakan dia juga tidak ingin Agnes pergi.
Sesaat Agnes memanfaatkan momen itu untuk kembali mendekat, menangkupkan bibir mereka bersama, Grace turut membalas, mengisi kekosongan yang semula merebak di hati Agnes dengan segala warna. Ciuman itu singkat, sentuhan kecil demi sentuhan kecil yang saling bersambung, dan di setiap deru napas dan sesaat bibir mereka bersinggungan, Agnes perlahan seperti dikuasai oleh haru.
Begitu mereka menarik diri, sunyi yang menyenangkan mengisi, bukan diam tanda dingin atau ragu.
"Pulang nanti gimana kalau saya antar kamu balik?" Grace menyunggingkan senyum. "Kita searah, bisa naik kereta yang sama, atau mungkin saya bisa mampir."
"Ibu baca pikiran saya, kah?" Agnes berseri-seri.
Grace mengusap-usap pucuk rambut Agnes lagi, pipinya merona. "Bukan cuma kamu yang kangen, Nes."
.
Titik bukanlah sebuah akhir. Di kala lembaran lama sudah ditutup, akan ada saatnya kita akan membuka lembaran baru, mungkin saja di saat-saat tidak terduga, atau di kesempatan yang tidak terkira.
TAMAT
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro