Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

tujuh belas

Selasa, Jam 7.00 Malam.

"Suri," Chandra berdendang ceria sembari membuka pintu kamar adik perempuannya. Senyum tak lepas bermain di wajahnya, namun raut sumringah itu langsung berganti dengan ekspresi takjub tak percaya begitu Chandra menyadari apa yang sedang Suri lakukan; gadis itu tengah duduk tekun menghadapi meja belajarnya. Keningnya berlipat tujuh, seperti tengah berpikir keras bak Albert Einstein yang sedang mencoba menyingkap misteri teori relativitas.

Suri berpaling galak. "Aku sibuk."

Chandra melongo.

"Abang mau apa?"

Chandra berusaha menguasai diri. "Kamu... lagi ngapain?"

"Beol." Suri menyahut sarkastik, "Menurut abang aja gimana? Aku lagi belajar."

"Suri, kiamat masih jauh."

"Abang, daripada ngomong nggak berfaedah, mending abang pergi aja. Aku sibuk, ngerti nggak?"

Chandra berdecak. "Mau nanya sesuatu."

Suri melirik sekilas pada jam beker di atas meja belajarnya. "Abang punya waktu lima menit."

"Hah? Maksud kamu?"

"Aku cuma boleh teralihkan maksimal tujuh menit, kalau nggak nanti aku kehilangan konsentrasi."

"Segitunya banget. Kamu masih sehat kan?"

"Waktu abang tinggal empat setengah menit."

Chandra menarik napas. "Oke-oke. Jangan ngambek. Abang cuma mau tahu, Siena itu orangnya kayak gimana, sih?"

Suri melotot. "Cari tahu aja sendiri!"

"Suri,"

"Aku mau belajar." Suri mengabaikan wajah memelas Chandra dan menjawab kakak sulungnya itu dengan ketus sebelum kembali memusatkan perhatian pada lembar buku matematikanya. Chandra menatap Suri dengan pandangan terluka, lantas berbalik dengan bahu yang turun dan berjalan gontai meninggalkan kamar Suri.

"Kakak kamu ganteng,"

Ucapan Wati membuat Suri langsung menolehkan kepala dengan kecepatan turbo. Matanya menyipit curiga. "Lo mau pindah hati ke Abang Chandra?"

"Deh. Saya mah nggak kayak kamu. Saya tuh orangnya setia."

"Lo bukan orang lagi. Kan udah mati."

"Hm, bener juga." Wati mengernyit. "Ganteng-ganteng gitu jangan digalakkin dong. Kasihan."

"Ganteng-ganteng gitu juga dia belangsak." Sahut Suri dengan sewot. "Udah. Jangan ganggu gue. Gue mau belajar."

Hanya dengan serentetan kalimat itu, Wati pun dibuat bungkam.


Rabu, Jam 6.30 Malam.

Otak Suri sedang dibuat nyaris pecah memahami sederetan lambang tak lazim dalam rumus matematika di buku ketika pintu kamarnya dikuak tiba-tiba. Spontan, kepalanya tertoleh hanya untuk mendapati kepala Calvin menyembul di sudut ruangan, dengan senyum lebar serupa Spongebob Squarepants yang tiba-tiba nongol di rumah Patrick Star. Racauan latah Mpok Jessica terdengar, terkejut karena kepala Calvin yang muncul tiba-tiba.

"Culiiiiii..." Calvin memanggil dengan nada suara yang dibuat sedemikian rupa supaya terdengar imut.

"Apa sih abang?!" Suri berseru buas, membuat Calvin terperangah dengan ekspresi seperti balita kehilangan boneka.

"Kok galak banget sama abang?"

Suri menghela napas, lelah menyaksikan tingkah abangnya yang dramatis. "Aku lagi belajar."

"Wow. Abang kira itu hoax."

"Maksud abang apa?!"

"Semalam Chandra bilang kamu lagi belajar. Abang dan Abang Cetta nggak percaya, dong. Masak iya. Kayaknya mau hujan meteor sekalipun juga haram hukumnya buat kamu nyentuh buku matematika." Calvin memiringkan kepala. "Kenapa? Bu Asturo bikin masalah lagi? Kenapa nggak laporan sama abang?"

"Bukan masalah Bu Asturo."

"Apa dong?"

"Ada deh. Rahasia."

"Oh, sekarang udah main rahasia-rahasiaan ya sama abang."

"Abang juga punya banyak banget rahasia. Masa aku punya satu aja nggak boleh?"

"Abang nggak ngerti."

"Di laptop abang banyak file yang namanya rahasia."

Calvin seketika dibuat terbeliak oleh ucapan adiknya. Bukan karena rahasianya terbongkar, melainkan karena dia tahu file apa yang dimaksud Suri sebagai rahasia. "Suri, kamu nggak buka kan—"

"Aku manusia abang, maka aku juga punya rasa penasaran."

"Suri—"

"Abangku hobi ngoleksi video porno."

"Suri—"

"Iya, iya tenang. Rahasia abang aman meskipun kayaknya seluruh dunia juga tau kalau abang itu maniak Japanese Astagfirullah Video. Udah emang yang paling bener diantara abang-abang tuh cuma Abang Cetta doang," Suri menyentakkan kepala. "Sekarang biar cepat, abang ada perlu apa sama aku?"

Calvin cemberut, menatap adiknya dengan pandangan terluka. "Abang mau minta temenin nonton Ultraman."

"Aku udah muak ngeliatin Musashi."

"Kali ini bukan Ultraman Cosmos kok. Tapi Ultraman Gaia."

Suri mencibir. "Sama aja! Udahlah, aku mau belajar. Terkecuali abang mau bantuin aku belajar, mending abang keluar."

Calvin memberengut, tapi kemudian matanya terarah pada buku Suri. "Yaudah mana sini, abang bantuin belajar."


Kamis, Jam 7.00 Malam.

Hari ketiga, dan Suri masih saja tengah duduk manis menghadapi meja belajar ketika pintu kamarnya diketuk lembut. Tanpa menoleh, Suri sudah tahu jika itu Cetta. Dari ketiga kakaknya, hanya Cetta yang paling beradab. Cetta tidak akan masuk begitu saja ke kamar tidurnya, karena menurutnya kamar adalah tempat dimana perempuan melakukan banyak aktivitas—dari mulai nongkrong menatapi wajah idola hingga berganti celana dalam dan bra. Suri adalah adiknya, tapi buat Cetta, Suri tetap perempuan. Beda dengan Chandra dan Calvin yang sulit berpikir kalau adik mereka bukan lagi anak-anak yang gemar berlarian kesana kemari hanya dengan kaus dalam dan sempak bergambar karakter Disney.

"Sayangnya abang, abang boleh masuk nggak?"

Suri membuang napas pendek. "Boleh."

Pintu dibuka, diikuti oleh Cetta yang masuk ke dalam kamar. Sejenak, Suri dibuat takjub oleh penampilan kakaknya. Cowok itu hanya mengenakan hoodie dan celana panjang yang sama-sama berwarna hitam, namun postur dan ekspresinya membuatnya lebih mirip manekin berjalan. Duh, kadang kalau tidak ingin jika Cetta adalah kakaknya, mungkin sudah jauh-jauh hari Suri dibikin khilaf.

"Abang mau kemana?"

"Mau makan Shihlin sama Kak Rana. Ikut, yuk?"

"Saya juga mau makan Shihlin!"

Itu seruan Wati yang praktis membuat Suri mendelik pada hantu itu sedetik kemudian. Di sebelahnya, Mpok Jessica tampak terkagum-kagum pada ketampanan Cetta. Hantu itu mengelus dadanya, menatap takjub penuh pemujaan.

"Oh my goat, benar-benar tampan nan cethar membahana! Bagaimana bisa Enjes buta selama ini tidak menyadari kehadiran makhluk nan rupawan yang membuat cowok-cowok lain di seantero dunia hantu jadi semacam kadal buntung? Sungguh tidak bisyaaaah dipercayaaah,"

Suri menahan diri agar tidak membenturkan kepalanya ke tembok, lalu berpaling pada Cetta. "Masa mau pacaran malah bawa orang lain, sih?"

"Kan kamu dan Kak Rana sama-sama sayangnya abang."

Manis sekali. "Pengen sih. Tapi bawain aja deh. Abang Chandra ada di rumah kan seharian ini?"

"Iya. Kok kamu tahu?"

"Karena Abang Chandra lagi fokus sama Siena dan Siena pasti lagi sibuk belajar karena besok ulangan matematika."

"Ternyata Chandra serius sama Siena."

"Iya, aku juga serius sama Tian."

Cetta mendelik. "Yang penting tuh anak harus lulus kaderisasi yang udah abang-abang tetapkan. Kalau nggak ya dia nggak bisa jadi pacar kamu."

"Abang mah emang nggak ada rencana ngelulusin Tian."

Cetta meringis.

"Salah Tian apa, sih?"

"Kamu terlalu baik buat dia, Suri."

"Abang, hatiku udah milih Tian."

"Terserah."

"Yaudah sana mending buruan pergi. Kak Rana pasti udah nungguin. Nanti bungkusin aja buat aku, oke?"

"Beneran?"

"Aku harus belajar, abang."

"Buat apa, sih?"

"Buat membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warrohmah."

Cetta menghela napas, lalu tangannya terulur mengacak rambut Suri dengan sayang. "Yaudah, abang pergi dulu. Chandra bakal ada di rumah. Kalau ada situasi darurat, telpon abang. Ngerti?"

"Sip, abang."

Cetta menatap adiknya sekali lagi, kemudian melangkah pergi dari kamar Suri diiringi tatapan penuh kekaguman Mpok Jessica dan Wati.

"Kenyang ya mata lo berdua!" Suri berseru setelah memastikan Cetta sudah pergi.

"Namanya juga mengagumi keindahan ciptaan Tuhan, shay," timpal Mpok Jessica dengan senyum genit.

Suri menggeleng-gelengkan kepala, memilih mengabaikan kedua hantu itu dan berfokus lagi pada lembar buku matematikanya. Rasanya dia hampir tepar karena memaksa diri memelototi rumus saban malam. Namun tentu saja, jer basuki mawa bea. Semua pencapaian itu perlu pengorbanan. Demi satu hari di Dufan bersama Sebastian, Suri tidak akan menyerah.

Kekuatan cinta, bagaimanapun juga, akan selalu luar biasa.

n  o  i  r

Keluarga Cemara (3)

Dimitrio G. : Gila

Dimitrio G. : Ternyata Suri beneran belajar

Barachandra : Lo berdua udah gue kasih tau kan dari kemaren

Barachandra : Malah sibuk bilang hoax

Calvin Raskara : Soalnya lo penebar hoax, Chan

Barachandra : Jaga kata-katamu, Malika

Dimitrio G. : Halah, mulai dramanya

Barachandra : Gini-gini, gue tuh lahir duluan dari lo pada

Barachandra : Hormatin dikit kek

Calvin Raskara : Hormat itu didapatkan, Jenderal. Bukan diminta.

Dimitrio G. : Bujubuset, pake hashtag QOTD banget nih

Dimitrio G. : Tapi bener sih gimana bisa lo dihormatin, Chan

Dimitrio G. : Lo nggak pernah menunjukkan suri tauladan yang baik

Barachandra : Dimitrio Mansur, sekarang belom bulan puasa

Barachandra : Jangan dakwah dulu

Calvin Raskara : Tuh kan, belangsak

Barachandra : Coba kau lihat dirimu dahulu

Barachandra : Sebelum kau nilai kurangnya diriku

Barachandra : Apa salahnya hargai diriku

Barachandra : Sebelum kau nilai siapa diriku

Calvin Raskara : Apasih, lintah

Barachandra : You sing you lose~

Dimitrio G. : Alay

Calvin Raskara : Kembali ke topik, menurut lo pada, kenapa Suri bisa senekat itu dan belajar rajin ya?

Barachandra : Ada hubungannya sama si Abas pasti

Dimitrio G. : LO SIH

Dimitrio G. : Pake ngasih izin Suri buat pacaran

Barachandra : Kan kita udah sepakat, ler

Barachandra : Pacarnya harus lulus kaderisasi kita

Barachandra : Malah untung kan, Suri bisa tobat dikit mau megang buku matematek

Calvin Raskara : Dia bilang alasan kenapa dia belajar tuh rahasia

Calvin Raskara : Kalau dia udah main rahasiaan, hasilnya tuh nggak bagus

Calvin Raskara : Lihat aja hasilnya rahasia-rahasiaan dia sama tuh bocah termos

Barachandra : Hm, bener juga

Barachandra : Kita nggak bisa ambil resiko

Barachandra : Yaudin

Dimitrio G. : Yaudin apa nih

Barachandra : Gue nge-LINE Siena

Dimitrio G. : Serius, kampret

Barachandra : Tri, lemot jangan dipiara

Barachandra : Siena kan temennya Suri

Barachandra : Lo tau, cewek tuh pasti pernah curhat sama temennya soal cowok

Calvin Raskara : Iya abis itu ditikung, terus sibuk nge-like postingan akun galau

Barachandra : Itu sih lo

Barachandra : Nah Siena bisa jadi mata-mata kita buat Suri

Dimitrio G. : Tumben otak lo jalan

Barachandra : Daridulu keles B-)

Barachandra : Yaudah, nanti kalau ada kabar terkini gue kasih tau

Dimitrio G. : Yo

Barachandra : Salam buat calon adik ipar

Dimitrio G. : Sampah

n  o  i  r

Hari ini ada ulangan matematika.

Biasanya, kalimat itu hanya jadi sepintas lalu buat Suri. Pada situasi biasa, Suri akan terkejut sejenak, kemudian merayu Siena agar mau membantunya sedikit supaya nilainya tidak buruk-buruk amat. Namun hari ini, Suri mempersiapkan segalanya serupa calon mahasiswa hendak mengikuti ujian masuk universitas. Gadis itu bahkan sempat meminta maaf pada ketiga kakaknya sebelum berangkat sekolah, memohon pengampunan mereka atas dosa-dosanya selama ini agar ulangannya berjalan lancar. Tindakannya membuat tiga kehebohan sekaligus; Chandra melongo dengan sikat gigi menyangkut di mulutnya, Calvin terbatuk-batuk tersedak yoghurt kotaknya dan Cetta hampir membakar seisi dapur karena lupa mengangkat telur mata sapi yang tengah dimasaknya.

Bukan hanya ketiga abangnya yang dibuat terbeliak tak percaya, nyaris seisi teman sekelasnya menatap takjub kala Suri muncul di kelas lebih pagi dari biasanya—sambil memegang buku rumus matematika pula. Mereka curiga, Suri kesambet arwah cucunya Einstein.

"Suri, lo sehat, kan?" Siena sempat bertanya sebelum meletakkan tas di bangkunya.

"Seribu persen sehat."

"Kok... lo belajar?"

"Duh, Siena, kita kan pelajar. Pe-la-jar. Otomatis belajar sudah menjadi tugas kita dong."

Siena mencebikkan bibir. "Langit udah mau runtuh kayaknya."

Suri cemberut. Kenapa sih semua orang meragukan semangatnya untuk belajar? Huh, menyebalkan. Tapi biarkan saja. Nanti Suri akan buat mereka semua bungkam saat dia mengunggah foto-foto kebersamaannya dengan Sebastian di Dufan. Ngomong-ngomong soal Sebastian, beberapa hari ini Suri tidak bertemu dengannya. Dia tidak pergi menemui Mami karena merasa harus fokus belajar, dan Mami memaklumi. Sekali-dua kali, gadis itu mencoba berkirim pesan dengan Sebastian, tapi langsung dibalas dengan kalimat masam—yang intinya Suri tidak boleh bermimpi bisa berkirim pesan dengan Sebastian kecuali nilai ulangan matematikanya yang terbaru sudah keluar.

Suasana kelas yang awalnya riuh-rendah oleh suara para siswa mendadak senyap ketika guru matematika mereka masuk kelas diiringi bunyi bel yang menandakan kegiatan belajar mengajar resmi dimulai. Guru itu tinggi dan kurus, dengan kulit seputih tahu dan kepala plontos yang cahayanya lebih terang daripada masa depan Suri. Wajahnya bersih dari kumis. Geraknya sangat gemulai. Namanya Pak Asep, tapi siswa memanggilnya Pak Acong—karena tingkah lakunya yang menurut anak-anak lebih mirip banci lampu merah daripada guru matematika.

Pak Acong menatap khidmat pada seisi kelas, lantas setelah melihat soal yang tertera di atas lembaran kertas yang dia bawa, senyum liciknya terkembang. Spontan, beberapa anak termasuk Suri langsung menelan ludah. Disinilah penyiksaan mereka dimulai.

"Haryi inyi ulyangan." Kata Pak Acong. "Nggak usyah tegang-tegang lah, kaliyan. Paling juga nilainya ancyur kayak biasanya."

Siena menatap guru itu dengan sebal, sementara mata Pak Acong mengitari seisi ruangan. Dalam pandangannya, ada komposisi duduk yang terasa aneh, dimana dalam setiap baris berselang-seling antara siswa perempuan dengan siswa laki-laki. Keningnya berkerut, mencium aroma sabotase penghuni kelas yang rela melakukan segala cara untuk mendapatkan nilai di atas lima.

"Kenapa duduknya berantakyan beginyi?!" nada suara Pak Acong meninggi, membuat Suri dan teman sekelasnya langsung mengkeret di tempat mereka duduk. "Kenapya terpisyah antarya lekyong dan ciwey?! Duduknya yang benyer dong!!!" Pak Acong meneruskan dengan bentakan, membuat mayoritas siswa menundukkan kepala mereka, tidak berani menatap selain pada meja.

Siena berdecak, lantas mengangkat tangannya, membuat perhatian Pak Acong praktis langsung tertuju padanya.

"Iya, kamu! Cyoba jelaskyan!"

"Maaf, Pak. Tapi kan kemarin bapak sendiri yang atur ulang letak duduk buat ulangan hari ini."

Pak Acong terperangah. Seisi kelas senyap. Suri memandang takjub pada Siena yang menurutnya punya keberanian di atas rata-rata.

"Halyah!! Yasyudahlahya! Waktyu kaliyan cuma sedikyit. Jadyi mendying kitya mulai sajya ulyangannya. Meskipyun nantinya nilai kaliyan bakal ancyur-ancyur jugya."

Tidak ada yang menjawab, dan Pak Acong pun langsung membagikan soal berikut memberitahukan ketentuan dimana benda apapun selain pensil, penghapus dan penggaris tidak diizinkan berada di atas meja. Beliau juga membagikan kertas buram untuk digunakan sebagai sarana corat-coret melakukan perhitungan. Begitu soal tiba di bangku Suri dan Siena, Siena sempat mengerutkan dahi sebelum akhirnya mengangguk-angguk paham—reaksi yang sangat berbeda dengan respon Suri.

Suri melongo. Lalu dalam hati, batinnya berteriak. "KUAMPRETTTTTTT!!!"

"Bisa nggak, Sur?" suara Siena membuat Suri yang sudah dibuat lemas langsung menoleh.

"Bisa." ujarnya pongah, lantas meraih kertas buramnya sendiri. Sebelum mengambil pensil, Suri bergumam memelas hampir tanpa suara. "And let the hunger games... begin!"

***

Suri menatap bayangannya di cermin dengan frustrasi, lalu mendengus keras-keras untuk menahan segala bentuk makian terlontar dari mulutnya. Pertama, dia tidak mau ditarik ke ruang BK karena kedapatan mengucapkan kata-kata kotor. Kedua, Suri tidak ingin menarik perhatian yang lain, entah itu manusia atau hantu. Dia terlalu pusing. Menghadapi soal matematika biasa saja sudah bisa membuat otaknya hampir semaput, apalagi soal ulangan hasil karya Pak Acong yang tingkat keabstrakannya tidak main-main. Lebih dari separuh kelas dibuat keram otak beberapa detik setelah membacanya. Hanya kalangan beruntung seperti Siena yang lahir tanpa teranugerahi penyakit lemot yang bisa mengerjakannya dengan baik.

Selesai ulangan, Suri langsung pergi ke kamar mandi untuk mendinginkan kepalanya yang sempat mengepul. Siena masih di kelas. Di luar dugaan, kamar mandi pun benar-benar kosong. Sosok Asmi tidak ada dimanapun. Jika dipikir-pikir, hari ini Suri juga tidak melihat Kayla di kelas. Kemana para hantu? Apa jangan-jangan mereka juga punya hari khusus kumpul-kumpul bersama sosialita dunia astral seperti Mpok Jessica?

Hah. Nggak penting juga Suri kepo soal dunia hantu.

Gadis itu membasuh tangannya sekali lagi, lantas berjalan menuju pintu keluar. Namun tepat di pintu, langkahnya terhadang oleh Asmi, Kayla dan beberapa sosok hantu lain yang tidak Suri kenal, namun kerap dia lihat. Kening gadis itu seketika berlipat.

"Minggir," ujar Suri.

"Ada yang nyariin lo," Asmi berujar. "Lo harus ketemu."

"Hantu? Kalau dia minta bantuan, sori, gue bukan panti sosial buat hantu. Gue lagi fokus ama kehidupan percintaan gue dan memutus status jomblo gue sebelum gue karatan. Jadi gue nggak ada waktu, oke? Nanti deh kalau gue udah jadian sama Tian, gue pertimbangkan."

"Bukan hantu," Kayla menyela. "Namanya Nael."

"Buset, keren amat. Nael Horan?"

"Ini serius." Asmi menyahut, membuat Suri seketika terpana. Tidak biasanya Asmi bersikap serius seperti itu. Entah kenapa, rasa takut bercampur curiga mulai terbentuk dalam dadanya.

"Maksud lo apa?"

"Nael nyariin lo. Dia bukan hantu, tapi dia juga bukan makhluk biasa."

"Gue nggak ngerti. Kalau bukan hantu terus apa?"

Asmi berdecak, lalu berujar dengan suara rendah. "Iblis."

"Iblis?" Suri melotot tidak percaya. "Asmi, gue nggak lagi bercanda."

"Gue juga nggak bercanda, kali!" Asmi mendengus, "Dia nungguin lo di belakang lab bahasa yang udah nggak kepake."

"Kenapa nggak disuruh kesini aja?"

"Karena dia ogah masuk kamar mandi cewek."

"Oh. Iblisnya cowok?"

"Suri, plis jangan bercanda. Jarang banget ada iblis yang mau ketemu sama hantu, apalagi sama manusia. Kasta mereka lebih tinggi dari para hantu, ngerti? Jadi kalau dia mau ketemu lo, berarti ada sesuatu yang penting yang mau dia omongin." Ucapan Kayla membuat Suri terperangah.

"Harus sekarang?"

"Lo berani membuang-buang waktu iblis kayak dia?"

"Dia nggak seram kayak Valak, kan?"

"Kayaknya masih temenan sama Valak."

"ASMI!"

Asmi terkekeh. "Enggak seseram Valak. Ya udah buruan. Temuin dia."

Suri menghela napas. Dia merasa ragu, meskipun sebentar lagi bel istirahat juga akan berbunyi, sehingga dia tidak perlu takut terkena masalah karena dianggap mangkir dari kelas. Suri belum pernah bertemu iblis, namun kelihatannya, sorot di mata Asmi, Kayla dan hantu-hantu lain yang menyertai mereka tidak bisa diremehkan.

"Oke." ucap Suri pada akhirnya, lalu dia melangkah menembus tubuh Asmi yang langsung sibuk mengomel. Suri mengabaikan, mengarah langsung pada tempat yang telah ditentukan; bagian belakang bangunan lab bahasa sekolahnya yang sudah tidak terpakai.

n  o  i  r

Suri tidak tahu tentang iblis, atau tentang dunia makhluk tak kasat mata di luar kemampuannya melihat hantu, namun siapapun dia yang Asmi panggil dengan nama 'Nael' jelas bukan sosok biasa. Hantu-hantu yang biasanya melayang di sepanjang koridor bangunan sekolah yang jarang terpakai tidak nampak dimanapun. Tempat itu sepenuhnya sepi, dan dari kejauhan, Suri bisa melihat sosok Nael diantara ilalang dan semak yang jarang. Nael langsung menyadari keberadaannya dalam hitungan detik. Dia mengenakan pakaian kelam dari ujung kaki hingga ujung rambut. Terasa begitu mengintimidasi, namun ketika senyumnya tertarik, Suri dibuat tercekat di tempatnya berdiri.

Nael tidak mirip Valak, atau iblis manapun yang pernah Suri lihat di film-film. Sosoknya tinggi, dengan rambut sehitam malam dan senyum yang mampu melemaskan tulang. Wajahnya cerah, namun tidak tampak seputih tembok saat diterpa cahaya matahari.

"Selamat siang," Nael menyapa, satu tangannya terangkat ke udara. "Jadi kamu anak yang sedang sering dibicarakan itu."

Gaya bahasanya sangat baku, mengingatkan Suri pada buku-buku teori berat di kelas bahasa Indonesia.

"Si—siang. Aku tahu dari Asmi katanya kamu nyariin aku. Ada apa ya?"

"Hanya penasaran."

"... penasaran?"

"Kamu banyak dibicarakan—kamu tahu, di dunia yang tidak terlihat. Oh ya, perkenalkan. Namaku Nael. Mammon adalah ayahku, dan anak-anaknya yang lain adalah saudaraku. Kamu kenal Mammon?"

Suri menggelengkan kepala. "Dia... iblis?"

Nael mengangguk. "Sayang sekali kamu tidak kenal ayahku. Ada iblis yang kamu tahu?"

"Valak?"

"Ah ya, Valak. Dia sempat jadi luar biasa terkenal di dunia manusia setelah mereka merilis film itu. Apa judulnya? Aku lupa."

Kening Suri berkerut. "The Conjuring."

"Apapun itu, aku tidak peduli. Hanya saja, Valak sempat membuat kekacauan beberapa kali karena tersinggung digambarkan dengan rupa biarawati." Nael tertawa, walau Suri tidak tahu apa ada yang lucu. "Demam Valak sudah lewat. Sekarang yang banyak dibicarakan adalah kamu."

"Aku?"

"Iya. Para malaikat membicarakan kamu. Anak-anak Lucifer, saudara-saudaraku, hingga anak-anak Belphegor yang biasanya tidak peduli mendadak jadi ikut membicarakan kamu. Kami belum tahu apa pendapat Sang Pencipta tentang kesalahan yang kamu buat, tapi sebagian besar menganggap apa yang kamu lakukan itu sepercik pemberontakan."

"Aku nggak ngerti."

"Karena manusia memang tidak seharusnya mengerti apalagi terlibat dalam urusan dunia tak terlihat," Nael memandang Suri. "Kamu sudah melakukan dua kesalahan. Aku rasa, satu kesalahan lagi dan Sang Pencipta tidak bisa tinggal diam. Dia selalu menyukai angka ganjil. Entah kenapa."

"Aku nggak ngerti." Suri mengulang. "Kamu ngomong apa, sih?"

"Aku sangat ingin menjelaskan. Terutama karena kelihatannya kamu adalah anak yang baik. Jiwa yang murni. Hm, seandainya saja kamu tahu bagaimana para iblis selalu bergairah menyesatkan jiwa-jiwa yang terlahir bersih. Tapi aku tidak punya hak menjelaskan apapun." Nael berkata lagi. "Meski begitu, aku rasa kamu perlu diperingatkan. Satu kesalahan lagi, Oriana Suri Laksita, dan semua makhluk immortal akan kehilangan kesabaran mereka. Kamu baik. Masih muda. Belum pernah merasakan cinta pula. Karenanya kamu berhak diberitahu sedikit tentang apa yang mungkin akan kamu hadapi."

Suri jadi kesal. "Maksud kamu apa ya dengan kalimat tidak pernah merasakan cinta? Masalah kejombloan aku?! Tenang aja, bentar lagi juga taken, kok!"

"Kamu belum pernah punya pasangan."

"Makasih banget udah ngingetin."

Nael mengedikkan bahu. "Aku hanya penasaran, dan berpikir kamu perlu diperingatkan. Aku harap, kita tidak perlu berjumpa lagi." Nael mengangkat salah satu tangannya, lalu menggerakkannya hingga menyerupai lambaian kaku. "Ini cara manusia saling mengucapkan selamat tinggal, kan?"

"Kalau sama aku dan kamu cowok ganteng, harus pake kissbye."

Kening Nael berkerut. "Kiss... bye?"

"Begini," Suri menempelkan tangannya di bibir, kemudian meniupkan ciuman dengan gaya imut pada Nael. "coba peragain."

Anehnya, Nael menurut. Iblis itu menempelkan jarinya ke mulut, kemudian meniupkan ciuman jarak jauh pada Suri yang langsung tersipu-sipu seraya memegangi pipi dengan kedua telapak tangan. Nael menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu bergumam.

"Manusia itu semakin aneh saja."

"Yaudah kalau gitu. Salam kenal, Nael." Suri terkekeh. "Duh, bikin tegang aja. Kirain ada apa."

"Ingat baik-baik, Suri. Satu kesalahan lagi adalah apa yang seharusnya kamu hindari," usai berkata begitu, Nael melakukan kissbye sebelum sosoknya benar-benar menghilang. Dia lebur dengan udara, membuat Suri ditinggal sendirian diantara ilalang yang bergoyang pelan.

Suri tidak mengerti apa arti ucapan Nael. Semuanya penuh misteri, macam unsur intrinsik hikayat lama dalam pelajaran bahasa Indonesia yang membuat Suri ngantuk luar biasa. Tapi kelihatannya bukan apa-apa. Buktinya, Nael bersikap santai dan bahkan sempat meniupkan kissbye. Suri tidak menolak dapat tiupan ciuman jarak jauh dari makhluk tampan, sekalipun dia iblis.

Gadis itu berbalik, berniat kembali ke kelas. Tetapi langkahnya seketika terhenti begitu sesosok makhluk astral muncul di hadapannya. Wujudnya adalah seorang nenek-nenek bercelana panjang dengan sweater tebal warna biru tua. Rambutnya hampir memutih seluruhnya. Wajahnya ramah, tetapi matanya menatap penuh nelangsa.

"Kamu... apa kamu gadis itu?" Nenek itu menatap ragu. "Oriana... Suri Laksita?"

"Kam—maksudku, nenek tau namaku dari mana?"

"Jadi benar kamu yang namanya Oriana Suri Laksita."

"Benar." Dahi Suri berlipat. "Nenek... bukan iblis kan? Bukan malaikat juga?"

"Bukan. Nenek itu hantu."

Suri langsung nyengir. "Oh. Kirain. Kenapa, Nek? Kayaknya aku baru kali ini ngeliat nenek."

"Nenek memang bukan hantu asli sekolah ini."

"Oh ya? Nenek baru meninggal?"

Nenek itu menganggukkan kepala. "Tiga hari yang lalu."

"Terus kenapa nggak pergi ke atas? Ada sesuatu yang menahan nenek disini?"

"Kok kamu tahu?"

"Wati bilang, jiwa akan jadi hantu kalau mereka punya urusan yang belum terselesaikan. Sebenarnya, aku lagi nggak berminat ngebantuin hantu, tapi karena nenek kelihatan sedih... aku jadi nggak tega. Nenek ngingetin aku sama mendiang Omaku yang udah meninggal. Tapi Oma orang baik, jadi menurutku beliau langsung pergi ke atas. Apa yang bikin Nenek tertahan disini?"

"Tiga hari lalu, sebelum Nenek benar-benar meninggal, Nenek nggak sengaja mendengar obrolan dua malaikat."

"Malaikat maut?"

"Sepertinya begitu."

"Mereka bilang apa?"

"Mereka bilang, cucu perempuan Nenek akan dijemput tepat seminggu setelah Nenek meninggal. Mereka kelihatannya mengasihani keluarga Nenek. Awalnya, Nenek sudah siap untuk pergi ke atas, menemui penjemput Nenek yang sudah menunggu di—"

"—batas antara langit dan bumi. Aku tahu, Nek."

Nenek itu menatap Suri dengan lekat. "Iya. Tapi Nenek tidak bisa pergi begitu saja. Nenek nggak bisa membiarkan Khansa kenapa-kenapa. Harapan orang tuanya bergantung pada cucu nenek itu. Dia juga sedang mempersiapkan diri untuk kejuaraan yang akan dia ikuti. Dia terlalu muda untuk mati. Kamu mengerti kan apa maksud Nenek?"

Suri diam sejenak. Lalu mengangguk. "Terus apa yang perlu aku bantu?"

"Empat hari lagi Khansa akan dijemput. Nenek mau kamu memberitahu Khansa untuk tidak pergi latihan hari itu. Setelah memastikan Khansa selamat, baru Nenek bisa pergi ke atas dengan tenang."

Suri berpikir sejenak. "Cuma itu?"

"Kamu anak yang baik, Suri. Bagaimana bisa Nenek meminta bantuan yang lebih dari itu?"

Suri sempat ragu, namun pandangan mata Nenek itu meluluhkan hatinya. "Oke. Aku bakal melakukan seperti yang nenek mau. Jadi siapa nama cucu nenek itu?"

"Khansa." Nenek menyahut, ada rindu di matanya. "Khansa Amarissa."





bersambung. 

**********************************************

********************************************** 

a.n : Well, sore ini gue merasa baru saja melakukan satu kesalahan fatal dalam 900 tahun. 

Haha canda. gue bukan goblin. dan umur gue bukan 19 tahun. 

tapi sumpah, gara-gara Yohana Doang, gue jadi melakukan sesuatu yang aib yaitu melakukan live video Instagram yang sangat tidak berfaedah. Maksud gue, siapalah yang mau melihat sosok dekil tanpa makeup (iya, Renita hanya agak cakep waktu pake makeup doang gaes bully lah aku sepuasnya. kalau ga gincuan mah kaya tukang sapu) dengan suara cempreng dan ketawa yang gak cute sama sekali. benar-benar wasting time dan kuota kan. 

Tapi terus gue dapet ide. 

Karena banyak banget yang bertanya soal masuk PTN, kehidupan kampus, Passing Grade, Prospek jurusan planologi, akreditasi, pertimbangan memilih snmptn, strategi sbmptn dan lain-lain, gue akan membayar semua kelabilan gue sore ini dengan menjawab apapun pertanyaan terkait hal-hal di atas via Live Instagram. 

Karena kalian sibuk sekolah dan belajar (buat yang masih SMA), kayaknya gue bakal live hari Sabtu jam empat sore deh ya? (BUSET BERASA AWKARIN) (OH LUPA AKU TAK SEMANCUNG, SEPUTIH DAN SEGAHOEL DIA) Silakan temui gue di akun instagram (at)rennozaria 

Nggak dikunci kok. Jadi kalau nggak pengen follow juga nggak apa-apa. 

Oke deh, sekian. 

Ciao.  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro